E Class
Story by Sky Liberflux
BoBoiBoy sepenuhnya milik Monsta
Bab 17: Variabel yang Tidak Diprediksi
Tw: suicide, death character.
.
Ayuyu menghembuskan nafas. Beberapa menit kebelakang tarikan nafasnya terasa lebih berat, juga denting suara jam terdengar lebih menyebalkan. Waktu seolah tak mengizinkannya berpikir lebih lama. Karena apapun pilihan yang dia buat pada akhirnya akan tetap menyeretnya dalam masalah besar.
Benar. Ayuyu adalah orang yang merencanakan semua itu. Dia memiliki alasan dibalik tindakannya.
Pada awalnya Ayuyu tak pernah berpikir akan melakukan cara kotor semacam itu, dia hanya membuat semacam antisipasi sebagai jalan terakhir jika keadaan tidak berjalan sesuai keinginannya. Anggap saja sebagai exit plan.
Halilintar tak boleh pergi dari SMA Budi Asih.
Itu ultimatum yang diterimanya saat pertama kali mendapatkan data diri Halilintar, dan orang tua Halilintar mengancam akan memindahkan anak itu ke sekolah lain membuatnya harus mengambil langkah ini.
Orang tua Halilintar berada di luar kendali Ayuyu, maka dia butuh sesuatu yang sulit dijangkau oleh tangan-tangan mereka. Saat itulah ide exit plan itu muncul, yaitu membuat Halilintar memiliki catatan kriminal. Dengan begitu, jika mempertahankan Halilintar di sekolah ini tidak bisa dilakukan, anak itu juga akan kesulitan mencari sekolah pengganti. Sekolah mana yang nantinya akan menerima seorang siswa yang memiliki riwayat pernah masuk ke LPAS? Rasanya tidak ada.
Pada saat itulah Ayuyu akan membuka pintu SMA Budi Asih lebar-lebar, hadir sebagai solusi dari masalah yang dia buat sendiri. Dengan begitu Halilintar akan tetap berada di SMA Budi Asih sampai hari kelulusannya.
Untuk melancarkan aksinya, Ayuyu hanya bermodalkan satu alat transaksi bagi segala hal, namanya uang. Jual-beli kebenaran pun lumrah dilakukan dengan alat itu.
Karena itu, mudah baginya membuat penyidik kasus itu melakukan apa yang dia inginkan. Ayuyu bisa memberikan uang dengan jumlah besar. Pihak yang ada di belakangnya memberikan keleluasaan untuk itu, asal tujuannya tercapai, mereka tak akan ambil pusing dengan jalan yang diambil Ayuyu. Toh mereka pernah menggelontorkan uang dalam jumlah besar demi mewujudkan keinginan mereka sebelumnya. Pastinya uang yang sekarang Ayuyu gunakan hanya tampak seperti sebiji kacang tanah.
Jika tak mau uang, maka Ayuyu bisa menawarkan jabatan menarik melalui tangan Walikota dan koleganya. Siapa pula manusia yang tak tergiur oleh kekuasaan dan menjadi penguasa? Bisa mengendalikan orang lain, memerintah sesuka hati, mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada. Maka tak heran orang-orang di luar sana sering berebut kursi kekuasaan. Saling sikut, saling tuduh, saling menjatuhkan pun tak bisa dicegah.
Maka Private room di restoran Hotel Sky Palace menjadi saksi bisu bagaimana transaksi haram itu terjadi. Ada kesepakatan yang terbentuk di antara Ayuyu, Walikota, dan seorang anggota kepolisian dari Divisi Kekerasan dan Kriminalitas Remaja untuk menyudutkan seorang anak yang tak tahu apa-apa, dan menabur garam pada luka orang tua yang air matanya saja belum kering benar.
Semua rencana itu akan berjalan sempurna kalau saja anak kurang ajar di depan Ayuyu ini tak mencoba menghancurkan semuanya. Lagipula darimana Taufan mendapatkan video itu, padahal malam itu semua video sudah dihapus dari seluruh komputer pengawas, jadi tidak mungkin bagian penting itu terlewat. Kecuali ada yang menyalin video itu sebelum dihapus, tetapi orang suruhannya mengabari bahwa semuanya sudah bersih, sesuai rencana.
Sial. Ayuyu terlalu meremehkannya.
"Akun sosmed saya anonim loh, Bu. Kalau ibu mau cari dari sekarang, kayaknya butuh waktu paling lama sehari, atau dua hari. Akun sosmed saya keburu upload dan boom! Semua orang bakal ngomongin Ibu."
Tanpa perlu dijelaskan, Ayuyu sudah tahu apa yang akan terjadi jika hal itu sampai tersebar ke media sosial. Sekarang ini media sosial berkembang sangat pesat. Berita sekecil apapun akan dengan cepat menyebar, sekalipun itu berita bohong. Butuh sesuatu yang lebih besar untuk menutupinya, dan dia tak punya waktu untuk memikirkan hal itu sekarang.
Ayuyu berpaling dari jam dinding yang mulai membuatnya gila, hanya sedikit waktu yang tersisa sebelum waktu menunjukkan pukul dua belas tepat, kemudian pandangannya menjeling pada sosok lain yang sejak tadi melihatnya dengan tampang tak berdosa. Ada sebagian kecil keinginan untuk memberinya pelajaran, tetapi dia tak bisa melakukannya.
"Baiklah." Kata itu akhirnya meluncur sendiri dari mulutnya. Persetujuan yang mungkin akan dia sesali seumur hidup.
Air muka Taufan seketika berubah secerah mentari. Dia beranjak dari duduknya sambil menepuk-nepuk celananya, seolah habis duduk di tempat yang kotor.
"Besok aku bakal datang lagi buat nagih janji. Dah ibu …," ucap Taufan sebelum meninggalkan ruangan. Tak lupa memberikan kiss bye dari jauh.
Ayuyu langsung naik pitam. Begitu Taufan menghilang dari balik pintu. Tangannya langsung menyapu bersih apapun yang ada di atas meja. Sekarang semua barang berserakan di lantai, termasuk pigura foto yang memuat potret dirinya bersama Walikota dan pemilik Surya Farma. Kaca dalam pigura itu pecah tak karuan.
Tidak pernah terbesit dalam benaknya akan dipecundangi oleh seorang anak SMA. Kerja kerasnya selama ini seolah sedang diludahi begitu saja.
~o0o~
Solar membuka mata. Langit-langit berwarna putih dan aroma antiseptik menyambut saat tubuhnya mendapatkan kesadaran kembali. Perlahan, Solar menyadari dia sedang berada di salah satu kamar rumah sakit, terbaring di atas dipan, dengan selimut yang membungkus tubuhnya sampai sebatas pinggang. Solar menatap kosong ke langit-langit. Kenapa dia ada di tempat ini? Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari ingatannya. Tidak biasanya isi kepala Solar terasa kacau.
Mulanya Solar hanya sekadar mencoba menggali hal terakhir sebelum kesadarannya hilang, tetapi kemudian dia tersentak bangun. Kepalanya tiba-tiba saja diserang berbagai ingatan, seperti ada petasan yang meledak-ledak di dalam kepalanya. Hal itu membuatnya langsung ingin berlari ke arah pintu, meskipun sempat terjatuh karena tubuhnya terasa lemas.
Namun, sekeras apapun Solar menarik kenopnya, pintu itu terus bergeming. Kemudian Solar kehilangan tenaga, perlahan tubuhnya merosot duduk sembari bersandar pada pintu. Dia dikunci di ruangan ini. Aksesnya pada dunia luar sedang diputus.
Tak ada gunanya berteriak-teriak sambil memukuli pintu. Ayahnya menanamkan sejumlah uang di Rumah Sakit Silika. Tanpa persetujuan ayahnya, tak akan ada yang berani membukakan pintu meskipun Solar berteriak kesetanan. Hal itu pernah dilakukannya dua tahun lalu, dan tak berhasil.
Mengingat apa yang terjadi sebelum kesadarannya hilang, Solar tak bisa percaya dengan optimis Gempa akan selamat. Melihat bagaimana tubuh itu keluar melewati pagar pembatas saja membuat nafasnya kembali sesak. Tangan itu sempat terjulur ke arahnya, seolah meminta digapai, tetapi Solar tak mampu melakukannya.
Solar seharusnya tidak boleh melibatkan Gempa. Satu-satunya hal yang membuat Solar berubah pikiran adalah karena Gempa memiliki informasi yang dibutuhkan dan dia adalah saudara laki-laki Halilintar. Meskipun sampai sekarang Solar masih tidak mengerti mengapa di antara mereka berdua, hanya Halilintar yang masuk ke kelas E. Apakah karena Gempa tidak memiliki kelebihan yang dimiliki anak-anak kelas E? Solar tak tahu mengapa bisa begitu berbeda dua anak kembar itu.
Solar menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa hari ke depan, ingatan atas kejadian itu akan gencar menghantuinya, biasanya baru akan mereda setelah beberapa bulan, tetapi bukan berarti benar-benar hilang. Sejujurnya Solar malu pada dirinya sendiri yang tanpa sadar justru terperosok pada kesalahan yang sama, seolah tidak belajar dari masa lalu. Penyesalannya sekarang bertambah, perasaan sesak yang bersarang dadanya terasa dua kali lebih menyakitkan.
Kejadian itu seharusnya bisa dicegah jika Solar mau sedikit saja memikirkan kemungkinan buruknya. Dia terlalu gegabah, terlalu tergesa-gesa memberi makan rasa ingin tahunya, hanya karena merasa sudah memiliki informasi tambahan. Sehingga dia tidak memikirkan kemungkinan lain yang bisa saja terjadi.
Sama seperti dua tahun lalu. Solar mendengus. Mendadak lidahnya terasa pahit.
Situasi ini memang hampir sama dengan situasi dua tahun lalu. Kunci untuk mulai memperbaiki situasi ini ada pada diri Solar sendiri. Jika dua tahun lalu dia menelan semua kebenarannya sendirian, maka kali ini Solar harus mengatakan semuanya pada Halilintar. Semua yang terjadi malam itu dan siapa saja pelakunya. Meskipun nantinya Solar akan dibenci selamanya, dia akan menerima semua konsekuensinya dengan tangan terbuka.
Namun, sebelum itu Solar harus bisa keluar dari ruangan ini. Dia harus memikirkan caranya dengan benar, tanpa diketahui Sai yang saat ini masuk ke ruangan itu dengan mengunci kembali pintunya, lalu menyembunyikan kuncinya di balik tangannya.
Untuk kali ini Solar tak akan terburu-buru. Dia akan lebih sabar menunggu waktu yang tepat. Pertama, Solar butuh pengalihan. Dengan kenangan buruk yang masih melayang-layang di kepalanya, sulit bagi Solar untuk berpikir jernih. Dia butuh sebuah media untuk mengalihkan pikirannya. Solar mempelajarinya dua tahun lalu. Ketika kenangan tentang kematian Duri tak juga bisa teralihkan, bahkan ketika tidur saja dia masih bisa memimpikannya, Solar menjadikan belajar sebagai media pengalihan.
Mungkin terdengar mengada-ada, tetapi itu berjalan dengan baik untuk dirinya. Memang tidak menghilangkan kenangan itu sepenuhnya, tetapi lebih seperti menumpuknya dengan hal-hal lain. Kenangan itu tetap ada dan bisa muncul ke permukaan kembali jika situasi yang dihadapi Solar menjadi pemicu.
Solar memandangi sekeliling. Tak ada alat tulis di sekitarnya. Hanya ada tembok putih yang mengelilingi. Kemudian Solar menatap Sai.
"Aku mau spidol."
Sai sedang membuka laptopnya langsung mengernyit, "Nggak ada."
"Pulpen?"
Sai meraba-raba tas yang dibawanya, lalu melemparkan sebuah pulpen pada Solar.
Dengan satu tangannya, Solar berhasil menangkap pulpen itu, lalu dia mulai mencoret-coret dinding putih yang ada di dekatnya. Sai menatap waspada saat melihat Solar membuat tulisan-tulisan berisi susunan huruf dan angka. Entah apa yang Solar rencanakan, terkadang anak itu sulit ditebak dan memiliki banyak akal.
"Tumben nggak maksa keluar dari sini?"
"Buat apa keluar dari sini kalau tiap kali ayah gelisah aku di kurung lagi?" jawab Solar tanpa mengalihkan pandangannya dari dinding.
"Makanya jangan bikin masalah."
"Masalah apa?"
Sai memutar bola matanya. Yang benar saja, Solar memberikan pertanyaan yang dia sendiri tahu persis jawabannya.
"Nguping pembicaraan ayahmu tentang kelas E, tukar informasi dengan Gempa, bikin rencana detektif-detektifan bareng teman-temanmu."
Solar berhenti menulis. Seketika kepalanya terasa berkabut.
"Dari mana Sai tau?"
"Ayahmu."
"Dari mana ayah tau?"
"Dia punya mata dan telinga dimana-mana. Semua obrolan kamu sama Gempa, juga semua rencanamu, apapun itu. Dia bisa tau semuanya. Sekarang dia juga tau kalau kamu nguping pembicaraannya waktu itu. Solar, ayahmu jadi lebih hati-hati karena kejadian dua tahun lalu. Harusnya kamu paham."
Solar sangat memahami hal itu. Karena itu dia tahu ayahnya diam-diam menyimpan alat penyadap di kamar Solar, untuk memantau gerak geriknya. Namun, dia sudah memeriksa seisi kelas E di hari pertama sekolah, alat itu tidak ditemukan di mana pun. Solar hanya menemukan alat fingerprint di lemari, yang waktu itu dia tak paham apa fungsinya.
Apakah ada yang membocorkan pembicaraan dirinya dengan Gempa? Jika itu benar, maka masuk akal kejadian itu bisa terjadi. Namun, siapa serigala berbulu domba di antara mereka?
Sebetulnya ada satu nama yang terbesit dalam pikiran Solar. Satu-satunya orang yang tahu Solar dan Gempa pernah mengobrol diam-diam di kelas E sebelum peristiwa itu terjadi.
Taufan.
Mungkinkah dia yang membocorkan itu semua pada ayah Solar? Tetapi, untuk apa?
~o0o~
Tidak biasanya waktu terasa berjalan sepuluh kali lebih lambat bagi Taufan. Bahkan jam istirahat yang biasanya terasa berjalan seperti kereta cepat, khusus hari ini terasa jauh dari kata selesai.
Taufan menghabiskan waktu istirahatnya di bawah pohon, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap anak-anak kelas lain yang sedang bermain futsal di lapangan. Bosan duduk bersandar, Taufan merebahkan dirinya di bawah pohon rindang itu, dinaungi dahan pohon yang rimbun, matanya tertuju pada langit cerah tak berawan. Biru dan jernihnya langit hari ini memberikan ketenangan tersendiri baginya.
Semua akan baik-baik saja.
Taufan menghembuskan nafasnya pelan-pelan, mungkin Ayuyu tidak tahu, kemarin setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, Taufan menghabiskan waktu hampir setengah jam duduk di tangga lantai tiga. Tubuhnya terasa panas dingin. Jika setahun lalu dia hanya diinterogasi guru BK, maka kali ini dia nekat menantang kepala sekolah, seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari guru BK—bahkan dari Kaizo.
Apakah Taufan takut? Tentu saja. Ayuyu bisa menyeret Halilintar ke LPAS, maka bisa dipastikan orang itu juga bisa melakukan hal yang sama padanya.
Kemarin Taufan hanya berlagak tangguh. Tentang media sosialnya, dia hanya mengarang cerita, walaupun tidak sepenuhnya berbohong. Sebenarnya media sosial Taufan tidak akan mengunggah video itu secara otomatis, dia bahkan tak tahu caranya. Taufan menggunakan alasan itu untuk menakut-nakuti saja, karena dari apa yang dia amati, banyak kasus kejahatan yang tidak diusut tuntas jika tidak viral di media sosial, dan dia menebak Ayuyu pasti tak akan mau kebenaran itu tersebar juga di sana.
Meskipun harus menunggu satu hari, Taufan merasa cukup puas. Reaksi kepala sekolah sesuai dengan harapan, wanita itu secara tidak langsung sudah mengakui perbuatannya. Tinggal menunggu waktu sampai Halilintar bebas dan mereka bisa mulai menanyai Solar tentang apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
Suara sol sepatu yang bergesekan dengan rerumputan membuat Taufan tersadar dari pikirannya sendiri. Dia dihampiri seorang anak perempuan, tidak tahu dari kelas apa, tidak ada dasi menempel di seragamnya. Melihat itu Taufan menautkan alis, seingatnya anggota OSIS sangat saklek mengenai aturan pemakaian dasi. Mereka bisa sangat cerewet jika berhubungan dengan peraturan, lalu bagaimana anak ini bisa berkeliaran bebas dengan penampilan seperti itu?
"Kamu dipanggil kepala sekolah di ruangannya."
Mendengar hal itu, Taufan melupakan segala pertanyaan dalam kepalanya. Seperti mendapat oase segar, Taufan tersenyum dan berterima kasih pada anak itu. Waktu yang tepat untuk menagih janji. Kakinya melangkah ringan, sesekali mulutnya bersenandung kecil di sepanjang jalan. Anak tangga sampai ke lantai lima pun tidak akan jadi masalah.
Namun, Taufan jatuh terduduk setelah masuk ke ruang kepala sekolah. Matanya terbelalak melihat sesuatu di dalamnya. Saat ini di depannya, ada sebuah kengerian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Taufan menemukan tubuh Ayuyu menggantung di langit-langit, dengan seutas tali melingkari lehernya. Wanita itu masih memakai pakaian yang sama saat Taufan menemuinya kemarin. Kulitnya pucat, bibirnya sudah membiru karena kekurangan oksigen, dan Taufan tak sengaja melihat matanya. Mata itu seolah sedang menatap Taufan, terasa menghakimi, menuntut sebuah pertanggungjawaban.
Selama beberapa saat, Taufan merasa tubuhnya membeku. Dia tidak bisa lari dari sana, maupun mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu, padahal Taufan ingin sekali berteriak. Apa yang dilihatnya sekarang terlalu mengerikan. Dengan dorongan kuat untuk lari dari tempat itu, Taufan akhirnya bisa menggerakkan kakinya, meskipun langkahnya tak seimbang. Hampir saja dia jatuh berguling di tangga.
Taufan berlari tergesa sampai ke lantai dasar. Tidak ada guru yang berkeliaran di gedung satu pada jam istirahat, disaat yang sama dia juga tak bisa mengatakan itu pada sesama siswa. Taufan baru bertemu salah satu guru ilmu alam setelah keluar dari gedung satu. Terbata-bata Taufan mengatakan apa yang dilihatnya barusan. Awalnya guru itu tak percaya, tetapi setelah melihat langsung apa yang terjadi, sang guru meminta semua siswa keluar dari gedung satu.
Tak lama setelah itu, wakil kepala sekolah menghubungi polisi. Gedung satu menjadi steril. Semua aktivitas belajar-mengajar dialihkan ke gedung dua dan gedung lain, walaupun suasana terlanjur tidak kondusif. Sementara itu Taufan berada di ruang kesehatan ditemani Shielda. Tubuhnya masih terasa menggigil, bahkan setelah terbungkus selimut hangat, teh hangat yang Shielda berikan pun tidak berpengaruh apa-apa.
"Mana Taufan?"
Dari balik tirai yang menyembunyikan keberadaannya, Taufan bisa mendengar suara Kaizo yang baru saja masuk. Taufan semakin mengeratkan selimut menutupi kepalanya. Dia tak ingin bertemu Kaizo dulu, dia tak ingin menjelaskan apapun sekarang.
"Nanti aja, dia agak demam," jawab Shielda.
Untungnya Shielda mengatakan demikian, Kaizo jadi tak banyak bicara sebelum akhirnya Taufan mendengar langkah kakinya menjauh.
Taufan tak pernah mengira hal seperti ini akan terjadi. Sejujurnya bukan ini yang dia mau. Taufan hanya ingin membantu Halilintar dengan cara membuat kepala sekolah mengaku bahwa dia telah menghilangkan bukti penting, membuat temannya ditahan di LPAS dan bertingkah seperti tidak pernah melakukan hal-hal buruk. Hanya itu. Karena dengan begitu Halilintar bisa lepas dari tuduhan menyakitkan itu.
Tetapi kemudian situasi buruk itu terjadi, situasi yang Taufan anggap sudah berjalan lancar justru malah semakin keruh. Taufan semakin mengeratkan selimut, sekarang dia terbaring meringkuk.
Sayup-sayup terdengar suara yang memanggil namanya, Taufan mengendurkan selimut agar bisa mendengar lebih jelas, tetapi kemudian dia merasa selimutnya mulai diusik seseorang, dan dalam satu tarikan selimut itu tersibak, padahal Taufan sudah menahan selimut itu kuat-kuat.
Ya, hanya gadis itu yang bisa melakukannya.
"Kamu nggak apa-apa?" ucapnya.
Taufan menggeleng saja, meskipun sebenarnya dia tak baik-baik saja. Dia rasa tak akan ada yang baik-baik saja setelah melihat apa yang dilihatnya barusan.
"Kenapa bisa ada di sana sih?"
"Namanya juga kebetulan, Ya." Hanya itu yang bisa dia katakan. Tidak mungkin dia mengatakan sudah menemukan video CCTV yang diam-diam diambil dari Kaizo, dan menggunakannya untuk mengancam kepala sekolah sebelum ditemukan meninggal.
"Kalian nggak masuk kelas? Udah bel tadi."
Ying yang menghela nafas berat. Kali ini dia yang menyahut, "Malas."
Yaya juga tetap berada di ruangan ini seolah menyetujui ucapan Ying. Taufan mengernyit. Tumben sekali kedua perempuan ini malas datang ke kelas. Padahal hujan badai saja diterjang.
"Semua orang bilang kita tukang bikin masalah, tau nggak?" lanjutnya.
"Bagus dong, aku jadi nggak sendiri—aw!"
Taufan mengusap-usap kakinya yang mendapat pukulan Yaya. Dia sudah menduga cepat atau lambat anak-anak kelas E akan mendapat julukan seperti itu, belum ada satu semester mereka sudah membuat onar dengan peristiwa ini dan itu; Gempa jatuh dari atap, Halilintar masuk penjara anak, dan sekarang Kepala Sekolah ditemukan gantung diri di ruangannya.
Andai saja mereka semua tahu penyebabnya adalah konfrontasi Taufan kemarin, dia pikir tukang bikin masalah menjadi julukan yang terlalu bagus.
Keadaan yang tidak juga kondusif, membuat sekolah mengambil keputusan untuk memulangkan semua siswa pada pukul dua siang. Tetapi Ying dan Yaya baru beranjak dari ruang kesehatan menjelang sore, dengan alasan tak ingin berpapasan dengan siswa lain. Taufan bisa memahami hal itu. Karena itu juga yang sedang dilakukannya. Menunggu sampai semua orang pergi, termasuk Ying dan Yaya. Taufan menginginkan waktu untuk dirinya sendiri, untungnya kedua perempuan itu mau mengerti.
Sekarang hanya ada dia dan Shielda yang masih setia menemaninya dalam hening. Barulah pada pukul setengah lima sore, Shielda mengatakan bahwa pekerjaannya sudah selesai, dia ingin pulang, dan Taufan tak bisa berada di ruangan itu lebih lama lagi. Saat Shielda mengunci ruang kesehatan, Taufan sudah lebih dulu melangkah ke arah gedung satu. Shielda menatapnya bingung.
"Taufan, gerbangnya bukan di situ!"
"Mau ngambil tas."
"Tadi nggak ada yang ngambilin?"
Taufan menggeleng. Sepertinya Ying dan Yaya juga lupa mengambilkan. Mau tak mau, Taufan harus mengambilnya sendiri.
Memasuki pelataran gedung satu, Taufan mulai melihat garis kuning yang dipasang di dekat pintu masuk. Dengan hati-hati dia mengendurkan garis itu untuk meloloskan tubuhnya. Setiap langkah kakinya terdengar jelas di koridor, lampu-lampu sudah lebih dulu dimatikan, yang tersisa hanyalah suasana dingin dan sepi.
Sampai di kelas E, Taufan tak langsung mengambil tasnya yang tergantung di sandaran kursi, dia memandangi ruang kelas itu. Kelas yang hanya berisi lima orang termasuk dirinya, kelas yang direncanakan oleh sekelompok orang dua tahun lalu. Itu yang didengarnya dari pembicaraan Solar dan Gempa tempo hari.
Sejujurnya Taufan penasaran setengah mati. Dia juga ingin tahu apa yang sebenarnya orang-orang itu rencanakan, bagaimana bisa mereka melibatkan Taufan di dalamnya tanpa dia ketahui. Hanya saja, Taufan harus memendam rasa ingin tahunya itu. Tidak ada yang bisa menjelaskan apapun mengenai hal itu sekarang, bahkan Solar sendiri pun tidak tahu jawabannya.
Taufan menghela nafas, sekarang dia harus fokus dulu pada Halilintar. Jika anak itu sudah bebas, Taufan kira Solar juga akan memunculkan batang hidungnya. Dengan begitu mereka akan berkumpul kembali, lalu Taufan bisa mengusulkan agar mereka mencari tahu tentang itu bersama-sama. Karena keberadaan kelas E menyangkut mereka berlima, Taufan pikir ini harus didiskusikan berlima pula.
Namun, setelah Taufan mencangklong tasnya di pundak, seorang pria masuk ke dalam dan menyalakan lampu ruangan. Pria asing dengan yang menatapnya dengan senyum janggal. Sebelum Taufan melempar pertanyaan, pria itu sudah lebih dulu duduk di atas meja sambil melihat-lihat seisi kelas.
Entah mengapa pria ini tampak berbahaya baginya. Taufan jadi teringat ucapan Gempa tentang para penulis sticky note yang kadang muncul di sore hari, sekitar pukul lima. Lalu Taufan melirik jam dinding yang menggantung di atas papan tulis. Hampir pukul lima sore. Mungkinkah orang ini penulis sticky note yang dia dan teman-temannya bicarakan beberapa waktu lalu? Tetapi dengan keributan sebesar ini, seharusnya mereka tak akan muncul sekarang.
Seketika Taufan menegang, apalagi saat dia mencoba membuka pintu kelas, tetapi pintu itu tak mau terbuka.
"Buru-buru mau kemana? Ngobrol dulu sini."
"Nggak, aku mau pulang," jawab Taufan sambil tetap menarik pintu kelas. Telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat. Pria asing itu malah menyeret kursi guru sampai ke bangku yang biasa Yaya duduki, lalu duduk di sana sambil bersedekap.
"Aku datang cuma mau tanya sesuatu, bukan mau bunuh kamu. Santai aja."
Bukannya menjadi santai, Taufan malah semakin tegang. Cara kepala sekolah meregang nyawa kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Bagaimana jika setelah bertanya, orang itu juga melakukan hal yang sama padanya, dan dia baru akan ditemukan besok pagi setelah nyawanya hilang. Membayangkannya saja membuat Taufan merasa tercekik. Kemudian Taufan terperanjat saat pria itu menendang meja di depannya.
"Tinggal duduk dan jawab aja, apa susahnya!"
Mau tak mau Taufan menuruti keinginan pria itu. Dia duduk di kursi Yaya setelah pria itu menepuk-nepuk meja. Lagipula dia memang tak bisa kabur dari sana, tidak ada jalan lain selain pintu yang terkunci itu. Tidak mungkin juga dia bersembunyi di gimnasium bawah tanah sampai pria itu pergi, Taufan tak punya akses ke dalam sana, Kaizo yang punya akses itu. Benar, Taufan baru ingat, Kaizo pernah lari dari lapangan hanya karena Halilintar menekan alat fingerprint lebih dari tiga kali, seharusnya Taufan menekan alat itu berkali-kali agar Kaizo datang, bukan malah lari ke arah pintu. Kini dia hanya bisa menyesal, sudah terlambat jika ingin menggunakan alat itu sekarang.
"Om siapa?" tanya Taufan memberanikan diri.
"Ejojo. Kenapa? Mau ngadu? Gimana caranya kalau nggak bisa keluar dari sini?"
Taufan mengepalkan tangannya di balik meja. Tangannya bergetar hebat. Apa yang sebenarnya orang ini inginkan?
Ejojo tersenyum sinis. "Sudah cukup, ayo ke intinya aja. Anak SMA nggak seru ditakut-takuti. Gampang takut. Payah." Pria itu merogoh sesuatu dari kantong celananya. "Nah, Taufan. Darimana kamu dapat benda ini? Isinya video CCTV," tanya Ejojo sambil memainkan flashdisk di tangannya.
Taufan membulatkan matanya. Dia kenal benda itu, flashdisk yang dia ambil dari Kaizo. Bagaimana benda itu bisa ada di tangan orang itu? Padahal benda itu seharusnya ada di rumah sekarang.
"Itu punyaku. Balikin!" Taufan berusaha meraih benda itu, tapi Ejojo buru-buru menjauhkan tangannya dari jangkauan Taufan.
"Isi benda ini nggak cocok ada di tangan anak SMA tau."
Taufan menggigit bibir. Dia tidak bisa menyangkal, tetapi isi benda itu juga tidak cocok dimiliki seorang guru olahraga.
"Coba bilang, ini punya siapa?"
Taufan segera mengatur ritme nafasnya. Dia harus tetap tenang, tidak boleh terintimidasi oleh orang ini. Dia juga tak bisa menyebut nama Kaizo sembarangan. Bagaimana jika Kaizo dalam bahaya?
"Apa ini? Kukira pintar, ternyata lebih bodoh dari Solar."
Taufan mengernyit, kenapa tiba-tiba nama Solar disebut?
"Kalau Solar yang nemuin benda ini, dia nggak bakal simpan sembarangan di laci meja belajar, tapi bakal disembunyiin serapi mungkin, biar semua orang nggak tau. Sama kayak dia nyembunyiin penyebab kematian temannya," lanjutnya.
Taufan terkejut saat Ejojo tahu lokasi dimana dia menyimpan flashdisk itu di rumahnya, tetapi Taufan lebih terkejut mendengar kalimat terakhirnya. "Temannya yang mana?"
"Masa nggak tau? Kalian satu sekolah terus. Temannya yang mati cuma satu orang. Kalau nggak salah namanya …,"
"Duri?"
"Ya, Duri. Namanya Duri." Ejojo bergeser sedikit lebih maju dan berbisik. "Bisa dibilang Solar yang bunuh Duri."
Taufan terkesiap. Tidak mungkin Solar melakukan hal seperti itu. Di sisi lain melihat Taufan terkejut, Ejojo malah tertawa saat itu juga, seolah apa yang dikatakannya tidak lebih dari sekedar lawakan.
"Kenapa kaget? Masa dia nggak cerita apa-apa? Kalian temenan kan? Atau kamu emang nggak dianggap temannya."
"Tapi…, tapi Duri meninggal bukan karena itu."
"Nah, mau tau kan? Kalau gitu kita buat kesepakatan aja. Pertanyaannya gampang, siapa yang punya flashdisk ini? Kalau kamu kasih tau, bakal kukasih semua informasi tentang kematian Duri yang nggak pernah Solar ceritain."
Taufan bimbang. Informasi tentang kematian Duri adalah hal yang dia cari-cari selama ini, sekarang pria itu sedang menawarkan apa yang Taufan inginkan ke hadapannya. Namun, di sisi lain lidahnya terasa kelu saat ingin menyebutkan nama Kaizo. Bagaimanapun juga Kaizo adalah wali kelasnya, gurunya sendiri. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu pada Kaizo setelah Taufan mengucapkan namanya.
Seakan tahu kebimbangan Taufan, Ejojo kembali berkata, "Nggak usah buru-buru. Kuberi waktu buat mikir. Gimana?"
Taufan semakin mengeratkan kepalan tangannya. Jika dia menolak, maka dia akan kehilangan kesempatan itu selamanya. Namun, jika dia mengatakan yang sejujurnya, nama Kaizo bisa hilang selamanya.
Apa yang harus Taufan lakukan?
.
.
.
Tbc
Yuhuuu akhirnya aku bisa nulis lagi. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Seperti biasa, kalau ada kritik, saran dan masukan, bisa dikirimkan ke kolom review.
Sampai nanti
SkyLi
