[Aku, kamu.]

.

.

.

Hari ini adalah hari pertama mereka tinggal bersama setelah melaksanakan akad pernikahan kemarin. Hinata kira setelah menikah maka hari ini akan berjalan seperti biasanya, namun ia salah besar. Mereka memang memutuskan untuk tidak sekamar dan hidup masing-masing —dalam hal ini hanya Hinata yang menekankan-, akan tetapi kenyataannya, itu tak mudah.
Sedangkan hari yang bersalju yang membuat orang malas untuk keluar dari selimut tebal. Malangnya, Hinata hari ini harus keluar, ia tak dapat membayangkan betapa canggung dirinya seharian bersama pria yang baru dinikahinya.

Contohnya seperti kemarin malam, itu adalah malam pertama Sasuke tinggal di apartemennya. Hinata langsung pingsan begitu melihat Sasuke bertelanjang dada setelah mandi. Begitu sadar, ia telah berada di kamarnya. Setelah mengingat kejadian itu, kini ia tak dapat menghindarkan dirinya dengan membenturkan kepala di depan bantal.

Itu sungguh memalukan.

Dan ketika jam sudah menunjuk angka 7 lewat 15 menit, Hinata bergegas menyanduh tasnya. Akan tetapi sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, sejenak ia mengintip dari sela pintu kamar. Di dapur yang berada jangkauan penglihatannya, ia bisa melihat Sasuke masih berada di sana. Pria itu sudah sejam lebih berada di sana.

Jika ditanya apa yang dilakukannya?

Tentu saja masak, jawaban yang paling tepat untuk menggambarkan kegiatannya. Tapi, bagi Hinata yang sudah mengenalnya cukup lama, ini sungguh mengejutkannya. Apa ini keahlian yang dihasilkan Sasuke setelah menghilang sekian lamanya?

Hinata akhirnya keluar dari kamarnya setelah sejenak ia menatap punggung Sasuke.

"Aku berangkat dulu!" Pamitnya yang segera berlari ke pintu depan.

"Kau gak sarapan dulu?" Kini Sasuke berdiri di belakangnya.

Hinata yang memakai sepatunya lantas melirik Sasuke sejenak lalu menggeleng pelan.

"Aku buru-buru. Ada rapat mendadak pagi ini. " Sahut Hinata yang tengah terburu-buru memakai sepatunya.

Sasuke kemudian melihat kedua tangannya yang lengket karena nasi.

"Kalau begitu, aku bekalin dulu onigiri-nya."

"Ah, gak usah!" Kali ini suara Hinata sedikit naik, ia menggeleng dengan panik,

"Aku beneran terburu-buru."

Dan setelah mengatakan hal itu, Hinata menghilang bersama pintu yang tertutup. Sasuke kembali melihat tangannya, lalu melirik dapur. Ia mendesah. Padahal ia sudah berantusias untuk sarapan bersama.

Pagi yang dingin ini, Sasuke melewati sarapan hangatnya dengan dingin.

.

.

.

"Nee-chan, ayo kita ke rumah sakit!" seru Hanabi yang tiba-tiba muncul dari mana merangkul lengan Hinata.

Sementara itu Hinata yang sontak mendengar kata rumah sakit lantas mengerutkan alis. Dia kemudian menghentikan langkah mereka dan menatap bingung adiknya.

"Mau ngapain emangnya?"

Hanabi yang hari ini memakai sunglasess sontak menurunkannya demi melihat jelas wajah ayu kakaknya yang tetap menarik walau tanpa make up.

"Tentu saja untuk memeriksa otak Nee-chan! Siapa tau karena kepala yang sering kepentok itu membuat otak Nee-chan jadi sedikit retak!?"

Hinata lantas memutar bola matanya dan melepaskan rangkulan Hanabi.

"Kau sudah gila Hanabi."

"Nee-chan yang sudah gila!"

Mendesah tak dapat dihindari, Hinata mencoba menghadapi adik manjanya dengan tenang.

"Sudah kubilang tidak ada yang namanya pemaksaan, pemerasan atau apapun dalam pernikahan kami. Ini gak seburuk yang kau pikirkan Hanabi."

"Tapi aku tetap gak bisa menerimanya! Nee-chan bahkan gak menyukainya lagi, aku benar kan?"

Hinata yang tak lantas mengindahkan perkataan Hanabi malah berjalan menjauhinya. Justru alasan 'rapat' yang tak seharusnya ada malah menjadi kenyataan. Dia sudah hampir telat.

Namun tak ada kata menyerah dalam kamus otak Hanabi. Dia berjalan cepat menyusul kakaknya.

"Kalo begitu kasih tau alasan yang logis, dengan begitu aku akan berhenti mengusik, Nee-chan."

Kali ini desahan Hinata begitu kasar, dia bahkan mengetakkan sepatu fantopelnya dengan keras. Dia memijit keningnya, keras kepala Hanabi sungguh membuat kepalanya memanas. Mereka akhirnya sampai halte bis.

"Rasa cinta atau suka sendiri bukanlah hal logis, bagaimana bisa aku ngasih tau alasan logis, Hanabi cantik...?"

Hanabi bungkam. Dia kemudian menyadari dari kejauhan bis sudah menunjukkan batang hidungnya.

"Dan aku mohon dengan sangat... Jangan pernah lagi mempertanyakan alasanku menikahi Sasuke-san!"

Kini Hanabi hanya bisa bersedekap dada.

"Aku juga gak peduli kalau kau gak menerima pernikahan kami. Ini pernikahan kami yang jalani, dan kami berjanji tak akan merepotkan kalian."

Seketika wajah Hanabi tercengang. Jantungnya kini berdenyut perih. Dia sungguh tak percaya kakaknya akan membuat hatinya patah.

Setelah itu bis pun sudah berhenti di depan mereka. Hinata pun menaiki bis meninggalkan Hanabi tanpa mengatakan salam pamit. Matanya kemudian mengikuti kepergian kakaknya dengan sayu yang kemudian terganti dengan kemarahan.

"Ini pasti gara-gara si brengsek itu!"

Tangannya sontak mengepal keras.

"Kau jangan khawatir Nee-chan, aku akan menyelamatkanmu dari lubang neraka."

Tak lama dia mengambil ponselnya. Entah apa yang direncanakannya, hanya Tuhan yang tahu.

Di sisi lain, Hinata yang merasa menyesal karena telah berkata kasar hanya bisa memeluk tasnya. Ia hanya bisa menyimpan kata permintaan maaf untuk Hanabi di dalam hati. Kemudian sinar matahari yang bersinar disela gedung-gedung tinggi itu menyilaukan mata. Lalu terbayang lagi akan mimpi yang sering muncul dimana sebelum ia memutuskan untuk menikahi Sasuke.

Sebuah pintu yang terbuka, dan sosok Sasuke yang memakai pakaian serba putih.

Hinata kemudian membuka matanya.

"Ya, Tuhan..."

Itu bahkan bukan mimpi indah, juga bukan mimpi buruk.

.

.

.

Lagi, Hinata melewatkan sarapan paginya dalam seminggu ini. Mereka tak pernah makan satu meja selama pernikahan mereka. Hinata bahkan selalu pulang telat, dan Sasuke hanya bisa melihat wajahnya di pagi hari saja. Di hari minggu kemarin saja, Hinata tidak libur. Sasuke pikir kesibukan Hinata karena ini menjelang akhir tahun, sehingga tak ingin berpikir aneh.

Tapi, pemikiran 'Hinata yang hanya ingin menghindarinya' selalu saja terbesit. Dan bukan itu saja, ia malah berpikir bahwa Hinata menikahinya hanya untuk balas dendam.

Jika itu benar adanya...

"...!?"

Lamunan Sasuke tiba-tiba saja terhenti. Beberapa orang bertampang berandalan mencegat jalannya. Kemudian Sasuke tersadar bahwa dia berjalan di kawasan yang jauh dari kata ramai.

"Serahkan semua duitmu pada kami! Kalau engga... Kami akan menghajarmu."

"Itu benar, serahkan semua yang kau punya!"

"Ya, cepat!"

Sasuke mencoba tenang.

"Maaf kawan-kawan, di dompetku hanya ada 5 sen yang tertinggal. Aku hanya pengangguran."

"Bohong! Kau bahkan memakai jaket mahal."

"Hanya jaket bagus ini yang kupunya."

"Kami tak percaya! Kau juga memiliki wajah yang lumayan ganteng, tidak mungkin kalau kau miskin!?"

Sasuke menghela napas.

"Iya, itu benar! Kau seorang model yang menyamarkan?!"

"Aku serius..."

Sasuke kemudian membuka resleting jaketnya yang kemudian menunjukkan setelan yang biasa dipakai oleh pelamar kerja.

"Kalian lihat apa yang kupakai, kan?"

"Emang kami peduli! Kami hanya peduli duit!"

"Benar, mana? Jangan bikin kami kesal!"

Sasuka menghela napas untuk kedua kalinya hari ini. Dan ia pun merogoh dompetnya, tapi malah langsung dirampas oleh salah satu dari berandalan itu. Wajah Sasuke seketika menunjukkan kekesalan. Para berandalan kemudian membuka dompet itu dengan tidak sabar, namun berakhir dengan kekecewaan.

"Eehhhh, bohong!"

"Kartu kredit saja tidak punya!"

"Dia benar-benar miskin!"

"Bikin kesal saja!"

"Kita hajar saja dia."

Mendengar hal demikian, Sasuke lantas berkesiap.

"Itu benar, bikin hati tambah makin kacau saja."

Jika mereka memilih kekerasan, Sasuke dengan senang menerima.

Lalu hal yang diperkirakan Sasuke terjadi seperti buah yang jatuh dari pohon. Perkelahian itu disebut tak imbang. Pria yang membuang nama keluarganya tersebut kalah dalam jumlah. Meskipun waktu sekolah ia petarung hebat, itu tak sama jika ia tak bersama sahabat karibnya, Naruto. Bagaikan sayap yang patah, ia melawan dengan susah payah.

Tak lama dua polisi yang tengah berpatroli melihat kejadian itu. Para berandalan itu bergegas pergi dari tempat. Seketika tubuh Sasuke tumbang kelelahan. Kini wajah tampannya babak belur. Namun bibirnya tersenyum, dia masih bisa membuat dua berandalan tumbang.

Lalu kedua polisi itu lantas dengan sigapnya menghampiri. Mereka mengamati keadaannya. Sesekali mata oniks Sasuke memburam. Suara mereka pun berubah menjadi dengingan yang membuat kepalanya berputar.

Dan sebelum kesadarannya menipis, ia pun teringat wajah Hinata.

Wajah tertawa lepas Hinata dulu, bersinar indah... Begitu menakjubkan.

Tapi, ia sudah merusakkannya. Mungkin ia tak akan pernah melihatnya.

Mungkin.

.

.

.

Hari berganti minggu, pun pagi mengalir ke malam, tidak lelah alam bekerja hingga akhir dunia itu datang. Hinata menatap langit malam yang kelabu dengan wajah lelah. Ia yang pada dasarnya manusia biasa berjalan tertatih-tatih menyongsong apartemennya yang sering mengebul kini. Hingga ia sudah masuk ke dalam ruangan apartemennya, sesuatu yang ia harapkan telah terjadi.

Sasuke tidak lagi tertidur menunggunya di ruang tonton.

Hinata bukannya tak peduli, hanya saja ia memang tak sampai hati untuk mengganggu tidur Sasuke. Pria itu tampak tidur dengan pulas. Tak jarang pula Hinata mendengar dengkuran halus. Lalu di pagi harinya ia justru menemukan Sasuke bangun pagi hanya membuatkannya sekotak bento.

Sejujurnya Hinata belum terbiasa akan kehadiran Sasuke. Namun, seminggu lebih ini ia mulai sedikit beradaptasi. Sasuke di pagi hari dan Sasuke yang tertidur karena menunggunya menjadi ingatan yang menggelitik hatinya.

Lalu tak lama Hinata menyadari obat merah yang tergeletak di tempat yang tidak seharusnya. Wanita Hyuuga itu menghela napas seraya menatap pintu kamar Sasuke. Ia pun merapihkannya sebelum pergi ke kamarnya sendiri.

Sampai pagi datang menyapa, Hinata juga menemukan hal lain yang diharapkannya terjadi lagi. Pagi ini dapur tak mengepul seperti biasanya. Ia tak menemukan Sasuke yang memakai celemek bergambar kucing di dapur.

Sekali lagi Hinata tak mau mengganggu ketenangan Sasuke. Mungkin pria itu sangat kelelahan. Dari pesan yang Sasuke kirim padanya, pria itu sibuk dengan freelance penerjemahnya, belum lagi harus menghadiri interview pekerjaan yang tak tahu apa akan diterima atau tidak. Mereka memang telah menikah, tapi bersikap menjadi pasangan suami-istri tidak pernah ada dalam rencana.

Namun Hinata tak mau bersikap dingin. Ia sontak berdiri di depan pintu kamar Sasuke dan mengetuk kamarnya.

"Sasuke-san, aku sudah menaruh duit belanja di atas kulkas."

Ada sahutan yang membisu, Hinata sontak mendesah. Mungkin pria itu menyadari sikapnya yang menghindari diri dalam minggu ini.

"Tolong jaga rumah ya, aku berangkat dulu!"

Baru saja Hinata mulai beranjak pergi, suara Sasuke menghentikan langkahnya,

"Hinata."

"Ya?"

Jeda pun menyambut.

"Maaf hari ini aku gak sempat membuatmu bekal."

Suara Sasuke yang begitu lemah, kekhawatiran di hati Hinata pun muncul. Akan tetapi, permintaan maaf dari Sasuke membuatnya merasa buruk.

"Ngga apa-apa."

"Hn. Kalau begitu, hati-hati dijalan."

"Ya, makasih."

"Dan jangan lupa makan..."

Setelah mengatakan itu, Hinata akhirnya berangkat kerja. Ia pun meninggalkan Sasuke dengan banyak tanda tanya di benaknya.

Sementara itu Sasuke yang masih merasakan wajahnya membengkak hanya bisa tertidur meringkuk di futon. Ingatan di kantor polisi masih terbayang jelas di wajahnya. Ia pun perlahan keluar dari kamar menuju dapur.

Tatapannya pun langsung ke tempat pencucian piring. Kotak makan yang sudah tercuci tergeletak di rak pengering, dan perkataan pak polisi itu sungguh mengganggunya.

"Ah, Hinata-san sering memberikan kotak makannya padaku. Dia bilang suaminya membuatnya terlalu banyak sehingga dia membagikannya padaku."

Tangannya sontak terkepal. Cincin pernikahan yang melingkari jarinya pun sedikit bersinar karena pantulan cahaya matahari.

"Aku suaminya."

"Wah, benarkah!?"

"Hn."

"Paksu hebat sekali! Anda bahkan sangat bersemangat membuatkan bekal yang banyak untuk Hinata-san, anda benar-benar mencintai istri anda!"

Jika Hinata menikahinya hanya untuk balas dendam...

"Ternyata menikah itu menarik juga HAHAHA!"

...Maka Sasuke tak keberatan.