Bokuto Kotaro X Ogasawara Sachiko
Takane No Hana
Chapter 4
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kuroo menyesap pilinan daun tembakau berlapis kertas putih. Kepulan asap tipis beraroma khas memberikan efek relaksasi. Setelah seharian memperagakan senyum karir di depan klien, sekarang Kuroo bisa melepas topeng.
Ia tengah berada di meja luar kedai minum. Sebagian besar pengunjung yang ada di sana sepertinya baru selesai bekerja, sama seperti dirinya. Meskipun, tujuan ia datang ke sini juga setengahnya untuk pekerjaan.
Mata lancip Kuroo terhibur oleh pemandangan di depannya. Dua pria yang merupakan mantan kapten dari tim lawan, masih tetap menjaga komunikasi meski profesi mereka kini berbeda - beda.
Sersan polisi Sawamura Daichi hanya menunduk, mengalihkan tatapan tajam yang menghujani dari Oikawa. Meski seringaian tak lepas dari raut wajah Oikawa, mereka berdua sama - sama tahu itu bukan tatapan yang ramah.
"Nah, Oikawa," pecah Kuroo ringan, mengaburkan kabut ketegangan dia antara keduanya, yang sebetulnya tidak perlu, "seharusnya kita ucapkan selamat untuk Sawamura, bukan? Akhirnya di antara kita ada yang akan mengakhiri masa lajang."
Tubuh Sawamura yang sedikit lebih kekar dibanding Oikawa dipaksa mendekat, ulah si fotografer yang melilitkan lengannya di sekitar leher Sawamura, seringaian iblisnya nampak mengintimidasi, "Tentu saja, aku ikut senang," nadanya sedikit mengancam, "jadi kau mau minta bantuan mantan kekasih calon istrimu untuk mengabadikan pernikahan kalian, hm? Bagus sekali Daichi - kun."
Sawamura menjauhkan wajah Oikawa dengan telapak tangan, "Dia lebih dulu mengenalku sebelum berhubungan denganmu, Oikawa."
Sekali lagi, Oikawa menarik paksa leher Sawamura, sampai kepala keduanya beradu, "Aku bertaruh hubungannya denganku akan lebih sulit dilupakan dibandingkan saat kalian berhubungan pertama kali."
Mantan kapten klub Karasuno kembali berusaha menjauhkan kepala, tak terpancing oleh kegusaran Oikawa.
Lilitan lengan di lehernya meregang, perlahan hawa iblis Oikawa memudar dan berubah melakolis.
"Padahal dia bilang belum siap punya hubungan serius." gumam lelaki tiga puluh dua tahun itu, bernostalgia.
Sawamura menatap simpati pada Oikawa, seraya menepuk bahu lebar Oikawa yang sedikit membungkuk.
Kuroo memperhatikan adegan di antara keduanya, "Mungkin maksud Yui, dia belum siap berhubungan serius denganmu." opininya ringan, "Lain cerita kalau dengan Sawamura."
Giliran Kuroo yang mendapat lirikan sinis dari Oikawa, "Sialan." umpatnya, yang disahut dengan tawa terkekeh Kuroo.
Ia menepuk telapak tangan pada pahanya yang berotot, berniat mengalihkan topik, "Oke, sekarang waktunya serius," ucap Kuroo, "aku bermaksud menawarkan proyek."
Oikawa menenggak cairan dari gelasnya, melegakan tenggorokan yang mulai kering, "Proyek apa?"
Mematikan pembakaran api pada ujung rokok ke dalam asbak, Kuroo menghembuskan asap terakhir dari celah bibirnya, "Bulan depan asosiasi akan mengadakan festival olahraga, atas permintaan sponsor," jelas Kuroo, "tahun ini sasarannya sekolah menengah. Mungkin berlangsung selama satu atau dua hari."
"Aku perlu bantuan media untuk publikasi, dan juga data mengenai lembaga pendidikan yang ada di kota ini saja. Untuk mengirimkan proposal."
Oikawa menyipitkan kedua sudut mata, "Itu sih minta bantuan, bukan menawarkan proyek," curiganya, "programnya apa?"
Pria bertubuh tinggi dengan rambut hitam jabrik itu menyeringai, "Sekedar perlombaan antar sekolah dengan hadiah dari sponsor. Juga demo untuk bidang voli."
Sawamura bergumam, "Oke, cuma perlu data sekolah sekitar sini saja, kan? Nanti kubantu juga untuk perizinan." sahutnya.
Jawaban Sawamura direspon dengan sekali tepukan tangan dari Kuroo, "Ini baru kawanku," bangga Kuroo, "Sawamura memang bisa diandalkan."
Kesepakatan di antara keduanya belum menggugah minat Oikawa. Bukan karena dia tidak mau membantu Kuroo, hanya perlu menggali lebih jauh sampai mana acara itu bisa menarik perhatian publik sampai harus dipublikasikan.
"Sponsornya darimana? Lalu siapa yang akan demo untuk voli?" tanya Oikawa, menginterogasi.
Ponsel hitam yang ia simpan di atas meja diraih, menelusuri internet, lalu menunjukkan layar untuk dilihat kedua kawannya. Artikel nengenai kerjasama antara merek pakaian olahraga internasional dan asosiasi olahraga. Di bagian atas artikel terpampang foto Kuroo yang tengah berjabat tangan dengan salah satu representatif merek itu.
Oikawa menaikkan sebelah alis, "Kau memang perayu unggul," ucapnya, berubah haluan menjadi ikut tergoda, "aku ikut."
"Nice," sahut Kuroo, "aku sudah coba hubungi Terushima, tapi dia ada pekerjaan lain di hari itu. Jadi sedang kupertimbangkan untuk memanggil Bokuto dan Hinata."
Oikawa menyeringai, "Cocok," opininya, "Bokuto sudah lama tidak muncul di media, ini jadi seperti kembalinya protagonis dalam film."
"Bisa saja," sahut Kuroo, "sebetulnya urusan tampil di publik begini lebih cocok untukmu, Oikawa. Berkat hobi tampilmu itu, pancingan bagus untuk penggemar olahraga. Apalagi perempuan."
Sang fotografer mengibaskan rambut yang menutupi sebagian keningnya, "Masaku sudah lewat, waktunya aku bekerja di belakang layar."
Kedua pria yang lain mengamini, ikut bernostalgia mengenai masa dimana mereka yang menjadi topik pembicaraan di dunia olahraga. Masa keemasan mereka.
"Ngomong - ngomong soal Bokuto," sambung Sawamura, mendadak teringat sosok rekan sesama kapten di masa SMA, "aku sempat melihatnya di restoran cepat saji minggu lalu. Karena sedang buru - buru jadi kulewat saja."
Kedua lengannya dilipat di depan dada yang bidang, hasil dari latihan rutin. Wajahnya menyeringai usil, "Dia tidak sendirian. Ada wanita."
Oikawa menaikan sebelah alis, sembari menyeruput soda dari sedotan, "Kaori?"
Sawamura menggeleng.
Mereka hening untuk beberapa saat.
"Panggil Bokuto ke sini, Kuroo," titah Oikawa cepat, sinar matanya terlihat siap untuk interogasi lanjutan, "kalau dia menolak, paksa. Atau kujemput biar dia mau datang."
Tak perlu diperintah, Kuroo punya pemikiran yang sama dengan Oikawa.
Ada topik baru yang sama menarik dengan proyeknya.
.
.
.
.
.
.
"Hey, hey, hey!" seru Bokuto ketika sampai di tempat ketiga rekannya, ia menepuk keras punggung Sawamura, membuat tubuh sersan polisi itu bergerak maju di tempat duduknya, "Ini dia si calon kepala keluarga."
Sawamura meringis sekilas, meski tersenyum sebal, "Masih belum bisa kontrol tenaga, hmm Bokuto?"
Bokuto terkekeh, beradu kepalan tangan dengan Kuroo dan Oikawa sebelum mengambil posisi duduk di sebelah kepala divisi pemasaran asosiasi olahraga, "Belum menikah sudah mulai lemah, Sawamura? Kasihan sekali Yui." ejeknya balik.
"Nah, nah," potong Kuroo, sebelum saling ejek ini berlanjut lama, "langsung ke intinya. Jadi bagaimana tawaran demo bulan depan, Bokuto? Kau bisa?"
Bokuto mengambil satu potong takoyaki yang ada di meja, tepat di depan Oikawa, "Hari Minggu pertama awal bulan depan kan? Ayo saja." jawabnya ringkas sebelum mengunyah, "Hinata bagaimana?"
"Dia juga oke, Rabu nanti kita kumpul lagi dengan Hinata untuk bahas detailnya." info Kuroo.
Bokuto mengangguk sekali, "Itu saja? Kenapa tak ketemu nanti saja sekalian saat ada Hinata?"
Suara tawa terkekeh muncul dari arah Oikawa, yang kemudian memajukan tubuh mendekat ke meja, "Hari Minggu lalu, kau jalan kemana, Bokkun?"
Ia menaikan sebelah alis, berpikir sebentar, "Mengawasi latihan Fukurodani, kenapa?"
Gelas penuh berisi highball digeser ke depan Bokuto, mempersilahkannya untuk diambil, "Maksud Oikawa, malam di hari Minggu." jelas Kuroo, ikut menikmati interogasi.
"Ah," ucap Bokuto singkat, menyandarkan tubuh pada sandaran kursi kayu, "cuma makan malam biasa."
Kuroo menyeringai, "Candle light dinner di restoran cepat saji," ejeknya, "kupikir kau sudah lebih baik dari itu, Bokuto."
Menenggak sekali cairan berbuih di gelasnya, Bokuto memandang sebal pada Kuroo, "Dia yang mau ke sana," sanggahnya, "aku cuma ikut saja."
Giliran Oikawa yang menaikan sebelah alis, "Dia yang mengajak duluan? Tumben kau mau Bokkun? Biasanya kau duluan yang mengejar seperti bocah tanggung ke gadis lucu yang disukainya."
"Siapa yang bocah?" umpat Bokuto, "Aku yang ajak duluan, tapi kubiarkan dia yang pilih. Aku ikut saja kemauannya."
"Hmm," gumam Kuroo, "ngomong - ngomong, siapa teman barumu ini?"
Piring takoyaki yang tadi masih berdiam di depan Oikawa ia angkat, untuk diletakkan di depannya, si pemilik sepertinya tidak komplain, lebih tertarik dengan cerita Bokuto dibandingkan makanannya. "Dosen di universitas wanita. Aku bertemu dia di teater daerah Ginza."
Sawamura yang sejak tadi diam mendengarkan, mulai ikut berkomentar, "Hee, hebat juga kau, Bokuto."
Seolah satu pemahaman, Oikawa menyambung tanpa diminta, "Kasihan sekali wanita ini, dapat teman baru yang sebodoh kau." tukasnya setengah serius, "Tapi, dosen? Yakin kau? Jangan sampai dia tertular kebodohanmu."
Bokuto membuang kepalan tisu yang digunakan untuk mengelap sisa saus di sisi bibirnya ke arah Oikawa, "Sialan kau," tukasnya, "kalau dia tak mau, pasti dari awal dia tolak ajakanku."
Oikawa terkekeh, "Yah, benar juga," setujunya, "lalu? Sudah sampai mana?"
"Oy, Oikawa," jeda Sawamura, "kau terlalu bersemangat, Bokuto baru mengenalnya, bukan?"
Jawaban polos Sawamura yang berusaha mewakili Bokuto mengundang respon geli dari Oikawa, ia terkekeh sekali, "Ah, benar juga, Yui memang lebih menyukai pria yang pikirannya lurus." ejek Oikawa, beralih menujukan pada Sawamura.
"Yah, tidak sepertimu yang bengkok, Oikawa," timpal Bokuto, "lagipula mau sampai mana? Cuma teman biasa. Selesai makan, kuantar dia pulang."
Kuroo menaikan sebelah alis, menyeringai, "Dulu kau juga bilang begitu soal Kaori," ujar Kuroo, sekedar mengingatkan, "begitu juga dengan Momo-chan, Miyabi-chan. Tapi tentu Kaori beda dengan dua wanita itu."
"Jadi yang mana, Bokkun?" sambung Oikawa, "teman barumu ini masuk kategori mana?"
Bokuto memandang ke atas, seolah sedang menimbang dengan keras, "Entahlah," ucapnya ragu, "tak masuk yang manapun kurasa. Dia cantik. Pintar juga. Kalau ada kesempatan, pasti kuambil. Tapi, dengannya, kurasa sulit."
Ketiga rekannya menunggu dalam diam, mendengar dengan seksama penjelasan Bokuto.
"Kau tahu, seperti barang pecah belah. Ingin kusentuh, tapi tak mau dia rusak." rangkum Bokuto.
Kuroo menaruh dagunya di telapak tangan, "Wah, kawan. Ini bahaya," peringat Kuroo, "kau benar - benar serius kali ini."
"Apanya?" tanya balik Bokuto, bingung.
Oikawa geram dengan kebodohan Bokuto, "Sudahlah, Kuroo. Bokkun, ikuti saja perasaan ragumu itu. Sebaiknya jangan dilanjutkan. Berteman biasa saja." usul Oikawa, "Daripada terlalu larut nanti, entah kau atau wanita malang itu yang rusak nantinya."
Sawamura tak setuju dengan pendapat Oikawa, "Bukan justru bagus? Tandanya Bokuto punya rasa menghargai teman barunya ini."
Melirik sepele pada Sawamura, fotografer sekaligus konsultan hubungan profesional itu mengibaskan tangan, "Sulit untuk dimengerti orang yang pikirannya lurus dan polos. Teman baru Bokuto ini satu dunia denganmu, Sawamura. Pola hubungannya tak akan sama antara kau dan Yui dengan Bokuto dan wanita ini."
Sawamura dan Bokuto nampak masih bingung.
Paham arah pembicaraan Oikawa, Kuroo membantu menyimpulkan, "Bayangkan saja kalau Yui melanjutkan hubungan dengan Oikawa lebih lama."
Kedua pria yang mendapat penjelasan langsung paham, sedangkan Oikawa justru merasa dikorbankan karena dijadikan contoh.
"Yah, intinya begitu," sambung Oikawa, "jalani kasual saja Bokkun. Jangan terlalu serius. Itu saranku sih."
Oikawa bilang begitu, tapi memang Bokuto tidak ada niat apa - apa selain menjalani saja.
Ia berdeham sekali, melegakan tenggorokan yang terasa gatal, "Yah," aku Bokuto, "setiap habis bertemu dengannya, selalu ada urusan yang harus kubereskan sendiri. Atau aku harus menjemur kasur ketika bangun pagi."
Tiga pria di hadapannya mengerjap, lalu pecahlah tawa keras di antara ketiganya.
"Apa kubilang." puas Oikawa.
.
.
.
.
.
.
Bokuto memutar kran air setelah selesai membersihkan sisa - sisa oli dan pelumas lain yang menempel di tangan. Menyeka seadanya dengan handuk yang disimpan di saku, sebelum beranjak ke loker untuk mengganti pakaian. Hari ini ia lembur lagi. Waktunya mencari makan sebelum pulang.
Selesai berganti pakaian, Bokuto berbincang sedikit dengan junior satu timnya, bertukar informasi mengenai kendaraan mana yang besok harus dikerjakan lebih dulu dan mana yang sudah selesai.
Sesampainya di tempat parkir motor, Bokuto mengecek layar ponsel. Pukul 9.10, sepertinya dia bisa menyempatkan makan dulu lalu sampai di apartemen sebelum jam 10 malam. Besok subuh jadwal Bokuto lari pagi.
Hari ini Sabtu.
Bokuto memejamkan mata sebentar, menahan diri untuk tidak berinisiatif yang nantinya malah mengecewakan.
Bertolak belakang dengan tubuhnya yang seolah bergerak sendiri, mencari daftar pesan yang menunjukan satu nama.
Terakhir dia mengirim pesan hampir tiga minggu lalu. Beruntungnya, beberapa hari kemudian, mereka bertemu di lapangan saat Bokuto tengah melatih. Setelah itu ia tidak mendengar kabar apapun.
Jemarinya mengetik pesan singkat, bersiap menanggung resiko kalau pesannya akan nihil respon lagi seperti biasa.
'Selamat malam, Sachiko. Bagaimana kabarmu? Hari ini Sabtu, teater buka. Kabari aku kalau kau mau ke sana.' - Bokuto Kotaro
Ia menghela nafas. Pesan itu terkesan buru - buru dan memerintah, tapi ia cuek saja, karena toh tidak akan ada balasan. Belum tentu juga wanita itu membaca pesannya.
Bokuto menyimpan kembali ponsel ke saku jaket, sebelum mengenakan helm dan bersiap untuk beranjak sesuai dengan rencana.
Baru sempat ia memutar gas pada stang motor, ponselnya bergetar sekali, menandakan ada notifikasi yang masuk. Buru - buru ia menghentikan mesin, meraih lagi ponselnya.
'Selamat malam. Aku baik, terima kasih.
Sekarang aku sudah di depan teater.' - Ogasawara Sachiko
Tak butuh pertimbangan apa - apa lagi. Bokuto tahu rencana bisa berubah kapan saja. Hidup harus bisa selalu fleksibel mengikuti situasi.
.
.
.
.
.
.
Sachiko menghembuskan nafas, menimbulkan kepulan asap putih tipis.
Akhir - akhir ini suhu terasa semakin turun. Mungkin karena sudah mulai memasuki musim dingin. Sepertinya dalam beberapa hari ke depan juga akan turun salju.
Loket penjual tiket belum dibuka meski sudah pukul 9.37. Seharusnya, tiga puluh menit sebelum pertunjukan, paman paruh baya berkacamata sudah bersiaga dari balik jendela, tapi hari ini lebih terlambat dari biasa. Sachiko duduk saja di kursi sebelah loket.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, seperti mencari sesuatu.
Suasana di sepanjang jalan cukup ramai, meski sudah memasuki malam yang tinggi, daerah itu tetap hidup. Membuatnya tidak merasa khawatir.
Sepertinya Bokuto belum membaca pesannya, atau dia sibuk hari ini.
Sachiko menjeda pikiran.
Kenapa juga malah terpikir Bokuto akan datang ke sini? Percaya diri sekali Sachiko, kalau menganggap dengan pesan tadi, Bokuto akan datang seperti beberapa kali yang lalu.
Bukannya justru Sachiko merasa tenang kalau tidak diganggu siapapun?
Ya, seharusnya begitu.
Ketenangannya akan kembali seperti dulu.
Dinikmati saja.
Sachiko baru menyadari kehadiran orang lain, ketika langkah kaki mengetuk beberapa kali.
Seketika insting waspadanya keluar. Apalagi melihat gelagat laki - laki kurus bermantel tebal yang menatapnya dengan senyum yang membuat Sachiko tidak nyaman.
"Ojo - san, sedang apa di sini sendirian?" tanyanya dengan suara mengalun.
Sachiko putuskan untuk mengabaikan saja.
Laki - laki itu tampaknya belum mau menyerah, ia membungkuk di hadapan Sachiko, mendekatkan wajah agar lebih dihiraukan.
"Di luar sini dingin, bagaimana kalau kita minum kopi dulu?"
Sachiko menggeser tubuhnya menjauh, "Tidak, terima kasih."
Ia menyeringai ketika mendengar suara Sachiko, "Oh, ayolah. Kau bisa sakit kalau terlalu lama duduk di sini, setelah itu kita -"
Belum sempat laki - laki itu selesai bicara, ada seseorang yang menarik kerah mantelnya. Membuat laki - laki itu kembali berdiri, tubuhnya dipaksa menjauh dari Sachiko.
Bokuto yang tampak siap menerkam, menatap dingin dengan seringai yang tajam, "Kita apa?" tanyanya sinis.
Seketika darah dari laki - laki itu seakan turun dan sekujur tubuhnya mendingin. Ia meronta sekuat tenaga, tanpa berucap lagi segera lari meninggalkan Bokuto dan Sachiko.
"Dasar," gumam Bokuto, sebelum berbalik menghadap Sachiko yang terperanjat melihat kedatangannya, "kenapa masih di luar?"
Sachiko menunjuk ke loket di sebelahnya, "Loketnya belum buka." jawabnya halus.
Bokuto bergumam sekali, mengecek jam di pergelangan tangan kirinya, "Seharusnya paman itu sudah ada." Ia berpikir sebentar, lalu beralih ke arah pintu masuk, "Aku coba lihat ke dalam sebentar."
Sachiko mengangguk.
Belum sempat Bokuto bergerak, jendela loket terbuka, menampilkan perangai paman paruh baya yang biasa menjaga loket.
"Ah," ujar Bokuto,"yo, oji - san. Kami sudah menunggu."
Paman itu hanya menatap datar pada Bokuto, seperti biasa.
.
.
.
.
.
.
Mereka memposisikan diri seperti biasa, Sachiko mengambil tempat duduk di deretan kursi yang kosong, sedangkan Bokuto duduk satu baris di belakangnya.
Sama seperti sebelumnya, Bokuto tidak terlalu menaruh perhatian pada pertunjukan yang ada di depannya. Apalagi hari ini bukan giliran Anahori. Dia lebih tertarik untuk mengingat perangai Sachiko malam ini.
Masih sama cantik. Setiap kali pertemuan malah semakin cantik. Mungkin karena jarang bertemu, jadi ingatan Bokuto seperti disegarkan kembali.
Wanita itu mengenakan turtle neck yang terlihat pas di tubuh dan rok plisket berwarna gelap, dibalut dengan mantel coklat muda yang Bokuto yakini sama dengan yang ia kenakan saat pertama kali mereka bertemu.
Sepatu boots berhak-nya menambah keanggunan kakinya yang jenjang.
Ia meresapi lagi setiap ekspresi yang dikeluarkan dari raut wajah Sachiko, masih minim, namun terlihat lebih rileks.
Bokuto menarik nafas, mengingat betapa jengkelnya ketika tadi mendapati Sachiko digoda oleh laki - laki hidung belang.
Kalau dia saja tidak berani menyentuh Sachiko, tak ada orang lain yang boleh menyentuhnya.
Aneh, ia belum pernah merasa menggebu - gebu seperti ini ketika melihat ada wanita yang ia kenal diganggu.
Bahkan saat teman wanitanya mengaku membayangkan orang lain ketika tengah berhubungan intim dengannya saja, Bokuto tidak semarah ini.
Atau saat Kaori, mantan manajer klub voli yang juga sempat menjadi kekasihnya hampir tidak pernah membuatnya marah, bahkan saat ia meminta izin untuk bertemu dengan pria lain.
Yah, kalau Kaori sih, memang lebih cocok jadi teman. Mereka berdua menyadari itu ketika sudah menjalani hubungan selama hampir satu tahun. Memutuskan untuk menjaga hubungan baik dan kembali menjadi teman saja.
Setelah itu, Bokuto belum terpikir untuk punya hubungan serius lagi. Lagipula, dia cukup puas dengan sirkel pertemanan dan pekerjaan yang sibuk membuatnya tak punya waktu lebih.
Ia jadi teringat ucapan Oikawa.
'Dijalani kasual saja. Jangan terlalu serius.'
Tapi ini bukan permainan.
.
.
.
.
.
.
Ruangan di dalam gedung teater sepertinya dipasang dengan peredam suara. Membuat situasi di luar tidak terdengar sama sekali ke dalam.
Hujan deras ternyata sudah membasahi daerah sekitar, bahkan membuat sebagian restoran dan bar harus membawa masuk meja yang biasanya untuk tamu di luar.
Jalanan jadi lebih sepi, hampir tak ada pejalan kaki yang hilir mudik. Kendaraan yang lewat juga lebih sedikit jumlahnya.
Pantas saja tadi cuaca dingin sekali.
Sachiko mengecek ponselnya, sudah pukul setengah dua belas malam.
"Sebaiknya telfon taksi, Sachiko," ucap Bokuto, mengalihkan pandangan dari ponsel ke pria di sebelahnya yang juga terjebak hujan, "sepertinya hujan awet."
Sachiko mengangguk sekali, "Kotaro - san bagaimana?"
Bokuto menatapnya ringan, "Aku gampang nanti."
Paling Bokuto menunggu saja sampai hujan berhenti. Tak mungkin motornya ditinggal. Atau dia bisa pakai jas hujan yang disimpan di bagasi motor. Basah sedikit tak apalah.
Lampu di gedung teater sudah semakin redup, menandakan bahwa operasional sudah berakhir. Sebagian restoran yang ada di daerah situ juga nampaknya tutup lebih cepat efek hujan deras.
Sachiko melakukan panggilan ke operator taksi, menunggu beberapa dering sebelum dijawab oleh mesin penjawab otomatis.
Saat ini sedang ada gangguan layanan. Hubungi kembali nanti.
Ia menghela nafas, "Ada gangguan layanan." gumamnya pelan, yang masih bisa didengar Bokuto.
"Hmm," sahut Bokuto, memikirkan strategi lain. Kasihan juga kalau wanita ini menunggu lebih lama, udara dingin. Kalau Bokuto sih, sudah terbiasa. Apalagi suhu tubuhnya lebih tinggi dibanding orang pada umumnya, "coba lagi nanti. Mungkin bisa."
Sachiko mengangguk.
Mereka hening untuk beberapa saat. Hanya suara percikan hujan yang meramaikan suasana.
Tanpa aba - aba, sebuah mobil melintas cepat di jalan blok, melemparkan genangan air yang mengalir di sekitar jalan. Jarak antara jalan kendaraan dengan trotoar dan pelataran gedung yang tidak terlalu lebar membuat Bokuto dan Sachiko terkena percikannya. Bukan sekedar percikan malah, jaket dan pakaian mereka basah terkena air.
"Hei! Sialan kau!" teriak Bokuto tanpa memperdulikan pengendara yang melintas cepat itu mendengar atau tidak, ia langsung berpaling ke arah Sachiko, tanpa menghiraukan dirinya sendiri yang sudah basah.
"Sachiko, tidak apa - apa?" tanyanya setengah panik.
Sachiko mengusap air yang mengenai wajahnya, tampak memelas. Rona di pipinya sedikit memudar, "Pakaianku basah."
Bokuto menoleh ke kiri dan kanan, mencari barangkali ada toko serba ada dua puluh empat jam atau sejenisnya, minimal ada yang menjual handuk atau apapun. Bokuto tidak bisa memberikan jaketnya karena sama basahnya.
Nihil, di sekitar mereka hanya ada restoran dan bar.
Atau love hotel. Berjarak tiga gedung dari tempat mereka berdiri.
Bokuto berhenti sejenak, menimbang yang sepertinya agak membahayakan.
Penemuan Bokuto tak sendiri, karena Sachiko juga melihat ke arah yang sama.
Keduanya bertemu pandang sekilas, seperti berdiskusi untuk hal yang sama meski tahu kesepakatannya akan diragukan.
Angin berhembus, membuat tubuh Sachiko menggigil, ia tak kuasa menahan bersin.
Aaah.
Tanpa banyak pikir lagi, Bokuto meraih tangan Sachiko, membimbingnya menjauhi gedung teater, menyusuri tiga bangunan di sebelahnya.
Asalkan tidak berpikir macam - macam, yang penting dia selamat dulu dari kedinginan, pikirnya.
.
.
.
.
.
.
Sachiko menggenggam kedua tangannya rapat - rapat. Raut wajahnya menunjukan ketidaknyamanan, yang sudah pasti disadari oleh Bokuto.
Pria bertubuh tinggi itu melepas jaket yang lembab, mengaitkannya di hanger sebelum digantungkan pada bar lemari.
"Apa boleh buat," ucap Bokuto, berusaha menetralkan suasana, "Sachiko mandi saja dulu, biar kukeringkan bajumu. Sebelum kamu kena flu."
Sachiko mendelik ke arah Bokuto, lebih erat memeluk lengannya.
Bokuto meneteskan setitik keringat tak nyata, bergidik oleh lirikan sinisnya, "Maksudku, Sachiko mandi lalu sementara pakai mantel handuk yang ada di lemari ini dulu, sambil menunggu pakaianmu kering."
Penenangan Bokuto tak membuat Sachiko nyaman, tapi saat ini ia tak punya pilihan selain patuh.
"Kotaro - san bagaimana?"
Bokuto menanggalkan sweater yang melapisi kaos lengan panjang, masih sedikit lebih kering dibanding jaket dan sweaternya, "Aman. Badanku lebih hangat." ujarnya.
Sachiko mengangguk sekali, sebelum beranjak mengambil handuk mantel yang ada di lemari lalu meninggalkan Bokuto ke kamar mandi.
Sepeninggal Sachiko, Bokuto menghempaskan tubuh di atas sofa. Berusaha menenangkan respon tubuh, meski terasa seperti ada di situasi yang darurat.
'Aah,' racaunya dalam hati, mengusap wajahnya yang menghangat 'tenang. Tidak akan ada yang terjadi. Ini terpaksa karena hujan saja.'
Suara percikan air dari kamar mandi tidak membuatnya semakin tenang. Debar jantungnya justru meningkat satu detak membayangkan apa yang terjadi di dalam dan bagaimana kondisi wanita di dalamnya.
Bokuto mendekati lemari pendingin, membuka pintu dan meraih sekaleng minuman yang ada di dalamnya. Berharap bir akan memberikan penenangan.
Bukan karena ini pengalaman ke love hotel yang pertama. Cih, dari mana dia tahu letak minuman dan fasilitas apa yang ada di sini kalau dia belum pernah datang. Masalahnya bukan itu, tapi justru dengan siapa dia datang kali ini.
Ia menenggak cairan dari kaleng itu banyak - banyak, hingga hampir setengah kaleng tersisa. Meski dingin, alkohol dalam bir bereaksi cepat di dalam badan, menghangatkan tubuh secara berkala.
Ia sudah agak tenang sekarang. Mulai bisa berpikir netral. Ia putuskan untuk duduk saja di atas sofa sambil menunggu wanita-nya, salah, Sachiko selesai mandi.
Tak butuh waktu sampai dua puluh menit, Sachiko keluar dari kamar mandi.
Degup dada yang tadi mulai normal berdetak lebih cepat kembali satu ketukan.
Rambut panjangnya terlihat masih sedikit lemas meski sudah dikeringkan dengan pengering rambut. Pipinya lebih merona berkat mandi air hangat. Ia kini sudah berganti dengan mantel handuk berwarna putih, yang menutup rapat bagian tubuh hingga sepanjang tengah betis.
Meski begitu, tetap saja terlihat erotis di mata Bokuto.
"Oke, sekarang giliranku," ujar Bokuto, buru - buru mengangkat badan dari sofa dan bergerak ke arah kamar mandi, "gantung saja dulu pakaian Sachiko di sana, nanti kukeringkan dengan pengering rambut."
Sachiko mengangguk sekali, sebelum ditinggalkan Bokuto untuk gilirannya mandi.
Ia mengikuti saran Bokuto, tiap helai pakaiannya digantung dengan hanger yang berbeda, lalu dibariskan pada bar lemari yang sama dengan tempat Bokuto menggantung pakaian.
Merasa lelah, Sachiko mengistirahatkan diri di atas sofa. Menyandarkan punggung pada bantalan yang empuk.
Ia mempelajari suasana di sekitar ruangan.
Jadi seperti ini love hotel.
Meski sudah berusia matang, ini kali pertama Sachiko masuk ke love hotel. Perabotan dan suasananya sama sekali berbeda dengan hotel pada umumnya.
Ada beberapa benda unik juga di atas tempat tidur dan lemari. Pipinya merona ketika mengidentifikasi benda - benda yang biasa digunakan untuk kegiatan pasangan dewasa.
Apa hujan masih belum berhenti?
Mendadak Sachiko merasa haus. Ia mengedarkan pandangan lagi ke sekeliling ruangan. Seharusnya gelas dan botol minum disediakan di meja ruangan, tapi Sachiko tidak melihatnya.
Mata Sachiko tertuju pada kaleng bir di atas meja sebelah sofa. Sudah dibuka, sepertinya Bokuto yang minum.
Sachiko memang jarang minum alkohol, tapi bukan berarti dia belum pernah sama sekali. Kadang kalau sedang mood, dia menikmati segelas wine atau whiskey, hanya untuk membantunya lebih mudah tidur. Namun untuk bir sendiri Sachiko kurang begitu suka, karena rasanya yang getir.
Tenggorokannya kering.
Apa boleh buat, untuk saat ini, yang penting hausnya terobati dulu.
.
.
.
.
.
.
Lebih cepat dari Sachiko, Bokuto selesai mandi setelah tak lebih dari sepuluh menit, terasa segar dibanding sebelumnya. Tubuhnya juga menghangat. Bokuto mengenakan mantel handuk lain yang disediakan hotel berwarna hitam, kontras dengan warna putih yang dikenakan Sachiko.
Dari sisi ruangan, ia dapati Sachiko yang tengah terduduk di atas sofa putih. Kepalanya disandarkan pada bantalan sofa. Kelihatannya dia mulai tidur.
Bokuto menghampiri sosok Sachiko yang bergeming, sedikit membungkuk untuk menyamakan sudut pandang.
"Sachiko," panggil Bokuto halus, berhati - hati supaya tak mengejutkannya yang terlihat mulai lelap, "tidur di kasur saja. Biar aku tidur di sofa."
Wanita itu masih bergeming, malah terlihat semakin nyaman.
Bokuto meraih pundak Sachiko, menggerakannya perlahan, "Sachiko."
Perlahan, kelopak matanya terbuka, memperlihatkan iris yang berwarna pekat, tatapannya halus. Senyum tipis perlahan muncul ketika ia menatap wajah Bokuto.
"Hai." sapanya pelan.
Bokuto mengerjap sekali, "Hei." balasnya, bingung dengan respon Sachiko yang terlihat kasual, "kamu mabuk?"
Sachiko menoleh ke arah kaleng bir yang bertengger di atas meja, membuat Bokuto mengikuti arah pandangnya. Ia menengadahkan kepala dan menutup kedua mata dengan punggung tangan.
"Sepertinya," gumam Sachiko, suaranya nyaris tak terdengar, "aku haus sekali tadi."
Bokuto menyunggingkan senyum tipis, "Kamu tidak biasa minum?"
Wanita itu hanya menggeleng sekali.
Bokuto menghela nafas, mengusap pucuk kepala bersurai hitam nan panjang, "Pindah ke kasur ya. Nanti aku tidur di sofa."
Sachiko mengintip dari balik punggung tangan, sebelum mengibaskannya, mengarahkan Bokuto untuk mendekat.
Bokuto yang bingung mengikuti arahan saja, ia menumpukan bobot tubuh pada satu dengkul, menyamakan sudut pandang dengan Sachiko yang masih bersandar pada sofa.
Jemari halus nan ramping meraih sisi wajah Bokuto, mengusapnya pelan.
Mata keduanya bertemu. Milik Sachiko lebih dalam memperhatikan.
"Aku baru sadar," racaunya mengalun, "kamu tampan."
Bokuto mengerjap sekali, detak jantung serasa terhenti, namun segera diatur supaya tetap stabil.
Jangan terbawa suasana, peringatnya.
Tersenyum simpul, Bokuto menjawab halus, "Terima kasih, cantik. Sekarang pindah yuk."
Sachiko masih belum melepas sentuhannya pada wajah Bokuto, kini meraba garis rahang, pipi, dan hidung. Sampai akhirnya ibu jari bertemu di belahan bibir Bokuto.
"Kotaro - san." bisiknya semakin halus, terdengar sensual. Mantel handuknya sedikit bergeser, memperlihatkan sebagian garis bahu yang putih, tali pakaian dalamnya yang berwarna pastel mengintip.
"Ya?" suara Bokuto kini terdengar lebih berat dan serak. Ia menikmati tatapan sayu yang mengundang.
Senyum tipis kembali menghias wajah cantiknya, ronanya membuat Bokuto menahan diri untuk tidak segera mencicip.
"Suka aku?"
Tanpa sadar, tubuh Bokuto semakin mendekat, mempersempit jarak antara mereka, hingga suhu tubuh saling terasa.
"Setiap inci darimu." ucapnya sebelum menyentuhkan garis bibir miliknya dengan milik Sachiko.
Surga.
Hanya itu yang ada di pikiran Bokuto. Seperti air segar di kala ia kekeringan, seperti angin sejuk di hari yang terik. Semua yang indah terngiang di kepala.
Jemari Sachiko masih mengusap sisi wajah Bokuto, sedangkan tangannya yang lain meremas lemah pada bagian depan mantel handuk yang dikenakan Bokuto.
Semakin lama, kecupan lugu itu berubah menjadi lebih intens. Sachiko membuka sedikit bibirnya, memberikan celah untuk Bokuto merebut oksigen dari mulutnya.
Percumbuan masih berlanjut, sampai Sachiko tidak menyadari Bokuto sudah mengambil tubuh rampingnya dalam rangkuman, membopong Sachiko meninggalkan sofa dan menuju tempat tidur.
Bokuto meletakkan tubuh Sachiko di atas tempat tidur, lalu memposisikan diri di atasnya, menyelimuti dengan tubuhnya sendiri. Tanpa sekalipun melepaskan pertemuan antar bibir, sesekali lidah ikut serta, mengalirkan segaris liur di pipi Sachiko.
Di satu titik, Bokuto menyentuh leher Sachiko, mengelus pelan helaian rambut yang menempel di sana, sebelum menjauhkan wajah, menghentikan peraduannya.
Iris kuningnya bertemu lagi dengan iris hitam kebiruan milik Sachiko. Memandang dalam.
"Selamat tidur," bisiknya, "ojo - sama."
Ia mengecup kening Sachiko sekali lagi, sebelum melepaskan diri dan bangkit dari tempat tidur.
Bokuto menghempaskan tubuh pada sofa, terduduk sembari memperhatikan wanita-nya yang sudah tertidur lelap.
Ia mengacak helaian rambut di kepalanya. Kepalanya terasa panas.
Sepertinya ia harus mandi lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc
With love,
Dinda308
