[Debat, pertengkaran]
.
.
.
Salju turun malam ini. Lembaran kertas yang tersobek di tengah buku, begitu disayangkan. Hinata yang sendirian duduk di minimarket duduk termenung. Ia kemudian menatap salju di luar sana seraya pikirannya yang di kantor polisi melayang tadi pagi.
"Hinata-san, gimana kabar Sasuke-san?"
"Ya?"
Hinata yang kebingungan langsung menyimpulkan bahwa Genma -seorang polisi- telah bertemu dengan suaminya.
"Ah, S-Sasuke baik-baik saja."
"Syukurlah... Berarti lukanya sudah sembuh ya?"
'Luka? Apa yang terjadi?'
Hinata yang tak mau kebingungan tergambar di wajahnya hanya bisa tersenyum simpul.
"Kami sempat khawatir karena paksu menolak diobati. Anak-anak berandalan itu mengeroyok paksu tanpa ampun!"
'Apa...?!'
Kepanikan pun lantas menyentak hati Hinata. Namun begitu, ia harus tetap tenang agar Genma tidak berpikir macam-macam tentang rumah tangga mereka.
"Tapi begitu meminta keterangan... Sasuke-san langsung pergi begitu saja."
Hinata pun juga bertanya-tanya, apa yang dilakukan Sasuke saat ini. Jujur, kekhawatiran yang timbul tak dapat ditampikkan.
"Kami masih menyelidikinya, dan ternyata benar... Anak-anak berandalan itu bukan berasal dari distrik ini."
Tak lama Hinata melirik jam di tangannya. Kini sudah menunjukkan pukul 7 lewat 5 menit, masih ada waktunya untuk mempersiapkan rapat pagi ini. Sedangkan polisi di sebelah masih niat berbincang panjang padanya.
"Tapi tenang saja Hinata-san kami akan segera menangkapnya."
"Terimakasih, Genma-san. Saya mohon bantuannya." Hinata ber-ojigi.
" Tidak, ini memang sudah tugas kami. Apalagi... Sasuke-san mirip sekali dengan Raven, kami merasa bertemu selebriti terkenal."
Menanggapi hal itu Hinata hanya tersenyum. Tak lama bis yang ditunggunya akhirnya datang. Ia pun bergegas naik. Pagi itu dia tak menyangka akan mengkhawatikan kondisi Sasuke seharian.
Hinata menyeruput kopinya yang hampir saja dingin. Mata beningnya menatap ke arah luar seolah-olah tengah membayangkan sesuatu. Salju yang turun juga sama menarik hatinya untuk tenggelam dalam suasana.
Raven...
Menghela napas menjadi hal tak dapat dihindarkan. Raven adalah nama panggung Sasuke dulu. Jelas sekali ingatannya, betapa ia mengidolakan Sasuke dulu. Tak disangka ada yang masih mengingat Raven setelah pensiun beberapa tahun yang lalu. Hinata tak menyangka masih ada orang yang mengingat Raven setelah menghilang beberapa tahun yang lalu.
Lalu tak lama seseorang yang sangat dipikirannya muncul menyadarkannya. Dia datang menjemputnya seraya menggunakan payung yang memutih karena salju. Dia itu adalah Sasuke, mantan bintang terkenal yang telah menjadi suaminya.
Seakan menyadari keberadaan Hinata, Sasuke mengangkat tangan. Hinata melihat itu pun lekas beranjak dari kursi tempatnya duduk, dan menghampirinya.
"Apa kau sudah menunggu lama?" ujar pelan Sasuke seraya memayungi Hinata.
Sejenak Hinata menatap penampilan suaminya saat ini. Memakai serba hitam, jaket tebal yang kusam serta masker dan kacamata yang tak kalah menutup seluruh wajahnya. Pria itu benar-benar tak mau wajahnya yang mungkin masih terluka itu ketahuan olehnya.
"Ya, kau telat sepuluh menit Sasuke-san."
Jika luka apa yang dialami Sasuke begitu parah...
Hinata tak harus bersikap apa. Sasuke tak mau memperlihatkan kelemahannya.
"Maaf."
Reflek seketika tangan Hinata terangkat meraih tulang pipi Sasuke. Seperti menyambut tamu yang tak diundang, mereka tiba-tiba membeku di tempat. Interaksi di luar dugaan ini seakan menghentikan waktu, bahkan orang yang lalu-lalang di sekitar mereka menyambut acuh pada pasangan yang bisa dibilang menghalangi jalan. Namun salju yang semakin turun lebat menggerakkan waktu. Mereka berdua tiba-tiba kikuk, kedua pipi mereka juga turut memerah. Akan tetapi Hinata bergegas mencairkan suasana. Dia berdehem, lalu membelakangi Sasuke.
"Ayo kita pulang!"
Sasuke sontak tertegun. Hinata seperti menyuarakan isi hatinya dengan bisu, dan ia hanya mengekori Hinata dari belakang sambil pikirannya berlari kemana-mana.
.
.
.
Sasuke sudah menduga bahwa Hinata telah menyadari dengan sikapnya akhir-akhir ini yang selalu menghindar. Meskipun begitu istrinya tak pernah mengubris hal itu. Mungkin perihal ini sudah dianggap impas mengingat dirinya juga tak pernah mempersoalkan bento buatannya yang tak pernah dimakan.
"Apa hari ini kau masuk kerja juga?" tanya Sasuke ketika Hinata yang keluar dari kamar dengan setelan kerja.
Akan tetapi seperti duri kecil yang menancap di jarinya, Sasuke sungguh tak nyaman dengan ide Hinata yang memberikan bentonya pada orang lain, apalagi orang itu adalah pria.
Empu yang ditanya pun lantas mengangguk. Ia kemudian mengambil beberapa uang tasnya.
"Tidak perlu." Tolak Sasuke
Sejenak Hinata tercenung, Sasuke yang bersedekap dada.
"Duit kemarin masih sisa, malam ini aku tak akan masak dan maaf gak bento untukmu hari ini."
Untuk sepintas Hinata hanya mengedipkan matanya. Melihat pose Sasuke yang telah menyilangkan dada seolah mengatakan bahwa ia tengah marah padanya.
Mungkinkah Sasuke telah mengetahuinya?
Bila Sasuke menyinggung bento, maka sudah pasti ia telah mengetahuinya. Tapi bagaimana bisa?
Mengingat Sasuke yang tak suka bercampur baur dengan orang, ia tak mungkin berbincang akrab dengan Genma.
Jika Sasuke ingin menyinggung perbuatannya, maka Hinata ikut maju karenanya.
"Apa wajahmu masih sakit?"
Hinata mendesah, Sasuke telah membuang muka.
"Apa yang kau bicarakan?" Ada nada canggung disuaranya.
Kali ini Hinata yang bersedekap dada.
"Aku mendengar semuanya dari Genma-san."
Sasuke menekukkan sebelah alisnya, "Siapa itu?"
"Polisi yang menolongmu saat pengeroyokan waktu itu."
Ah... Bibir Sasuke sontak terkatup rapat bak bunga yang tertidur di malam hari.
"Bukankah kau terburu-buru?"
Kini Sasuke memunggungi Hinata. Ia tampak enggan membahasnya, padahal pria itu yang memulainya.
"Jangan melakukan hal bodoh."
Sasuke yang baru saja ingin duduk di meja berhenti, ia lantas perlahan berdiri dengan membusung dada, "Kau juga melakukan hal bodoh." balasnya yang tak terima dengan pernyataan Hinata.
"Maksudku bukan itu Sasuke-san... Aku gak mau kau melakukan hal sesuatu yang membuat dirimu dalam bahaya."
Hinata lantas memegang dadanya yang berdegup kencang, "D-dan lagipula aku gak melakukan hal bodoh."
Sasuke mendengus, "Oh, begitu."
Hinata meneguk ludahnya, Sasuke yang berdiri menjulang di depannya seolah tengah mengintimidasinya.
"Tapi, asal kau tau ya... Aku tau selama ini kau gak makan bento buatanku."
Spontan Hinata hanya membuang muka. Dari jarak mereka yang kini begitu dekat, ia bisa merasakan napas Sasuke menerpa wajahnya.
"Kalau kau ga suka, bilang saja padaku langsung. Jadi, kau gak perlu repot-repot ngasih alasan kelebihan makanan pada orang yang bernama Genma itu."
"Suka-suka aku dong, mau diapain itu bekal." Tiba-tiba Hinata jadi terbawa emosi.
"Tapi aku gak suka Hinata. Jika ada orang yang tahu, nanti apa kata mereka!? Kau gak mau kan dikatain caper!?"
Seperti halnya api yang tersambar oleh minyak maka api kemarahan tersulut besar.
"Sejak kapan Sasuke-san peduli dengan penilaian orang?!"
Wajah mereka begitu dekat, hingga ujung hidung hampir saling bersentuhan.
"Ini semua salahmu... La-Lagian se-sejak awal aku gak pernah memintamu membuatkanku bento!"
Pipi Hinata sontak merona, bisa-bisanya ia sempat terpesona wajah suaminya. Ia menekukkan wajahnya dengan masam.
"Karena kau gak pernah sarapan di rumah, itu bikin aku khawatir. Aku sudah repot-repot bangun pagi-pagi... Belanja-bikin sarapan untukmu, Hinata karena aku peduli padamu."
Bibir Hinata yang merah delima itu lantas terkatup rapat. Rasa tidak percaya pun memeluknya, ia telah kehabisan kata. Tak pernah seumur hidupnya bahwa ia akan melihat Sasuke banyak bicara dan komplen seperti ini terhadapnya. Apalagi dengan kata 'peduli' lantas keluar dari mulut orang yang pernah meninggalkannya di altar pernikahan. Ini membuat Hinata berdiri di antara jurang kemarahan, dan rasa bersalah.
"Aku cemas kalau kau sakit, gak baik kerja dengan perut kosong. Aku gak mau hal buruk terjadi padamu."
Bibir Hinata yang terkatup rapat itu kali ini bergetar. Suara Sasuke yang naik itu sungguh membuatnya tak nyaman. Semua ingatan masa lalu yang pahit itu keluar. Hinata mencoba menahan air matanya.
"Kau gak perlu mencemaskanku." Hinata membalikkan badan, menghindari tatapan Sasuke yang beda dari biasanya itu.
Hinata ingin menguburkan prasangkanya, dimana Sasuke benar-benar mempedulikannya.
"Lagipula aku gak punya riwayat sakit bawaan atau apapun itu. Pencernaanku juga baik." tambahnya yang sedikit berbohong,
"Sudahlah jangan dibahas lagi!"
Sasuke menghela napas. Mereka terdiam beberapa saat.
"Aku gak salah."
Kali ini bibir Hinata tertutup lagi. Jantungnya tiba-tiba berdenyut perih. Suara pelan Sasuke menusuknya.
"Yang kulakukan hanyalah untuk menyelamatkan dirimu. Tapi kau..." Sasuke lantas mengacak rambutnya, "Jangan sakiti dirimu sendiri! Bukan begini caranya balas dendam padaku."
Mendengar ini Hinata lantas tercengang. Ia lantas berbalik dengan wajah yang penuh amarah. Dan tanpa aba-aba satu tamparan melayang panas di wajah tampan Sasuke.
PLAK!
"Itu bukan alasan diriku untuk menikahi dirimu!"
Sasuke yang terkejut lantas memegang pipinya. Ia melirik Hinata yang kini matanya berlinang airmata. Jantungnya lantas berdenyut perih.
"Kau...!?"
Hinata menatap tangannya, kemudian menyesali tangannya yang cepat ringan tangan. Ia lantas melihat Sasuke yang menundukkan wajahnya. Seketika ia merasakan bahwa ia telah gegabah akan sesuatu, namun di sisi lain kekesalan tak dapat didinginkan dengan mudah.
Tanpa mengucapkan salam, Hinata lantas meninggalkan Sasuke yang masih mematung.
"Kalau kau peduli, seharusnya kau lakukan sejak dulu." Hinata membatin sedih begitu menuju turun dan langsung duduk di anak tangga.
"Dasar bodoh!" imbuhnya yang menutup wajahnya.
Di sisi lain, Sasuke yang ditinggalkan juga menduduki kursi meja makan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kau bodoh Sasuke." rutuknya pada diri sendiri.
.
.
.
Neji yang sudah lama tak berkunjung, kini duduk tegak di ruang tamu. Ia memang sudah mendengar pernikahan sepupunya, namun ia belum punya waktu untuk menemui Hinata secara pribadi. Neji baru pulang dinas dari luar negeri, ia bisa saja menelpon Hinata, hanya saja sepupu kesayangan itu tak pernah mengangkatnya. Kalau ditanya reaksinya, tentu saja dia kaget luar biasa.
Sambil meminum ocha yang telah dingin ia menantikan Hanabi dengan tak sabar. Bukannya apa, adik sepupunya kini membuat ulah diluar kebiasaannya. Dia ketahuan menyewa bocah berandalan hanya untuk memukul Sasuke.
Dan tak lama orang yang ditunggunya akhirnya datang. Gadis itu berdiri ketakutan di
belakang bibi pengasuhnya.
"Neji nii-sama, kau ingin bicaranya?"
"Bi, anda bisa tinggalkan kami berdua sebentar?" ujar Neji yang memicingkan matanya ke arah Hanabi.
"Baik, Tuan." balas sang bibi yang mengiring Hanabi ke arah pria itu, "Tapi, jangan terlalu keras pada Nona kecil."
"Hn."
Setelah itu bibi pengasuh meninggalkan mereka berdua. Hanabi yang berdiri canggung perlahan duduk di depan sepupunya. Sejak mendengar kedatangan sepupunya saat perjalanan pulang tadi firasatnya jadi buruk. Sepertinya Neji sudah mendengar atas laporan polisi tadi siang.
"Kau harus berterimakasih karena sudah membereskan ulahmu." ujar Neji yang terdengar sangat sinis.
"Eh, kok bisa?!" seru Hanabi yang sedikit kaget. Karena seingatnya, Neji tidak mau lagi membersihkan masalahnya semenjak dia menghajar teman mantan pacarnya yang melecehkannya di depan umum.
"Tentu saja aku menyogok kepalanya, dan membayar denda. Kau pikir dengan cara apa?"
Kali ini Hanabi memainkan jarinya dan memanyunkan bibir.
"Tapi kan menyogok itu tidak baik..."
Mendengar ini Neji malah terkekeh sinis. Bagaimana bisa Hanabi berbicara sok suci, sedangkan dirinyalah yang melakukan hal kotor terlebih dahulu?!
"Leluconmu gak lucu, Hanabi."
Neji mendengus, sedangkan Hanabi menyembunyikan wajahnya di belakang tirai rambutnya.
"Aku gak mau kau melakukan hal itu lagi. Kau mau jadi preman, hah!? Dikit-dikit main hajar. Ingat kau wanita dari keluarga terpandang, Hanabi!"
Hanabi harusnya bersyukur karena Neji yang menegurnya, kalau ayahnya mungkin ia tak akan melakukan hal itu. Pembekuan kartu kredit itu lebih mengerikan baginya.
"Habisnya aku kesal. Aku belum bisa menerima pernikahan itu." ujar Hanabi yang mengutarakan perasaannya.
"Kau pikir aku engga?!"
Hanabi sontak mengangkat wajahnya dengan cepat. Neji telah menyingsingkan lengan kemejanya adalah menandakan keseriusannya.
"Seharusnya kau tak perlu menyewa bocah ingusan, karena aku yang akan menantangnya duel."
