Naruto disclaimer Masashi Kishimoto

.

Itoshiki Rival

(Saingan Tercinta)

From Single Labrador Retriever AKB48

Warning: Alternative Universe, Out of Character, Some Typos, Faster Plot, and other.

ShikaTema forever!

.

Don't Like Don't Read!

.

Read and Review?

.

Keep enjoy!


Aku tak tahu entah sejak kapan

Mereka memanggilmu sebagai sainganku


Suara pintu yang terbuka terdengar pelan di dalam sebuah rumah agak besar yang sederhana itu. Shikamaru yang membuka pintunya, ia berjinjit pelan masuk ke dalam rumah, lalu kembali menutup pintu itu. "Aku pulang," ucapnya dengan suara sepelan mungkin.

"Selamat datang!" Sebuah suara menyerupai teriakan terdengar membalas ucapan Shikamaru entah darimana di dalam rumah itu.

Shikamaru hanya bisa menghembuskan napas berat malas mendengar sahutan itu. Ia tahu, percuma sekalipun berbisik, pasti akan tetap terdengar. Pendengarannya terlalu tajam.

"Shikamaru!"

Benar saja. Baru saja Shikamaru hendak melangkahkan kakinya, suara itu memanggilnya dengan kencang. Dengan malas Shikamaru kemudian menjawab. "Apa?"

"Shika...!"

Oh, tidak. Shikamaru tahu harus melakukan apa. Akhirnya, dengan langkah gontai ia berjalan memasuki rumah itu lebih dalam. "Ya..." Tak perlu ia bertanya lagi, ia sudah tahu dari mana suara itu berasal.

Ruang dapur adalah tempat tujuan langkah kaki Shikamaru yang begitu merasa enggan menuruti perintah suara itu. Ruang yang berada di samping tangga rumahnya, juga ruang yang yang sekaligus menjadi ruang makan di salah satu sisi dalam ruangannya.

Begitu Shikamaru telah sampai di ruang itu, ia sudah melihat seorang wanita yang dengan telaten sedang mengaduk-aduk adonan yang ada dalam mangkuk plastik besar. Nara Yoshino, satu-satunya wanita dalam keluarganya sekaligus ibu Shikamaru.

"Shika," panggil Yoshino pelan sambil berdiri, lalu berjalan meninggalkan adonannya di atas meja ke arah wastafel. "Tolong bantu Ibu, ya," ucapnya kemudian sambil menghidupkan keran air, mencuci tangannya.

"Hah..." Lagi-lagi Shikamaru menghembuskan napasnya berat. "Ya. Apa?"

Yoshino mengambil sebuah kertas kecil dari salah satu kantong celemeknya. "Sini." Ia mengisyaratkan Shikamaru untuk mendekat. "Ibu minta tolong padamu untuk membeli belanjaan Ibu yang ada dalam daftar ini. Dan, ini uangnya."

Shikamaru menerima kertas itu, ia menggaruk tengkuknya malas.

"Pulang sebelum makan malam, ya, Shika!"

"Ya, ya," jawab Shikamaru malas sebelum keluar dari rumahnya.


Saat itu mungkin menjadi menit-menit tersial bagi Shikamaru. Hanya butuh beberapa menit untuk mengumpulkan belanjaan yang diminta ibunya. Tapi, apa daya seorang remaja sepertinya menghindar dari nenek yang sedang kesusahan.

Untuk beberapa saat ia habiskan untuk menghela napasnya, sebelum mengucapkan dengan lirih kata andalan, 'merepotkan'. "Yang mana yang akan Nenek beli?" tanyanya malas.

Wanita renta lanjut usia itu mengamati rak khusus ikan kalengan di depannya. Matanya menyipit menelusuri warna-warna kaleng yang begitu beraneka ragam. Kemudian, tangan kurusnya mengambil dua kaleng berbeda warna, namun masih berukuran sama.

Shikamaru ikut melihat kedua kaleng ikan itu. Menunggu pilihan tepat bagi sang nenek sebelum ia kembali mendorong pegangan troli digenggamannya. "Jadi, yang mana?"

Kepala nenek itu bergerak perlahan menatap Shikamaru. Dengan bibir keriputnya, ia melontarkan sebuah pertanyaan, "Menurutmu yang mana, Nak?"

"Aduh..." Shikamaru menepuk dahinya sesaat. "Memangnya Nenek biasanya membeli yang merek mana?" tanya baliknya.

Nenek itu tetap menatap Shikamaru intens. Dengan inisiatif, ia menunjuk sebuah kaleng di tangan nenek itu. "Bagaimana dengan yang itu?" sarannya.

"Sepertinya bagus juga, ya..." ucap nenek itu memperhatikan kaleng yang ditunjuk Shikamaru."Tapi, Nenek tak pernah mencoba yang satu ini, Nak," tambahnya.

Lagi dan lagi, Shikamaru harus menepuk dahinya. Padahal dalam batinnya berteriak kencang 'coba saja!'. Namun, itu sifat durhaka yang tidak pernah Shikamaru tunjukkan pada orang yang lebih tua.

Tak jauh dari tempat Shikamaru yang sedang mengurusi nenek kebingungan, tampak Temari mengamati rak-rak penuh botol kecap dan saos yang berhadapan dengan rak ikan kalengan. Ia mengulurkan tangannya meraih salah satu botol kecap, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang di tangannya.

"Di rumah, saos sudah habis tidak, ya? Ah, Kankuro pasti sudah menghabiskannya dengan tahu kemarin," gumamnya lirih. Ia kembali mengambil botol saos dari rak. "Apa lagi, ya? Hm... Kurasa Gaara meminta untuk dibelikan mie instan. Eh, gula juga tinggal sedikit." Sembari berjalan pelan di samping rak itu, ia memikirkan apa lagi yang akan dibelinya.

"Begini, Nek. Sarden di dalam sini rasanya jauh lebih enak."

"Benarkah? Apa Nak sudah mencobanya?"

"Ya, benar. Dan rasanya sangat enak sekali."

Langkah Temari terhenti. Ia menyadari keberadaan orang lain di antara rak-rak itu. Matanya menyipit mengamati dari belakang dua orang yang sangat berbeda. Shikamaru? Rambutnya, memang sangat mirip. Dan, di sebelahnya... Apa itu Neneknya?

Meninggalkan kebingungan yang dilanda Temari, ia memilih untuk menghampiri mereka berdua. Ia melihat hal apa yang sedari tadi terus mereka perdebatkan. "Nara," panggil Temari pelan, dengan nada tak berniat.

Kedua orang itu menoleh ke belakang, mendapati seorang gadis dengan rambut pirang ikat empatnya yang sedang menjinjing sebuah keranjang belanjaan. Shikamaru yang agak terkejut sedikit membuka mulutnya. "Kau..."

Ketika Temari melihat dengan jelas apa yang ada di tangan sang nenek sedari tadi, ia terpekik pelan, "Astaga!" Lantas mengambil dengan hati-hati kedua kaleng itu dari tangan sang nenek. "Apa yang terjadi? Nenek, 'kan, tidak boleh makan makanan kalengan seperti ini."

"Eh, kenapa, Nak?"

"Tentu saja tidak boleh. Ini tidak terlalu baik," jawab Temari kukuh.

"Memangnya kenapa, hm? Itu juga tidak beracun, tahu," ujar Shikamaru sambil mengerutkan alisnya.

"Dengar, ya, Nara. Enak saja kau bilang ini baik. Sebaiknya, seorang seperti Nenekmu ini harus memakan makanan yang lebih bergizi dan sesuai. Kalau mau ikan, beli saja ikan segar yang jauh lebih enak daripada ini," jelas Temari pada Shikamaru dan nenek itu.

"Aku sama sekali tidak bilang 'baik'." Shikamaru mengusap tengkuknya malas.

"Secara tidak langsung, perkataanmu mengarah ke sana," balas Temari tak mau kalah.

Nenek yang sedari tadi mendengar omongan Temari mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Jadi, Nenek harus beli yang bergizi?"

Temari mengangguk membenarkan. "Ya. Tak hanya itu. Yang lebih segar dan berhati-hati dalam memilih."

"Oh, begitu..."

"Benar, Nek. Eh, Nara. Ternyata Nenekmu baik sekali dan mau mengerti orang. Sangat berbeda sekali dengan cucunya," ujar Temari menekankan beberapa kata, bermaksud untuk menyindir.

Kembali Shikamaru meringis pelan. "Siapa bilang dia Nenekku?"

Temari yang mendengarnya langsung salah tingkah. Dengan perkataan terputus-putus ia mengajak nenek itu, "A-ayo, Nek. A-apa lagi yang mau Nenek ca-cari?"

"Oh... Nak mau membantu Nenek? Baik sekali, sudah cantik hatinya pun baik."

Shikamaru sedikit mendengus dengan senyum tipisnya melihat reaksi tak biasa Temari. Dalam hatinya ia sedikit lega, karena ia tak repot dengan nenek itu lagi.


Mereka berdua, Shikamaru dan Temari, keluar dari swalayan itu bersamaan. Menjinjing masing-masing kantung plastik belanjaan dan berjalan bersebelahan. Gelap telah menguasai langit di atas mereka, senja telah berganti malam.

"Hei," panggil Shikamaru pelan. "Kau begitu lama sekali mengurusi nenek itu. Kurasa aku akan melewatkan makan malam sendirian malam ini."

Mendengar hal tersebut, mau tak mau Temari mendengus pelan. "Memangnya aku itu kau? Membantu seorang nenek saja susah, apalagi kalau mengurusinya," ucapnya berkomentar.

"Apa? Kau mengurusi Nenekmu?" kali ini Shikamaru bertanya dengan penasaran.

Temari langsung memelototi Shikamaru. "Kau pikir aku apa? Nenekku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."

"Oh, oh. Maaf, Ketua," maaf Shikamaru.

"Hentikan itu. Jangan panggil aku seperti itu, Nara," ujar Temari tidak suka.

"Eh? Memangnya kenapa? Kau memang Ketua dan kau me-"

"Ini di luar kegiatan sekolah. Aku tidak suka ada orang yang memanggilku seperti itu selain di sekolah. Kau dengar, 'kan?" Temari memeberi alasan.

"Ya, ya. Terserah." Shikamaru mengalah untuk mencari aman. Sesekali ia melirik Temari. "Kau... Kurasa kau terlihat sangat berbeda dibanding di sekolah, Sabaku," komentar Shikamaru tiba-tiba.

"Panggilan macam apa itu?" Temari kembali melirik Shikamaru tak suka. "Kau pikir lagi kalau kau menyinggung tiga orang, Nara." Ia menekankan marga Shikamaru.

"Baiklah, baiklah, Temari. Untuk berbicara denganmu terlalu banyak persyaratan. Merepotkan. Bagaimana jika itu saja?" Shikamaru memutar bola matanya bosan. Sejak kapan ia suka berbicara?

"Hm, lumayan. Walaupun mungkin kau merasa sekarang aku jadi seumuranmu," tanggap Temari sakrastik.

Shikamaru menghela napasnya dan kembali menggumam, "Merepotkan."

Temari melirik Shikamaru, melihat pakaian yang masih dikenakan pemuda itu. Dengan inisiatif, ia pun bertanya, "Omong-omong. Kenapa kau masih memakai seragam sekolah?"

"Kau sendiri?" tanya Shikamaru balik. Bahkan jas pun belum dilepas. Tambahnya dalam hati.

Senyum yang menyerupai seringai tipis milik Temari mengembang. "Aku gadis yang sibuk. Dua belas jam memakai pakaian lengkap sekolah setiap harinya adalah hal biasa bagiku," jawabnya tenang.

"Dasar," lirih Shikamaru. Kali ini, berganti kembali melirik Temari. Tepat ke kedua tangan Temari yang menjinjing kantung plastik besar penuh belanjaan. "Hebat, ya, bisa membawa dua kantung plastik seperti itu," ujarnya pelan, namun dapat terdengar dengan jelas di telinga Temari.

"Memangnya ada apa dengan kau sendiri? Tiga kantung. Penuh dan berat." Temari menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

"Aku ini laki-laki. Tak masalah jika berat atau tidak. Kekuatanku lima kali dari seorang perempuan. Kalau untuk dirimu, kurasa memang pantas aneh. Karena kau jadi terlihat seperti..."

Perkataan Shikamaru terhenti ketika melihat Temari yang mengangkat dagunya tinggi dan menyipitkan matanya tajam pada Shikamaru. "Apa? Coba lanjutkan?"

"Oh, tidak." Shikamaru mencoba menghindari tatapan maut Temari.

Temari mengalihkan kembali wajahnya ke depan. Entah karena perasaan kesal yang segera ingin dihilangkan, ia melihat Gaara yang berdiri di samping mobil sambil bersedekap. "Gaara!" panggilnya semangat, mencoba mengangkat tangannya pada Gaara.

Gaara yang menyadarinya membalas panggilan Temari lewat tangannya.

Shikamaru mengernyitkan dahinya heran. "Kukira kau mau pulang jalan kaki."

"Tidak mungkinlah. Rumahku jauh dari sini. Jangan lupa untuk membaca peraturan-peraturan itu. Kalau sempat, aku akan mengujimu mengingat poin pentingnya besok. Dengar, Nara!" Temari menatap Shikamaru sekilas, kemudian setengah berlari menghampiri Gaara.

Shikamaru meringis pelan untuk kesekian kalinya. Temari mengucapkan tanda perpisahan dengan mengingatkannya soal map-map besar yang menurutnya sangat merepotkan itu.

Disaat yang bersamaan saat ia menghentikan langkah di trotoar, melihat Temari yang masuk ke dalam mobil beberapa meter di depannya. Gaara, pemuda itu sekilas menatapnya datar. Tapi, matanya melihat sangat tajam dan dalam pada Shikamaru sebelum ia ikut masuk ke dalam mobil.

Shikamaru menegukkan ludahnya susah payah saat mobil itu melaju. Sial, ia bahkan baru tahu kalau pemuda yang terlihat berandalan di angkatannya itu adalah adik Temari. Ia bisa mati di tempat kapan saja.

Karena yang ia tahu, pemuda itu akan menjaga miliknya dan mengejar mangsanya sampai ke ujung dunia sekali pun.

Memangnya ia mau mengambil Temari?

Mau pun tidak dengan singa betina itu.

"Orang yang sangat merepotkan," lirih Shikamaru malas sebelum kembali melanjutkanperjalanannya.

.

To Be Continued


Minggu, 27 September 2015


Mind to Review?