E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta

Bab 13: Anggota Keenam

.


"Loh, katanya empat hari, ini baru dua hari kok udah pulang?" tanya Mama begitu Halilintar muncul dari balik pintu rumah mereka. Tampangnya kusut, lingkaran hitam terbentuk di bawah mata setelah kemarin malam dirinya tidak bisa terpejam sama sekali.

"Ceritanya panjang," jawabnya sambil berlari ke kamarnya.

Halilintar tak peduli pintu kamarnya terbuka lebar, kedua tangannya beringas mengacak-acak rak buku, mencari-cari sticky note berwarna kuning yang pertama kali menghantuinya. Satu per satu koleksi komiknya terbang seperti sekumpulan orang yang melakukan atraksi sirkus, melayang tak tentu arah ke segala tempat dalam kamar itu. Saat tidak ada lagi komik yang bisa diterbangkan, kedua tangannya beralih mengacak-acak rambut.

"Di mana?" tanyanya pada diri sendiri.

Kali ini Halilintar pindah ke buku-buku sekolahnya. Semua buku sekolahnya dibuka per halaman, tetapi tetap saja nihil. Kertas itu tidak ditemukan juga.

Lewat pintu kamar yang terbuka, Gempa memperhatikan tingkah kakaknya. Halilintar adalah seorang yang pelupa, itu sudah diketahui seluruh penghuni rumah, bahkan oleh tetangga sebelah. Maka tak heran sekarang dia tengah kalang kabut mencari sesuatu yang dia lupakan, meskipun kali ini ada andil Gempa di dalamnya.

"Cari apa, Kak?" tanya Gempa berbasa-basi, dia mulai bosan melihat pertunjukan buku terbang.

"Kertas. Aku selip di buku, tapi lupa buku yang mana."

"Ini maksudnya?" Gempa menjepit sticky note kuning diantara jari telunjuk dan jari tengah. Namun, Halilintar tidak menoleh ke arahnya sama sekali. "Kak?"

"Nanti."

"Liat sini."

Halilintar menoleh, matanya membulat melihat apa yang dia cari ada di tangan Gempa. Tanpa sadar, intonasinya meninggi. "Kamu dapat dari mana?"

"Dari halaman belakang komik yang waktu itu aku pinjam."

Halilintar ingat sekarang. Dia memang menyelipkannya di sana, pantas saja tidak ketemu. "Kenapa nggak langsung dikembaliin?"

"Maaf. Aku penasaran, MG2-072 itu apa? Siapa yang nulis ini?"

Pertanyaan itu hanya dijawab gelengan kepala. Halilintar kembali merapikan buku-bukunya yang berserakan. "Yang aku tau, Yaya juga dapat yang kayak gini. Mungkin besok aku mau tanya yang lain."

"Jadi, ada kemungkinan anak lain di kelas E juga dapat gangguan yang sama?"

"Iya."

"Omong-omong soal kelas E. Kenapa isinya cuma lima orang, Kak?"

Halilintar terdiam selama beberapa saat, seolah sedang memilih kata yang tepat. "Ada alasannya."

"Apa?"

Ada jeda cukup lama. Halilintar teringat ucapan Kaizo di kelas, tetapi dia pikir, tidak apa-apa melanggar satu permintaan Kaizo sesekali. Lagipula Gempa bukan orang asing, dia adalah keluarganya, dan dia tahu kondisi Halilintar seperti apa. Tak perlu ada yang dikhawatirkan.

"Karena anak-anak kelas E beda."

Gempa mengerutkan alis. "Beda kenapa?"

Kemudian Halilintar menceritakan garis besarnya pada Gempa. Tentang kenapa penghuni kelas E hanya berisi lima orang, tentang kemampuan Yaya punya tenaga yang kuat, Ying yang paling cepat, Taufan yang bisa mendengar pantulan suara benda disekitarnya, Solar yang bisa mengingat semua hal, dan kenapa mereka dikumpulkan di kelas itu.

Gempa tertegun, hampir tak percaya, tetapi mengingat kakaknya sendiri bisa mengeluarkan listrik dalam keadaan tertentu, dia yakin semua itu benar. Pantas saja saat kelas olahraga gabungan yang pertama, Taufan bisa menghindari lemparan bola dari Solar dengan mudah, padahal bola itu datang dari arah belakang. Kemudian setiap kali Gempa dan Solar ada di kelas konsentrasi yang sama, Solar selalu sibuk sendiri, jarang terlihat memperhatikan, tetapi ketika diberi pertanyaan, dia bisa menjawab sama persis dengan apa yang dijelaskan guru saat itu.

"Kakak nggak curiga? Bisa aja mereka ngumpulin kalian buat tujuan tertentu."

"Dulu, iya. Aku juga sempat takut. Tapi, selama ini kupikir mereka nggak ada niat ke sana. Mereka cuma mau menampung anak-anak aneh, dan cuma di kelas itu, kami bisa jadi diri sendiri, bebas pakai kemampuan masing-masing."

"Oh." Gempa tak bertanya lagi, dia memilih menelan bulat-bulat apa yang ingin diucapkan. Dalam pikirannya semua mulai saling terhubung. Hanya saja, masih ada sesuatu yang terasa kosong.

~o0o~

Sore itu, pada jam pulang sekolah, dua meja disatukan hingga membentuk persegi panjang. Lima kepala penghuni kelas E duduk melingkari meja. Yaya mulai menceritakan apa yang dialaminya bersama Halilintar saat kejuaraan pencak silat tempo hari.

Cerita itu membuka tabir yang selama ini disembunyikan para siswa kelas E. Satu per satu dari mereka mulai menceritakan versinya masing-masing. Ying, Taufan, dan Solar juga pernah mengalami hal yang sama. Jika Ying dan Taufan mendapat gangguan beberapa bulan sebelum mereka masuk SMA, maka Solar sudah mendapat gangguan itu sejak tahun lalu, lebih lama dari yang lain. Bahkan tanpa ragu, Solar juga menceritakan apa yang dialaminya saat jamuan makan malam di Hotel Sky Palace.

"Mirip kayak yang dialami Halilintar waktu kemah," ujar Solar saat mengakhiri ceritanya.

Ying mengernyit, dia tak pernah dengar tentang kejadian saat berkemah. "Emang Hali kenapa waktu kemah?"

"Itu nggak ada hubungannya—"

"Ada," potong Solar. "di tempat kejuaraan pencak silat, kamu dan Yaya hampir dicelakai. Di tempat kemah pun, kalau Pak Kaizo dan Kak Shielda nggak datang, yakin bisa ada di sini sekarang?" Melihat Halilintar tak bisa menjawab pertanyaannya, Solar kembali melanjutkan. "Kesimpulannya, pelaku punya tujuan yang sama: mau bunuh kita semua satu per satu."

Solar melipat kedua tangan di dada. Puas dengan hipotesisnya sendiri. Dia tidak bermaksud menakuti yang lain, hanya saja jika tujuannya bukan itu, lalu apa?

"Tapi aku dan Taufan nggak sampai dicelakai, atau semacamnya."

"Nggak atau belum, Ying?"

Ying tak menjawab, dia merasa ucapan Solar ada benarnya. Tidak ada jaminan dia dan Taufan bukan target selanjutnya. Semua itu hanya tentang waktu.

"Memang kita salah apa?" Pertanyaan Yaya dibiarkan tanpa jawaban. Semua penghuni kelas E hampir berekspresi sama; bingung, kesal, marah, tetapi tidak tahu harus dilampiaskan kepada siapa.

"Kita lapor polisi aja," usul Taufan.

Solar menggeleng pelan, andai semudah itu. "Kalau cuma sticky note, buktinya nggak kuat. Apalagi nggak ada kalimat ancaman di kertas itu. Yang ada, kita bakal dikira cuma main-main."

"Apa jangan-jangan pelakunya dendam ke keluarga Solar?"

"Maksudnya?"

"Ayah kamu kan orang penting di Surya Farma. Kalau ada yang dendam ke dia, gangguan ini jadi masuk akal, apalagi pelakunya sampai datang ke Hotel Sky Palace. Nah, masalahnya, kenapa aku, Hali, Ying, dan Yaya juga kena? Kita kan bukan keluarga."

Ying menghela nafas. "Berarti nggak ada hubungannya."

"Terus siapa, Ying?"

"Pelakunya ada tiga orang."

Semua penghuni kelas E menoleh ke arah sumber suara. Mereka menemukan Gempa sudah berdiri di ambang pintu, sedang tersenyum sambil mengusap belakang lehernya. "Maaf. Aku lagi cari Kak Hali, tapi malah nggak sengaja dengar obrolan kalian."

Empat dari lima anak saling pandang dengan tatapan bingung. Bagaimana Gempa bisa tahu jumlah pelakunya? Padahal mereka semua bahkan tidak punya petunjuk apapun yang mengarah ke sana. Di antara wajah-wajah bingung itu, hanya Solar seorang yang cukup terganggu dengan pernyataan Gempa.

"Ini urusan kelas E, urus aja kelasmu sendiri," sanggah Solar.

"Tunggu dulu, siapa tau informasi dari Gempa berguna buat kita."

"Cukup kita berlima aja, nggak usah bawa-bawa orang luar."

"Benar apa kata Ying, kita kurang informasi. Siapa tau informasi dari Gempa bisa jadi petunjuk buat kita," ucap Yaya berusaha menengahi.

"Terserah kalian aja." Kalimat bernada final meluncur dari mulut Solar. Dia membereskan barang-barangnya dan buru-buru keluar dari kelas, melewati Gempa yang masih berdiri di ambang pintu.

Gempa berniat menyusul Solar, tetapi Halilintar menahannya. "Kenapa kamu bisa tau jumlah pelakunya?"

"Nanti aku jelasin, Kak. Ada yang mau aku omongin sama Solar."

Setelah itu, Gempa pergi meninggalkan kelas E. Kakinya berjalan cepat menyusul Solar yang sudah menghilang dari gedung satu. Dia harus cepat menemukannya. Mengingat bagaimana latar belakang Solar, instingnya mengatakan dia pasti punya informasi lebih banyak dari yang lain.

Gempa memelankan langkahnya saat menemukan Solar sudah berada di dekat gerbang utama, tengah berjalan ke arah sebuah mobil hitam yang berhenti tak jauh dari sana.

"Daripada ribut tentang siapa yang paling berhak ngurus masalah ini, kenapa nggak fokus cari bukti dan pelakunya aja? Kalian kekurangan bukti dan kalian juga nggak punya petunjuk," ujar Gempa seraya mempersempit jarak diantara mereka, lalu dia berhenti tepat di hadapan Solar, kedua tangannya bersembunyi dalam saku jaket.

Solar menghentikan langkahnya. Begitu pandangan mereka bertemu, dia memutar kedua bola matanya. "Omonganku di kelas kurang jelas?"

"Kak Hali itu keluargaku. Apa salahnya ikut campur urusan keluarga sendiri?"

Solar menggeram. Tangannya mengepal berusaha menahan kesal, matanya menatap tajam Gempa.

"Gimana kalau kita saling tukar informasi? Aku butuh informasi tentang kelas E. Sebagai gantinya, aku bakal kasih informasi tentang pelakunya."

Tawaran Gempa hanya dianggap angin lalu, Solar terlihat tidak peduli dan bersiap pergi. Gempa menghela nafas. Negosiasinya gagal total, dia terpaksa mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Dari ponsel itu dia memutar penggalan percakapannya dengan Kikita, terutama saat Kikita mengatakan bahwa dia bisa bebas berkeliaran di lingkungan SMA Budi Asih.

Solar berhenti menarik pintu mobil dan terdiam mematung. Kemudian dia berbalik menatap Gempa dengan wajah terkejut.

Melihat reaksi Solar, perlahan Gempa tersenyum kering. "Rekaman ini jadi bukti kalau sebenarnya pihak sekolah udah tau tentang gangguan ini, mungkin lebih lama dari apa yang kita kira. Tapi, apa abis itu ada kejelasan tentang siapa pelaku yang hampir bunuh saudaraku berkali-kali? Apa udah ada kejelasan tentang siapa yang bikin kacau di Hotel Sky Palace? Sehabis ada kejadian-kejadian itu, apa tindakan mereka selain ngerahasiain itu dari anak-anak lain? Kalau reputasi sekolah yang jadi alasan, aku nggak bakal heran kalau kamu juga nggak suka orang dari luar kelas E tau."

Solar mulai tak suka orang di depannya. Jika sikap dan tatapan Kaizo terkadang terang-terangan mengintimidasi, maka apa yang Gempa lakukan adalah kebalikannya. Pembawaanya santai dengan tatapan teduh dan senyum yang terus terukir di wajahnya. Seharusnya itu membuat Solar tenang, tetapi yang ada malah sebaliknya. Ada saat-saat dimana tatapan dan senyuman itu terasa mengintimidasi, seolah-olah tengah berusaha membuat Solar terpojok ke bibir jurang tak berdasar.

Solar menghela nafas berat, seolah pembicaraan ini sangat menguras energinya. "Kenapa jadi melebar ke reputasi sekolah? Ini nggak ada hubungannya."

"Kayaknya ada. Semacam orang luar nggak boleh tau tentang kelas E, bukannya kelas itu memang disembunyiin dari luar?"

Solar mengernyit. "Kenapa—"

"Aku udah ngasih sebagian informasi yang aku punya," potong Gempa, dia kembali memasukkan ponselnya ke saku jaket. "Tukar informasi, atau nggak sama sekali. Terserah mau besok, atau lusa, atau kapanpun itu. Aku tunggu."

Gempa berbalik pergi meninggalkan Solar sedirian. Dia tersenyum menang setelah berhasil memutar balikkan keadaan. Dengan begini, setidaknya jika Solar penasaran dan Gempa harap anak itu akan memikirkan ucapannya.

Kakinya melangkah ringan kembali ke kelas E. Sesampainya di sana, Taufan memberondong dengan berbagai pertanyaan, yang dijawab dengan keyakinan Gempa bahwa besok Solar akan berubah pikiran.

Sebenarnya Gempa tak yakin seratus persen, dia hanya sedang mencoba bermain-main dengan ketidakpastian, sembari berharap umpan yang dia lempar segera disambar.

"Kak, ingat waktu aku pinjam jaket? Terus aku minta Kakak nunggu di sekolah?" tanya Gempa pada Halilintar saat dalam perjalanan pulang. Kendaraan umum yang mereka tumpangi melaju konstan membelah jalan. "Aku ketemu mereka waktu itu. Mereka kira aku itu Kak Hali dan aku sempat diserang. Tapi, waktu mereka lihat wajahku, mereka berhenti dan pergi gitu aja."

"Kenapa nggak bilang?"

"Gimana kalau pertanyaannya di balik. Kakak sendiri kenapa nggak pernah bilang? Kalau aku nggak nemuin sticky note itu di dalam komik, kayaknya sampai sekarang pun aku nggak akan tau. Apa alasannya?"

Halilintar menunduk, memandangi ujung sepatunya yang menendang-nendang udara. Jujur saja, Halilintar tak mau membahas ini, kalau saja tak ingat mati, dia pasti sudah melompat keluar dari jendela seperti James Bond. Untungnya, dia masih waras. Lalu Halilintar melirik lewat ujung matanya, Gempa masih tetap memperhatikan. Sadar sudah tak bisa lagi menghindar, Halilintar angkat bicara, "SMA Budi Asih sekolah yang kamu mau. Aku nggak mau merusak semuanya lagi."

Gempa sudah menduga jawabannya akan begitu. Ucapan Halilintar memang benar. Sempat terlintas dalam benaknya, jika kemampuan Halilintar kembali membuatnya kesulitan—seperti saat mereka sekolah dasar, Gempa akan nekat tetap bersekolah di SMA Budi Asih, meskipun nantinya dia harus tinggal seorang diri. Namun, jika sekolah yang dia mau malah membuat keluarganya dalam bahaya, Gempa rela mengesampingkan keinginannya. Dia tak mau bersikap egois.

Tak lama kemudian, Ponsel di dalam sakunya bergetar. Satu pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal.

'Lusa. Sebelum jam pertama. Di kelas E.'

Tidak salah lagi, pesan itu pasti datang dari Solar. Senyum di wajahnya perlahan mengembang.

~o0o~

Besoknya, pada jam istirahat, atas usulan Solar, mereka berkumpul di ruang kelas E bersama Gempa. Dia menjadi orang terakhir yang sampai ke ruang kelas E dan mendapati Solar dan Yaya tengah menempelkan sticky note yang mereka temukan di papan tulis.

Tak ada yang menyangka Solar akan membiarkan Gempa ikut berdiskusi setelah kemarin terang-terangan menentangnya. Ketika ditanya apa yang mereka bicarakan, Gempa hanya mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.

Kemarin malam, Solar tiba-tiba menghubungi para penghuni kelas E lewat pesan singkat, berisi permintaan untuk membawa sticky note yang mereka temukan. Ada sesuatu yang mengganggu, katanya. Entah yang mana yang dia maksud, tetapi menurut Halilintar, isi kertas itu semuanya mengganggu.

"Solar, apa rencana kita?" tanya Yaya setelah selesai menempelkan semua sticky note miliknya.

"Kita cari pelakunya."

Perkataan Solar disambut pelototan mereka semua. Para pelakunya sudah hampir mencelakai tiga orang diantara mereka dan dengan entengnya Solar berkata demikian. Ini sama saja dengan sengaja masuk ke sebuah ruangan penuh dengan ular.

"Mana bisa gitu! Kamu nggak ingat pernah hampir ditikam!?" protes Taufan.

"Makanya pahami dulu. Aku bilang cari, bukan tangkap. Kita cukup cari pelakunya dan cari sesuatu yang bisa buktiin kalau niat mereka memang jelek."

"Oh … gitu, ya?" Taufan nyengir.

"Punya kalian mana?" Pertanyaan Solar membuat Halilintar sadar belum mengeluarkan sticky note miliknya. Tidak begitu banyak, entah ada petunjuk di dalamnya atau tidak, Halilintar sangsi, apalagi ketika Ying dan Taufan mengaku semua sticky note mereka sudah dibuang.

Solar mengetuk-ngetuk papan tulis, meminta perhatian yang lain. "Sebelum ke rencana inti, kita coba cari petunjuk dari sticky note dulu. Pasti ada polanya. Apa kalian ingat kapan dan di mana dapat sticky note itu?"

Satu dari empat remaja, hanya Yaya yang ingat, meski itu hanya sticky note terakhir yang dia dapat. Solar menghela nafas, merasa konyol sudah bertanya.

Kemudian dia mengambil spidol dan menuliskan satu susunan kata dan angka yang familiar bagi kelima remaja di sana. MG2-100. "Itu yang ada di kertasku. Pasti di sticky note kalian ada yang mirip kayak gini."

Taufan menatap langit-langit kelas, berusaha mengingat-ingat. "Punyaku MG2-070."

Kemudian Ying menyebut MG2-064, di sticky note Yaya tertulis MG2-081, dan milik Halilintar MG2-072. Apa yang mereka sebutkan satu persatu memiliki kata depan yang sama.

"Aku nggak punya ide apapun tentang hurufnya, tapi angka dua di sana bisa tetap menunjukkan angka, bisa juga pengulangan kata yang punya huruf depan yang sama. Jadi, MG2 artinya bisa aja MG yang kedua, atau berarti MGG," jelas Gempa.

"Kayak Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan sering disingkat P3K, gitu ya?" imbuh Ying.

"Bisa jadi dan bisa juga angka dua disana bisa berarti tanggal. Gerakan 30 September sering disingkat jadi G30S."

Halilintar menyela, "Tapi, nama-nama bulan nggak ada yang dimulai dari huruf G."

Ying menambahkan, "Dan penulisan tanggal di negara kita dimulai dari angka, baru bulan."

"Atau jangan-jangan angka dua maksudnya bulan kedua, bulan Februari."

"Tapi MG artinya apa dulu? Baru kita bisa simpulin angka dua itu nunjukin huruf, urutan, tanggal, atau bulan," Yaya menengahi. Bukannya dia tidak senang mereka berdiskusi begini, tetapi mereka hanya berfokus pada angkanya saja, sampai kapanpun tidak akan selesai.

Kemudian mereka semua terdiam. Ada terlalu banyak kemungkinan, sampai mereka sendiri tidak tahu mana yang paling mendekati. Keheningan itu diisi oleh gumaman Taufan mengikuti alunan lagu yang didengar melalui earphone, anak itu terlihat kurang tertarik dengan diskusi hari ini.

"Kalau tiga angka dibelakangnya gimana?" tanya Ying.

"Rasanya mirip nomor urut. 064, 070, 072, 081, dan 100. Tapi, nomor urut apa?" Gempa menimpali.

Sebuah ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya, lalu Solar mendengus. Dia ingat, setiap kali mereka mengikuti kelas tambahan di gimnasium bawah tanah, Kaizo selalu mengurutkan mereka dari mulai Ying, Taufan, Halilintar, Yaya, dan diakhiri olehnya. Siapa sangka apa yang selama ini dia anggap tidak penting ternyata saling berhubungan.

"Solar."

Panggilan itu membuat Solar tersadar dari potongan ingatan yang tiba-tiba melintas. Dia menemukan semua orang menatapnya. "Kenapa?"

"Dari tadi dipanggil-panggil, kamu diam aja."

"Angka itu nomor urut. Ingat Pak Kaizo waktu di ...," Solar menghentikan ucapannya begitu matanya bersirobok dengan Gempa. Dia berdeham. "pokoknya di situ. Dia sering ngurutin kita dari mulai Ying, padahal kalau sesuai abjad, harusnya mulai dari Halilintar."

Ying berdecak. Dia menangkap maksud Solar. "Kupikir Pak Kaizo ngasal aja."

Gempa mengangguk pelan, cukup tahu diri. Dia masih dianggap orang luar, meskipun mereka sepakat mengajaknya ikut serta. Solar dan yang lain tidak ingin Gempa tahu tentang tempat di mana Kaizo sering mengurutkan mereka—yang ternyata berdasarkan nomor-nomor itu. Mungkin dia bisa menggali informasi itu dari Halilintar dilain waktu.

Namun satu yang pasti, Kaizo tahu arti susunan huruf dan angka itu. Jika tidak, rasanya mustahil kebetulan Kaizo mengurutkan anak-anak kelas E dari angka terkecil.

"Kita belum tau arti MG2, berarti kita juga nggak bisa dapat petunjuk nomor itu nomor urut apa. Jadi, rencananya gimana?"

Solar mengurut dagu, pandangannya menerawang ke langit-langit kelas. Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Apa yang bisa mereka lakukan untuk mencari petunjuk? Kemudian pandangannya tertuju pada lukisan di dinding belakang kelas. Seketika sebuah ide melintas.

"Aku bakal bikin denah, terus nanti Gempa bikin tanda di mana orang-orang itu biasa muncul."

Gempa mengangguk setuju, diikuti yang lain. Solar melirik jam tangannya. Sebentar lagi jam istirahat berakhir. Tidak banyak waktu untuk mendiskusikan detailnya. "Kita pikirin rinciannya besok, jam istirahat kita kumpul lagi di sini."

"Kenapa bukan jam pulang? Kita punya banyak waktu di jam segitu," usul Gempa.

Para siswa kelas E saling tatap. Dalam diam mereka lebih sepakat pada usul Solar daripada Gempa, meskipun apa yang Gempa katakan lebih masuk akal. Pasalnya, mereka tidak tahu pasti kapan Kaizo akan datang ke kelas E. Setelah insiden bolos, Kaizo tak pernah lagi memberitahukan kapan dia akan datang, dan kelas tambahan itu tetap harus dirahasiakan.

Yaya terpaksa membuat berbagai alasan selepas jam pulang sekolah. Untungnya Gempa percaya saja, hal itu membuat kelima anak lain merasa lega. Tak lama kemudian dia pamit pergi, sedangkan anak-anak kelas E masih betah berada di kelasnya. Solar menulis sesuatu di buku catatannya, sedangkan Ying membantu Yaya merapikan semua sticky note yang tertempel di papan tulis sembari membacanya satu per satu. Ada beberapa kertas milik Solar yang membuat Ying penasaran. Bagaimana para pelaku tahu tentang teman Solar yang bunuh diri?

Ying berdiri di dekat Yaya, lalu berkata pelan, "Yang bunuh diri itu—"

Yaya segera memberi kode dengan menyenggol lengan Ying, membuat apa yang hendak diucapkannya terpotong. Padahal suaranya tidak terlalu keras, tetapi karena mereka hanya berlima, suaranya jadi jelas terdengar. Ying jadi ragu untuk melanjutkan, apalagi saat melihat Solar bangkit mengambil kertas-kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas secara asal.

Perubahan air muka bukan hanya terjadi pada Solar, melainkan juga pada Taufan. Kedua sudut bibirnya yang biasa melengkung ke atas, kini perlahan turun sampai membentuk garis horizontal. Tidak ada lagi binar jenaka di kedua matanya, yang tersisa hanya kumpulan awan mendung yang segera berkumpul di pelupuk mata.

"Sol, apa dia—"

"Fan," bisik Yaya seraya menggeleng pelan.

Taufan mengembuskan nafas, air mukanya berubah semakin keruh. "Sori, aku duluan."

Semua terasa canggung sepeninggal Taufan. Hanya Halilintar yang diselimuti kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. Tak tahan dengan suasana canggung, Yaya mengajak mereka semua pergi dari kelas, tetapi Solar menolak. Ada yang sedang dia kerjakan, katanya. Yaya percaya saja, tak mau banyak bertanya.

Pada akhirnya hanya mereka bertiga berjalan bersama menuju gedung dua. Sepanjang jalan, Ying menggerutu sendiri. Tangannya menepuk-nepuk mulutnya yang bicara terlalu keras, sedangkan Yaya di sampingnya mencoba menenangkan.

"Sebentar, yang bunuh diri itu siapa? Kayaknya tadi Taufan mau nanya, tapi kamu cegah," tanya Halilintar pada Yaya setelah mereka berada lumayan jauh dari kelas E.

"Namanya Duri, temannya Solar dan Taufan. Dia bunuh diri dua tahun lalu."

"Karena?"

"Aku dan Ying juga nggak tau. Itu yang mau Taufan tanyain tadi. Aku dengar kejadiannya di perempatan jalan yang nggak jauh dari sekolah dan Solar ada di sana waktu itu. Taufan pikir, mungkin Solar tau sesuatu. Tapi, abis kejadian itu, Solar nggak bisa ditemui siapa-siapa."

"Sampai nggak masuk sekolah sebulan lebih," imbuh Ying.

"Ada yang bilang dia sakit. Sekarang aku ngerti. Kita udah tau kemampuan Solar gimana, walaupun kayaknya penyebab dia sakit bukan cuma itu. Semenjak itu, orang-orang jadi canggung nyebut-nyebut nama Duri di depannya. Tiap kali nama itu disebut, dia selalu kelihatan marah, sedih, dan kadang-kadang tatapannya kosong. Sebenarnya buat Taufan pun nggak jauh beda."

Yaya menghentikan langkahnya tepat di depan tangga lantai satu gedung dua. "Nama Duri kayak ngasih luka tersendiri buat mereka."

.

Sementara itu, Taufan mengingkari ucapannya sendiri. Bukannya pergi ke kelas, kakinya justru melangkah ke UKS. Menyembunyikan diri dibalik tirai, lalu berbaring menyamping di atas salah satu dipan.

Pembicaraan tadi membuat ingatannya terbang jauh pada kejadian dua tahun lalu. Jika diberi kesempatan untuk memutar waktu, setidaknya Taufan memiliki satu keinginan yang ingin diwujudkan.

Dia ingin bisa memahami seberat apa masalah yang sedang Duri hadapi waktu itu dan dia benar-benar ingin tahu apa alasan Duri membatalkan janji untuk menonton pertandingan sepak bola bersamanya. Disaat seharusnya mereka bersorak-sorai di depan televisi sampai tenggorokan mereka sakit, tetapi yang ada malah membuat Taufan hanya bisa pasrah dilabrak tangis hingga air matanya habis, sembari merasa bodoh dan tak berguna lantaran tak tahu apapun.

Kalau sudah begini, apa masih pantas Taufan mengeklaim dirinya sendiri sebagai seorang sahabat? Bahkan Taufan sudah menganggap Duri seperti adiknya sendiri, tetapi pada kenyataannya dia tak bisa mencegah hal mengerikan itu terjadi.

Kedua matanya mulai memanas. Rasa sakit yang telah akrab perlahan menyergap. Taufan menyeka air matanya yang merembes keluar dengan kasar, sembari terus meyakinkan diri bahwa semuanya sudah terjadi. Masa lalu sudah tak bisa diubah lagi, yang bisa dia lakukan hanyalah mencegah hal serupa terjadi dikemudian hari.

Kantung celananya bergetar. Taufan merogoh ponsel dari sana. Ada satu pesan singkat dari teman sekelasnya di kelas konsentrasi, yang kemudian dia abaikan begitu saja. Taufan malah menatap lekat-lekat ruang obrolan lain dalam ponsel itu, yang dia sematkan agar tetap berada di urutan atas. Ada satu kebiasaan konyol yang selalu dia lakukan sejak dua tahun lalu. Meskipun tak pernah mendapat balasan, Taufan masih aktif mengirimkan pesan singkat untuk Blaze, kakak laki-laki Duri.

Taufan tersenyum pahit setiap kali muncul kerinduan akan kebersamaan mereka bertiga waktu itu. Dulu Taufan sering menghabiskan waktu di rumah Duri sekadar bermain game, menonton siaran langsung ataupun siaran ulang pertandingan sepak bola, dan mereka bertiga juga sering bertukar pesan dalam obrolan grup, meskipun kadang-kadang Blaze sering lambat membalas.

Namun, sejak Duri pergi, semua tak lagi sama. Pesan-pesan yang Taufan kirimkan untuk Blaze tak pernah dibaca, bahkan pesan yang dikirim dua tahun lalu tak pernah berbalas. Selain itu, semua akun media sosial milik Blaze pun hilang satu persatu, dan sosoknya juga menghilang.

Menurut sebagian mantan rekan kerjanya, Blaze tiba-tiba mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada yang bilang, dia melamar ke tempat kerja yang lebih besar, tetapi ada juga yang bilang, Blaze dan ibunya sudah pindah rumah, dan tidak ada satupun yang tahu kemana mereka pergi.

Taufan mencoba mengerti, bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan, sudah pasti saudaranya akan merasakan duka yang berkali-kali lipat lebih banyak dari apa yang Taufan rasakan. Namun, dua tahun sudah berlalu, sudah waktunya melangkah maju. Apa Blaze masih terjebak di masa lalu? Ataukah ada hal lain yang sebenarnya terjadi?

Taufan benci menjadi satu-satunya yang tak tahu apapun. Dia akan selalu membenci hal itu.

~o0o~

Gempa pikir, dia akan menjadi yang pertama datang ke kelas E, mengingat saat ini masih terlalu pagi untuk mulai beraktivitas di sekolah, tetapi rupanya Solar sudah lebih dulu ada di sana, sedang duduk berduaan dengan sebuah buku di kursinya. Dengan pelan, Gempa menutup rapat pintu di belakangnya, sembari memastikan tidak ada yang melihatnya datang.

Mendengar suara pintu ditutup, Solar segera menyudahi kegiatan membacanya. Buku itu dicampakkan begitu saja di atas meja.

Sejujurnya Solar agak terganggu dengan semua ini, karena itu dia berusaha mengalihkannya dengan membaca buku. Menurutnya, tidak seharusnya Gempa ikut terlibat dalam mencari para penulis sticky note, seperti ucapannya tempo hari, tidak perlu ada campur tangan pihak lain. Karena ini adalah masalah yang harus diselesaikan para siswa di kelasnya, bukan siswa kelas lain. Merekalah yang diganggu, bukan siswa kelas lain.

Disisi lain, Gempa punya alasan yang bagus untuk ikut campur. Andai kata Halilintar dan Gempa tidak bersaudara, Solar pasti sudah mendepaknya sejak kemarin. Sayangnya, kenyataan bahwa mereka satu keluarga membuat Solar berpikir ulang. Solar benci mengakuinya, tetapi kalau dia ada di posisi Gempa saat ini, mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama.

Helaan nafas lolos dari mulutnya, Solar berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, tetapi pertama-tama, ada satu jawaban yang ingin dia dengar.

"Buat apa cari tau informasi tentang kelas E?" tanyanya pada Gempa.

"Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan," jawab Gempa sembari mengambil salah satu topeng yang paling bisa dijangkau tangannya, lalu duduk di atas meja Yaya.

Topeng itu terbuat dari kayu yang bagian wajahnya diberi cat berwarna putih, bermata sipit, berkumis tipis dan berekspresi ceria. Kemudian Gempa memalingkan wajah pada Solar, seulas senyum terbit di wajahnya, lagi-lagi membuat Solar merasa tak nyaman.

"Aku penasaran, buat apa kelas E ada? Apa karena penghuninya bukan anak-anak biasa? Jadi diam-diam mereka diistimewain, dibuatin kelas khusus, biar bisa dipisahin dari anak-anak lain."

Kedua matanya melebar, berbanding terbalik dengan Gempa yang tampak semakin santai. Beberapa perkataan Gempa ada yang tepat sasaran, seolah sedang menegaskan bahwa dia sudah tahu garis besarnya, tidak perlu ada yang disembunyikan lagi.

Akhirnya, Solar kembali menarik nafas panjang. Pembicaraan ini tak akan berakhir sesingkat yang dia mau. "Sebelum kujawab. Apa keluargamu punya hubungan dengan Surya Farma?"

"Apa karena Surya Farma pendiri YPSP?"

"Bukan. Kebetulan latar belakang keluarga anak-anak kelas E sedikit berhubungan dengan Surya Farma, kecuali Halilintar, kayaknya."

Kedua alis Gempa mengerut dalam. Solar kembali melanjutkan. "Ayahku petinggi Surya Farma. Orang tua Yaya dan Taufan bekerja dan tinggal di kompleks yang banyak dihuni pegawai Surya Farma. Ying tinggal di panti asuhan yang dikelola Rumah Sakit Silika, rekan bisnis Surya Farma. Semua mengarah ke sana, tapi keluarga kalian nggak, atau mungkin diluar pengetahuanku keluarga kalian ternyata punya ikatan tertentu."

Kenyataan bahwa Solar diam-diam mencoba mengorek informasi tentang keluarganya membuat senyum di wajah Gempa luntur, air mukanya berubah serius. Amarah dalam dirinya perlahan memanjat naik. Sedalam apa Solar mencari tahu? Seberapa banyak informasi yang sudah dia kantongi? Pertanyaan-pertanyaan itu kini berputar-putar dalam kepalanya. Dan kalau apa yang Solar katakan itu benar, maka semua ini tidak mungkin terencana dalam satu malam. Bukan kebetulan latar belakang empat anak sekaligus ternyata berhubungan dengan Surya Farma. Kalau hanya Solar seorang, Gempa masih bisa menyebutnya kebetulan, tetapi ini?

Pertanyaannya, dari sisi mana keluarganya berhubungan dengan Surya Farma?

Papanya seorang staf di perusahaan penghasil barang-barang elektronik, sedangkan mamanya hanya ibu rumah tangga biasa. Tentunya pekerjaan mereka sangat jauh dari industri farmasi, ataupun kesehatan.

Meskipun kesal, Gempa berusaha tetap berkepala dingin. Baginya, kemarahannya tak akan menyelesaikan masalah, yang ada malah memperkeruh keadaan. Dia akan kesulitan sendiri kalau Solar sampai tak mau mengatakan semuanya, dan fakta baru yang Solar lontarkan membuat Gempa semakin yakin bahwa tindakannya sudah benar dan beralasan.

"Buat apa cari informasi tentang keluargaku?"

"Buat buktiin sesuatu. Jadi, lanjut pertanyaan tadi, apa keluarga kalian punya hubungan dengan Surya Farma? Tolong jawab jujur."

"Kalau berhubungan langsung, aku nggak tau. Tapi, kalau tentang MG2 itu—"

"Mereka tau artinya?" potong Solar.

Gempa terdiam sejenak, bingung antara tidak tahu dan ragu. Melihat bagaimana reaksi mamanya saat itu, Gempa yakin orang tuanya pasti tau. Namun, bagi mereka topik tentang MG2-072 itu sama seperti Voldemort yang tak boleh disebutkan namanya secara gamblang dan sebisa mungkin harus dihindari dalam berbagai obrolan sehari-hari. "Mamaku cuma bilang bakal kasih tau semuanya setelah aku lulus SMA."

Solar mengerang. Itu terlalu lama. Butuh waktu kurang dari tiga tahun untuk lulus, bahkan mereka belum genap satu tahun bersekolah di jenjang SMA.

"Jadi, kenapa kelas E ada?"

"Kelas itu ada atas kemauan beberapa orang, dua tahun lalu."

Tepat seperti dugaan Gempa. "Siapa mereka?"

"Giliran kamu yang jawab."

"Kita bahas satu topik dulu, baru pindah topik."

Solar menggeleng pelan. "Tukar informasi, atau nggak sama sekali. Siapa yang waktu itu bilang gitu?"

Gempa mencibir, Solar masih ingat ucapannya tempo hari. Padahal tinggal sedikit lagi. "Aku butuh informasi tentang kelas E buat ambil keputusan."

"Keputusan?"

"Keputusan buat bawa Kak Hali pergi, atau tetap di sini sampai lulus."

Tanpa sadar, Solar tersenyum getir. Pergi dari sini? Dari SMA Budi Asih? Sebuah gagasan yang terdengar seperti percikan harapan baginya, andai dia punya kesempatan yang sama. "Ide bagus, kalau kelas ini punya tujuan yang jelek, anak-anak lain—apalagi aku—nggak bisa lari kemana-mana, tapi kayaknya Halilintar memang masih bisa. Kalau keluarga kalian nggak terikat ke Surya Farma, kalian masih bisa pergi dari sini."

"Aku tau, tapi … apa masih sempat?" tanya Gempa penuh keraguan.

Solar terdiam. Dia juga tidak tahu jawabannya. Jika dia ada di posisi Halilintar, apakah semua sudah terlambat?

Lama terdiam, Gempa hampir lupa dengan jawaban yang ingin Solar dengar. Dia mengeluarkan ponselnya, menunjukkan satu foto pelaku penulis sticky note yang diambil Gempa diam-diam, karena terburu-buru, foto itu agak buram dan terlalu jauh.

"Yang ini namanya Kikita, dua orang lagi laki-laki, yang satu badannya tinggi besar, yang satu tinggi kurus, aku belum tau namanya."

"Yang laki-laki kurus aku pernah ketemu dia di Hotel Sky Palace. Kalau laki-laki yang besar, kayaknya dia yang nyerang Halilintar di tempat kemah."

"Terus Kikita bilang, kalau aku mau tau kenapa mereka nyerang kalian, kata kuncinya ada di Yayasan Pendidikan Sang Perintis. Waktu aku cari tau, ternyata YPSP ada di bawah naungan Surya Farma. Tapi menariknya, data di website YPSP nggak hitung kalian jadi siswa mereka dan website SMA Budi Asih nggak pernah nulis apapun tentang kelas E. Kamu bisa cek sendiri." Gempa menyerahkan ponselnya pada Solar. Ponsel itu tengah membuka laman situs resmi kedua institusi tersebut.

Kedua mata Solar bergulir ke kanan dan ke kiri, mencerna setiap informasi yang tersaji, lalu tangannya bergerak mengurut dahi. Terlalu fokus mencari tahu tentang latar belakang anak-anak lain membuatnya lengah pada detail kecil. Seperti apa yang dijelaskan Gempa, tidak ada satu situs pun yang menyebut-nyebut kelas E dan keberadaan lima anak di dalamnya. Seolah mereka tak pernah ada.

"Padahal kenyataannya kalian ada di sekolah ini, tapi posisi kalian kayak penumpang gelap, nggak pernah tercatat," lanjut Gempa.

"Tapi, anak-anak Buas tau kalau kelas E ada."

"Kelas E cuma kelas reguler. Selain kalian, siapa yang peduli kalau ada sesuatu di kelas itu? Tapi pertanyaannya, kalau kelas E dibentuk atas keinginan beberapa orang, aku masih nggak paham sama tujuan orang yang nyerang kalian. Apa mungkin mereka pihak yang nggak setuju kelas E dibentuk?"

"Kalau gitu harusnya mereka protes ke orang-orang yang ngebentuk kelas E, bukan malah nyerang anak-anak yang nggak tau apa-apa."

"Benar juga." Kemudian Gempa teringat sesuatu. "Solar, orang-orang itu, siapa mereka? Jangan bilang mereka juga tau kemampuan Kak Hali dari dua tahun lalu?"

"Yang aku tau, ayahku salah satunya. Cuma itu."

"Ayahmu?"

"Kalau tentang kemampuan Halilintar, kayaknya nggak mungkin mereka tau dari dua tahun lalu."

"Nggak mungkin apanya? Yang tau kemampuan Kak Hali cuma keluargaku. Kalau gitu, gimana cara mereka rencanain Kak Hali masuk ke kelas E?"

"Mana aku tau."

"Kamu yang bilang sendiri kelas E direncanakan dari dua tahun lalu, berarti bisa aja mereka juga tau lebih dari itu."

"Udah aku bilang, aku nggak tau!" Tanpa sadar intonasi suara Solar meninggi. Dia kesal setengah mati, Gempa terkesan memojokkannya hanya karena ayahnya merupakan petinggi Surya Farma, yang dicurigai sebagai akar dari masalah ini.

Begitu sadar, Solar memijat keningnya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. "Maaf, aku nggak bermaksud marah. Tentang kemampuan Halilintar, mungkin mereka baru tau pas pendaftaran, atau kapanpun itu, aku nggak punya gambaran. Karena kalau mereka udah tau dari dulu, apa semua ini bakal masuk akal? Kalian yang datang sendiri ke SMA Budi Asih, bukan lewat jalur undangan dari pihak sekolah, atau dipaksa orang lain. Beda dengan Ying, Yaya, dan Taufan. Mereka masuk ke sini lewat jalur undangan.

"Makanya tadi aku tanya apa hubungan keluarga kalian dengan Surya Farma. Kupikir mungkin diam-diam keluarga kalian berhubungan, jadi asumsiku benar. Tapi, kalau begini keadaannya, aku juga nggak punya jawabannya. Yang jelas, waktu itu aku cuma dengar ada orang yang bicara dengan ayahku. Orang itu bilang, udah waktunya mereka ngumpulin anak-anak. Awalnya aku nggak paham apa maksud mereka, tapi semenjak ada kelas E, aku curiga ini semua saling berhubungan."

"Berarti ada kemungkinan semua petinggi di sana terlibat?"

"Aku nggak yakin. Setahuku Surya Farma itu perusahaan terbuka, pemiliknya bukan cuma ayahku."

"Justru itu. Semua petinggi Surya Farma pasti terlibat, makanya mereka berusaha nyembunyiin kalian dari luar. Bayangin aja kalau pihak lain tau anak-anak kelas E punya kemampuan unik. Apa yang bakal pihak luar Surya Farma lakuin? Bisa-bisa kalian diambil dari mereka dan ditempatin di ruangan khusus buat diteliti."

Solar terkejut, benar juga. Dia mengusap wajahnya kasar. Semuanya mulai terasa sedikit jelas sekarang. Namun, Solar jadi punya keraguan lain. Maksud Surya Farma menyembunyikan mereka dari dunia luar, dengan cara membentuk kelas khusus di SMA Budi Asih, sebenarnya punya tujuan positif atau negatif?

Keduanya terdiam, kehabisan bahan untuk dibahas, tak lama kemudian bel berbunyi nyaring, pertanda jam pertama dimulai. Jam pertama adalah kelas konsentrasi, kebetulan mereka ada di kelas yang sama, Gempa mengajaknya pergi bersama, sekaligus membahas materi yang mungkin akan dibahas hari ini.

Ketika pintu kelas hendak dibuka oleh Solar, pintu itu sudah lebih dulu terbuka. Mereka menemukan Taufan berdiri di ambang pintu, dengan earphone menyumbat kedua telinga, dan satu tangannya menggenggam gagang pintu. Senyumnya mengembang sempurna dan santai seperti biasa. Tidak ada jejak kesedihan yang kemarin tercetak jelas di wajahnya.

"Hey yooo kalian berdua!" sapa Taufan kelewat riang.

.

.

.

Tbc


Halooooo Sky balik lagi ^^ berapa lama nggak update? Sebulan? Dua bulan? Maafkan, daku yang mendadak—sok—sibuk ini :'((

Oh iya, walaupun telat, aku mau mengucapkan selamat idulfitri 1443 hijriah, minal aidzin wal faidzin, taqobbalallahu minna wa minkum. Selamat beraktivitas lagi :D

Oh iya, di review kemarin ada saran tentang impending sense of doom, tadinya mau dimasukin ke bab ini, tapi karena waktu ngetik rasanya lamaaa banget, berasa nggak sampe-sampe ke cliffhanger yang aku mau, jadinya aku berubah pikiran. Kayaknya bakal keliatan hilalnya di bab selanjutnya. Tunggu aja, muehehe.

Buat fans Duri, sebelum disambit sendal, saya mau minta maaf, dan karena sekarang ini masih dalam suasana lebaran, alangkah baiknya kelakuan saya dimaafkan saja :) Soalnya kalau dipikir-pikir, Duri yang paling cocok dapat peran itu sih (ditabok)

Dah ah, segitu aja. Terima kasih udah meluangkan waktu buat baca cerita ini. Seperti biasa, kritik dan saran bisa dikirim ke kolom review. Bye!

SkyLi