Bokuto Kotaro X Ogasawara Sachiko

Takane No Hana

Chapter 6

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Bokuto - san," sebut Akaashi, setengah berjalan cepat untuk menemui seniornya yang baru tiba di area workshop, "ini laporan unit yang baru selesai diperiksa. Unit 1 dan 2 harus dibongkar karena turun mesin, lalu unit 3 overheat dan sedang dikerjakan tim lain. Unit 4 diminta selesai mengganti mesin sebelum pukul 8 malam ini."

Bokuto memindai cepat lembar laporan di tangan Akaashi.

Ia menyeringai. Konsentrasi dan semangat kerjanya hari ini sedang dalam kondisi maksimal. Lengan kekarnya menepuk keras bahu Akaashi, sebelum mengangkat kepalan tangan bebas ke udara.

"Bilang pada manager, suruh pelanggan jemput mobilnya jam 6 sore," titah Bokuto, "berapapun yang datang, akan kuurus. Ayo, Akaashi!"

Juniornya hanya bergumam sembari mengelus bahunya yang nyeri akibat pukulan kuat dari tenaga berlebihan Bokuto. Sampai sekarang senior sekaligus mantan kapten satu timnya itu belum bisa mengontrol kekuatannya sendiri dengan baik.

Dalam rintihnya, senyum tumpul ikut hadir di wajah Akaashi. Bokuto memang selalu antusias, meski ada kalanya moodnya turun. Hari ini ia tampak lebih semangat dari biasa, mungkin ada hal baik yang terjadi padanya.

"Baik, Bokuto - san."

.

.

.

.

.

.

Alunan nada perlahan menurun, menandakan hampir mencapai outro. Beberapa ketukan sampai akhirnya benar - benar berhenti. Mengheningkan suasana di ruangan yang kedap suara. Dua wanita yang berada di tengahnya tak berkata, yang satu tengah menganalisis, sedangkan yang lebih muda menanti penilaian dengan gugup.

Sachiko memeluk kedua lengan, posisi duduknya tak berubah, seakan dia mematung di sana. Dari ekspresi wajah yang biasanya minim respon, terlihat jelas ada sesuatu yang mengganjal. Seperti perasaan tidak puas atau belum menemukan sesuatu yang dicari.

Menghela nafas, Sachiko berusaha menetralkan auranya yang disadari menimbulkan ketegangan, "Entahlah, Shimako," mulai Sachiko, berhati - hati agar nada suaranya tak terdengar terlalu menggurui, "ada sedikit perubahan yang lebih baik di beberapa bagian. Sayangnya, sepertiga akhir masih sama seperti pertemuan minggu lalu. Bahkan bisa kukatakan, seolah kamu ingin terburu - buru selesai."

Suara lembut Sachiko tak membantu untuk membuat kalimat tegasnya terdengar lunak. Seketika kegugupan semakin nampak di wajah blasteran mahasiswi tingkat akhir yang sudah satu tahun berada di bawah bimbingannya.

Toudou Shimako seusia dengan kedua adik kembar Sachiko, Yuki dan Yumi, membuatnya tak merasakan kecanggungan sejak hari pertama gadis dua puluh satu tahun itu mengetuk pintu ruangannya.

Sachiko tidak terbiasa untuk membandingkan mahasiswi bimbingannya antara satu dengan yang lain, meski begitu ia bisa mengatakan bahwa Shimako memiliki talenta yang baik. Dia gadis yang tekun dan cepat belajar. Hanya satu hal yang perlu dilatih lebih banyak. Rasa percaya dirinya.

Meraih sisi lengan dan mengelusnya perlahan, Sachiko membantu menenangkan kegugupan Shimako yang entah kenapa hari ini terlihat lebih nampak dibanding biasanya. "Ada apa?"

Gadis bersurai madu terang itu menggigit bibirnya sebentar, menimbang kegundahan yang belum bisa ia ungkapkan pada siapapun, termasuk keluarganya sendiri.

Mungkin hanya Shimako yang merasakan, tapi bagi Shimako, kedekatan dengan Sachiko lebih erat dibandingkan dengan dosen lain yang pernah membimbingnya. Pembawaan Sachiko yang lembut dan hangat, namun tak segan untuk menampilkan ketegasan ketika di ruang kelas membuat Sachiko menjadi salah satu sosok panutan untuk Shimako.

"Umm," gumam Shimako, ia menautkan kedua jemari yang terasa sedikit dingin, "mohon maaf, sensei. Saya… kesulitan untuk fokus."

Sachiko beralih, mengganti sentuhan pada lengan ke tangan Shimako, tak berhenti memberikan penenangan, "Tak apa, Shimako," tenangnya, "sudah kamu pertimbangkan untuk mengambil libur dulu? Kita masih punya waktu tiga bulan sampai ujian akhir. Ada baiknya kamu pertimbangkan istirahat beberapa hari."

Shimako menggeleng, pipi putihnya sedikit memancarkan rona kemerahan, "Sejujurnya…sensei," ragu Shimako, yang diberikan kesempatan oleh Sachiko untuk mengungkapkan kegundahan yang nampak sejak pekan sebelumnya, "untuk latihan sendiri pun sudah jarang saya lakukan."

Sachiko bergumam sekali, "Begitu ya?" responnya, "kalau kamu tidak keberatan, boleh aku tahu apa yang membuatmu gelisah?"

Pertanyaan Sachiko disambut keheningan dari gadis di hadapannya.

Menghela nafas pelan, Sachiko tersenyum tumpul, "Shimako," panggil Sachiko, "pergilah berlibur. Aku akan menemuimu lagi di ruangan ini dua minggu kedepan. Sebelum hari itu, kamu bebas bercerita apapun padaku, kalau kamu siap, kecuali apapun yang berkaitan dengan tugas akhir. Bagaimana?"

Anjuran Sachiko sempat menimbulkan reaksi penolakan dari Shimako, meski ia tidak berucap apapun. Namun sebelum sempat ia bersuara, ia kembali menundukan kepala, mengikuti arahan sang dosen. Ia selalu lebih tahu kebutuhan Shimako.

"Baik." ucapnya patuh.

Sachiko mengembangkan lagi senyumnya, mengelus pipi kemerahan Shimako sebelum beralih pada partitur di depan mereka, memberikan beberapa tanda lalu menutup dan menyerahkannya kembali pada si pemilik, "Sampai ketemu dua minggu lagi. Kerja bagus hari ini."

Shimako menerima map transparan berisikan lembaran partitur yang sedikit tebal, memeluknya seraya bangkit dari bangku. Ia menunduk dalam pada Sachiko sebelum beranjak meninggalkan ruangan seluas dua belas meter persegi yang didominasi warna krem dan putih.

Sepeninggal mahasiswi terakhir yang dibimbingnya hari ini, Sachiko melemaskan pundak. Akhirnya sedikit bisa melepas ketegangan yang dirasa sejak pagi tadi. Ia mengecek waktu pada arloji di pergelangan kiri. Pukul 6.40 malam. Sedikit terlambat dibanding jam pulang biasanya.

Setelah mengisi laporan harian, Sachiko berkemas untuk pulang. Memastikan di meja kerja sudah tidak ada yang tertinggal. Menoleh sedikit ke arah samping meja kerja, ia memberikan fokus terakhir pada helm ungu muda yang bertengger di atas laci kecil tepat di sebelah meja kerjanya.

Sachiko merogoh is tas tangan biru gelapnya, mencari ponsel putih miliknya yang sejak tadi memberikan notifikasi. Namun, ia abaikan sampai mahasiswinya selesai diberikan bimbingan.

Memindai cepat, Sachiko menangkap beberapa pesan masuk.

Dari Yumi, rekan kerjanya, dan Bokuto Kotaro.

Setelah membalas pesan rutin adiknya yang menanyakan kapan kembali ke rumah, rekan kerja yang menanyakan jadwal seminar, giliran pesan Bokuto Kotaro yang menjadi topik bahasan Sachiko.

Hari ini harus lembur, jadi dia menyarankan Sachiko untuk naik taksi.

Permintaan maaf, katanya.

Pesannya masuk sejak delapan puluh menit lalu. Ketika Sachiko tengah sibuk memberikan bimbingan.

Sachiko menaikan sebelah alis, lalu menggeleng kepala. Entah respon seperti apa yang harus dia rasakan.

Antara bingung, kenapa Bokuto minta maaf. Padahal menjemput Sachiko bukan kewajibannya.

Atau sedikit merasa ada yang menggelitik di dada, karena alasan yang ia sendiri tak paham.

Satu sisi, ia merasa seperti terbebani juga. Mungkin karena merasa bersalah, jadi seperti merepotkan Bokuto.

Ambigu.

Sachiko tahu, ini selayaknya pola interaksi dua manusia dewasa pada umumnya. Laki - laki dan perempuan. Saat ada unsur ketertarikan, hubungannya berlanjut. Tidak berhenti sampai di status kembali menjadi orang asing.

Yang membuatnya ragu adalah, ini terlalu cepat.

Memang, ia menangkap umpan dari Bokuto dengan terbuka, entah karena keadaan atau pertahanannya yang melemah. Apa yang Bokuto sarankan, ajakan, atau candaannya hampir tak pernah gagal mendorong Sachiko untuk terkait oleh kailnya.

Ketika bersama Bokuto, Sachiko seperti berubah menjadi lebih menerima. Seolah tak ada benteng yang perlu ia bangun. Namun, ketika mereka berpisah, semua nalar Sachiko kembali menginterogasi.

Sayangnya, Sachiko menyimpulkan penyadaran setelah tak melihat wajah Bokuto condong bersifat negatif. Ia tak menyukai menjadi orang yang terlalu menerima.

Jemarinya mengetuk layar, merangkai kalimat balasan untuk pesan Bokuto.

'Aku baru selesai mengajar. Setelah ini langsung pulang dengan taksi.

Di luar dingin, kuharap Kotaro - san mengenakan pakaian hangat saat perjalanan pulang nanti.

Selamat bekerja, Kotaro - san.' - Ogasawara Sachiko

Ia menghela nafas pelan, memejamkan sekilas mata yang tegang.

Berharap balasan netralnya tak memiliki pengertian yang beragam.

.

.

.

Dia terlihat manis ketika baru bangun tidur.

Dan tubuhnya terasa lebih hangat ketika memberi sambutan selamat pagi.

.

.

.

.

.

.

Dering alarm dari ponsel menghentikan Bokuto dari tidur dalamnya. Ia terbangun dengan tubuh yang sedetik tersentak, suara tarikan nafas tak bisa ditahan. Meski dalam keadaan linglung, refleks Bokuto tetap berjalan dengan sendirinya. Otak mengidentifikasi dimana ia letakkan sumber suara yang mengganggu mimpi indahnya.

Dalam kekesalannya, Bokuto tidak bisa menolak takdir bahwa ia harus bangun dan memulai aktivitas. Bersyukur hari ini ia mendapat giliran shift siang, jadi ia bisa mendapat waktu tidur yang cukup setelah malam sebelumnya harus lembur dan baru tiba di apartemennya lewat tengah malam.

Seperti rutinitas pada hari lain, ia mengecek terlebih dahulu notifikasi yang masuk di ponsel sebagai pembuka aktivitas harian. Hanya pesan baru dari Akaashi, Kuroo dan murid klub voli Fukurodani. Ia putuskan untuk diabaikan saja, nanti kalau bertemu baru mereka bahas percakapan yang bahkan belum Bokuto tahu apa isi pesannya.

Sebaliknya, ia justru membuka lagi pesan yang notifikasinya sudah dibuka. Membaca ulang kotak pesan yang dilempar bergantian. Senyumnya tumpul, dalam dada seperti melompat ringan.

Selamat istirahat, katanya. Bokuto balas dengan kalimat yang sama.

Tak mau membiarkan pesan darinya menggantung. Harus diakhiri oleh Bokuto. Itu baru namanya pria sejati.

Bokuto membaringkan lagi tubuhnya di atas kasur, membenamkan kepala pada bantal. Membiarkan hembusan nafas mengeluarkan suara.

Hari ini shift siang. Pulang malam lagi. Pikirnya.

Belum bisa melihat wajah si pujaan hati.

.

.

.

Tunggu dulu.

Pujaan hati?

Kita ini apa sebenarnya?

Apa sudah ada kesepakatan untuk memberikan status dalam hubungan yang dijalani ini?

Tak usah munafik, Bokuto memang menyukai keberadaan Sachiko. Perangainya, sifatnya yang kadang tak bisa ditebak. Bahkan raut wajah sinisnya pun Bokuto suka.

Dan hasratnya yang sampai kini masih berani dijadikan fantasi.

Tapi kalau dibilang sampai ke hati…

Bokuto perlu mendalami lebih dalam dulu.

Bukan berarti ia menyerah. Oh tentu saja tidak.

Yang pasti, dia tak akan membiarkan putri yang satu ini direbut orang lain.

Ogasawara Sachiko akan menjadi kepunyaan Bokuto Kotaro.

.

.

.

.

.

.

Hari - hari berlalu begitu saja. Bokuto yang tenggelam dalam nikmat kesibukannya, hanya bisa meratapi hubungan barunya melalui perantara maya. Tanpa ada kemajuan berarti.

Bagaimana bisa ada perubahan, kalau bertemu saja susahnya minta ampun. Kalau tidak Sachiko yang sibuk, Bokuto yang terlanjur mengikuti kesenangan bekerja dan melatih. Dunia Bokuto memiliki banyak hal yang berebut menjadi dominasi.

Pertemuan terakhir mereka seperti mimpi saja. Bahkan setelah Bokuto melihat wajah bak malaikat Sachiko dari malam sampai pagi saja, sekarang seperti tidak ada arti khusus.

Ya, memang tak ada hal lain yang terjadi. Sachiko tetap tidur sendiri di kamarnya, sedang Bokuto tertidur di sofa ruang tengah apartemen Sachiko. Tapi, perbincangan tengah malam sebelum tidur, pagi yang disambut dengan sarapan khas rumah, momen ketika ia menunggu Sachiko bersiap berangkat mengajar, sementara ia menonton berita olahraga pagi, sikat gigi baru yang Sachiko siapkan untuk Bokuto (warnanya merah muda, tentu saja persediaan sikat gigi baru yang tadinya untuk Sachiko).

Dan pelukan terakhir itu. Pelukan sebelum berangkat yang Bokuto minta dan dituruti dengan baik oleh Sachiko, sama seperti malam sebelumnya.

Bukankan sudah jelas, kalau ada sesuatu di antara mereka?

Pun belum sampai ke hati, setidaknya ada sesuatu. Sesuatu itu yang harus dipupuk agar semakin bertumbuh.

Bokuto juga bukan orang yang sabar.

Sekedar mengorbankan waktu tidur tak akan sebanding dengan pencapaian untuk memperjelas status hubungannya.

"Akaashi, besok biar aku shift pagi. Kau masuk siang saja." titah Bokuto, namanya tak terdengar seperti bisa dibantah.

Akaashi hafal sekali nada bicara Bokuto. Sikap semaunya sendiri kumat, tapi ia juga tahu mana keegoisan Bokuto yang mesti dicegah dan mana yang bisa ditoleransi. Apalagi malam ini Akaashi juga lembur, jika besok digantikan oleh Bokuto, Akaashi bisa dapat lebih banyak waktu istirahat.

"Onegaishimasu, Bokuto - san."

.

.

.

.

.

.

Udara sudah semakin dingin, prakiraan cuaca mengabarkan kemungkinan turun salju akan datang dalam beberapa hari ke depan. Sachiko merapatkan mantel yang melapisi sweater rajutnya. Cukup untuk menghangatkan tubuh selama beberapa menit ke depan selama perjalanan kembali menuju apartemen.

Bokuto memperhatikan gerak gerik Sachiko dari atas motornya. Setelah memastikan kaitan helm ungu muda Sachiko terpasang dengan benar, ia berlanjut melepas jaket baseball yang digunakan dengan maksud menambah kehangatan tubuhnya sendiri, tapi berganti tujuan, karena kini ia sampirkan pada lapisan terluar mantel Sachiko. Ukurannya yang besar seperti menangkap tubuh ramping Sachiko.

"Pakaianku sudah cukup hangat, Kotaro - san," sanggah Sachiko, yang tak diacuhkan oleh Bokuto yang masih sibuk mengaitkan ritsleting, membungkus rapat torso Sachiko hingga mencapai pinggul, "nanti Kotaro - San yang kedinginan. Apalagi kamu berhadapan langsung dengan angin."

Lengan kokoh yang terlapis sweater mengalungi leher Sachiko, mengeluarkan panjang rambut yang terperangkap di leher jaket baseballnya, "Angin begini tak akan membuatku mati. Lagipula aku ini atlet. Suhu tubuhku lebih panas dibanding orang biasa."

Tanpa membiarkan Sachiko protes lebih lama, Bokuto segera memposisikan tubuhnya pada jok motor, memulai mesinnya, "Ayo, sebelum salju benar - benar turun. Aku juga sudah lapar."

Lagi - lagi Sachiko tak bisa menolak, kadang jengkel dengan kebiasaan pasrah di hadapan Bokuto.

"Oh iya," Samsung Bokuto, tepat ketika Sachiko sudah menyarankan posisi duduk pada jok motor dan Bokuto merasakan lingkaran lengan Sachiko pada pinggangnya, "sehabis makan nanti, ada yang perlu kubicarakan. Keberatan tidak kalau aku singgah sebentar di tempatmu?"

Bokuto memang pernah menghabiskan malam di tempatmya, tapi Sachiko masih tidak merasa nyaman, "Apa boleh disampaikan di restoran saja?"

Laki - laki itu terdiam sebentar, menimbang jawaban.

"Orang lain tak perlu dengar. Ini penting."

Cara bicaranya menandakan urgensi. Membuat Sachiko tak bisa menolak kepentingannya meski sedikit tak nyaman.

"Baiklah."

.

.

.

.

.

.

Tak banyak percakapan dan perbaruan informasi yang saling mereka tukar selama makan malam. Bokuto juga masih bersikap sama seperti biasa. Rileks, sesekali mengimbuhkan candaan, ada beberapa orang yang Bokuto kenal juga saat di restoran. Sampai Sachiko sempat lupa kalau masih ada percakapan setelah ini.

Seperti sudah familiar, Bokuto mengambil posisi duduk di sofa setelah Sachiko mempersilakan masuk. Ia tak mempermasalahkan, toh Bokuto sudah bukan orang asing baginya. Lagipula, ia sudah menaruh kepercayaan pada Bokuto, bahwa laki - laki ini tak akan berbuat hal yang tak sesuai keinginan atau tanpa persetujuan Sachiko.

Sachiko meninggalkan Bokuto sebentar untuk menyiapkan minuman hangat. Saat jarak menuju apartemen kurang beberapa ratus meter, salju pertama turun, Sachiko yakin sekuat apapun Bokuto melawan cuaca dingin, tubuhnya tetap akan rapuh jika dihadapkan dengan salju yang membeku.

Konsentrasinya pada teko pemanas air yang mulai beruap membuat Sachiko tak menyadari sosok Bokuto yang sudah turut serta bersamanya di dapur yang masih tersambung dengan ruang tengah. Tubuhnya sekilas terperanjat saat sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.

Meski tiba - tiba, tapi tak mengintimidasi, tak mengancam. Hanya menyalurkan hangat dan kenyamanan. Nafasnya yang hangat menyebar di sisi kepala Sachiko.

Sachiko membiarkan kedua telapak tangannya beristirahat di atas meja dapur, fokus matanya sekilas melirik teko pemanas air yang otomatis mati ketika air sudah mencapai suhu yang diinginkan. Pikiran tak berjalan kearah lain lagi setelahnya. Hanya samar merasakan detak jantung dari dada Bokuto yang menempel dengan punggungnya.

Tanpa mengikuti nalar, tubuh Sachiko mengikuti kehangatan Bokuto. Dengan sendirinya perlahan bersandar, membuat lengan Bokuto semakin erat memeluk pinggang dan membenamkan ujung hidungnya pada helaian rambut yang tersampir pada bahu Sachiko.

"Kalau kau setuju, akan kuperjuangkan," gumam Bokuto di antara helaian rambut yang panjang terurai, nafasnya menggelitik leher Sachiko, "kau tidak perlu berbuat apa - apa, cukup biarkan aku berjuang untukmu."

Sachiko mengulum bibir, menerka - nerka maksud ucapan Bokuto.

Salah, bukan menerka maksud Bokuto. Ia tahu sekali kemana arah pembicaraan laki - laki bertubuh tinggi dan kokoh di belakangnya. Yang tak ia tahu kepastiannya adalah dirinya sendiri.

Mau ia bawa kemana hubungan ini? Apa nalar tidak bisa pernah menang melawan gejolak yang dirasa setiap kali tubuh mereka bertemu?

Sachiko sendiri tidak tahu dianggap apa Bokuto bagi dirinya.

"Kamu tidak kenal aku," Sachiko balik berbisik, "tidak tahu keluargaku. Atau seperti apa aku selain yang kamu temui dalam waktu singkat ini."

Bokuto menghirup aroma halus yang mulai terasa familiar. Tak pernah gagal menciptakan sensasi yang menggelitik dalam dada.

"Itu urusanku," sanggahnya tanpa menantang, "sekali lagi, kau tak perlu berbuat apa - apa."

Jemari Sachiko beralih, mengistirahatkan di atas punggung tangan Bokuto yang masih bertengger di pinggangnya. Ia memberi sedikit jarak, memberikan ruang untuk tubuhnya berbalik menatap sosok Bokuto.

"Kalau kubilang," kalimat Sachiko terjeda sedetik, iris terang Bokuto membuatnya tak bisa menata kalimat dengan apik, "aku punya tunangan yang sudah dijodohkan sejak kecil, kamu mau apa?"

Kelopak mata yang sedikit melebar memberi tanda respon, meski tak ada ekspresi lain yang bisa dibaca. Anehnya, ia tetap terlihat tenang.

Tak sekalipun ia punya niat untuk menjauhkan lengan dari sandaran pada pinggang Sachiko.

"Kau mengharapkannya?" tanya balik Bokuto, singkat.

Pergumulan dalam dada Sachiko beradu tanpa suara, ia hanya bisa menggigit bibir. Yang justru tanpa niat malah memancing kembali rasa penasaran Bokuto. Seperti apa rasanya jika ia yang menggigit kulit tipis itu.

Pertanyaan Bokuto seperti merangkum kegundahan Sachiko atas situasi yang membuat hubungannya dengan Suguru berubah drastis. Keraguan itu selalu ada, tapi tak pernah sempat ia biarkan keluar secara gamblang.

"Tidak."

Bokuto menyunggingkan sudut bibir, sebelah alisnya naik.

"Jadi?" giringnya halus, menggoda.

Ego mulai tertantang, tangannya mengepal lemah kain sweater di sisi tubuh Bokuto.

"Jadi, kamu mau apa?" suaranya naik satu nada, masih setengah berbisik. Terdengar mengundang.

Bokuto menggumamkan tawa singkat, mendekatkan wajah pada perempuan dengan tinggi hanya mencapai lehernya. Sachiko bisa merasakan kulit dari ujung hidung yang saling menyapa.

"Aku bertaruh, kau tak akan menyesal." ucapnya yang ditandai dengan segel di antara bibir yang bertemu. Familiar, meski dengan sensasi berbeda.

.

.

.

.

.

.

"Kau salah, Oikawa," ucap Bokuto di tengah percakapan rutin antara mantan kapten yang belakangan sering dilakukan, "kalau dia tak satu dunia denganku, aku yang akan membawanya ke dalam duniaku."

Bokuto siap berjuang. Apapun untuk Ogasawara Sachiko.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

With love,

Dinda308