[Sakit, senang.]
.
.
.
Semenjak pertengkaran, sudah seminggu mereka saling mengunci mulut. Namun, ini membuat pikiran Hinata penuh akan Sasuke. Kerja di kantor pun jadi begitu mengesalkan, ia jadi pemarah, dan para bawahannya pun kebingungan dengan sikap barunya ini.
"Ini perlu diperbaiki, kau pikir konsumen mau membelinya dengan tampilan kemasan seperti ini?!"
"B-Baik, bu."
Hinata memijat keningnya setelah bawahannya kembali ke meja kerjanya. Ia pun kemudian merasakan banyak pasang mata melihat kearahnya. Mereka pun mulai bergosip, bahwa pernikahan bosnya tidak sedang baik-baik saja. Ia hanya mendesah sambil menatap jam di ponselnya. Dalam hati kecilnya, ia berharap Sasuke mengirim chat padanya.
Hingga sore menjemputnya, Hinata bergegas menyingsing tas kesukaannya untuk pulang yang tak pernah begitu ia nantikan beberapa hari ini. Ada firasat ganjal yang terus menghantuinya seharian ini. Namun begitu sampai di lingkungan apartemennya, sesuatu yang tak pernah pikirkan terjadi di depannya, mengguncang dunianya.
"NEJI NII-SAN!?"
Di depan banyak orang Neji menghajar Sasuke sampai babak belur.
.
.
.
Hinata menatap wajah Sasuke dengan cemas. Menyentuhnya dengan hati-hati seolah porselin yang mahal dengan jemari lentiknya. Kini ia bisa melihat beberapa lebam di wajahnya. Ia sempat mendesah beberapa kali saat Sasuke meringis karenanya.
Tak pernah ia sangka bahwa kepulangannya justru menyaksikan hal membuatnya terhina. Dinding yang baru ia bangun kembali runtuh hanya karena tak dapat memegang kunci dengan benar.
Sementara itu, dengan kegaduhan yang dibuat Neji, semua tetangganya berhamburan mengintip di depan pintu apartemen mereka yang terbuka. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Pengantin muda yang mereka kira harmonis namun sedikit tertutup itu ternyata menyimpan masalah.
"G-Gomenasai Hinata-san, saya berusaha melerainya, ta-tapi-!"
Tak sampai Genma menyelesaikan kalimatnya, Hinata menatap nyalang petugas keamanan itu dengan amarah yang berasap. Dan yang tambah membuatnya kesal adalah bisik-bisik para tetangganya. Mereka seakan-akan mulai menerka-nerka kondisi keluarganya.
"Genma-san, kami sangat terbantu jika anda bisa menertibkan para tetangga." ujar Hinata yang bernada bak bos yang mengatur bawahannya.
Genma pun segara mengusir para tetangga, dan ketegangan lain justru baru dimulai.
"Aku bisa saja melaporkan Nii-san atas apa yang dilakukan pada Sasuke, tapi kali ini Nii-san beruntung karna aku lagi bad mood." ujar Hinata yang melotot tak hanya pada Neji, namun pada Hanabi yang membisu sedari tadi.
Sementara itu, Neji mendengar hal ini malah mendengus.
"Aku gak bisa melupakan apa yang dilakukan pria disebelahmu, aku hanya datang untuk balas dendam lalu pergi. "
Suasana pun tiba-tiba hening. Wajah Hinata tertunduk-tertutup oleh helai rambutnya. Bukan hanya itu saja, sayup-sayup mereka mendengar suara Hinata yang sumbang menahan tangisan. Neji dan Hanabi meneguk ludahnya canggung, sedangkan Sasuke yang mencoba menatap wajahnya ditepis begitu saja.
"H-Hinata?"
"A-Apa sekarang kalian semua sudah puas pada suamiku?"
Hanabi sejenak menatap Neji yang menatap lurus ke arah Hinata, seolah tengah membaca pikiran sepupunya tersebut. Ketika Hinata menekankan suaranya pada kata 'suamiku', dalam sekejap telinga Neji merasa gatal.
"Ne-Nee-chan, ka-kami-" kata-kata Hanabi terpotong kala melihat wajah Hinata kini.
Dengan bola mata rembulan yang bersinar di atas air itu, Hanabi dan Neji terkukuh diam. Meskipun demikian, sirat ketegasan masih terpancar diantara kesedihan durjana.
"Untuk sementara aku cukup puas." sahut Neji yang menjawab pertanyaan Hinata barusan, "Tapi aku gak akan meminta maaf."
Dada Neji membusung angkuh menatap wajah babak belur Sasuke yang masih terdiam dari tadi, "Dia pantas mendapatkannya, ini semua atas ganti rugi tangisan di hari gagal pernikahan kalian dulu."
Menyinggung masa lalu, Hinata menarik napas dalam-dalam, ia sontak tak lari ketika Neji memandangnya penuh tanda tanya.
"Tapi aku masih heran sampai sekarang... Setelah apa yang pria brengsek itu lakukan padamu, kenapa kau masih menerimanya?"
"Ini bukan urusan Nii-san!" seru Hinata ketus.
"Dimana pendirianmu? Gak mudah tunduk adalah sifat keunggulan keluarga yang kita junjung tinggi. Apa kau telah buta Hinata?"
"Jika urusan kalian selesai, aku harap kalian bisa segera pergi dari tempat ini." potong Hinata yang beranjak dari tempat demi membuka pintu.
"Hinata, aku belum selesai..."
Hinata tak peduli, ia justru kembali menatap tajam Neji seolah tengah melubangi wajah kerasnya. Raut tegasnya tak dapat diganggu gugat selayak duduk di singgahsana sungguh mengesalkan. Kemudian mata peraknya berlari menuju adiknya seolah memberikan sinyal bahaya. Hanabi yang merasakan ini sontak terhipnotis. Ia segera menarik paksa lengan kakak sepupunya. Firasat buruk menusuk jantungnya, jika turut melawan maka perang dunia ketiga akan tercetus di detik itu juga.
"A-Ayo Neji Nii-san!" seru Hanabi yang bersusah payah menarik sepupunya.
"Ingat Hinata, aku gak akan menyerah! Aku akan membuatmu waras lagi."
"Sudah, sudah... Kenapa Nii-san keras kepala sih!?"
Sepergian mereka, Hinata sontak mendesah sedih. Tak lama ia merasakan Sasuke menatapnya dan ia pun menyambutnya tanpa sedikit pun bersuara.
"Gomen." ujar Sasuke yang membuat bulu kuduknya menari.
Kebiasaan Sasuke yang memijit punggung leher serta mengalihkan pandangan kala canggung tak pernah berubah. Hinata sontak memegang dadanya, seksama ia meniti luka yang tergores di wajah tampan suaminya, entah kenapa dadanya merasa sakit melihat kondisi itu.
"Kita bahas itu nanti." sahut Hinata pelan
Hinata lantas mendekat, tangannya yang gatal itu kini meraih wajah Sasuke. Pria itu tanpa sengaja meringis.
"Gomenasai, sakit ya?" Ada nada kekhawatiran yang membuat jantung Sasuke berbunga.
"Ayo kita ke klinik!" ajak yang mengambil tas kecilnya, "Aku ganti baju dulu."
Namun, sebelum kaki Hinata bergerak lebih jauh, Sasuke memeluknya dari belakang. Wanita Hyuuga itu terpaku sejenak. Ia kemudian menyadari detak jantung suaminya yang bergerak cepat. Ada rasa emosi yang terkurung. Mereka pun menjatuhkan diri, terduduk diatas sofa panjang.
Dengan Hinata yang berada dipangkuan Sasuke, mereka terdiam cukup lama. Menikmati detak jantung yang berdebar selaras, bernapas beriringan dengan damai, dan tersenyum kecil. Ini situasi yang membingungkan. Padahal Hinata tadi merasa ingin meledak-ledak. Namun kini mencair dengan mudah hanya karena permintaan maaf dan pelukan kejutan dari Sasuke. Tak pelak rasa penasaran pun mencubitnya. Ia jadi memikirkan perasaan Sasuke, dan kenapa pria itu melakukan hal ini? Akan tetapi, Hinata lebih baik menguburnya.
Hingga tanpa sadar langit jingga menyinari ruang tamu yang sederhana itu, Hinata memberanikan menatap Sasuke.
"Ke klinik sekarang?" tanyanya.
Sasuke sontak mengangguk, "Hn."
Dan akhirnya mereka pergi ke klinik setelah langit sedikit gelap. Malamnya, masalah yang ingin mereka tuntaskan tertunda. Sasuke ternyata tidur lebih awal setelah meminum obat. Hinata duduk melamun di samping dimana Sasuke berbaring. Ia kemudian menyadari Sasuke mengalungi sesuatu di lehernya. Koin perak yang sepertinya ia kenal, memaksanya menggali kenangan di masa lalu. Rasa ingin menyentuh pun ada, tapi urung tak tersampaikan karena Sasuke mengingau kesakitan. Hinata yang berkesiap sontak beranjak dari tempatnya. Sejenak mendesah lelah.
"Oyasumi, Sasuke..." ujarnya diujung pintu sebelum bayanangnya benar-benar hilang dari kamar Sasuke.
Lalu keesokan harinya, seperti yang ditebak, selama Hinata di luar Neji terus menempel padanya selama seminggu.
.
.
.
"Apa Neji masih mengawasimu?" tanya Sasuke di sela-sela makan malam mereka.
Setelah kejadian itu, baik Hinata maupun Sasuke mulai sedikit terbuka. Saling meminta maaf pun memang terjadi, namun tak ada pembicaraan yang lebih dalam dari itu. Rahasia alasan utama mereka dalam pernikahan ini masih terkunci rapat di dalam kotak pandora. Meskipun demikian, walaupun belum bisa berlakon suami-istri, setidaknya sikap mereka tak kaku lagi seperti orang asing. Buktinya mereka bisa satu meja saat ini.
"Sudah nggak. Kenapa emangnya?" tanya balik Hinata yang menaruh sumpitnya dan mengatupkan kedua telapak tangannya, "Makasih atas makanan enaknya." Ia telah menyelesaikan makanannya dengan suasana yang baik.
Sasuke lantas menggeleng, dan memandangi mangkuknya yang nasinya masih setengah. Melihat Hinata yang lahap menyantap hasil masakannya membuat perut Sasuke kenyang.
"Jangan menyisakan makanan! Aku temanin sampai selesai." seru Hinata yang bertopang dagu di atas meja.
"Tapi, kok bisa?!" Sasuke anehnya masih terganggu oleh ini, dan manik obsidiannya berbinar saat Hinata menaruhkan sebuah tomat ceri ke mangkuknya lalu berucap 'terima kasih'.
"Neji itu keras kepala, aku yakin dia gak mudah menyerah."
Mendesah lelah keluar dari mulut Hinata, "Emang iya, Neji Nii-san sungguh menyebalkan,"
Akan tetapi, Hinata tahu sekali tujuan Neji yang terbilang sangat baik itu. Hanya saja ia sudah terlanjur basah, dan kembali pun rasanya mustahil. Karena menurutnya apa yang sudah diputuskan tak dapat ditarik. Pernikahannya dengan Sasuke adalah sebuah jalan dari Tuhan. Saat sebelum mengambil keputusan itu, Hinata juga telah banyak meminta pendapat baik dari guru sekolahnya dulu sampai kepada psikiaternya.
Hingga pada saat kecelakaan kendaraan yang membuatnya hampir tewas, samar-samar ia melihat sosok malaikat putih yang datang menghampirinya -membawanya. Dan begitu sadar ia tengah masih hidup, sosok yang disangkanya malaikat adalah Sasuke.
Saat itu pulalah batinnya seakan dibuka lebar-lebar. Jika tak ada Sasuke mungkin ia bisa bernapas sampai sekarang, atau lebih tepatnya Tuhan memang sengaja mengirim Sasuke padanya. Tuhan seakan menuntun Sasuke padanya sebagai hadiah yang aneh menurutnya. Namun, ia tak dapat memungkiri kalau Sasuke adalah penyelamat hidupnya yang putih abu-abu ini. Dan jika Sasuke mendengar alasannya seperti ini, mungkin ia akan merasa bingung.
"Tapi, kamu gak usah khawatir, karena Neji Nii-san sudah kembali ke Amerika. Yah, mungkin untuk sementara ini." Hinata mengangkat bahunya acuh.
"Oh, ya omelet yang kau masak malam ini sangat enak, Sasuke. Aku suka." lanjutnya mengalihkan lamunan Sasuke.
Mata peraknya yang berbinar terang itu mengulik hati Sasuke untuk tidak penasaran. Ia bukannya tak senang, akan tetapi pembawaan senang Hinata hari ini terbilang aneh. Apalagi pujian dan kata 'aku suka' yang diucapkannya, membuat Sasuke mau-tak mau ikut berbunga karenanya.
"Kau terlihat sangat happy, ada apa sebenarnya?"
Sejenak Hinata mengedipkan mata, ia teringat sesuatu yang penting. Tak lama berselang ia pun segera mengeluarkan sesuatu dari saku roknya. Sebuah amplop putih, dan di saat itulah senyuman Hinata merekah bak bunga musim semi.
"Jeng jeng! Lihat, akhirnya aku mendapatkan uang bonus dari pindahan rumah!"
"Wah, sugoi!" Sasuke menyeringai, Hinata memamerkan lembaran uangnya dan mengipaskan padanya, "Apa itu artinya kau akan mentraktirku?"
"Tentu saja! Kita akan makan yakiniku dengan daging wagyu yang super mahal."
"Hn."
"Tapi sebelum itu, kau mau kan menemaiku cari perabotan baru? Kita harus beli selimut yang lebih besar."
"Siapa takut."
Senyuman mereka tanpa sadar berkembang. Tak lama suara ponsel Sasuke berbunyi. Pria itu mengangkatnya dengan antusias seakan itu adalah tangkapan pancingan yang besar. Dengan mata obsidiannya bersinar terang dan nada suara yang tersirat kebahagiaan, Hinata jadi tertarik rasa penasaran. Pria yang biasanya selalu bermuka datar dan angkuh itu ternyata bisa berekspresi bahagia.
"Gomen Hinata, sepertinya aku gak bisa menemanimu belanja." ujarnya yang merasa sedikit bersalah, lalu dalam satu lahap nasi Sasuke pun habis dalam beberapa detik.
"Kenapa?" ada rasa sedikit kecewa disana.
"Aku sudah diterima, besok aku mulai kerja."
Seketika Hinata spontan berdiri dari kursinya dengan riang, begitu pun dengan Sasuke.
"Benarkah?"
"Hn."
"Serius?"
Sasuke mengangguk antusias, dan kebahagiaannya yang tak terbatasi itu tumpah ruah mengisi hati Hinata. Mereka pun keluar dari meja untuk mengekspresikan kebahagiaan lewat pelukan, serta tak malu lagi tersenyum lebar. Sambil menggoyangkan pelukan, kalimat selamat dan syukur selalu berucap di mulut Hinata.
Sampai akhirnya, Sasuke terbangun dari kesenangannya. Tubuhnya menegang, dan ia yakin kini jantungnya berdegup dengan kencang. Ia ingin melepas pelukan itu, sayangnya rasa tak tega itu lebih besar dibandingkan rasa malunya. Sasuke membiarkannya seperti itu, hingga wanita itu pun ikut tersadar.
Kelopak mata Hinata lantas berkedip bingung, pelukan Sasuke telah lepas. Dan begitu mendongak ke wajah pria yang dipeluknya, ia menyadari Sasuke menutup wajahnya memerah. Belum lagi detak jantungnya yang begitu terasa di pipinya tadi. Seketika Hinata melepaskan pelukan.
"Gomen karna peluk sembarangan."
Suasana pun berubah canggung.
"Hn." Sasuke menggeleng keras seraya membuang muka, dan kini Hinata bisa melihat jelas telinga Sasuke yang memerah.
"Biar aku yang cuci piring." lanjut Sasuke bergegas merapihkan meja serta bekas makan mereka.
Seulas senyuman kecil sontak muncul di bibir Hinata tanpa diundang. Ia merasa tergelitik. Bagaimana bisa Sasuke jadi canggung begitu? Padahal tempo hari pria itu bahkan memeluknya begitu saja.
"Itu sungguh lucu, Sasuke." bisiknya yang melenggang menuju kamarnya.
