Naruto disclaimer Masashi Kishimoto

.

Itoshiki Rival

(Saingan Tercinta)

From Single Labrador Retriever AKB48

Warning: Alternative Universe, Out of Character, Some Typos, Faster Plot, and other.

ShikaTema forever!

.

Don't Like Don't Read!

.

Read and Review?

.

Keep enjoy!


Saat kita saling berkompetisi

Kita dapat hidup menjadi lebih kuat


Pukul tujuh tepat, sejam sebelum bel masuk Shinobi Koukou berbunyi. Para murid sedikit demi sedikit mulai memasuki sekolah. Tak terkecuali bagi anggota dewan murid yang memang diharuskan untuk datang lebih awal.

Termasuk sang ketua, yang sekarang tengah berlari dengan tergesa melewati murid-murid lainnya yang terheran-heran. Langkah kakinya membawanya menuju sebuah kelas, kelas yang sangat dianjung-anjungkan tahun ini. 1-A.

Saat Temari hendak memasuki kelas itu, tiba-tiba keluar seorang gadis berambut merah muda yang terkejut mendapati kehadiran Temari. Menutupi keterkejutannya, ia pun tersenyum canggung.

"Haruno." Temari berhenti sejenak di depan gadis itu, Haruno Sakura, untuk mengatur napasnya kembali. Setelah beberapa detik, ia menatap Sakura. "Apa Nara Shikamaru sudah datang?" tanyanya kemudian, tanpa perlu mengulur pembicaraan.

Sakura diam untuk sesaat. Kemudian, menggaruk pipinya pelan sambil tetap tersenyum canggung. "Dia belum datang, Temari-san."

Temari berdecak kesal. Sewaktu tidak dicari, di muncul sendiri. Kalau dicari, tidak datang. Orang yang menjengkelkan.

"Bagaimana kalau Temari-san bertanya dengan Ino atau Chouji. Mereka berdua yang paling dekat dengan Shikamaru, biasanya juga setiap pagi mereka datang bersama," saran Sakura akhirnya.

Temari berpikir sejenak, kemudian ia melambaikan tangannya pada Sakura sebelum kembali berlari. "Terima kasih!"

Sakura memperhatikan Temari dari kejauhan. Ia berpikir sejenak apa yang terjadi. Namun, ia memilih untuk tidak ambil pusing. Jadilah ia mengedikkan bahunya sebelum kembali berjalan melanjutkan kegiatannya.

Kepala Temari menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia mencari sosok dua orang yang dilihatnya kemarin. Di mana mereka? Ia sampai mencari ke gudang. Gara-gara kepanikan yang sedang melandanya, ia tidak bisa menjaga kesannya di depan para murid lain.

"Ah! Kau pikir merek apa itu...!? Itu susu khusus diet termahal yang paling ampuh, tahu!"

Telinga Temari mendengar sesuatu. Ia menolehkan kepalanya ke pintu masuk utama. Dengan jelas, ia bisa melihat seorang gadis berambut pirang panjang yang sedang mengomeli temannya. Itu dia, mereka datang. Kembali dengan langkah tergesa ia segera menghampiri mereka. "Hei!" panggilnya.

Ino dan Chouji yang sedang membahas masalah susu diet, walaupun sebenarnya Chouji sama sesekali tidak peduli dan Ino kukuh dengan pendapatnya, ikut menoleh mendengar suara panggilan yang cukup tak asing. "Senior Temari?"

Temari tiba di depan mereka dengan raut wajah agak cemas. "Apa Nara sudah datang?"

"Shika, huh..." Chouji berpikir, di sisi lain ia juga merasa lapar. "Kurasa belum."

"Apa-apaan kau ini Chouji," desis Ino sambil mencubit lengan Chouji pelan. Ia menatap Temari yang sedang menunggu jawaban lengkapnya. "Tadi pagi kami mau ke rumahnya, tapi dia bilang tunggu di halte. Setelah kami tunggu dia tidak datang juga, jadi kami pergi saja," jawab Ino sambil tersenyum.

"Ino, sakit," lirih Chouji merintih pelan.

Terlihat jelas di depan mata mereka, Temari menggingit bibir bawahnya khawatir dan bergerak-gerak gelisah. Mereka kedua kebingungan dengan perangai Temari. Akhirnya, dengan inisiatif lagi, Ino kembali mengucapkan sesuatu, "Senior Temari bisa menunggunya, mungkin saja dia sebentar lagi datang. Atau kalau dia tidak datang juga, Senior bisa cek ke rumahnya."

Secercah harapan yang diberikan pada Temari membuat dirinya sedikit lega. Benar juga kata Ino, masih banyak kemungkinan lain. "Baiklah. Bisa kau beri tahu aku alamatnya?" tanyanya sedikit tenang.

Ino membuka resleting tasnya dan mengambil sesuatu. Kemudian, ia memberikan selembar kertas pada Temari. "Kami disuruh mengisi data ini kemarin lusa, tapi Shika mendapat dua kertas. Dia mengisi kedua-duanya, menyerahkan satu pada Guru dan satu pada kami," jelas Ino.

Benar juga. Ia masih ingat saat dua hari yang lalu ia mendapat tugas untuk membagi kertas-kertas data pada setiap murid kelas satu. Temari menerima kertas itu, kemudian matanya dengan cepat menelusuri hal yang sedang dicarinya.

Dapat! Ia tersenyum lega. Ia pun melihat kedua adik kelasnya sambil tersenyum penuh terima kasih. "Terima kasih sudah membatuku, mm..." Mengerutkan alisnya bingung.

"Ino, Yamanaka Ino, Senior."

"Akimichi Chouji."

"Ah, Yamanaka-san, Akimichi-san. Terima kasih banyak," ucap Temari kemudian. Ia lalu berbalik berjalan sambil memerhatikan kertas yang ada ditangannya.

Bakat: Catur. Tapi tidak terlalu. Aku lebih suka tidur.

Hobi: Tidak ada. Tidur, mungkin.

E-Mail: Tidak pernah berniat membuat.

Ia kembali menyelidik kata-kata yang tertera di kolom paling bawah. Seingatnya, data-data di dalam kertas itu lebih ke pribadi. Sudah memasuki jenjang seperti bakat, penyaluran bakat, hobi, teman terdekat, kebiasaan baik dan buruk, e-mail, dan lain-lain. Lebih bersifat non-akademik dan sesuai keadaan muridnya.

Seingatnya juga, kertas yang Shikamaru kumpulkan kemarin tidak diisi dengan kata-kata yang mengesalkan seperti itu. Tapi, berisi normal, dan hal-hal yang tidak terlalu penting, dia memilih untuk mengosongkannya.

Temari kembali berpikir. Shikamaru sudah jelas-jelas memberikan kertas data berisi hal yang tidak jelas itu pada temannya, jadi tidak masalah. Ia melihat alamat yang dicantumkannya di kolom teratas dengan amat rapi, tulisannya begitu rapi dan sangat mudah dibaca. Mungkin karena itu kolom pertama.

Ternyata rumahnya tak jauh dari swalayan yang mereka datangi kemarin. Pantas saja pemuda itu jalan kaki pergi maupun pulangnya. Tapi, itu cukup jauh dari sekolah jika jalan kaki.

Ia melihat jam dinding sejenak. Setelah jam empat, jam pulang sekolah, ia sudah mengumumkan akan rapat dewan nanti. Tapi, untuk rapat membutuhkan waktu yang begitu lama, bahkan bisa selesai sampai jam tujuh malam.

Jika ia sudah menyusun apa yang akan didiskusikan nanti, ia yakin kalau mereka dapat mempercepat waktu. Ia juga harus memasang peraturan agar mereka lebih tertib.

Ide itu tidak akan disia-siakan Temari. Ia kemudian berlari pelan. Meminta Sakura menyusun daftar dan Sasori untuk membuat solusinya.

Mereka berdua memang bisa diandalkan. Begitulah yang ada dalam pikirannya. Sekarang ia tengah tersenyum senang. Ia akan ke rumah Shikamaru lebih cepat. Tak peduli jika ia harus dipermalukan, ia tetap akan ke sana.

Itu pun jika Shikamaru benar-benar tidak datang.

Hanya jika.


Shikamaru bangkit dari tempat tidurnya. Sudah jam berapa sekarang? Ia ketiduran saking lelah tubuhnya. Entah apa yang ia lakukan kemarin, yang jelas badannya terasa begitu remuk. Tak hanya itu, perutnya terus berbunyi minta diisi. Tenggorokannya terasa begitu kering dan matanya juga perih.

Jam weker berwarna hijau di meja sebelah ranjang Shikamaru menunjukkan angka lima dengan jarum panjangnya. Masih pagi? Padahal, ia dapat melihat jelas cahaya jingga matahari yang menerobos masuk melewati tirai jendelanya.

Kalau tidak pagi, apa lagi?

Ia reflek terkejut menyadari sesuatu. Tangannya terulur menggenggam jam weker itu di depan wajahnya. Apa ini? Sudah sore? Begitulah kenyataannya. Kenapa jam weker sialan ini tidak membangunkanku?

Ada beberapa alasan yang membuat Shikamaru takut jika tidur terlalu kesiangan, bahkan terlambat atau tidak datang sekali pun. Ia akan kembali diomeli oleh Temari akibat itu, dan tentunya yang paling mengerikan mendengar teriakan penuh amarah ibunya.

Ia kembali meletakkan jam weker itu pada tempatnya. Mau apa lagi? Ia tidak dapat lari. Lagi pula sekolah pasti sudah pulang sedari tadi. Dengan cemas ia membuka pintu kamarnya. Memasang posisi menguap hanya akan membuat ibunya jauh lebih marah. Lagi pula perasaannya sekarang benar-benar suntuk.

"Shikamaru!" Shikamaru terkejut mendengar suara ibunya telah menyambutnya di depan pintu. "Apa yang kau lakukan, Shika!? Kau pikir sekarang jam berapa!? Kau absen hari ini! Tadi Ino menelepon Ibu, tahu! Ibu berusaha membangunkanmu, tapi kau tetap tidak membuka pintu atau menyahut saat Ibu menggedor pintumu! Kau tahu, Ibu berencana mengajak Ayah untuk mendobrak pintu ini bersama nanti!"

Shikamaru menjauhkan wajahnya dari mulut Yoshino. Ibunya terus mengatakan sesuatu dengan amarah luar bisa beserta suara merdu tiga oktafnya. Shikamaru meringis setiap mendengar omelan itu padanya. Rasanya sekuat apa pun dirinya sebagai seorang lelaki, tetapi bagaimana pun ia kalah kuat dalam hal ini. Sangat, malah.

"Kau sama saja dengan Ayahmu!" Yoshino bersedekap menatap anaknya penuh amarah di depan matanya, namun itu bukanlah omelan terakhirnya. Hal-hal yang Shikamaru lakukan selalu membuatnya kesal dan membuat amarahnya memuncak. Turunan gen dari siapa lagi kalau bukan ayahnya?

Awalnya, Yoshino telah memikirkan kata-kata yang akan ia lontarkan jika Shikamaru mengucapkan kata 'merepotkan' andalannya lagi. Namun, hal yang ditunggunya tidak kunjung tiba. Apa yang terjadi? Apa anaknya mulai mengerti bagaimana menjadi anak yang lebih baik? Apa dia meng-

Tubuhnya, tubuh Shikamaru akan jatuh ke lantai jika saja Yoshino tidak segera menangkapnya. Meskipun lumayan berat, tetapi ia tidak peduli daripada kekhawatiran yang tiba-tiba melandanya. Dengan naluri ibu yang tinggi, punggung tangannya ia letakkan di atas dahi Shikamaru.

Panas, sangat panas. Pantas Shikamaru tak mendengar teriakannya dari luar kamar sedari tadi. Ia sedang demam tinggi.

"Shika... Ayo masuk," ujar Yoshino mulai menurunkan suaranya.

"Hah, Ibu..." Tenggorokan Shikamaru sedikit tercekat, tetapi ia tetap bersuara. "Tenang saja. Aku tidak apa-apa," sanggahnya kemudian.

Yoshino berdecak kesal. Bagaimana mungkin anak ini masih bisa bilang tidak apa-apa? "Apanya yang baik? Wajahmu sudah memerah, Shika. Wajah dan bibirmu benar-benar pucat. Kau tidak keluar untuk makan sama sekali dari tadi. Cepat masuk."

Perintah mutlak dari sang ibu tak bisa Shikamaru hindari. Wanita itu memegang bahu Shikamaru saat kakinya berjalan masuk kembali ke kamarnya. Tubuhnya kembali berbaring ke ranjang. Lebih baik, ia merasa sedikit lebih baik.

"Tunggu sebentar." Yoshino bergegas keluar kamar.

Shikamaru menatap langit-langit kamar dengan mata sayunya. Ingin rasanya ia kembali jatuh ke alam mimpi, tapi matanya yang tertutup terasa begitu perih. Ia teringat sesaat akan pesan Temari kemarin malam. Gadis itu memintanya untuk membaca map-map besar yang sangat merepotkan itu.

Beberapa menit telah terlewati. Yoshino masuk kembali ke kamar Shikamaru sambil membawa nampan kayu. Ia mengambil kursi, kemudian duduk di samping ranjang Shikamaru dan menaruh nampan itu di meja.

Dengan sangat telaten, Yoshino merendam sesaat kain kecil ke dalam air hangat di mangkuk. Memerasnya, lalu melipatnya sebelum menaruhnya di atas dahi Shikamaru. "Kau harus dikompres dulu. Bisa gawat kalau dibiarkan."

"Hm," gumam Shikamaru.

Yoshino mengambil mangkuk lainnya yang berisi bubur hangat. "Untuk sementara, kau harus makan beberapa suap bubur ini, Shika. Nanti kau bisa terkena maag," ucapnya sambil menyendokkan bubur itu.

Sendok itu mengarah ke depan mulut Shikamaru yang membuka mulutnya sedikit lebar. Itu terpaksa, karena jika ia menolak resikonya akan jauh lebih besar, meskipun bubur itu terasa begitu hambar di lidahnya. Begitulah seterusnya, beberapa sendok bubur telah masuk ke mulutnya.

"Ini, minum."

Shikamaru sedikit mengangkat kepalanya, dan memegang kompres di kepalanya agar tidak jatuh, sebelum bibir gelas itu menyentuh mulutnya.

Yoshino agak lega mendapati Shikamaru telah sedikit aman. Ia teringat akan sesuatu. "Kemarin malam hujan, 'kan? Kenapa kau tidak berteduh saja dulu, Shika, sebelum pulang ke rumah. Kalau tidak, Ibu tidak akan khawatir seperti ini," keluhnya.

"Kau tahu, sifatmu ini juga sama dengan Ayahmu. Ayahmu dari dulu selalu saja sembunyi jika sesuatu telah terjadi padanya. Bahkan, ketika ia tengah sangat kesakitan sekali pun. Dia hanya mengucapkan pada Ibu 'tidak apa-apa' dan berusaha tersenyum. Sama sepertimu, bukan?" Tanpa sadar, senyumnya mengembang.

Shikamaru mendesah pelan. Setiap sesuatu terjadi padanya, ibunya selalu saja mulai membahas tentang masa lalu dan kisah percintaan dengan ayahnya. Selalu saja. Hal yang membosankan, sungguh malas untuk mendengar hal seperti itu baginya.

"Shikamaru, kau mau tidur?" tanya Yoshino tiba-tiba.

Shikamaru memiringkan tubuhnya ke dinding. "Entahlah."

"Hei, hei! Apa yang kau lakukan!? Nanti kainnya jatuh, tahu!"

Posisi tubuh Shikamaru kembali ke keadaan seperti semula. Ia terlalu lelah untuk mendengar ocehan ibunya saat ini, bahkan untuk melawan.

"Tidurlah. Kalau kau tidak bisa tidur, pejamkan saja matamu," saran Yoshino.

"Hm..." gumam Shikamaru.

Suara ketukan pintu depan rumah terdengar dari kamar Shikamaru. Dua kali, Yoshino tetap tak bergerak. Tiga kali, ia mulai bangkit dari tempat duduk. Lima kali, barulah ia berlari tergesa menuju pintu. "Ya, tunggu!"

Ia memutar kenop pintu pelan. Ia berpikir mungkin suaminya telah pulang kerja. Namun, yang didapatinya jutsru seorang gadis yang masih lengkap berseragam sambil tersenyum padanya.

"Permisi," ucap gadis itu sopan sambil menundukkan sedikit kepalanya.

"Oh, oh." Yoshino juga ikut menundukkan kepalanya. Kemudian, ia tersenyum. "Siapa, ya?" tanyanya.

"Saya Sabaku Temari," jawab Temari gugup. Apa wanita ini Ibunya?

"Oh, begitu... Teman sekolah Shika, 'kan?" tanya Yoshino memastikan. Hal itu bisa dikenalinya dari seragam yang dipakai Temari sama seperti milik Ino.

"Ya, mm..."

"Saya sendiri Ibunya Shikamaru. Panggil saja Bibi, Temari-chan," ujar Yoshino menangkup pipinya.

"Ah, Bibi. Saya mau bertemu dengan Shikamaru," Temari mengutarakan maksudnya.

"Oh, Shika. Dia ada di kamarnya. Ayo, masuklah," ajak Yoshino sambil membukakan pintu lebih lebar.

Temari masuk ke dalam rumah itu dengan segan. Ia melepas sepatunya dan menaruhnya rapi di rak. Mendekati Yoshino yang masih tersenyum begitu manis padanya. "Teman-temannya pasti mencarinya tadi di sekolah. Shika hari ini tidak masuk, dia sedang demam. Dari pagi sampai sore Bibi berteriak, tapi dia tidak mendengarkannya."

Temari mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Ia sekarang tahu apa alasan ketidakhadiran Shikamaru hari ini.

"Ayo, Temari-chan. Kita ke kamar Shikamaru," ajak Yoshino sambil mengaitkan lengan Temari dengan lengannya.

Temari agak tersentak begitu Yoshino mengaitkan tangannya tiba-tiba, tapi ia tetap berusaha berjalan mensejajarkan dirinya dengan Yoshino.

"Temari-chan. Bagaimana Shikamaru di sekolah?" tanya Yoshino.

"Mm..." Temari tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Yoshino sedikit terkekeh. "Bibi tebak, dia pasti sangat mengesalkan. Benar, 'kan? Di rumah saja dia sangat pemalas minta ampun. Tidur seperti kerbau saja," ucapnya dengan ekspresi agak memberengut.

"Oh, oh..."

Saat Temari dan Yoshino mendekati ambang pintu kamar Shikamaru, Yoshino kembali bertanya, "Shikamaru sering mengeluh akhir-akhir ini. Dia bilang dia mendapat banyak tugas sekolah dan tugas sebagai anggota dewannya. Itu wajar, 'kan, Temari-chan? Apa dia suka tidur di kelas juga akhir-akhir ini?"

Temari menggaruk pipinya bingung saat mereka berhenti tiba-tiba di depan pintu, ia bingung harus mengatakan apa. "Sebenarnya, Bibi. Saya tidak sekelas dengan Shikamaru," ucapnya kemudian. Sebenarnya juga, ia tidak tahu sifat Shikamaru yang lain, selain kepemalasannya.

"Oh, benarkah? Kukira dia mendapat kunjungan dari Bendahara atau Sekretaris kelasnya. Lalu, kau kelas satu apa, Temari-chan?" tanya Yoshino lagi.

"Ah, itu... Saya kelas 3-A, Bibi." Walaupun masih tidak terlalu yakin untuk menjawab, tapi Temari telah mengumpulkan keberaniannya.

"Huh? Benarkah?" Yoshino terlihat sangat terkejut. "Kalau begitu, kau terlihat muda, ya? Bibi tidak menyangka kalau dia mendapat jengukan dari Kakak kelasnya. Memangnya ada apa dengan kau dan Shikamaru?" Mata Yoshino seketika berbinar sambil menggenggam tangan Temari.

"Saya Ketua dewan murid, Bibi," jawab Temari canggung.

Kali ini, mata Yoshino kembali memancarkan keterkejutan dan kekaguman pada Temari. "Benarkah? Oh, Ketua datang ke rumah Shikamaru. Kau sangat hebat, Temari-chan, bisa menjadi Ketua. Aku harap nanti Shikamaru meneruskan jalanmu," harapnya.

Temari memaksakan senyumnya. Ia bingung kenapa Yoshino bereaksi seperti itu padanya. Setidaknya, sekarang Temari tahu kalau Shikamaru pasti masuk menjadi anggota dewan karena terpaksa.

"Maaf, maaf. Harusnya kau bertemu dengan Shikamaru. Eh, malah mengobrol dengan Bibi pula."

"Tidak apa-apa, Bibi."

Yoshino membukakan pintu kamar Shikamaru. Ia kemudian mendorong bahu Temari ke dalam. "Masuklah, Temari-chan. Kalau ada apa-apa, segera bilang Bibi, ya? Kalau perlu, sebelumnya kau pukul saja kepalanya. Dia memang begitu. Ah, jadi merepotkan Temari-chan." Ia menutup pintu kamar Shikamaru pelan.

Kelopak mata Shikamaru terbuka malas ketika mendengar suara pintu yang tertutup. Ia menolehkan kepalanya ke samping dan terkejut. Gadis yang sangat merepotkan itu secara tiba-tiba telah muncul dihadapannya.

Temari duduk dengan ragu di kursi di samping ranjang Shikamaru. Ia mendapati wajah Shikamaru yang menatapnya kaget. "Maaf, kalau aku datang kemari. Tapi aku tidak berniat lama-lama. Aku hanya ingin mengambil yang kemarin kurasa masuk ke kantung plastikmu."

Shikamaru berpikir sejenak. "Aku ingat. Pasti album itu, 'kan?"

Telak. Temari berdecak sesaat saat Shikamaru mengucapkannya. Itulah alasan kedatangannya yang tiba-tiba ke rumah Shikamaru. "Ya. Jangan bilang kalau kau sudah melihatnya," ujarnya dengan nada menyelidik.

"Terlalu sulit untuk menahan penasaran." Shikamaru tersenyum tipis, mengabaikan Temari yang sedang memelototkan matanya. "Ibuku mendapatkan sebuah buku beresleting di dalam kantung belanjaan. Dia kira itu milikku dan memberikannya padaku. Aku, ya, tidak tahu, tapi aku penasaran apa isinya."

"Apa...?"

"Maksudku, aku tahu siapa pemiliknya setelah melihat isinya. Ternyata sebuah album foto milik keluarga Sabaku. Aku hanya tidak menyangka kau akan mendatangiku sampai ke rumahku," Shikamaru berucap sambil kembali menatap Temari. Penasaran dengan ekspresi apa yang ditampilkannya.

"Kau...!" Temari menunjuk Shikamaru. "Jangan sembarangan melihat privasi orang lain, Nara...!" Sekarang, ia benar-benar merasa begitu kesal pada Shikamaru.

"Enak saja kau bilang seperti itu. Mungkin kasir swalayan itu yang tidak sengaja memasukkannya ke kantung belanjaanku, tahu. Memangnya, kenapa juga album itu keluar dari jangkauan pemiliknya?" tanya Shikamaru membalas.

Temari menurunkan tangannya. Ia sedikit menurunkan kekesalannya. "Aku selalu membawanya kemana-mana. Tidak pernah keluar jauh dari tasku. Kau tahu, kurasa aku tak sadar ikut mengeluarkannya saat mengambil dompet," jawab Temari.

"Merepotkan," gumam Shikamaru.

"Tapi, tetap saja! Itu pelanggaran sekolah!" Temari kembali menunjuk Shikamaru.

"Ini, 'kan, sedang tidak di sekolah. Ingat, Temari?" balas Shikamaru.

"Benar juga, ya." Temari kembali menurunkan tangannya.

"Kau punya dua Adik laki-laki, ya? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa hidup dengan Kakak yang kejam seperti ini," ucap Shikamaru.

"Hm, apa?" tanya Temari sambil menyipitkan matanya.

"Oh, tidak ada," jawab Shikamaru enggan mengulang.

"Kalau begitu, di mana sekarang albumnya?" tanya Temari lagi.

"Kau lihat meja di sampingmu. Albumnya ada di laci kedua dari atas," jawab Shikamaru lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamarnya.

Temari menarik pegangan di laci itu. Setelah melihat dengan jelas sampul kehijauan yang teresleting rapi, ia mengambil album itu senang. Ia merasa begitu lega mendapati album mini keluarganya kembali berada di tangannya sekarang.

"Memangnya begitu senangnya kau mendapat album itu lagi? Kenapa?" tanya Shikamaru tak bisa membendung penasarannya.

Raut wajah Temari sekejap berubah. Senyum di bibirnya telah luntur hanya karena pertanyaan Shikamaru. Matanya melirik ke arah lain, asal jangan Shikamaru yang sudah merubah suasana hatinya.

"Itu bukan urusanmu," jawabya mutlak, sama seperti ibu Shikamaru, tak bisa dibantah.

"Ya, ya." Shikamaru berucap malas sambil kembali memejamkan matanya. Merepotkan jika ia melanjutkan percakapan dengan gadis yang sama merepotkan dengan ibunya.

Tiba-tiba ponsel milik Temari berdering. Temari terkejut dan segera mengambil ponselnya. Panggilan telepon jelas-jelas tertera di layar ponsel. Dengan tergesa ia berlari keluar kamar. "Aku keluar dulu...!"

Shikamaru mendesah, ia melihat tas Temari yang masih ada di atas kursi. Album mini itu tergeletak di atasnya. Pasti dia orang yang sembarangan. Pikirannya kembali mengingat sikap Temari yang tiba-tiba berubah.

Ia mendengus. Lebih baik untuk tidak penasaran dengan kehidupan Temari. Kehidupannya, ya, kehidupannya. Kehidupan Temari, ya, kehidupan Temari. Ia tidak boleh ikut campur dalam hidup gadis itu.

Lagi pula, siapa juga yang peduli?


Temari keluar rumah Shikamaru hanya untuk mengangkat telepon salah satu adiknya. Ia menekan layar ponselnya, lalu menaruhnya di telinga. "Halo. Ada apa, Kankuro?"

"Kakak! Kakak di mana sekarang!? Kami mencari-cari Kakak dari tadi, tahu!"

"Tch. Jangan berteriak. Kakak sekarang ada di rumah salah satu anggota Kakak. Kakak sedang ada urusan sebentar."

"Eh, kenapa...? Kenapa, Kak...? Kenapa Kakak tega meninggalkan kami...? Padahal aku belum sempat mencicipi makan malam buatan Kakak hari ini..."

"Apa maksudmu? Jangan terlalu berlebihan, Kankuro. Kakak akan pulang cepat. Mana Gaara?" Temari melihat langit senja yang diselimuti awan-awan keabu-abuan.

"Ini di sampingku. Oh, ini Gaara. Kakak mau berbicara denganmu."

"Hm, ada apa?"

"Gaara, apa kau bisa membawa map merah di meja Kakak? Kakak tadi lupa membawanya. Pasti Sasori juga lupa."

"Ya."

"Oh, terima kasih. Baiklah, Kakak sebentar lagi akan pulang. Tunggu di ru-"

"Kak."

Suara Gaara memutuskan ucapan Temari. "Apa? Ada apa, Gaara?"

"Kami akan menjemput Kakak ke sana."

"Huh? Eh, kenapa? Tidak perlu repot, tahu. Kalian segera pulang saja ke rumah, nanti Kakak pulang dengan Bus."

"Bus jarang pada petang."

"Ah, pasti ada, Gaara. Kau ini, cepatlah pulang ke rumah. Suruh Kankuro jangan pergi keluyuran."

"Tidak. Kami akan menjemput Kakak."

Temari bingung menatap ponselnya. "Baiklah, baiklah. Memangnya kalian tahu Kakak kemana? Sudah ambil mapnya?" Ia terkekeh pelan. Mau bilang apa ia kalau mereka tahu ia sedang berada di kediaman Shikamaru?

"Sudah."

Jawaban singkat Gaara membuat tubuh Temari menegang. Gaara adalah orang dengan tipikal yang seadanya dan mempertanggung jawabkan ucapannya. "Oh, baiklah," ucap Temari sebelum memutus sambungan telepon.

Ia menatap teleponnya heran. Gaara adalah pencari informasi terbaik menurut Temari, jadi tak mungkin ia salah.

Beberapa saat ketika Temari memutuskan untuk masuk ke dalam untuk mengambil tasnya dan berpamitan pada ibu Shikamaru, suara klakson yang sangat dikenalnya terdengar. Kepalanya spontan menoleh, mendapati mobil yang diisi dengan kedua adiknya telah berada jelas di depan pagar rumah Shikamaru.

"A-apa yang..." Ia tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika Kankuro melambai-lambaikan tangannya kesenangan padanya dari dalam mobil.

Gaara memarkir mobilnya di depan pagar kediaman Nara. Ia turun bersama Kankuro hendak melewati pagar di depannya. Kakaknya, Temari, hanya menatapnya dengan ekspresi terkejut. Ia menyodorkan sebuah map merah tebal ke Temari. "Ini."

"Ka-kalian..." Temari masih bingung harus mengatakan apa, sampai akhirnya Kankuro berceletuk ringan.

"Kakak kenapa, ya, ke rumah Si Nara itu?"

Dengan gelagapan, Temari mengambil map di tangan Gaara. Ia harus bisa mengatasinya, bahkan cara mengatasi keheranan kedua adiknya itu. "Kenapa kalian ada di sini? Apa kepala kalian sekeras batu?" Ia menatap tajam kedua adiknya.

Kankuro bergidik takut ketika melihat tatapan sang kakak.

Namun, Gaara membalasnya dengan tenang, "Bukankah kepala Kakak sekeras besi?" Tanpa takut mati, itulah yang sedang dihadapi Gaara. Tipikal pemuda frontal yang dihindari.

"Kau berani melawan, ya...?" Temari mengeratkan kepalan tangannya dan menunjukannya di depan kedua adiknya.

Sementara Kankuro dengan cepat bersembunyi di belakang Gaara. Ia sendiri bersedekap sambil memejamkan matanya. Menunggu amukan Temari yang mungkin saja akan keluar, hanya karena perkataan cerobohnya.

"Temari-chan...! Ada apa? Bibi mau mengajakmu… Eh, kau dengan siapa?" Suara Yoshino yang tiba-tiba membuka pintu menghilangkan amarah Temari.

"Oh, Bibi. Ah, tak usah repot-repot. Sepertinya saya akan segera pulang ke rumah," jawab Temari sambil mengusahakan senyumnya, sesekali mendelik ke arah Gaara yang masih tidak peduli dan Kankuro yang ketakutan.

"Kenapa, Tema-chan? Baru juga sebentar kau di sini. Eh, mereka siapa, ya? Apa mereka temanmu?" tanya Yoshino penasaran akan sosok dua pemuda yang baru dilihatnya.

Temari yang mendengar pertanyaan itu segera menarik tangan Kankuro dari lindungan Gaara. Kemudian berdiri diantara mereka berdua, meletakkan tangannya di atas kepala mereka, dan membungkukkan diri mereka secara paksa. "Perkenalkan, Bibi. Ini adik-adik saya. Ini adik tertua saya, Kankuro. Dan ini yang bungsu, Gaara."

"Aduh, Kak... Jangan paksa seperti itu juga...!"

"Apa katamu...?" Temari lebih menekan kepala Kankuro.

"Sakit!"

Seperti biasa, Gaara hanya diam sampai kakaknya melepaskan cengkeraman maut darinya.

"Oh..." Yoshino mengangguk mengerti. Ia memperhatikan celana dan kemeja yang dipakai kedua pemuda itu. "Jadi kalian juga satu sekolah. Kalau begitu yang rambut merah, oh, aku lupa, seangkatan dengan Shikamaru?" tanya Yoshino lagi sambil menunjuk Gaara.

"Nama saya Gaara. Ya, kelas 1-B," jawab Gaara tanpa membalas tatapan mata Yoshino.

"Lebih sopan," bisik Temari tajam.

Yoshino terkekeh. "Ternyata bersebelahan, ya, Gaara-kun." Kemudian, tatapannya beralih pada Kankuro. "Kalau kau? Hm... Sepertinya Bibi pernah melihat wajahmu..." Ia mengusap dagunya sambil berpikir.

Kankuro yang mendengarnya lantas langsung memasang pose, yang menurutnya, keren.

"Tapi, di mana, ya?" Yoshino masih mencoba mengingat-ingat.

"Haha... Bibi pasti salah lihat atau mirip saja," ucap Temari sambil tertawa hambar.

"Mungkin saja," setuju Yoshino. Ia ingat apa niatnya menghampiri Temari sedari tadi. "Oh, ya. Ayo masuklah. Bibi ingin kalian ikut makan malam bersama malam ini. Bisa, 'kan?"

.

To Be Continued


Selasa, 6 Oktober 2015


Mind to Review?