"Jadi, bagaimana menurutmu mereka berdua, Hotaro-san?" Kakashi menerima berkas laporan pembunuhan sekaligus penculikan yang melibatkan keturunan klan Hagoromo.

"Maksud Hokage-sama itu, Tenten dan Ino?" Tanya Hotaro. Kasus itu sudah selesai tepat satu minggu yang lalu. Tapi pembicaraan tentang kasus itu tidak pernah berhenti karena melibatkan media.

Untuk pertama kalinya, desa melibatkan Media Berita dalam kasus kriminal. Biasanya, pemerintahan yang memegang kendali sesuai dengan aturan yang berlaku. Tapi kemarin, Ino, Tenten beserta Kiba dengan seenaknya memanggil Media untuk kepentingan kepolisian tanpa memberitahu Hokage.

Ia jadi kembali teringat pada waktu itu.

"Bagaimana bisa kalian menemukan tersangkanya?" Hotaro masuk ke dalam batas ruang interogasi. "Kenapa Ino dan Tenten di dalam? Mereka melakukan apa?" Hotaro melihat Ino dan Tenten dibalik kaca sedang berusaha untuk memberikan tekanan kepada tersangka wanita yang berhasil ditangkap.

"Ino dan Tenten melakukan hal gila dengan menggambar ulang wajah dewasa dari tersangka, saat petugas Labor menemukan kecocokan DNA perbandingan dari selimut asing yang dikenakan Emi Nakamura dan korban yang pernah hilang dari desa dua belas tahun yang lalu. Ino menemukan titik butanya. Gadis itu kembali dengan sangat menakjubkan." Kiba tidak malu memuji Ino secara terang-terangan. Gadis itu dari kemarin berhasil membuatnya terpukau dengan segala kemampuan berpikirnya yang sangat cepat dan akurat. Seolah, dia sudah terbiasa melakukan hal ini.

Apa mungkin bertemu dengan banyak orang di luar desa, membuat Ino harus mengambil langkah tajam untuk mempelajari sikap seseorang? Agar bisa memilah mana yang dipercaya, mana yang tidak? Kiba tidak tahu.

"Lalu, setelahnya apa?" Hotaro belum mengerti dengan cara kerja yang mereka lakukan. Mereka mengambil keputusan sendiri saat ia sedang bertemu dengan Ibiki untuk meminta bantuan.

"Lalu mereka menyebarkan sketsa wajah dewasa korban yang pernah hilang tersebut dan BOOM! Beberapa warga sipil menangkapnya dan mereka berdua di dalam sedang melakukan permainan interogator baik dan buruk. Lihat saja wajah sinis Ino sangat menjiwai permainannya." Lee berujar melanjutkan menjawab pertanyaan Hotaro.

Sedangkan di dalam ruangan interogasi, Tenten sedang berusaha untuk mendekatkan diri dengan salah satu tersangka yang telah ditangkap. "Ayumi, aku tidak bisa membantumu kalau kau tidak jujur denganku."

"Sudah aku katakan, aku yang membunuh mereka." Tersangka yang bernama Ayumi itu dengan tegas mengatakan kebohongan.

"Sendirian?" Ino berujar dengan sinis.

"Ya."

Tenten berusaha untuk mengambil simpati. "Aku tahu itu tidak benar."

Ino mengeluarkan aura dominan yang pernah ia pelajari dengan seseorang. "Bagaimana kau melakukannya? Bagaimana kau menculik seorang anak dan mengendalikan dua orang dewasa saat kau menggorok leher mereka?"

"Ayolah, kau tahu dia tidak bertanggung jawab atas hal ini." Tenten terus menerus melakukan pembelaan untuk Ayumi.

"Aku tahu karena kita menemukan banyak mayat dan ia tahu di mana suami dan anak laki-lakinya berada."

"Kaulah korbannya di sini, Ayumi."

Ino nyaris mengamuk. "Tidak. Yang benar saja! Dia telah membunuh orang yang tidak berdosa."

"Keluarganya di bunuh." Tenten menatap nyalang ke arah Ino.

"Lalu kini ia membunuh keluarga lain." Balas Ino tidak mau kalah.

"Ayumi ini bukan salahmu."

"Namaku bukan Ayumi. Namaku Kaya." Jawabnya bergetar. Ada rasa takut dan juga marah, yang keluar dari bibirnya.

"Bukan. Namamu Ayumi Tadakoro dan kau dulu adalah gadis yang cantik. Ibu dan ayahmu di bunuh, lalu kau di culik." Ujar Tenten menyerahkan gambar yang berisi dirinya saat waktu kecil. "Kau mengenali dirimu sendiri? Kau melihatnya?" Melihat Ayumi yang sedikit tertegun, Ino dan Tenten saling melirik memberikan kode.

Ino menggebrak meja dan membentak Ayumi. "Aku sudah muak! Di mana suami dan anakmu?!"

Tenten tidak mau kalah. "Tinggalkan kami sendiri! Lihat aku, Ayumi. Jangan melihat ke arahnya. Mereka mencuri hidupmu. Biarkan aku membantumu mengambilnya kembali."

Tidak terima dengan bentakan Ino, Ayumi menatap nyalang Ino dan ikut membentaknya. "Gadis kecil itu lebih baik bersama anakku dibandingkan lelaki lain yang ia temui di desa ini."

"Aku yakin kau mendidiknya dengan sangat baik. Ceritakan tentang ibumu." Tenten berusaha menenangkan Ayumi.

"Aku sudah ceritakan semuanya. Aku membunuh mereka sendirian."

"Ayumi lihat aku."

"Namaku bukan Ayumi."

"YA benar. Namamu Ayumi Tadakoro. Kau berasal dari Konohagakure. Katakan kepadaku di mana suami dan anak laki-lakimu berada. Jadi, aku bisa membantumu untuk mengambil hidupmu kembali."

Disisi lain, Ino mengeluarkan gambar-gambar korban yang di bunuh oleh Ayumi.

"Mau lihat apa yang kau lakukan?" suara bengis Ino mendekat dan mendorong maju kursi Ayumi agar bisa melihat wajah-wajah korban yang tidak bersalah.

"Tunggu, jangan tunjukkan itu." Tenten memprotes."

"Ia membunuh mereka sendirian, ia bisa melihatnya lagi, atau aku akan melakukannya dengan teknikku, agar kau dapat melihatnya terus-menerus sepanjang sisa hidupmu layaknya genjutsu. Para pembunuh biasanya senang ketika mengingat kejahatan mereka."

"Kau tahu ini? Ryu Nakamura. Ia meninggal karena irisan yang kuat dan tegas. Itu suamimu yang melakukannya." Lanjut Ino mengeluarkan semua yang ia miliki. "Kaoru Nakamura, lukanya tidak tepat, tapi berhasil menghilangkan nyawanya. Yang melakukannya adalah putramu. Aku yakin, saat suamimu mengajari anaknya bagaimana cara membunuh, tangannya akan stabil."

"Baiklah berhenti. Ayumi kau tidak harus melihatnya." Tenten berusaha untuk menutup gambar-gambarnya.

"Kau mau melihat lebih banyak lagi?" ujar Ino mengambil sebuah foto lama yang kuno.

"Aku tidak tahu apa itu."

"Kalau begitu perhatikan! Apa kau tidak mengenali ibu dan ayahmu sendiri?" Mata Ayumi berkaca-kaca saat Ino memaksa untuk menunjukkan gambar-gambar tersebut. "Lihat? Luka itu dilakukan oleh calon suamimu. Oleh seseorang yang seharusnya melindungi dirimu. Di mana suami dan anakmu?" Ino berkata lebih keras.

Tenten menyadari sesuatu. "Emi Nakamura hidup karena kau, Ayumi. Suamimu ingin membunuhnya, tapi kau tidak mau."

Tidak.

"Bagaimana perasaanmu mengetahui bahwa ia bisa membunuh seorang gadis kecil? Itu berarti ia pernah ingin membunuhmu juga. Aku benar bukan? Ayumi, mereka membunuh keluargamu. Lalu, mereka mengajakmu. Tapi kau tidak pernah menjadi salah satu dari mereka.

Tidak

"Kau hanyalah alat pemberi keturunan. Suamimu tidak pernah mencintaimu." Tenten terus menekan saat ia melihat Ayumi tidak memiliki alasan untuk mengelak lagi.

"Aku tidak akan mengkhianati keluargaku."

"Putramu baru berusia sepuluh tahun, masih ada kesempatan. Kami bisa menyembuhkannya. Menghapuskan doktrin suamimu dari ingatannya.

"Aku menyayangi keluaragaku."

"Kalau kau menyayangi keluargamu, beritahu kami di mana keberadaan mereka. Anakmu harus disembuhkan, anakmu harus hidup normal. Kau sendiri tahu bagaimana rasanya melakukan hal yang tidak normal. Merasa bersalah terus menerus." Ino begitu bangga melihat Tenten bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Patut diketahui, ini adalah pengalaman pertama Tenten. Tapi, dia tidak gentar, apalagi saat Ino mengeluarkan aura setannya.

Tangis Ayumi pecah saat Tenten mengatakan sesuatu yang menyentuh hati kecilnya.

Badan Ayumi menegak, dan menghapus air matanya. Ia tahu, ia sudah kalah. "Aku akan memberitahukan kalian di mana mereka. Tapi, setelah kalian berhasil menangkapnya, pertemukan aku dengan anakku.

Setelah memberitahukan di mana keberadaan keluarganya, Lee dan Kiba bergegas untuk pergi.

"Kau keren sekali, Tenten. Kau bisa menghadapi situasi di luar prediksi seperti tadi." Ino tidak segan memuji Tenten setalah keluar dari ruangan Interogasi kantor kepolisian.

"Berkat seseorang, aku bisa melakukan sesuatu melebihi kemampuanku. Ino, terima kasih." Ujar Tenten tulus.

Ino melengos pergi mengambil minum di dispenser. Setelah semua keributan tadi, tenggorokannya menjadi kering. "Terima kasih apanya. Itu potensimu, Tenten. Daripada menjadi Ninja berpangkat chunnin, lebih baik kau bekerja di Divisi Inteljen bersamaku. Kita akan banyak mempelajari sesuatu."

"Akan aku pertimbangkan. Lagi pula, kau ingin bekerja di Divisi itu?" tanya Tenten, karena seingatnya, Ino belum memutuskan sesuatu.

"Pekerjaanku tidak akan jauh-jauh dari ini, Tenten." Ino meneguk minumannya saat Lee datang untuk menyelanya.

"Kita dalam masalah." Satu kata tersebut membuat dua gadis itu mengikuti langkah Lee.

Sesuai janji, Ayumi diperbolehkan bertemu dengan putranya apabila tertangkap. "Mereka mengatakan sesuatu dengan bahasa kuno yang berarti 'Jangan katakan kepada mereka tentang saudara-saudaramu'." Ujar Hotaro yang sedari tadi tidak masuk ke dalam radar Ino.

Tenten dengan sigap mendekati bocah laki-laki itu untuk menanyakannya dan hanya mendapatkan wajah datar. Ino mendekat ke arah Ayumi yang juga duduk pura-pura tidak tahu.

Dengan tangan terlipat, Ino menatap Ayumi tegas namun berubah menjadi senyuman culas. "Penjahat tetaplah penjahat. Kau pikir, aku tidak memprediksi rencanamu, Ayumi? Aku bertemu dengan banyak pengkhianat. Aku salah satu pengkhianat itu. Kau seharusnya takut saat ini."

"Hotaro-san, Bawa anak itu kepada Sakura di rumah sakit mental. Aku sendiri yang akan memeriksa memori ingatannya." Lanjutnya menyeringai tajam diiringi dengan teriakan ketakutan Ayumi.

Untuk menangkap penjahat, itu berarti kita juga harus mengikuti pola pikir penjahat tersebut. Sedikit banyak, Ino telah memperhatikan sikap dan gerak-gerik seseorang. Melihat tingkah Ayumi di interogasi akhir tadi, ia sedikit mencurigainya dan dapat memperkirakan bahwa wanita itu bisa saja berkhianat. Peluangnya kecil, tapi Ino mempercayai instingnya, sehingga ia bisa membuat rencana cadangan lainnya.

...

"Mereka dua kombinasi yang bagus. Sama-sama mengerikan dan memiliki otak yang cerdas. Mereka akan berkembang dengan sangat baik untuk ke depannya." Hotaro berujar setelah tercenung sedikit lama.

Setelah mengutarakan pemikirannya, Hotaro Fuma pamit untuk pergi keluar.

"Bukankah itu bagus, Hokage-sama?" Shikamaru membuka suara tepat setelah pintu tertutup. "Untuk pertama kalinya desa menangkap pelaku kejahatan, dari data yang dikumpulkan." Lanjutnya lagi.

Kakashi menyandarkan dirinya pada kursi dan menarik nafasnya. "Apakah Ino tertarik untuk bergabung dengan Konoha Torture and Interrogation Force?" sahutnya sambil membayangkan Ino yang akan menolak mentah-mentah permintaan dirinya. Gadis itu selalu tidak suka, apabila ada seseorang ikut andil dalam keputusan hidupnya. Termasuk Hokage.

Ino lebih suka seseorang memohon kepadanya daripada memerintah. Tipikal wanita mandiri yang dapat diandalkan.

Ahhhh, Kakashi jadi merindukannya lagi.

.

.

.

"Dari mana kau mengenal Ino Yamanaka?" Sasuke berujar, dengan tetap mempertahankan kusanaginya.

"Namaku Tora. Aku bertemu Ino di Negara Sunyi dan dia menyelamatkan hidupku." Orang yang bernama Tora itu berkata dengan sejujurnya.

"Aku tidak bisa mempercayaimu. Aku tidak bisa membawamu ke desa." Sasuke berkata final. Terlalu riskan membawa orang asing ke desa. Apalagi saat ia mengetahui, orang itu pernah tinggal di Negara Sunyi. Dia bisa menjadi bumerang untuk keamanan desa.

"Kalau aku mengatakan, bahwa aku berasal dari Konohagakure. Apa kau akan mempercayaiku?" Sasuke tidak menjawab, dia terus memperhatikan Tora terlamapau serius sampai orang tersebut menjatuhkan bomnya kembali.

"Kau adik dari Itachi Uchiha bukan?"

Satu kalimat yang mampu menyulut sedikit emosi Sasuke. Pemuda itu mengeratkan genggaman kusanaginya.

"Kau mengenal Itachi?"

Tora menyeringai. "Aku bahkan mengenal Kakashi. Kami pernah berada satu divisi yang sama, tapi aku lari."

"Divsi?"

"Anbu. Lebih tepatnya Anbu Root."

.

.

.

Matahari sudah sangat tinggi dan Ino masih bergelung nyaman pada kasurnya dengan selimut menutupi kepalanya. Hari ini seharusnya ia menyerahkan surat keputusan pekerjaan yang akan ia ambil beserta sebuah proposal pembentukan tim khusus mempelajari Investigasi dan kejahatan manusia. Tim yang mampu menyusun sebuah jurnal kriminologi berdasarkan data, sifat, dan watak pelaku. Ino ingin melanjutkan mimpi ayahnya.

Rasanya, baru tadi malam ia bersemangat mengakhiri penulisan proposal itu. Tetapi, pagi ini semangatnya runtuh akibat kurangnya tidur.

"Maafkan aku, ayah!" Ino tersentak kaget, kepalanya menyembul keluar dari selimut ketika dalam kegelapan matanya, wajah ayahnya tampak begitu tenang menghampirinya. Hanya sekilas, tetapi ia tahu itu adalah sebuah pertanda. Sudah lama ia pulang ke desa, namun hampir tidak pernah mengunjungi makam ayahnya.

Mata sayu Ino mengerjap, suara ketukan pintu kamarnya terdengar, memaksanya untuk bangkit. Dengan tertatih, ia membuka kecil pintu kamarnya dan dengan menyembulkan kepalanya, Ino menatap ibunya dengan senyum lugu dan mata mengantuknya.

"Sudah bangun, nak." Ujarnya sambil merapikan rambut pirang Ino yang berantakan karena habis baru bangun tidur.

Ino mengangguk, kemudian melebarkan pintu kamarnya dan memeluk sang Ibu. "Aku merindukanmu, bu."

Ibu Ino tersenyum dan mengusap lembut punggung anaknya. "Jangan nagwur! Ibu selalu di sini. Kamu yang selalu sibuk pergi mengambil misi dan pergi ke luar desa."

Ino mempoutkan bibirnya, "Apa aku tidak usah bekerja untuk desa bu? Membuka toko bunga saja sepertinya sudah lebih dari cukup."

"Ibu tidak mempercayaimu." Suara bernada itu, tarikan tangan itu. Ino tahu, bahwa ibunya sangat kesepian. "Kau itu sama seperti ibu. Cepat bosan, dan tidak tahan untuk berdiam diri." Lanjutnya sambil memberikan gelas berisi susu untuk Ino. "Ibu bisa mencari kesibukan sayang, tapi kau harus secepatnya mencari pasangan. Sendirian itu tidak enak."

Pagi-pagi mendapatkan petuah, membuat semangat Ino untuk pergi ke kantor Hokage semakin menurun.

"Baiklah kalau begitu. Aku harus segera bersiap-siap ya bu. Hari ini aku mau pergi ke pemakaman dan gedung Hokage."

.

.

.

Sebuah pakaian misi yang biasa ia pakai ketika berada di desa dan sebuah pakaian tertutup yang bukan ciri khasnya. Ino memandang dua pilihan itu dengan penuh pertimbangan. Karena, kalau ia tidak memakai baju yang biasa ia kenakan, teman-temannya akan bertanya-tanya. Tetapi, ia memiliki alasannya sendiri.

Pilihan Ino jatuh kepada sebuah kemeja putih berlengan panjang, beserta celana berbahan kain jatuh berwarna ungu, yang kemudian dipadu padankan dengan blazer berwarna senada. Pakaian formal ini akan menyelamatkannya.

Tidak lupa Ino menggerai rambut pirangnya yang sudah sangat panjang. Memoles wajahnya dengan sedikit pelembab dan pewarna bibir, ia sudah siap untuk pergi.

Ino sudah menentukan pilihannya. Ia membawa tiga berkas sekaligus untuk diperiksa oleh Hokage, yang satu merupakan hasil laporan dari kantor kepolisian, pembentukan tim untuk divisi intelijen dan permohonan untuk bekerja di Konoha Barrier Team.

Ino sudah memikirkannya sepanjang minggu, ia memang harus mengambil dua pekerjaan agar bisa memastikan keamanan desa.

Ino menapaki tangga demi tangga menuju ruangan utama. Setelah sampai, ia mengetuk pintu ruangan Hokage dan baru bisa masuk ketika seseorang di dalam ruangan tersebut memperbolehkannya masuk.

Terdapat Hokage, Shikamaru, Sai, dan Shizune yang berada di dalam ruangan. Tersadarkan oleh sesuatu, Ino membungkuk meminta maaf.

"Apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" ujarnya merasa tidak enak karena mengganggu pertemuan itu.

Sedangkan Kakashi sedikit terpana melihat Ino dengan penampilan barunya. "Tidak dan masuk." Kakashi menyahut dengan sedikit serak.

Ino masuk dengan langkah tegas setelah menutup pintunya.

"Wah, kau sedikit berbeda Ino-san." Itu suara Sai. Dia tidak segan bersuara dengan rasa terpana.

"Aku rasa itu yang membuat semua orang di dalam ruangan ini gelagapan. Benar kan, Hokage-sama." Ujar Shizune dengan sarat menggoda.

Siapa yang tidak mengetahui hubungan Kakashi dan Ino? Walau Hokage tidak pernah menyuarakan secara langsung. Semua orang yang bekerja di gedung pemerintahan ini jelas mengetahuinya.

"Maksud Sai-san pakaianku?" ujar Ino kembali melirik ke arah tubuhnya. "Pakaian yang biasa aku pakai terlalu terbuka dan aku tidak menyukainya."

"Itu terlihat bagus Ino. Kenapa kau kesini?" Suara Shikamaru menyadarkan Hokage dan juga Sai yang terkena virus Ino.

Sang empunya nama memberikan tiga buah berkas sekaligus. "Berkas pertama adalah hasil laporanku mengenai misi yang aku ambil, lalu permintaan pembentukan sub divisi Intelijen di Konoha Torture and Interrogation Force dan permohonan bekerja di Konoha Barrier Team." Ujarnya sambil menunjuk satu-persatu berkas yang ia bawa.

"Kau mengambil dua pekerjaan sekaligus?" Hokage bertanya sambil membuka salah satu berkas.

"Apa tidak melelahkan, Ino-san?" Sai melangkah maju, menyamakan tempat.

"Tentu saja melelahkan. Tapi, aku bisa mengaturnya. Kemarin aku bertemu dengan Ibiki-san, dan dia mau memberikan waktu yang fleksibel untukku." Tandas Ino tegas.

Kakashi mendongak menatap Ino. "Apa ada alasannya?"

"Hmm... coba aku pikirkan." Ino menopang dagu dengan salah satu tangannya. Setelah terdiam sedikit lama, Ino kembali berbicara. "Rock Lee tidak menyukai kedatangan orang asing ke dalam desa karena menjadikan begitu banyak kasus kejahatan. Lee-san mengatakan bahwa sebelum ini, ada sekitar sepuluh kasus yang mengerikan di mulai dari perampokan sampai pembunuhan terjadi. Tapi di sisi lain, seorang pedagang sangat beruntung dengan kebijakan anda, Hokage-sama. Satu-satunya cara menangani permasalahan ini adalah dengan aku yang bergabung pada tim barrier. Tapi, aku juga ingin mencoba hal baru di divisi Intelijen. Jadi, aku melakukan keduanya. Aku yakin, aku bisa." Ino menjelaskan alasannya dengan begitu detail.

"Mungkin, untuk pembentukan sub divisi Intelijen yang baru, masih belum bisa aku putuskan karena itu harus di rapatkan terlebih dahulu dengan para dewan desa dan juga Daimyo." Ujar Kakashi menjelaskan.

"Aku mengerti. Sebagai gantinya, berikan aku surat persetujuan untuk masuk ke dalam Kastil Hozūki dan Konoha Genjū Keikai Shisetsu." Tukas Ino.

"Kenapa?"

"Aku ingin mempelajari sikap dari para penjahat dan bagaimana mereka melakukan kejahatannya, anggaplah aku sedang mengumpulkan data."

Kakashi tersenyum, "Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik, Ino. Kau tahan terhadap tekanan yang ada. Aku mengharapkan kinerjamu lebih baik lagi." Itu adalah sebuah tanda persetujuan.

Ino tersenyum dan mengangguk, lalu permisi untuk pergi keluar. Saat ia berbalik untuk pergi, pintu ruangan kembali terbuka menampilkan sosok orang yang paling tidak ingin ditemui oleh Ino, yaitu Sasuke Uchiha bersama dengan anggota tim lainnya, Naruto Uzumaki dan Sakura Haruno.

"Hai." Satu kata yang diucapkan Sasuke sambil menatapnya lurus, membuat tubuh Ino menegang.

Senyum kecil Ino itu timbul, kemudian menunduk sebentar lalu kembali mengangkat kepalanya, menatap Sasuke dengan pandangan tidak terdefinisi.

"Hai." Balasnya kembali tersenyum kemudian menunduk sebentar, memberi tanda untuk pergi.

Hampir Ino ingin mencapai pintu, lengannya di tahan oleh Sasuke dan menariknya ke depan untuk kembali menghadap Kakashi.

Tindakan kecil itu tentu membuat semua manusia di dalam ruangan bertanya-tanya, sejak kapan Ino begitu dingin dengan Sasuke, begitupun sebaliknya. Sejak kapan Sasuke terlihat peduli dengan Ino.

Terlebih lagi untuk Sakura yang merasakan sebuah perasaan tidak enak melihat tingkah asing kedua orang terdekatnya.

Sasuke mendorong kecil bahu Ino untuk mengikutinya. Kini, mereka berempat berdiri berdampingan dengan Ino dan Sasuke di tengah, lalu diapit oleh Naruto yang berdiri di samping Ino dan Sakura yang bersebelahan dengan Sasuke.

"Hmm... Sasuke? Kau tidak harus langsung menemuiku dan ada apa dengan Ino? Dan kenapa kalian mengikuti Sasuke?" Tanya Kakashi beruntun sambil menatap Naruto dan Sakura.

Suara malas Kakashi terdengar candu untuk Ino. Dia mengakuinya sekarang.

"Kami bertemu Sasuke di gerbang desa, Kakashi-sensei. Dia bersama dengan seseorang. Jadi, aku dan Sakura-chan mengikutinya." Seru Naruto berdalih kecil.

Kakashi mengangguk, menyingkirkan berkas yang ada di meja. "Kami sudah mendapatkan suratmu. Kau yakin dia anggota Anbu Root yang lari?"

"Anbu Root? Ada apa sebenarnya? Kenapa aku harus ikut mendengar pembicaraan ini?" Ino menyela. Ini bukan ranahnya.

"Aku tidak tahu. Aku sudah mencoba untuk memeriksa ingatannya melalui Rinnegan dan Sharingan, tapi kosong." Jawabnya.

"Lalu hubungannya dengan Ino? Kau mau meminta Ino memeriksakan keadaannya?" tanya Shikamaru yang sepertinya sudah tahu garis besar pembicaraan ini

Sasuke menggeleng. "Ino mengenal orang itu." Jawabnya singkat.

Sebagai nama yang terpanggil, Ino mengerjapkan matanya, bingung. "Aku? Mengenal siapa?"

"Apa maksudnya, Sasuke? Orang yang kau bawa tadi itu mantan anggota Anbu Root?" Naruto bertanya.

"Ya, Apa maksudnya Sasuke-kun." Timpal Sakura.

Sasuke hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan dari teman-temannya. "Orang itu bernama Tora. Mantan anggota Anbu Root yang kabur dari desa." Sasuke melirik Sai, Kakashi dan Ino. "Kalian mengenalnya?"

Ino memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. "Aku mengenalnya."

"Tentu, orang yang pertama kali dia cari adalah kau, Ino." Balas Sasuke terdengar sinis, dengan raut wajah yang tetap datar.

Ino mengabaikannya, ia menatap Kakashi dengan lurus. "Sai-san mungkin tidak mengenalnya. Tapi, Kakashi-sensei jelas mengenalnya."

"Aku tidak begitu mengenalnya, tapi waktu itu dia dipastikan telah mati oleh Danzo. Apa yang sebenarnya terjadi?" Kakashi berbicara sambil menggali ingatannya.

"Dia tidak mati. Tora lari karena tidak sanggup berada dalam Root. Teman satu timnya memanipulasi kematiannya. Itu terjadi sebelum Danzo menanamkan teknik segel di lidah anggotanya. Kalau tidak salah, dia bisa lari karena kekacauan yang Itachi Uchiha buat."

Ino memang pernah bercerita dengan Tora mengenai situasi Anbu Root. Dari Tora lah ia mengetahui detail pembantaian klan Uchiha yang dilakukan oleh Itachi.

Dan berkat dari ancaman Itachi lah, Danzo membuat sebuah segel yang mampu membunuh seseorang, apabila anggota Root mencoba membocorkan rahasia desa kepada desa lain.

Kakashi memandang Sasuke dengan raut wajah permohonan maaf, dan kembali menatap ke arah Ino. "Saat itu memang sangat kacau. Itachi meninggalkan pekerjaan yang mengerikan. Dari mana kau mengetahuinya, Ino?"

"Kami berbicara? Dia telah menyelamatkan hidupku." Jawabnya singkat.

"Tora mengatakan bahwa kau yang menyelamatkan hidupnya." Ujar Sasuke.

"Anggap saja, kami saling menyelamatkan. Di mana dia? Kau mengatakan bahwa Tora ingin bertemu denganku bukan? Aku akan menemuinya." Ino bertanya karena tidak ingin berlama-lama di ruangan ini.

"Kau bisa bertemunya nanti. Sekarang, dia harus di interogasi dulu oleh tim Intelijen, Ino." Kakashi memberi jawaban.

"Bukankah itu bagus? Aku bisa membantu untuk menginterogasinya." Ino menjawab dengan riang.

"Kau tahu aturan dari divisi Intelijen, Ino. Kau tidak bisa." Sai ikut bersuara.

"Setelah di interogasi, apa yang akan kalian lakukan?" Ino kembali teringat kejadian dua tahun yang lalu.

Anbu Root yang pernah bekerja untuk Danzo ditangkap oleh Godaime Hokage. Banyak dari mereka yang kabur, namun berhasil di tangkap oleh Anbu. Penangkapan besar-besaran itu bertujuan agar ke depannya, tidak terjadi lagi hal seperti itu, pecahnya kongsi kepemimpinan. Gelap dan terang. Naif dan tegas.

Banyak penelitian yang diambil alih oleh desa, dan di tutup karena dianggap terlarang. Terjadi pertempuran karena mereka masih setia dengan Danzo. Tidak sedikit kematian menghampiri. Ia tidak ingin Tora diperlakukan seperti itu.

"Hidup nyaman di desa? Semua pilihan, tergantung pada Tora."

Ino mengangguk. Ia percaya pada Tora. Lelaki itu tahu risiko apabila dia menginjakkan kakinya di Konohagakure.

"Kalau begitu aku akan menunggu."

"Baiklah, untuk saat ini kita hanya bisa menunggu. Untuk Ino, kau bisa mulai bekerja besok Lusa."

.

.

.

Sepasang kaki jenjang itu melangkah menaiki tangga depan sebuah gedung berlambang Konoha di sisi utamanya. Sang pemilik kaki melambatkan langkahnya begitu tiba di depan pintu masuk yang terbuat dari kaca. Ia berbalik melihat kerumunan Jurnalis yang haus akan berita sedang berusaha mengabadikan momennya masuk ke dalam gedung.

Yamanaka Ino, kunoichi yang baru saja memasuki Gedung Utama Pemerintahan Konoha dicegat oleh seseorang yang ia kenal.

"Sasuke? Hai." Ino sedikit terkejut dan mengeras ketika melihat kehadiran pemuda bermata onyx tersebut. Matanya memasang sikap waspada pada sekitar.

Mereka tidak bertemu lagi setelah dari gedung Hokage waktu itu, atau lebih tepatnya Ino menghindar mati-matian dari Sasuke.

Begitu juga saat ini. Ketika Ino ingin menghindar, lelaki itu tahu dan dengan cepat mencegahnya.

Mata Ino membulat, ada sedikit sengatan kecil di hatinya saat Sasuke menggenggam tangannya. Lelaki itu menarik Ino ke sudut lorong yang sepi agar tidak menarik perhatian.

Namun, tentu saja itu tidak terhindarkan. Karena saat ini, sangat banyak manusia di dalam gedung itu.

Hari ini, akan diadakan pertemuan kelima Kage di Desa Konohagakure. Ino tidak begitu detailnya, ia juga tidak ditugaskan untuk menemani para Kage karena kesibukannya yang telah melebihi batas ambang kehidupannya.

Tapi, hari ini juga, Shikamaru memintanya untuk datang karena ada sesuatu yang ingin di bahas.

"Ada apa, Sasuke?" Tukasnya saat telah melihat ke sekitar, bahwa tidak ada yang mengintip ataupun menguping.

"Kau menghindariku." Sasuke berujar datar.

Kening Ino mengernyit. "Bukankah sudah aku katakan, untuk bersikap seperti biasa." Sahut Ino berusaha melepaskan cekalan Sasuke di tangannya.

Sasuke tidak berusaha untuk memenuhi keinginan Ino. Lelaki berjubah hitam itu tidak melepaskan tangannya.

"Kalau seperti itu seharusnya, kau terus menempel kepadaku. Seperti dulu." Ucapan Sasuke menyentak Ino, membuatnya sadar.

Ino menarik nafasnya tanda kalah. Ia tahu, bahwa ia bersikap kekanak-kanakan.

"Baiklah, lepaskan. Aku tidak akan lari ataupun menghindar lagi, Sasuke-kun."

Benar, Ino harus mengakhiri permainan bodoh ini. Bersikap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa antara dia dan Sasuke itu adalah kebohongan. Nyatanya, ia dan Sasuke pernah berbuat dosa bersama. Itulah kesalahannya. Berbuat dosa sampai ia merasa bersalah kepada Sakura.

Melihat perubahan wajah Ino yang sedikit melunak dan tidak lagi waspada, membuat Sasuke mempercayainya.

Ino bersandar pada dinding belakangnya diikuti dengan Sasuke. "Apa yang terjadi?" Ino berbicara kepada Sasuke seperti tidak terjadi apa-apa.

"Aku mengawasi jalannya interogasi Tora." Ujarnya sepenggal. Sasuke memiliki alasannya sendiri, kenapa harus mengawasi jalannya interogasi tersebut "Awalnya tidak terjadi apa-apa, sampai salah satu interogator berhasil masuk ke dalam salah satu memorinya." Lanjutnya lagi.

"Lalu?"

"Tora tiba-tiba berperilaku aneh. Fisiknya sehat, tapi mentalnya tidak. Apa mau tahu makna 1932?"

"Tidak tahu. Kenapa?" Tanya Ino penuh ke khawatiran.

"Tora terus mengatakannya."

Ino menarik nafas lelah. "Itu berarti aku harus menemuinya. Sasuke-kun, suruh siapa pun yang menjaga Tora untuk berbicara dengannya, bahkan kalau dia tidak membalas. Aku akan menemuinya setelah bertemu dengan Shikamaru." Dan untuk pertama kalinya, Sasuke menuruti permintaan Ino

Mereka berdua diam, seolah ragu untuk bercerita.

"Kau tahu Sasuke-kun, Anbu Root pada masa Tora dulu sangat mengerikan dan kejam. Mereka direkrut oleh Danzo setelah memastikan bahwa orang tersebut tidak memiliki keluarga. Mereka diberi paham bahwa hidup mereka adalah untuk mengabdi pada desa. Kalau salah satu dari mereka ada yang melenceng dari aturan, mereka akan dikurung di sebuah ruangan kecil, disiksa sampai rasanya mau mati." Ino meringis menahan sesuatu. Ia seperti ikut merasakan sakitnya, saat Tora menceritakan hal itu.

"Apa setelah itu Danzo akan membiarkannya mati? Tentu tidak. Danzo dengan psikopatnya, mengobati mereka hanya untuk disiksa kembali sampai doktrin tentang pengabdian desa itu kembali masuk ke dalam otaknya. Dia sudah mati, Sasuke-kun. Itu kenapa kau menemukannya dengan seperti itu. Tora sudah tidak memiliki niat untuk hidup lagi. Itulah kenapa aku memintanya datang ke desa. Aku ingin menariknya untuk hidup dalam dunia nyata." Lanjutnya lagi.

Ino berdiri tegak, ia memutar badannya untuk menghadap Sasuke. Raut wajah yang sedih namun berusaha untuk terlihat tegar terpatri pada benak Sasuke. "Hidup ini lucu bukan. Aku berusaha untuk menyelamatkan orang, yang tidak ingin di selamatkan."

Sasuke mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Ino. Namun berhenti di udara. "Aku yakin kau bisa menyelamatkannya." suara Sasuke terjeda beberapa saat. Tangannya turun tidak jadi menyentuh. "Dan... terima kasih karena telah mempercayakanku untuk mendengar cerita ini, Ino."

.

.

.

TBC