Ketika pintu kelas hendak dibuka oleh Solar, pintu itu sudah lebih dulu terbuka. Mereka menemukan Taufan berdiri di ambang pintu, dengan earphone menyumbat kedua telinga, dan satu tangannya menggenggam gagang pintu. Senyumnya mengembang sempurna dan santai seperti biasa. Tidak ada jejak kesedihan yang kemarin tercetak jelas di wajahnya.
"Hey yooo kalian berdua!" sapa Taufan kelewat riang.
Gempa dan Solar berdiri mematung, lalu pandangan mereka saling beradu, seolah sedang melontarkan pertanyaan yang sama. Apa Taufan mendengar apa yang mereka bicarakan?
Sekilas Solar melihat bahu Gempa sedikit terangkat, lalu Solar berdeham ketika Taufan melangkah santai ke mejanya, mencari-cari sesuatu di kolong meja.
"Ngapain kesini?"
Taufan tak menjawab pertanyaan Solar, tetapi tangannya masih sibuk mencari-cari sesuatu, lalu wajahnya berubah semringah saat menemukan buku di kolong mejanya.
Gempa berinisiatif mendekat, tangannya mengetuk-ngetuk meja beberapa kali. Saat Taufan menoleh, tangannya ganti menunjuk telinganya sendiri. Sadar pada apa yang coba Gempa katakan, Taufan langsung melepas earphone yang masih menyumbat telinganya.
"Ada apa, Gem?"
"Ngapain kesini?" serobot Solar tak sabar.
Taufan mengernyit, lalu pandangannya mengedar ke seisi kelas. "Ini kelasku. Kenapa? Aku nggak boleh kesini?"
Gempa menepuk pundak Solar. Dia tahu Solar khawatir dan ingin cepat-cepat tahu apakah Taufan mendengar obrolan mereka atau tidak, tetapi bukan begitu caranya. Malah apa yang diucapkan Taufan ada benarnya, justru seharusnya Gempa yang mendapatkan pertanyaan itu.
Melihat mereka berdua tak lagi bicara, Taufan kembali melihat-lihat isi buku yang ditemukan sembari bertanya, "Kenapa kalian kelihatan panik?"
"Siapa? Kami nggak," jawab Solar.
"Abisnya pertanyaannya aneh. Pasti takut aku dengar rahasia kalian kan?"
"Rahasia apa?" tanya Gempa sambil tertawa kecil, pura-pura tak tahu. Sejujurnya, mendengar Taufan mengucapkan kata 'rahasia' saja sudah membuat Gempa sedikit waswas.
"Kayaknya diam-diam kalian mau kerjasama buat ngalahin Yaya dan Ying, kan? Kan? Tenang aja, aku nggak akan bilang ke mereka. Siapa tau abis itu kamu naik pangkat jadi anak Bukan Buas Biasa juga. Bosen juga aku lihat tiga orang itu-itu aja." Taufan tertawa renyah.
Gempa ikut tertawa, kali ini tampak kelegaan di wajahnya. Gempa mungkin berpikir Taufan benar-benar tidak mendengarkan obrolan mereka, tetapi Solar memilih tidak percaya omong kosong yang keluar dari mulutnya.
.
E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 14: Gugur
TW: blood
.
Solar punya alasannya sendiri ketika dia memilih tidak memercayai ucapan Taufan. Sulit baginya untuk memahami jalan pikiran anak itu, menebaknya pun tidak semudah membaca koleksi buku miliknya. Solar ingat, pernah ada satu kejadian yang melibatkan Taufan menjelang akhir tahun kedua mereka di SMP, beberapa bulan setelah kematian Duri.
Saat akhirnya Solar bisa kembali bersekolah, rumor tentang dirinya yang berada di lokasi kejadian sudah menyebar. Beberapa anak dari klub mading dan anak-anak lain—termasuk Taufan—yang penasaran selalu menanyakan kejadian itu setiap ada kesempatan.
Solar yang berusaha mengubur kenangan buruk itu seolah dipaksa mengingatnya setiap hari. Hingga akhirnya di hari ketujuh, dia sudah tak tahan lagi. Di depan kelas, di depan semua anak, Solar menumpahkan segalanya. Kesedihan, kemarahan, dan penyesalan tumpah ruah seperti air bendungan yang jebol dari tanggulnya. Setelah itu, tidak ada lagi yang bertanya, tidak ada lagi yang mengganggu, dan tidak ada lagi yang menyebut-nyebut nama Duri.
Solar mengira seterusnya akan terasa damai. Namun, mendekati ujian akhir semester, yang terjadi malah sebaliknya.
Disaat semua siswa mulai fokus untuk persiapan ujian, sibuk mengkhawatirkan nilai, Taufan kedapatan menyebarkan soal dan kunci jawaban ujian akhir semester kepada para siswa secara acak, dengan alasan yang menurut Solar benar-benar di luar akal sehat.
"Biar semua anak kelihatan sepintar Solar, masa dia aja yang pintar, mentang-mentang ayahnya orang penting di Surya Farma," ucap Taufan saat diinterogasi pihak sekolah. Perkataan itu menyebar seperti virus ketika ada beberapa siswa yang sengaja menguping dari ruang guru.
Ujian akhir semester terpaksa diundur lantaran soal dan kunci jawaban hampir tersebar ke seluruh penghuni sekolah, semua guru panik dan berupaya keras memperbaiki situasi. Taufan diskors selama beberapa hari dan Solar juga turut terkena imbasnya. Sejak saat itu, Solar dituduh selalu mendapat kunci jawaban sebelum ujian, yang membuat nilai-nilai ujiannya diragukan. Lebih parahnya lagi, hal itu dijadikan bahan olok-olok di kalangan siswa, meskipun pada awalnya mereka tidak berani terang-terangan.
Bosan dengan olok-olok mereka yang narasinya itu-itu saja, Solar pernah sengaja menerjunkan nilainya sendiri agar mereka merasa puas dan tak lagi mengusiknya. Namun, itu hanya terjadi sekali, karena setelahnya Solar harus menghadapi kemarahan ayahnya.
Bercermin dari masa lalu, rasanya mustahil Solar tak punya prasangka buruk. Dan semua kekhawatirannya bermuara pada dugaan kalau-kalau Taufan mendengar pembicaraannya dengan Gempa, lalu sewaktu-waktu dia bisa saja menyebarkan apa yang didengar ke seluruh penghuni sekolah. Bagaimana Solar menghadapi amukan ayahnya nanti?
"Keliatannya pusing amat, Sol. Kayak belum bayar utang aja," celetuk Taufan sambil cengengesan. Dia mengambil tempat duduk tepat di depan Solar.
Celetukan itu mengembalikan Solar pada kenyataan. Solar menghela nafas panjang.
Sesuai kesepakatan, pada jam istirahat, mereka kembali berkumpul di ruang kelas E. Dua meja kembali disatukan membentuk persegi panjang. Halilintar dan Gempa datang tak lama kemudian. Solar membentangkan kertas A3 di atas meja setelah Ying dan Yaya tiba.
Kertas itu berisi peta sekolah yang Solar buat. Beberapa bangunan penting ditandai dengan spidol merah. Seperti gedung satu, gedung dua, gedung yayasan, Sport Centre, dan wilayah Extre. Setelah itu, Gempa mulai menandai titik-titik di mana dia pernah bertemu dengan para pelaku. Titik-titik itu ditandai dengan spidol biru. Ada beberapa tempat yang ditandai, salah satunya gerbang belakang yang jarang terjamah dan beberapa gang kecil tak jauh dari gerbang utama.
Menurut Gempa, pelakunya biasa muncul saat jam pulang sekolah, tetapi kadang juga sekitar jam empat sampai jam lima sore. Meskipun begitu, jika mengacu pada rekaman suara yang Gempa punya, maka sebenarnya tidak ada kepastian mereka akan muncul di waktu tersebut. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Melihat banyaknya titik yang ditandai, Yaya mengusulkan pembentukan tim. Ini akan memudahkan mereka menjangkau beberapa tempat di saat yang bersamaan. Semua setuju-setuju saja dengan usulan itu. Masalahnya …
"Tim satu: aku, Gempa, dan Taufan. Sisanya tim dua," usul Solar.
"Di sini ada dua perempuan. Bagi rata," bantah Halilintar.
Taufan mengangguk-angguk setuju. "Nah, betul tuh. Lagian aku nggak mau satu tim sama dia." Jari telunjuknya tahu-tahu terarah ke wajah Solar.
Solar hampir saja tersulut kalau Yaya tidak segera menginterupsi. "Begini aja, tim satu: Solar, Gempa dan aku. Kami bakal pantau area sekitar gerbang belakang, dan ruang kelas E. Sisanya, pantau area sekitar gerbang depan. Kalau ada apa-apa, Ying dan Halilintar bisa ngejar mereka."
"Terus aku tugasnya apa?"
Betul juga. Yaya hampir lupa keberadaan Taufan. "Kamu bagian komunikasi."
Awalnya Taufan agak ragu, tetapi kemudian dia menurut saja.
Untuk cara berkomunikasi, mereka sepakat menggunakan panggilan telepon, setidaknya salah satu diantara anggota tim bertugas menginformasikan situasi. Awalnya Solar menyarankan agar menggunakan handy talkie untuk bertukar informasi, tetapi ketika dipikir lagi, di antara mereka tidak ada yang memiliki benda itu, dan terlalu berisiko kalau mau menggunakan handy talkie yang ada di gimnasium.
"Gimana kalau kita bikin kode? Biar lebih singkat," usul Taufan. "Kayak di film-film agen rahasia."
"Kode kayak gimana?"
"Bebas. Kalau di film, ada yang pakai angka, ada yang pakai warna, malahan ada yang pakai kode nama juga."
Solar tampak berpikir lama. Apa kode angka, warna, atau kode nama itu perlu? Mereka hanya ingin membuktikan sesuatu bukan sedang menangkap penjahat. Solar merasa saran Taufan sedikit berlebihan.
"Nggak usah. Nggak perlu."
"Tapi ini penting, Sol. Biar lebih efisien."
"Nggak usah. Kita nggak butuh itu. Yang penting kita stay di posisi yang udah direncanain, alat komunikasi lancar, dan kompak. Itu udah cukup."
Tak urung air muka Taufan berubah cemberut saat sarannya ditolak, meski begitu dia tak banyak protes. Setelah merasa tidak ada usul lain, Yaya mengulang rencana mereka sebagai konfirmasi, agar tak ada yang terlewat.
Namun, ada hal lain yang tak terduga.
Keesokan harinya, ada satu pengumuman yang keluar dari pengeras suara, berisi tentang kegiatan ekstrakurikuler hari ini yang diliburkan sementara, semua guru akan hadir dalam rapat selepas jam pulang sekolah, dan para siswa yang tak punya kepentingan di sekolah diminta pulang.
"Jadi gimana?" Gempa muncul dari tangga gedung satu, sepertinya tergesa-gesa turun setelah mendengar pengumuman itu.
Yaya, Halilintar, dan Taufan yang berdiri tak jauh dari tangga hanya diam. Pengumuman hari ini di luar rencana mereka. Awalnya mereka berencana menggunakan ekstrakurikuler sebagai alasan berlama-lama di sekolah. Kalau begini, mau tak mau mereka harus mencari alasan lain.
Dari belakang terdengar suara langkah kaki mengetuk-ngetuk lantai. Kepala sekolah muncul dari pintu utama gedung satu, mengenakan blus hitam dengan rok hitam selutut dan sepatu berhak tinggi berwarna senada. Seperti mau ke pemakaman, celetuk Taufan yang langsung dihadiahi pelototan Yaya.
Alih-alih mendekat, atau memberi salam, keempatnya hanya mengangguk sopan saat kepala sekolah melintas tak jauh dari mereka, lalu wanita itu menghentikan langkah tak jauh dari mereka. Beberapa anak yang berada tak jauh darinya menjabat tangan sembari bertanya satu dua hal. Kemudian kalimat itu terlontar, "Kalian pulang sekolah langsung pulang ke rumah ya."
Setelah kepergian kepala sekolah, Taufan meniru ucapannya dengan mimik wajah dibuat-buat. "Kiliin piling sikilih—aw!"
"Fan, nggak boleh gitu, kamu kenapa sih?"
"Maaf," ucapnya sambil mengusap pundaknya yang menjadi sasaran empuk tabokan Yaya. "Dah lah, aku mau ngerjain PR. Kita bahas lagi nanti jam istirahat aja."
Yaya menatap punggung Taufan dalam diam. Tidak biasanya Taufan bersikap tak sopan pada orang lain, apalagi pada orang yang lebih tua, kecuali dia ikut kesal, atau kehilangan rasa hormatnya pada orang tersebut. Namun, apa yang membuat Taufan bersikap begitu pada kepala sekolah?
~o0o~
Alas sepatu Ying mengetuk-ngetuk lantai dengan suara pelan dan cepat, tanpa sadar mulutnya mencoba menggigit ujung kuku jari telunjuk. Ketika pandangannya bersirobok dengan Yaya, Ying mengalihkan pandangannya.
Waktu istirahat tinggal sisa separuh lagi, jam dinding yang terus berdetik dan suara ujung pulpen yang mengetuk-ngetuk kepala Solar seolah memberi tekanan tersendiri. Ying dan teman-temannya kembali berkumpul di kelas E. Pengumuman itu memaksa mereka mengubah rencana yang telah disusun kemari. Namun, setelah semalam suntuk memikirkannya, nun jauh di dalam lubuk hatinya, Ying punya pendapat sendiri. Dia tak yakin teman-temannya akan setuju, tetapi kalau tidak sekarang, Ying rasa tak akan ada lagi kesempatan untuk mengatakan semua itu.
Ying mengatur nafasnya sebelum berbicara. Perasaan gugup sempat menyergapnya dalam diam.
"Gimana kalau kita batalin aja rencana ini?" Ucapan Ying membuat kelima anak lain serempak menoleh padanya, terutama Solar yang langsung memicingkan mata. "Aku ngerasa harusnya kita nggak nyari-nyari mereka."
Solar memutar kedua bola matanya, "Berapa kali aku bilang, kita bukan mau tangkap pelakunya. Kita cuma—"
"Aku tau, tapi ini sama aja, Solar. Kalau kita ketemu mereka, emangnya mereka bakal baik sama kita? Terus mereka ngajak kita ngopi sambil nanya-nanya ada keperluan apa? Kan nggak mungkin gitu."
Gempa yang duduk di samping Taufan seketika terbatuk.
"Lebih bahaya lagi kalau kita cuma diam aja."
"Ini bukan soal diam aja atau nggak. Pihak sekolah pasti tau apa yang kamu, Yaya, dan Halilintar alamin. Mereka nggak mungkin diam aja."
"Pihak sekolah siapa? Pak Kaizo? Kamu percaya sama orang itu?" Solar tersenyum remeh, pandangannya beralih pada Gempa. "Coba kasih tau dia rekaman itu, Gem."
"Rekaman?" tanya Halilintar.
Seketika Gempa gelisah, tatapan yang dilayangkan pada Solar seolah memberi kode kalau dia menolak, tetapi Solar tak peduli. Dia seolah melempar bom ke tengah-tengah mereka dan Gempa tak bisa menghindarinya. Kemudian Gempa mengeluarkan ponselnya dan dengan hati-hati dia hanya memutar bagian penting dari rekaman itu.
Senyum kemenangan terbit di wajah Solar setelah rekaman itu berakhir. "Masih mau percaya pihak sekolah?"
"Terus pengumuman tadi gimana? Emangnya nggak bisa ditunda dulu?"
"Mau ditunda sampai kapan? Sampai salah satu dari kita ada yang jadi korban?"
"Bukan gitu."
"Terus apa, Ying? Justru bagus, kan? Keadaan makin sepi, peluang mereka muncul bakal lebih gede. Tinggal kita pintar-pintar bikin rencana biar nggak ketahuan pihak sekolah aja."
"Tapi Sol …,"
"Panas, ya?" bisik Taufan pada Gempa yang duduk di sampingnya, bahkan dia mengipasi badannya memakai buku.
Melihat perdebatan yang tiada ujungnya, Solar kemudian membuang nafas panjang. Ini harus segera diakhiri atau mereka akan terus berdebat sampai besok pagi. "Gini aja. Kalau kamu nggak mau ikut, bilang aja terus terang, nggak usah pakai banyak alasan. Nggak ada yang maksa ikut. Ini berlaku juga buat kalian semua."
"Lah, katanya kita harus kompak?" sahut Taufan.
"Kompak itu pas kita jalanin rencana, kalau belum apa-apa udah ada yang setengah hati, mendingan nggak usah ikut sekalian, daripada jadi beban buat yang lain."
Ying meremas rok sekolahnya. Sejujurnya, kalimat terakhir Solar agak menyinggung perasaanya. "Ok, aku nggak ikut. Good luck!" Ying bangkit berdiri, lalu mencangklong tas di pundaknya sebelum pergi.
Yaya sempat ragu untuk beberapa saat, tetapi akhirnya dia menyusul Ying Pergi dari kelas E.
"Sadis pemirsa," komentar Taufan selepas Ying dan Yaya pergi.
"Kalau gitu kelompoknya nggak berubah. Kita bisa pakai kelas konsentrasi buat jadi alasan, kerja sama ngerjain PR, diskusi kelompok, atau apapun itu," ucap Solar kemudian, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Halilintar dan Taufan mengangguk pelan, masuk akal. Hanya ekstrakurikuler yang diliburkan, berarti aktivitas lain boleh-boleh saja.
"Tapi kalau kita diusir gimana? Maksudku, mereka bisa bilang kerja kelompok bisa dilakukan di rumah, misalnya. Tapi, kalau kita cuma di perpustakaan, kita nggak bakal dapat apa-apa," ucap Gempa.
"Harus gantian."
"Gantian? Kita kan mau pakai alasan kelas konsentrasi?"
"Mungkin maksud Halilintar begini, Fan. Kita bisa ganti posisi. Soalnya kita nggak bisa terlalu lama ada di satu tempat, jadi pilihannya cuma ganti posisi. Misalnya aku dan Gempa tadinya di gerbang belakang, bisa tukar dengan posisi kalian yang di gerbang depan," jelas Solar panjang lebar.
Taufan mengangguk-angguk, dia mengerti sekarang, tetapi kemudian dia teringat sesuatu. "Kalau CCTV gimana? Ada CCTV di setiap lorong, di depan gedung, belum lagi di gerbang depan ada satpam. CCTV biasanya ada yang ngawasin kan?"
Solar kembali mengetuk-ngetuk kepalanya dengan ujung pulpen, temponya lebih cepat dari sebelumnya. Dia sedikit kesal baru menyadarinya sekarang, tetapi waktu diskusi semakin tipis. Tak ada waktu lagi. "Udahlah, itu kita pikirin nanti."
"Berarti cuma itu aja?" tanya Gempa.
"Iya. Jadi siapa yang mau jaga di gerbang depan duluan?"
~o0o~
Pukul lima sore, tak jauh dari gazebo gedung satu, Taufan terus mengganti posisi duduknya setiap lima menit sekali. Buku yang ada di genggaman tangannya sudah tergeletak di dekat kaki. Masa bodoh dengan rencana ini. Dia sudah hilang semangat.
Setengah jam yang lalu, Solar dan Gempa meminta tukar posisi. Pada Awalnya Halilintar dan Taufan ditempatkan di gerbang belakang. Kata Solar, kemampuan Halilintar dalam berlari sangat berguna seandainya pelakunya muncul di sana. Ide yang masuk akal, tetapi selama mereka berada di sana, tidak ada hal menarik yang terjadi. Semuanya tampak membosankan, ditambah Halilintar yang memasang wajah masam hampir sepanjang waktu, membuat semua itu rasanya makin buruk saja bagi Taufan.
Kali ini Taufan duduk berpangku wajah. "Mau pulang."
Halilintar hanya mengangguk lemah, sudah terlalu malas menggerakkan bibir.
"Gempa suka mukul orang nggak?" Pertanyaan itu dibalas gelengan kepala. "Bagus. Kalau kita pulang sekarang, kita cuma bakal dihajar sama satu orang. Solar doang sih bukan masalah."
Halilintar setuju, mudah baginya untuk membujuk Gempa, adiknya bisa dibujuk dengan komik terbaru, sedangkan kalau Solar mengamuk, dia hanya tinggal mengatakan semua ini ide Taufan. Maka semua beres.
Taufan berdiri, tak lupa membersihkan celananya dari debu yang menempel, lalu mencangklong tas miliknya. Halilintar mengikutinya di belakang.
Selama berjalan pulang, Taufan sempat-sempatnya menyapa satu dua petugas keamanan yang sedang berpatroli. Halilintar tak begitu fokus mendengarkan. Mendekati gedung yayasan, matanya justru menangkap sosok lain yang muncul. Sosok berpakaian serba hitam yang melompati pagar yang tak jauh dari gedung yayasan.
Halilintar menarik Taufan untuk bersembunyi di balik tembok. Dia menunjuk apa yang dilihat sebelum Taufan sempat protes.
"Kejar?"
"Kabari yang lain dulu."
Taufan mengawasi keadaan, sementara Halilintar mencoba menghubungi Gempa. Saat sambungan telepon tersambung, dia langsung menjelaskan penemuannya pada Gempa dan Solar di ujung sana. Selain itu, Halilintar juga meminta mereka datang.
"Maaf, Kak. Kita nggak bisa. Ada yang datang dari gerbang belakang. Laki-laki, badannya kurus. Dia lagi jalan ke gedung dua. Yang kalian temuin perempuan atau laki-laki?"
"Nggak lihat mukanya."
"Ya udah. nanti kita saling kabari gimana hasilnya."
"Ok, hati-hati."
"Gimana?" tanya Taufan.
"Nggak bisa. Ada yang datang dari gerbang belakang. Laki-laki, badannya kurus."
Taufan mengangguk-angguk. Itu artinya yang akan mereka amati sekarang adalah seorang perempuan. Karena beberapa menit sebelum menjalankan rencana ini, Gempa memberitahu bahwa pelakunya ada tiga orang, satu perempuan, dua laki-laki dengan postur yang berbeda. Satu kurus, satu lagi berbadan besar. Dari yang mereka lihat, orang itu memiliki badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu besar.
Taufan mengikuti orang itu, Halilintar mengekor di belakangnya, tak lupa mereka tetap mengatur jarak aman. Keduanya sempat mengernyit saat melihat orang itu mengambil sesuatu dari pot tanaman hias yang ada di koridor menuju extre. Taufan bertanya tentang apa yang diambil orang itu, tetapi Halilintar juga tak punya jawaban pasti.
Mereka kembali melangkah dalam keadaan bingung, lalu orang itu berbelok ke samping bangunan Extre. Taufan menduga, orang itu berencana menuju bagian belakang gedung dan entah mau melakukan apa. Mereka berdua tetap mengikuti, sampai tiba saatnya mereka berbelok, wajah Taufan langsung terkena serpihan tanah, sebagian kecilnya berhasil masuk ke mata.
Rupanya orang itu sadar telah diikuti sedari tadi dan mengambil segenggam tanah dari pot untuk menghentikan mereka. Beruntung, Halilintar yang berjalan di belakang berhasil menghindar.
"Fan—"
"Cepat kejar sana! Nanti aku nyusul."
Tak menyia-nyiakan kesempatan, Halilintar langsung melesat seperti anak panah. Benar dugaan Taufan, orang itu pergi menuju bagian belakang Extre, lalu berlari ke arah pertama kali dia datang; gerbang utama. Orang itu berniat kabur!
Dengan kemampuan yang dia punya, Halilintar berusaha mempersempit jarak. Berkali-kali tangannya hampir berhasil menarik tudung jaket orang itu, tetapi orang itu pandai berkelit.
Dari belakang, Taufan berteriak. "Nunduk!"
Halilintar menunduk. Bersamaan dengan itu, sebuah bola tenis yang sudah rusak terlempar mengenai punggung orang itu, membuat kecepatan larinya menurun, dengan begitu Halilintar bisa mudah menarik tudung orang itu hingga pemiliknya jatuh telentang. Saat itulah dia melihat wajah dari sosok yang dia kira sebagai perempuan, ternyata seorang laki-laki.
Halilintar diam membeku dan membiarkan orang itu melarikan diri.
Tak lama kemudian Taufan tiba dengan nafas putus-putus, tangannya bertumpu pada kedua lutut. Saat nafasnya sudah mulai beraturan, dia menarik kerah baju Halilintar, dan berteriak, "Kenapa dibiarin pergi?!"
"Ada yang salah."
"Apanya yang salah?!"
Namun, Halilintar bergeming. Dia masih berusaha mencerna semuanya. Kalau tadi Gempa mengatakan, yang sedang dibuntuti olehnya adalah laki-laki berbadan kurus, lalu siapa laki-laki yang tadi Halilintar kejar? Mungkinkah dia mengejar orang yang salah? Ataukah Gempa dan Solar lah yang bertemu dengan orang yang salah? Atau jangan-jangan ada satu pelaku lagi yang tidak mereka ketahui?
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Rasanya kepalanya mulai berkabut, bahkan dia tak bisa mendengar suara Taufan dengan benar. Dia hanya jelas mendengar kata telepon dalam kalimat yang diucapkan Taufan.
Halilintar melepaskan tangan Taufan yang menarik kerah bajunya, tak peduli Taufan meringis karena terkena sentuhannya. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku untuk menghubungi Gempa, tetapi nihil. Baik ponsel Gempa maupun Solar tidak ada yang aktif.
Halilintar segera melangkah mundur, berlari ke arah sebaliknya, teriakan-teriakan Taufan di belakangnya tak dihiraukan, dia pasti kegirangan melihat apa yang dilakukan Halilintar sekarang.
SMA Budi Asih lebih sepi dari biasanya, hampir tidak ada lagi siswa yang beraktivitas di sana, kecuali beberapa siswa yang masih punya urusan di sekolah, termasuk Halilintar. Seharusnya mudah baginya untuk menemukan Gempa dan Solar. Namun, batang hidung keduanya tidak juga muncul di mana pun.
Satu-satunya petunjuk yang Halilintar punya adalah mereka sedang menuju gedung dua beberapa saat yang lalu, setelah itu dia tak tahu lagi apa yang terjadi.
Gedung dua pun terlihat lengang seperti makhluk yang tengah beristirahat dari aktivitas rutinnya, tenang dan sunyi. Benarkah mereka ada di sini? Namun, jika Halilintar tak memastikannya sendiri, dia tidak akan pernah tahu.
Lantai satu dan dua sudah Halilintar telusuri. Nama keduanya tak henti-hentinya meluncur dari mulutnya, tetapi nihil. Panggilannya tak berbalas, pun tak tampak keberadaan mereka di sini.
Baru saja hendak melewati anak tangga menuju lantai tiga, samar-samar Halilintar melihat ada sesuatu yang aneh dari bayangan jendela yang memantul di lantai. Seperti ada sesuatu yang meluncur ke bawah. Namun, saat dia menoleh pada jendela tersebut, tak tampak sesuatu yang aneh. Mendadak meremang bulu kuduknya. Sebentar lagi akan masuk waktu magrib, mungkinkah makhluk penghuni gedung dua ingin menunjukkan eksistensi mereka?
Halilintar mengusir pikiran itu jauh-jauh, bukan saatnya untuk takut. Ada sesuatu yang lebih penting. Halilintar kembali melanjutkan, tetapi tak lama kemudian ponselnya menjerit. Nama Taufan tertera di layar ponsel. Halilintar menerima panggilan itu sembari terus beranjak naik.
"Cepat turun!" perintah Taufan dari seberang sana.
"Kenapa?"
"Pokoknya turun."
"Iya, kenapa?"
"Gempa jatuh dari atas."
Halilintar hampir jatuh tergelincir kalau saja tangannya tidak cepat-cepat meraih susuran tangga. Tidak, dia pasti salah dengar. "Jangan bercanda, Fan!"
"Cepat turun kalau nggak percaya!"
Sambungan telepon itu diputus sepihak bersamaan dengan debaran jantungnya yang semakin cepat. Ini pasti tidak benar. Taufan pasti sedang mengerjainya karena kesal ditinggal pergi begitu saja. Tabiatnya memang senang bercanda.
Namun saat keluar dari pintu utama, Halilintar melihat kerumunan di depan taman gedung dua, kerumunan itu terdiri dari Taufan dan beberapa petugas keamanan, ada pula beberapa siswa dengan warna dasi beragam. Ketika mereka melihat kedatangan Halilintar, beberapa diantaranya menggumamkan segala bentuk ungkapan rasa kasihan sambil membuka jalan untuknya, ada pula yang memilih menjauh dengan wajah ngeri sambil membicarakan darah, bahkan Taufan langsung memalingkan wajah.
Melalui taman itu, Halilintar seolah diingatkan pada apa yang pernah terjadi bertahun-tahun silam. Saat itu, Halilintar masih kelas satu sekolah dasar, satu sekolah dengan Gempa. Penolakan demi penolakan yang diterimanya saat itu membuatnya merasa tak suka pada dirinya sendiri. Meskipun begitu, ada satu hal yang membuat Halilintar tenang, setidaknya keluarganya tak berpikir demikian, keluarganya masih bisa menerima keberadaanya.
Namun ada ucapan Gempa yang tak sengaja didengar Halilintar tak lama setelah teman-teman satu kelas kompak menolak kehadirannya. Entah Gempa masih mengingatnya atau tidak, dia pernah mengatakan, sebenarnya Gempa tak suka Halilintar ada di sampingnya, sebab teman-temannya tak mau bermain bersamanya kalau ada sang kakak.
Ucapan Gempa seolah memberikan pukulan telak baginya. Hanya satu yang dipikirkan Halilintar saat itu. Dia ingin berlari sejauh mungkin, ingin bersembunyi, dan berharap dia tak pernah mendengar ucapan itu keluar dari mulut adiknya sendiri.
Karena itu, untuk pertama kalinya Halilintar bolos sekolah. Halilintar pikir tak akan ada yang mau repot-repot menyadari dirinya yang absen di sekolah. Dia nekat menaiki kendaraan umum yang entah akan berhenti di mana dan berakhir tak ingat jalan pulang.
Beruntung, Halilintar bertemu remaja laki-laki bernama Kak I, Halilintar tak begitu ingat mengapa dia memanggilnya begitu. Yang jelas, Kak I bersedia mengantarnya pulang. Itu pun karena paksaan pria lain yang menemukannya. Rupanya hari itu mereka berdua sama-sama bolos sekolah.
Sebenarnya Halilintar agak takut dengan Kak I, dia punya sepasang mata yang tajam di balik kelopak matanya yang agak sipit, sudut bibirnya lebam, luka goresan di pipi, dan seragam sekolah yang kotor oleh jejak sepatu dan bernoda bercak merah tua. Tampilan luarnya tampak seperti remaja yang senang berkelahi. Karena itu Halilintar menurut saja saat diajak pulang, walaupun pada awalnya dia tak mau. Alasannya, Halilintar takut dipukul olehnya.
"Fokus saja pada orang-orang yang bisa menerimamu, memangnya kenapa kalau berbeda? Kalau tetap tak mau menerima kelebihanmu, hajar saja mereka satu per satu," kata Kak I dalam perjalanan pulang.
Halilintar meringis, mana mungkin dia menghajar orang satu kelas. Sisi baiknya, perkataan itu membuat Halilintar tak bisa membenci Gempa. Ucapan Gempa memang sesuai dengan kenyataan. Tetapi saat dia pulang bukan hanya mamanya yang menangis saat bertemu dengannya, Gempa juga. Perkataannya memang menyakitkan, tetapi Gempa masih peduli padanya, Gempa masih bisa menerimanya.
Saat itu Halilintar berpikir, mungkin dia hanya perlu sedikit menarik diri. Supaya sang adik bisa bermain dengan teman-temannya.
Hari ini, Halilintar seolah merasakan hal itu lagi. Sebagian dari dirinya ingin lari, sembari terus meyakinkan diri bahwa semua ini tidak nyata. Namun, kedua kakinya berkhianat. Bukannya menjauh, malah berjalan mendekat. Semakin dekat, semakin terlihat bahwa sosok yang terbaring di rerumputan adalah adiknya.
Melihat keadaan adiknya, Halilintar seolah lupa caranya bernafas. Darah keluar dari hidung dan mulutnya seperti orang berkumur-kumur. Kelopak matanya menggantung, cahaya matanya semakin redup, dan menatap kosong ke atas.
"Gempa?"
Panggilannya tak mendapat respons. Tangan Halilintar yang menyentuh kepala adiknya terasa hangat dan basah. Halilintar melihat sendiri telapak tangannya dipenuhi darah segar, juga darah itu mengalir ke sela-sela jarinya.
Saat cairan merah kental yang hangat melekat di telapak tangannya, saat bau amis darah menusuk-nusuk hidungnya, saat itulah Halilintar ditampar keras oleh kenyataan. Ini bukan hanya mimpi, tetapi mimpi buruk yang nyata.
Kepalanya lagi-lagi terasa berkabut. Suara ribut di belakangnya tak lagi terdengar jelas. Tak peduli apa yang sedang mereka bicarakan, Halilintar hanya ingin berteriak.
~o0o~
"Pak Kaizo, bukannya Anda ada urusan lain?" tanya kepala sekolah di tengah-tengah rapat sore itu.
Biasanya para guru akan melakukan diskusi menggunakan fasilitas ruang rapat yang ada di gedung yayasan. Namun, menurut kabar yang diterima, alat-alat penunjang di sana sedang dalam perbaikan, sehingga kepala sekolah terpaksa menyewa satu unit ruang rapat di Hotel Sky Palace untuk diskusi kali ini.
"Tidak ada."
"Tadi saya tidak sengaja dengar Anda ada urusan dengan anak-anak kelas E." Kepala sekolah tersenyum tawar, diam-diam tangannya terangkat sampai dekat daun telinga, dan dengan gerakan cepat ibu jari dan kelingking teracung, lalu bergoyang-goyang sebentar sebelum tangan itu bergerak menyentuh rambut. Tidak banyak yang melihat apa yang dilakukan kepala sekolah, hampir semua guru sedang sibuk membaca dokumen di depan mereka.
Kaizo paham, kode itu artinya dia harus memeriksa ponselnya. Kepala sekolah tahu bahwa Kaizo jarang menyentuh ponsel bila tidak dibutuhkan dan suka membiarkan ponselnya teronggok di laci meja, atau di tas dalam mode senyap. Kaizo mengambil ponselnya dan mendapati ada satu pesan masuk dari kepala sekolah di sana.
'Temui anak-anak kelas E.'
Sekali lagi, Kaizo melihat kode dari kepala sekolah yang menyuruhnya keluar dari ruangan itu. Kaizo segera berpamitan dan keluar dari ruang rapat menuju mobilnya yang terparkir di basement Hotel Sky Palace.
Sesampainya di pelataran SMA Budi Asih, Kaizo dibuat mengernyit oleh petugas keamanan yang tampak panik berlarian ke sana ke sini. Ada anak yang jatuh dari atap gedung dua, ucap salah satu petugas keamanan yang berhasil ditanyai.
Kaizo langsung mengikuti mereka di belakang. Inikah yang dimaksud kepala sekolah? Ada sesuatu yang menimpa anak-anak yang ada di bawah pengawasannya. Namun, sesampainya di tempat kejadian, yang terjadi di luar dugaannya. Dia melihat Halilintar yang memeluk Gempa yang berdarah-darah, dan orang-orang di sekelilingnya hanya menonton saja, termasuk Taufan, tetapi Kaizo tak melihat tiga anak didiknya di sana.
"Kenapa cuma diam saja, panggil ambulans!"
"Sudah, Pak. Tapi masih dalam perjalanan."
"Pak Kaizo? Kenapa ada di sini?"
"Bantu bawa Gempa ke mobil saya sekarang. Terlalu lama kalau mau menunggu ambulans datang," pintanya pada petugas keamanan, tanpa mempedulikan pertanyaan Taufan. Selesai memberi arahan, barulah Kaizo berhadapan dengan Taufan yang melempar tatapan menyelidik, seolah-olah tidak seharusnya Kaizo ada di sini.
"Mana teman-temanmu yang lain?"
"Yaya dan Ying udah pulang. Kalau Solar …," Taufan menghentikan ucapannya, dia baru sadar, sejak melihat Gempa jatuh, dia sama sekali belum melihat Solar.
"Cari Solar."
"Tapi, Pak … saya—"
Tangan Kaizo mencengkram lengan Taufan kuat-kuat, matanya menyorot tajam. "Cari Solar sekarang! Kita butuh penjelasannya!"
Taufan sebenarnya enggan, tetapi situasi tidak menguntungkan, apalagi tatapan Kaizo membuatnya takut. Baru kali ini dia melihat tatapan semarah itu, meskipun Kaizo terkenal dengan ketegasannya. Lagipula wali kelasnya benar, mereka semua butuh penjelasan dan Solar merupakan satu-satunya kunci bagaimana semua ini bisa terjadi.
Taufan mengangguk lemah sebelum masuk ke dalam gedung. Dua orang petugas keamanan yang berjaga di depan gedung segera menyingkir begitu tahu Kaizo yang menyuruhnya.
Pintu atap terbuka lebar saat Taufan sampai di sana, lalu dia menemukan Solar terbaring sendirian. Taufan juga melihat meja dan kursi yang tak terpakai tampak berantakan, seolah telah terjadi keributan di sana. Panik, Taufan segera menghampiri Solar. Saat memeriksa keadaannya, ada beberapa lebam di wajah dan bekas kemerahan pergelangan tangan Solar.
"Solar! Bangun!"
Solar tak merespons. Selain memanggilnya, Taufan juga mengguncang-guncang tubuh Solar, menepuk-nepuk wajahnya, tetapi usaha Taufan tak juga bisa mengembalikan kesadaran Solar.
Gantian Taufan yang mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Kenapa jadi begini?"
.
.
.
Tbc
Yuhuuu, aku kembali, dan akhirnya bagian yang aku tunggu-tunggu selama ini jadi juga :v dan meskipun telat, aku juga mau mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin ^^
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Seperti biasa, kalau ada kritik, saran, atau tanggapan bisa dikirimkan ke kolom review.
Sampai nanti,
SkyLi
