Bab 4: Portrait Diri
Naruto sedang bercengkrama dengan beberapa teman sekelas ketika Sasuke masuk ke dalam kelas. Dia tertawa karena lelucon yang disampaikan.
"Haruno tidak masuk lagi?" tanya salah seorang temannya.
"Dia harus latihan untuk Lomba Debat Nasional 2 minggu lagi," jawab Naruto. "Nanti setelah istirahat dia akan kembali ke kelas."
Sasuke sengaja berjalan sedikit lebih lama dari biasanya. Ketika dia melewati bangku Naruto, dia yakin bahwa si Ketua OSIS itu sempat meliriknya, tapi memilih untuk pura-pura tidak tahu. Melihat ekspresi Naruto yang sedikit kaku seperti sebuah kemenangan sendiri bagi Sasuke. Dia duduk di tempat duduknya, di kursi belakang dekat dengan jendela.
Tak berselang lama, pelajaran pun dimulai. Pelajaran pagi itu adalah Seni Budaya yang diajar oleh Mei Terumi-sensei. Guru muda yang cantik itu memasuki kelas dengan percaya diri. Bibirnya dipoles lipstick merah yang senada dengan warna rambutnya. Pakaian yang digunakannya pun tampak stylish untuk ukuran seorang guru. Mungkin itu masuk akal, karena Mei Terumi adalah seorang guru Seni Budaya. Cabang Seni Budaya yang diajarkan oleh Mei Terumi adalah Seni Lukis.
"Pagi ini kita akan melakukan praktek seni lukis portrait diri. Kalian sudah membaca teori tentang seni rupa? Meskipun seni rupa tidak masuk kriteria Ujian Masuk Universitas, tapi beberapa Fakultas Seni Rupa mempertimbangkan nilai-nilai seni rupa selama di SMA."
"Kita akan pindah ruangan ke Ruang Seni Lukis di Gedung Eskul," kata Mei. "Jadi, bawalah barang-barang kalian, termasuk semua barang berharga."
Setelah itu, Mei keluar lebih dulu dari kelas. Para siswa sibuk mengambil berbagai alat lukis mereka, beserta dompet dan ponsel. Naruto sudah menjadikan seluruh alat lukisnya dalam satu tas jinjing kecil yang gampang dibawa ke mana-mana. "Ayo," ajak salah satu temannya, bernama Kiba Inuzuka. Naruto mengangguk.
Perjalanan menuju Gedung Eskul sebenarnya lumayan jauh, tetapi para siswa kadang bercanda dengan teman-temannya. Jadi, perjalanan itu tidak terasa jauh. "Kau akan melukis siapa nanti?" tanya Kiba pada temannya yang lain yang berjalan bersama dalam satu rombongan.
"Aku ingin melukis kentang goreng yang kumakan tadi pagi," sahut Chouji Akimichi.
"Aku baru tahu bahwa Kentang Goreng termasuk dalam potret diri," kata Kiba.
"Paling-paling teman sebangku," kata Shino Aburame.
"Aku mau melukis Hyuuga saja," kata Kiba. Dia melirik ke rombongan anak perempuan yang berjalan sambil tertawa cekikikan. Dan jujur saja, Hinata Hyuuga memang tampak mencolok di antara mereka semua. Gadis Jepang asli dengan kulit seputih porselen, rambut panjang halus nan lembut dan tutur kata seperti para bangsawan di jaman Edo.
"Jangan menjadi mengerikan Inuzuka," kata Shino sambil memperbaiki kacamatanya. "Nanti kau bisa dilaporkan ke polisi karena menguntit Nona Muda Hyuuga."
"Sialan, tidak ada yang menguntitnya. Aku hanya bilang kalau aku mau melukisnya."
"Sama saja. Matamu setiap melihatnya seperti predator."
Kiba menendang pantat Shino. "Tidak ya. Setidaknya aku masih menyukai perempuan tulen, bukan seperti kau yang menyukai serangga berjenis kelamin betina," gerutunya.
"Apa kau tidak tahu bahwa ekosistem di dunia ini bisa terus berjalan dengan baik karena peran dari serangga? Serangga betina begitu penting karena mereka berada di puncak tertinggi–"
"Ya ya ya! Apalah terserah. Aku tidak mau mendengar ceramahmu soal serangga. Ini bukan pelajaran biologi."
"Kau memang menyebalkan," gerutu Shino. Dia tidak lagi mengoceh soal serangga. Naruto dan yang lain hanya tertawa saja melihat keributan kecil dan tidak penting seperti itu.
Setelah mereka sampai di Ruang Seni Lukis, Mei Terumi telah menunggu mereka. Di ruangan tersebut terdapat banyak sekali peralatan lukis yang bisa digunakan. Selain itu terdapat juga berbagai karya lukis dari para siswa, baik yang telah lulus maupun yang masih bersekolah. Tidak hanya seni lukis, tapi kerajinan seperti tanah liat, anyaman, serta yang lainnya.
Saat ini, sudah tersedia sekitar belasan kanvas yang saling bertolak belakang. Di depan masing-masing canvas terdapat bangku kayu kecil untuk para pelukis duduk.
"Silahkan duduk bersama teman sebangku dan kalian sudah bisa melukis satu sama lain," kata Mei Terumi. Kata-kata itu disambut berbagai reaksi dari para siswa. Ada yang saling tertawa dan mengejek. Mereka mulai saling bicara dan mencari tempat. Lalu, mereka mulai duduk berpasang-pasangan dengan teman sebangkunya.
Naruto tidak langsung duduk. Sakura tidak masuk. Selama 2 minggu sampai waktunya Lomba Debat Nasional, gadis itu akan fokus berlatih debat dan mendapat dispensasi. Naruto tahu bahwa gadis itu sangat mengejar Juara Nasional Lomba Debat karena dia menginginkan beaiswa untuk Fakultas Hukum di Universitas Kyoto. Jadi, Naruto tidak akan mengganggunya untuk menggapai mimpinya.
Setelah dia mengamati sekitar, dia menyadari satu-satunya orang yang tidak punya pasangan adalah Sasuke Uchiha. Padahal tadi pagi dia baru saja mendeklarasikan bahwa dia tidak akan terlibat lagi dengan Sasuke, tapi semesta benar-benar tidak berpihak padanya.
"Ada apa Uzumaki?" tanya Mei ketika Naruto sama sekali tidak bergerak menuju satu-satunya kursi yang masih kosong.
"Oh, sensei… ini…" Naruto gelagapan. Dia tidak mungkin bilang kalau dia sudah mendeklarasikan diri agar tidak berhubungan dengan Sasuke. Dia tidak mungkin juga melakukan hal itu karena dia baru saja berjanji untuk membantu Sasuke beradaptasi di sekolah ini. Menjauhinya bukanlah langkah yang tepat. Reputasinya dipertaruhkan. "Tidak apa-apa sensei," katanya. Dia tersenyum dan melangkah ke arah Sasuke sudah menanti. Seolah-olah tidak terjadi apapun di antara mereka, seolah-olah tadi pagi Naruto tidak dipermalukan.
Dia duduk di sisi kanvas yang berhadapan dengan Sasuke, sehingga dia bisa melihat keseluruhan wajah dari Sasuke. Di sisi lain, Sasuke masih berekspresi seperti tembok. Dia tidak menampakkan ekspresi tertentu ketika Naruto duduk di depannya. Semua orang sudah mulai melukis di kanvas masing-masing.
Naruto mulai membuka jenis-jenis pensil lukisnya. Dia bukan pelukis andal dan tidak mempunyai bakat apapun dalam seni, tapi dia mempelajari berbagai teknik melukis sejak dulu. Jadi, setidaknya gambarnya masih bisa terselamatkan dari malapetaka.
Dia mengamati wajah Sasuke, meskipun dia tidak mau melihat wajahnya. Tulang rahangnya tajam, tulang pipinya tinggi. Wajahnya terbentuk sempurna, seperti Dewa Yunani. Rambutnya meskipun acak-acakan tapi tampak sangat cocok. Matanya yang tajam dan selalu menyipit dengan iris sehitam malam. Wajah yang sempurna dan digilai oleh para perempuan, Naruto yakin itu, jika bukan karena kepribadiannya yang buruk dan hobinya berbuat onar serta berkelahi.
Bagaimana baiknya melukis wajah Sasuke?
Jadi, dia mulai membuat kerangka wajahnya. Tulang pipinya yang tinggi, tulang rahangnya yang tajam, semuanya. Waktu Pelajaran selama 100 menit tidaklah cukup untuk menyelesaikan portrait ini. Tugas ini tidak akan dikumpulkan saat ini juga. Jadi, sebenarnya Naruto tidak harus bersusah-susah.
Berbeda dengan Naruto yang langsung menggambar tanpa babibu, Sasuke masih menatap kanvas kosong dihadapannya. Dia menatap menatap si siswa sempurna di depannya yang berkonsentrasi membuat lukisannya. Eskpresinya berkerut dan kerutan di sekitar matanya menebal. Alisnya menekuk dan iris biru di matanya berkilat. Rambut pirangnya bergoyang lembut mengikuti pergerakan kepala dari Uzumaki. Terkadang irisnya bergulir ke arah Sasuke, seolah berusaha memetakan titik-titik tertentu dalam lukisannya.
Dia mengamati wajah Naruto. Wajah itu memiliki 1001 ekspresi. Haruskah dilukis ketika dia sedang tersenyum atau tertawa? Sepertinya lebih mudah begitu, karena tawanya begitu melekat di wajahnya. Iris birunya yang cemerlang dan berkilat setiap dia berbicara. Tatapannya ramah tapi juga menyimpan ambisi. Dia adalah Ketua OSIS yang dicintai para siswa di sini.
Tapi Sasuke rasa tidak cocok jika melukis Naruto seperti itu. Tawa itu milik semua orang, senyum itu milik semua orang. Pada dasarnya, Naruto Uzumaki dan semua sifat baiknya milik semua orang. Tidak ada yang spesial jika melukis tawa atau senyumnya. Jadi, Sasuke kembali mengingat-ingat hal lain.
Harga dirinya yang terluka, irisnya yang berkilat kesal dan tak sabar, serta amarahnya yang meledak-ledak. Begitu lebih cocok dengan Naruto. Alis yang berkerut karena tidak sabar, bibir yang terkatup rapat seolah menyegel semua sumpah serampah, serta iris biru yang tampak sedingin es. Ekspresi itu bukan milik publik. Jika Sasuke menggambar Naruto dengan ekspresi seperti itu, maka sudah dipastikan bahwa pemuda itu akan uring-uringan dan berusaha membalas Sasuke. Tapi setidaknya, dia tidak mengobral tawanya di depan Sasuke.
Di antara mereka tidak ada yang bicara selama 100 menit pelajaran sampai akhirnya bel berbunyi. Mei menepuk tangan. "Oke. Kumpulkan lukisan kalian 5 minggu lagi. Kembalilah ke kelas untuk pelajaran berikutnya."
Lalu, Mei keluar dari Ruang Seni Lukis, menyisakan para siswa yang ribut dan penasaran mengenai portrait diri mereka.
"ARGH! Apa-apaan? Kenapa kau lukis aku seperti anjing?"
"Kerangkamu memang mirip anjing."
"Cih! Seharusnya aku melukismu asal-asalan saja."
"Lukisanmu tidak bagus juga!"
"AAH! Pipiku tirus sekali di lukisan ini! Kau memang tahu seleraku!"
Berbagai komentar mengudara. Naruto sangat penasaran dengan hasil karya Sasuke. Semoga saja dia tidak digambar yang aneh-aneh oleh Uchiha muda itu. Jadi, dia berdeham. "Kau tidak melukis yang aneh-aneh kan?" tanyanya.
Sasuke menaikkan sebelah alisnya. "Kau ini narsis ya?" balasnya.
Suasana di Ruang Seni Rupa masih ramai, Naruto jelas tidak bisa lepas kendali di sini. "Maksudku, kau menggambarku dengan bagus kan?"
Sasuke mendengus. "Kalau kau sebegitu inginnya melihat gambarku, tidak usah berputar-putar. Tsundere," katanya.
Rasa panas menjalar di seluruh pipi Naruto. "Aku tidak penasaran! Dan aku juga tidak mau melihat gambarmu! Asal kau tahu, aku menggambarmu dengan bagus, jadi sebaiknya kau juga begitu!" katanya kesal.
"Aku tidak tanya," ujar Sasuke singkat.
Jawaban itu membuat Naruto semakin kesal, entah kenapa. Dia tidak punya jawaban apapun lagi. Jadi, dia mengemasi barang-barangnya dan menutup kanvasnya dengan kain putih agar tidak kotor. Kapanpun dibutuhkan, para siswa bisa ke ruangan ini kapan saja untuk menyelesaikan lukisan mereka. Setelah itu, dia keluar dari ruangan itu tanpa menunggu Sasuke.
Lagi-lagi, Sasuke menjadi orang yang terakhir bicara.
Sasuke merapikan alat-alatnya dengan tenang. Satu per satu orang mulai meninggalkan ruangan tersebut. Tidak ada yang menunggunya, tidak ada yang berjalan bersamanya. Sasuke tidak masalah dengan hal itu. Dia tidak berniat tinggal lama di sekolah ini. Dia tidak ada niat juga mencari teman. Satu-satunya alasan kenapa dia belum membolos karena Ketua OSIS yang satu kelas dengannya begitu unik dan dia ingin menjahilinya.
Dia menatap lukisannya yang belum jadi sebelum menutupnya dengan kain putih. Lalu, dia menyusul teman-temannya untuk kembali ke kelas.
.
Setelah jam istirahat, Sakura Haruno telah kembali ke kelas. Dia duduk di samping Naruto. "Bagaimana latihannya?" tanya Naruto.
"Melelahkan. Entah kenapa semakin lama semakin banyak materi yang harus aku hapalkan," katanya.
"Kau pasti bisa menghapal semuanya!" ujar Naruto sambil memberi semangat. "Aku juga sudah coba cari-cari di youtube mengenai Lomba Debat tahun lalu. Jujur saja, menurutku kau bisa menang mudah!"
Sakura memukul lengan Naruto pura-pura. "Tidak ada yang namanya menang mudah, baka! Dan ini adalah Lomba Debat yang sertifikatnya diperhitungkan untuk beasiswa Universitas. Perutku mulas," katanya sambil menelan ludah.
"Kau sering berdebat denganku dan aku adalah juri yang baik. Jadi aku bisa mengatakan kau bisa mengalahkan mereka."
Sakura terkekeh. "Ya ya, Uzumaki-kun. Sangat membantu." Dia mengeluarkan buku pelajaran berikutnya, Bahasa Inggris. "Apa yang aku lewatkan?"
Naruto pura-pura berpikir. "Kau melewatkan kesempatan melukis wajah tampan kekasihmu ini saja."
Sakura memutar bola matanya. "Untunglah aku dispensasi," katanya.
"Apa maksudnya?" Naruto pura-pura tersinggung.
"Jadi, kau melukis siapa? Akimichi? Aburame?" tanya Sakura.
"Uchiha," jawab Naruto singkat.
Sakura ber-oh tanpa suara. Lalu, dia mendekatkan dirinya pada Naruto dan berbisik. "Bagaimana Uchiha itu? Sepertinya dia belum punya teman."
Naruto mendengus malas. "Dia baru 2 hari di sekolah ini Sakura."
"Kau menguasai OSIS di hari pertama sekolah," kata Sakura.
"Mana ada yang seperti itu! Dan jangan lupakan dia masuk di tengah-tengah semester di kelas 3."
Sakura menatap pemuda pirang. "Why do I feel like there's bad blood between you guys?"
"You're just overthinking it."
Jelas Naruto tidak akan pernah menceritakan apapun mengenai buruknya sikap Sasuke dan itu membuatnya berkali-kali kehilangan harga diri. Sakura hanya perlu tahu reputasi baiknya saja.
"Kalau begitu, kita ajak dia berteman," usul Sakura.
Naruto hampir menggebrak meja. Untungnya dia menahan diri, termasuk menahan diri agar tidak langsung menolak usul tersebut. "Biarkan saja, dia masih beradaptasi."
"Tapi akan lebih baik kalau kita sebagai teman sekelasnya membantunya beradaptasi." Dia melirik lagi Sasuke dan kemudian ke arah Naruto. "Lagipula dia tampan. Pasti banyak yang penasaran dengannya."
Naruto mau muntah mendengarnya. "Dia yang harus berusaha beradaptasi."
Sakura menatap Naruto dengan gemas. "Kau sendiri yang selalu berkoar-koar setiap hari bahwa memiliki teman itu penting. Sekarang kau akan meninggalkan seorang teman?"
Tapi dia bukan temanku, hampir Naruto menjawab seperti itu. Dia menarik napas dan menghembuskannya. Sakura selalu beradu argument yang tidak akan bisa dibantah oleh Naruto. Bukan semata-mata karena Sakura itu kekasihnya dan akhirnya dia selalu mengiyakan, melainkan karena Sakura membeberkan fakta-fakta yang tidak bisa dibantah. Lagipula, akan aneh kalau Naruto terlalu bersikeras mengucilkan Sasuke. Dirinya akan jadi pertanyaan banyak orang dan lagi taruhan konyol di antara mereka. Bagaimana Naruto akan meyakinkan Sasuke untuk tetap tinggal di sekolah kalau dia sendiri saja tidak mau berteman atau mengajak Sasuke bergabung di kelas mereka?
"Oke," katanya. "Mungkin kita bisa mengajaknya makan siang bersama."
Sakura bertepuk tangan. "Atau kita bisa hang out bersama dengan yang lain di akhir pekan."
"One step at a moment, okay? Lagipula ini sudah masuk bulan ulangan harian. Kau masih berpikir untuk hang out?"
"Rileks, Ketua OSIS. Kita juga butuh hiburan. Biar tidak gila."
Naruto hanya menghela napas. Dia sedikit tegang jika menyinggung ajakan jalan-jalan. Mereka sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi Ujian Masuk Universitas. Banyak yang dipertaruhkan di sana dan Naruto tidak boleh gagal. Jadi, tekanan yang dia rasakan semakin besar dan dia harus semakin giat belajar, karena dia tahu bahwa orang yang lebih hebat, lebih pintar dan lebih berbakat darinya sejumlah bintang di langit.
Namun, Naruto juga tahu bahwa Sakura pun merasakan ketegangan di semester ini. Dia pun sama tertekannya dengan Naruto, Lomba Debat yang tidak boleh gagal, beasiswa yang bisa direbut oleh orang kapan saja, dan masa depan yang masih tertutup awan hitam pekat. Pemuda itu tahu bahwa Sakura hanya berusaha membuatnya lupa sejenak bahwa mereka ada di sini bukan hanya untuk membuat memori indah. Mereka di sini untuk mengukir sebuah masa depan yang mungkin akan indah.
.
"OI ANAK BARU!"
Seruan itu membuat langkah Sasuke terhenti. Dia tahu nada suara itu, dia mengenalnya seperti dia mengenal anggota tubuhnya. Itu adalah suara dari anak-anak nakal dan bermasalah di sebuah sekolah. Sasuke mendengus. Rupanya di sekolah ini pun masih ada kumpulan anak-anak bermasalah. Sebenarnya Sasuke sudah menghitung waktu sampai dia ditemukan atau dia menemukan kumpulan para berandal sekolah.
Sasuke menoleh ke arah sumber suara. Di sebuah belakang gudang penyimpanan barang yang jarang sekali dilewati siswa dan guru, berkumpulah sekitar 10 orang dari berbagai angkatan. Mereka tidak memakai blazer, tidak memakai dasi dan kemeja mereka tidak dikancing, menampilkan sebuah kaos hitam yang mereka pakai. Jika Naruto melihat ini semua, Sasuke yakin sekali dia akan sesak napas dan vertigo. Bau rokok sangat kuat di sini.
"Kau si anak baru kan?" tanya seseorang yang duduk di atas tumpukan kayu usang.
"Rupanya di sekolah ini pun masih ada sampah."
"APA KATAMU?"
Beberapa orang, sepertinya anak buah si pemimpin, menuju arah Sasuke dan setengah menyeretnya masuk hingga dia dikelilingi oleh anggota geng di setiap sudut. Trik murahan ini sudah sering Sasuke lihat dan dia tidak takut apapun. Dia bukanlah anak baik dan rajin serta hidup dengan kebenaran seperti Ketua OSIS. Dia sudah sering berkelahi, jadi dia tahu bahwa mereka berusaha mengintimidasi korban dengan cara berkelompok.
"Seharusnya kau memberi salam dulu ketika bergabung di SMA ini, brengsek!" kata orang yang sedari tadi bicara. Sasuke yakin bahwa dia adalah pemimpin geng. Rambutnya dicat abu-abu dengan gigi-gigi yang runcing. Rambutnya gondrong dan tubuhnya tidak sebesar tubuh anggota geng yang lain. Namun dia pasti punya sesuatu, sebuah kekejaman yang tidak terkira, sampai semua orang tunduk padanya.
"Ah maaf," kata Sasuke. "Aku pikir Kantor OSIS bukan berada di belakang gudang, jadi aku tidak kepikiran." Dia tersenyum, sebelum sebuah tendangan keras menghantam perutnya. Untuk sesaat Sasuke tidak bisa bernapas karena diafragma-nya tertekan secara tiba-tiba. Dia jatuh terduduk dan terbatuk-batuk. Perutnya nyeri akibat tendangan tiba-tiba itu dan sensasi berkelahi segera memenuhi seluruh pembuluh darah Sasuke. Saraf-sarafnya kembali tegang dalam perasaan ekstasi dan adrenalin. Namun, dia belum membalas.
"Apa katamu, teme?" geram si pemimpin. Sasuke berusaha bangun. Dia belum menampilkan ekspresi apapun.
"Suigetsu, jangan berlebihan." Suara bass itu menghentikan gerakan tangan si pemimpin yang hendak menghajar Sasuke. "Kalau dia sudah babak belur di awal minggu, kita bisa bermasalah dengan OSIS dan Komite Disiplin."
"Cih." Hanya itu yang diucapkan Suigetsu sebelum dia meludah.
Sasuke mampu tertawa di antara rasa sakitnya. Entah apa yang dia tertawakan. Dia hanya merasa lucu saja dengan kondisinya sekarang. Apa yang menahan dirinya untuk tidak langsung membalas? Sensasi berkelahi sudah tertanam di dalam seluruh otot-ototnya. Dia mampu menghabisi mereka semua dalam sekali hajar. Mungkin akan sedikit babak belur saat menghadapi si suara bass yang punya badan kekar, tapi rasanya dia bisa menang.
Lagipula, kalau tujuannya itu dikeluarkan dari sekolah maka cara berkelahi adalah cara yang paling mudah. Kenapa dia belum mengayunkan tinjunya? Kenapa dia belum merontokkan gigi-gigi tidak rapi milik Suigetsu? Kalau dia berkelahi, ekspresi apa yang akan ditampilkan si Ketua OSIS? Apakah dia akhirnya kecewa karena Sasuke dikeluarkan setelah 2 hari bersekolah? Kira-kira Sasuke akan dikirim ke mana lagi oleh orangtuanya? Mungkin di Jepang sudah tidak ada harapan, jadi mungkin dia akan dikirim ke luar negeri.
Ibunya akan sedih dan Ayahnya hanya akan mendengus, seolah mengatakan bahwa Sasuke memang tidak bisa diharapkan. Dia tidak akan menjadi apa-apa dan selamanya akan menjadi parasit di keluarga Uchiha. Dia tidak akan pernah bisa berdiri di panggung yang sama dengan Itachi, si serba sempurna. Lalu Sasuke tidak akan lagi melihat Naruto.
"Apa yang lucu sialan!" bentak Suigetsu. Bentakannya itu berhasil mengintimidasi para anggotanya, yang bergerak-gerak sedikit gelisah. Namun, Sasuke tidak merasa terintimidasi. Semua perkelahian yang dia lakukan membuatnya bisa membedakan mana orang yang benar-benar bisa mengintimidasi dan mana yang hanya berlagak sok keren di depan orang-orang. Dan Suigetsu tidak mampu mengintimidasi Sasuke. Dia hanyalah orang gagal yang bisanya menekan orang yang lebih lemah dari dirinya dan tidak mampu berkutik jika ada yang lebih superior darinya.
"Kau," kata Sasuke singkat. Kata-kata itu dingin, tajam dan menusuk. Kilatan matanya seperti pisau bermata dua yang siap menembus jantung. Dia seperti siap membunuh orang dengan tatapannya.
Tanpa sadar Suigetsu terdiam. Intimidasi dari Sasuke berbeda dari semua geng di Tokyo Barat. Yang ini seperti serigala liar. Sasuke seperti benar-benar akan membunuhnya. Untuk sesaat, Suigetsu tidak mampu mengeluarkan kata-katanya.
"Kenapa kelompokmu hanya bisa menguasai belakang gudang? Kalau kau benar-benar mengerikan, kau seharusnya bisa membuat seluruh sekolah ini bertekuk lutut, bukan?" Sasuke menyeringai. Dia menatap Suigetsu lekat-lekat. Matanya memerangkap seluruh tubuh Suigetsu sampai pemuda itu tidak berani bergerak. "Tahu artinya? Kau tidak lebih dari hama di sekolah ini. Kalian semua. Karena itu, Naruto Uzumaki masih berkuasa sampai sekarang."
Sepertinya menyinggung nama Naruto Uzumaki menyulut api tersendiri. Dengan kasar dan brutal, Suigetsu menendang kayu-kayu yang ditumpuk dan langsung menghadiahkan Sasuke sebuah bogem mentah yang tidak sempat dihindarinya. Dia jatuh tersungkur untuk kedua kalinya.
"SIALAN! JANGAN SEBUT NAMA SI BANGSAT ITU!" raung Suigetsu. Dia hampir saja melayangkan tinju lagi ke wajah Sasuke, tetapi tangannya dihentikan sepenuhnya oleh si pemuda dengan suara bass.
"Jangan membuat keributan di sini," katanya tenang.
"Lepaskan aku, sialan!" seru Suigetsu sambil berusaha melepaskan dirinya dari cengkraman temannya. "Bangsat! Bangsat!"
Para anggota geng yang lain tampaknya tidak berani mendekati Suigetsu yang sedang mengamuk. Sasuke kembali terkekeh meskipun pipinya perih dan dia mampu merasakan darah di lidahnya. Tampaknya bagian dalam pipinya tergigit ketika Suigetsu menghajarnya.
"Sepertinya aku memicu bom waktu," ujar Sasuke sambil bangun. Seragamnya telah kotor dan sekarang mukanya memar. Dia harus mencari alasan agar Ibunya tidak menanyakan berbagai macam hal mengenai hari ini.
Tampaknya Suigetsu akhirnya tenang dan seluruh wajahnya memerah. Jika hanya mendengar nama Naruto saja bisa membuatnya kesetanan seperti ini, apa yang akan terjadi jika Suigetsu bertemu dengannya. "Sepertinya kau dihabisi oleh Naruto Uzumaki sampai kau tantrum ketika mendengar namanya," kata Sasuke mengolok-olok Suigetsu.
Pemuda itu ingin menyerang Sasuke lagi, tapi karena dia masih ditahan, dia tidak bisa melakukannya. Si pemuda bersuara bass-lah yang bicara. "Cukup. Pergilah dari sini," katanya pada Sasuke.
Sasuke hanya mengangkat bahu. "Kalian yang mengundangku ke sini. Sekarang aku di sini, aku tidak bisa diusir sesuka hati kalian." Dia menyeringai. Sudut bibirnya sakit karena hantaman tinju Suigetsu, tapi dia tidak membiarkan hal itu jadi masalah. "Atau mau kita panggil saja Naruto Uzumaki ke sini?" ejek Sasuke.
Dia tidak punya kontak Naruto, tapi dia tahu bahwa geng ini bisa digertak sambal seperti ini. Pemimpin mereka telah kehilangan ketenangannya, jadi lebih mudah membuatnya goyah, apalagi mempermalukannya di hadapan anggota lainnya. Namun, Sasuke akan menyimpan pamungkas itu untuk nanti. Tidak seru jika langsung menghabisi Suigetsu beserta harga dirinya sekaligus.
Dia menepuk-nepuk celananya yang kotor. "Yah, aku juga tidak mau berlama-lama di sini." Dia tersenyum. "Terima kasih atas sambutannya, Kaichou! Mohon bantuannya." Dia mengatakan itu dengan nada yang sangat merendahkan dan tidak bisa dibalas oleh Suigetsu.
Lalu, dia berbalik pergi meninggalkan belakang gudang penyimpanan. Seringai belum lepas dari wajahnya yang sedikit memar.
Naruto Uzumaki, siapakah dirimu?
Sasuke belum tahu banyak soal Naruto. Dia hanya tahu bahwa pemuda itu Ketua OSIS, tapi apa saja yang telah dilakukannya untuk sekolah ini? Pertama Festival Budaya dan sekarang Ketua Geng anak berandal di sekolah tampaknya sangat membenci sekaligus takut pada Naruto.
Sasuke benar-benar selalu dibuat terkejut oleh Naruto. Mungkin dia harus mulai mengenal siapa sebenarnya sosok Ketua OSIS yang menguasai SMA ini.
.
BERSAMBUNG
