Naruto disclaimer Masashi Kishimoto
.
Itoshiki Rival
(Saingan Tercinta)
From Single Labrador Retriever AKB48
Warning: Alternative Universe, Out of Character, Some Typos, Faster Plot, and other.
ShikaTema forever!
.
Don't Like Don't Read!
.
Read and Review?
.
Keep enjoy!
Sebelum aku menyadarinya
Bagiku kau adalah sainganku
Temari membereskan piring-piring kotor dari meja makan. Ia dan adik-adiknya mendapat tawaran makan malam bersama di kediaman Nara. Hal yang tak mampu untuk ditolak olehnya saat melihat tatapan memohon Yoshino. Sebagai seorang gadis, ia juga harus membereskan piring-piring dan gelas kotor yang baru dipakai, atas kemauannya sendiri.
"Tak perlu repot-repot, Temari-san," ucap seorang pria dengan paras yang sama persis seperti Shikamaru, Nara Shikaku.
"Paman, tenang saja. Ini tidak merepotkan saya," ujar Temari sambil tersenyum, tetap bersikeras menumpuk piring-piring kotor itu.
"Ya, Temari-chan. Tidak perlu mengambilnya, biar Bibi saja," Yoshino ikut berbicara.
Namun, Temari tetap menggelengkan kepalanya. Ia tetap melanjutkan kegiatannya. "Tidak sopan, 'kan, membiarkan tuan rumahnya kerepotan sendiri, Bibi." Kemudian, ia mengangkat piring-piring itu menuju dapur.
"Oh, oh... Kau tahu saja dari dulu aku selalu mendambakan mempunyai anak perempuan," kata Yoshino sambil tersenyum senang. Ia mengelap meja makan itu sebentar sebelum ikut berjalan ke dapur.
Tiga orang laki-laki di sana sukses terbatuk ketika mendengar ucapan Yoshino barusan. Untuk Shikaku mungkin memang agak mengerti, tapi untuk kedua adik Temari, hal itu tubuh mereka berdua menegang.
Shikaku mengambil surat kabar yang belum sempat dibacanya dari atas meja. Ia membuka halaman demi halaman sebelum menemukan berita yang menarik perhatiannya.
Kankuro memegang kedua pipinya dengan mata membulat. "Apa kata Bibi itu tadi, Gaara? Mendambakan anak perempuan?" tanyanya masih dengan ekspresi terkejut.
Gaara bersedekap sambil memejamkan kedua matanya. "Kau salah dengar mungkin." Walaupun ia tampak tak peduli, namun perasaannya ikut risau.
"Salah dengar apa katamu? Kau pikir aku punya gangguan telinga?" Kankuro menyipitkan matanya ke arah Gaara.
Pemuda tak banyak bicara itu mendengus. "Mungkin," berucap seperti biasa.
"Dasar kau."
Shikaku yang sedari tadi mengintip mereka berdua dari balik koran tersenyum tipis. "Jadi kalian takut Kakak kalian diambil?" tanyanya sambil kembali membuka-buka halaman.
Kankuro dan Gaara serentak menoleh. Kali ini, sang putra sulung Sabaku yang mengambil tindakan berbicara. "Oh, tidak, Paman. Kami hanya terkejut," ucapnya sambil menggaruk lehernya. Saat mendapat sikutan Gaara, ia menambahkan, "Maksudnya, Paman salah dengar. Kami sedang membicarakan teman sekolah kami yang mendambakan anak perempuan."
Gaara ingin sekali menepuk dahinya sekarang, tapi itu tidak dapat dilakukannya untuk menjaga kesannya. Sebodoh apa Kankuro dalam berbicara? Pantas saja ia masuk kelas E.
Kekehan terdengar dari mulut Shikaku. Ia melipat kembali koran itu dan meletakkannya di atas meja. "Kau tampaknya tidak pandai berbohong, Kankuro," ucapnya.
Senyum bodoh menghiasi wajah Kankuro. Ia menyadari kesalahannya.
Lantai itu berderit pelan saat kursi didorong mundur oleh Shikaku. Ia berdiri sambil mengambil korannya. Menatap kedua putra Sabaku itu sekilas sebelum pergi. "Berhati-hatilah. Mungkin apa yang dikatakan istriku ada benarnya, kalian tahu."
Mulut Kankuro menganga dengan mata yang kembali membulat.
Gaara sontak berdiri dengan kesal. "Panggilkan Kakak. Aku mau ke mobil. Kita pulang," ucapnya pada Kankuro.
Kankuro mengalihkan tatapannya pada Gaara dengan ekspresi tak terbaca.
"Eh, Gaara-kun dan Kankuro-kun sudah mau pulang? Kenapa? Tidak menginap disini saja. Diluar hujan, Gaara-kun." Yoshino yang baru tiba memandang Gaara bingung.
"Tidak apa-apa, Bibi. Kami pulang dengan mobil," ujar Gaara sambil berjalan menuju pintu depan.
Ada perasaan kesal yang muncul ketika pria seumuran ayahnya itu mengatakan hal tersebut. Pikirannya tiba-tiba langsung kacau dan memilih untuk menjauhkan kakaknya dari pemuda itu. Ia membuka kenop pintu itu dengan agak kasar.
Suara tumpahan air hujan terdengar deras di depannya. Hujan, hujan yang sangat lebat. Kalau begini, ia tak dapat mengendarai mobilnya di cuaca yang berbahaya itu. Kalau begini, aku tidak bisa...
"Benar, 'kan, Gaara-kun? Menginap di sini saja, besok juga hari Minggu. Kakakmu juga sudah setuju tadi." Suara Yoshino terdengar, ia sudah berada di belakang Gaara.
Kankuro menatap Gaara dari kejauhan, kebingungan harus berekspresi seperti apa.
Sementara itu, Gaara menghela napasnya pasrah. Ia kalah kali ini.
...menjauhkan Kakak dari Nara.
Terkadang, masalah insomnia bisa menyerang beberapa orang. Sekantuk-kantuk apa pun mereka, tapi masalah mengistirahatkan mata begitu sulit dilakukan. Keadaan yang sekarang sedang menyerang Temari.
Jam di dinding berdentang menunjukkan angka sepuluh tepat, dua jam menjelang tengah malam. Gadis itu memilih untuk mengikat satu rambutnya. Ia membuka kenop pintu depan dan duduk di salah satu bangku teras.
Saat ini, ia memakai kaos kebesaran dan celana pendek sepahanya, sementara seragam sekolahnya ia lipat rapi di dalam tas. Badannya bersandar ke dinding, memandang langit yang masih gerimis.
Temari menggenggam erat album mini itu ditangannya. Ia sedang memiliki banyak pikiran sekarang. Mulai dari masalah dewan murid, kedua adiknya, sampai pertanyaan Shikamaru yang masih terlintas di ingatannya.
Kepalanya tertunduk ke bawah. Ada sebuah hal mengganjal yang membuat Temari bungkam dari keluarganya. Sebahagia apa pun Temari jika melihat ayahnya berlibur seminggu penuh atau pun Kankuro dan Gaara yang bisa memperbaiki sikapnya, namun masih saja ia diliputi kesedihan yang teramat sangat membayanginya.
Ia sudah mencari solusinya ke internet, melakukan langkah-langkah untuk meringankan beban yang dialaminya. Tapi, apa dayanya untuk melakukan hal tersebut? Keberanian sudah dikumpulkannya, yang hanya ia tak bisa lakukan adalah siapa orangnya. Ia terus berpikir apa akibat jika ia melakukannya, sejak dulu, itulah penyebab ia selalu saja memilih menutup mulutnya dalam hal itu.
"Hei."
Suara berat itu menyadarkan Temari dari pikirannya, ia menoleh ke samping, mendapati sosok Shikamaru yang hendak duduk di sebelahnya. "Sejak kapan kau di sini?"
"Baru saja. Kau melamun terus," jawab Shikamaru melirik Temari sekilas.
Temari menaruh albumnya ke samping, ia memilih untuk memandang ke depan.
"Kau ada masalah?"
"Bukan urusanmu," jawab Temari tegas. "Kau sendiri kenapa? Bukannya masih sakit?" tanyanya kemudian sambil menegakkan badannya.
Shikamaru menyandarkan badannya ke dinding. "Itu hanya demam biasa. Beberapa jam saja akan sembuh." Ia menyedekapkan tangannya.
Mereka berdua diam dengan pikiran masing-masing. Berbeda dengan Temari yang melanjutkan lamunannya soal masalahnya tadi, Shikamaru malah melihat punggung Temari.
Ia masih dibayangi keheranan dan penasaran akan Temari. Akhir-akhir ini hubungannya dengan Temari yang pertama kali sangat buruk benar-benar berubah. Gadis itu kerap muncul di depannya pada beberapa hari terakhir, membuatnya terus berpikir. Kenapa di kehidupannya ia selalu dikelilingi perempuan-perempuan yang merepotkan?
"Nara," panggil Temari pelan.
Shikamaru terkesiap sesaat sebelum menjawab, "Ya." Ia baru pertama kali mendengar nada rendah Temari padanya. Yang biasanya selalu saja tinggi atau biasa, kali ini suaranya benar-benar menggambarkan hal yang berbeda. Mungkin mencerminkan kesedihan.
Temari tak lantas mengucapkan sesuatu lagi. Membuat Shikamaru bingung, apakah Temari berniat memanggilnya atau hanya sekadar memanggil saja untuk memecah keheningan?
Yang pasti, ia hanya terus diam menunggu perkataan yang mungkin saja dilontarkan Temari, tanpa berniat mengusir keheningan kembali diantara mereka.
"Aku... Kau tahu, mungkin ini terdengar aneh, tapi..." Temari tak sanggup untuk melanjutkan perkataannya saat itu. "Kurasa... Aku mempunyai sebuah masalah," lanjutnya kemudian, dengan agak terhambat karena ia menghirup napasnya sangat dalam.
"Masalah? Masalah apa?" tanya Shikamaru.
"Mm... Ya... Aku... Bagaimana, ya...?"
Shikamaru menaikkan sebelah alis matanya. "Ya?"
"Itu... Masalahnya... Aku tidak terlalu... Ah, aku bingung..." Temari masih diambang memutuskan untuk mengatakan atau tidak.
"Begini, apa menurutmu aku cocok mendengar masalahmu? Kau tidak masalah kalau aku yang mendengarnya?" tanya Shikamaru memastikan.
Beberapa detik Temari diam, kemudian ia menganggukkan kepalanya pelan.
"Aku tidak menyalahkanmu kalau kau berat menanggung masalahmu sendirian. Kalau kau masih bingung dengan apa yang ingin kau katakan. Kurasa lebih baik kau menceritakannya dengan perumpamaan. Tak perlu mirip, tapi dengan garis besar yang sama," saran Shikamaru. Ia tadi ingin mengatakan kata-kata 'Kau, 'kan, senior. Harusnya kau bisa merangkai kata.', tapi itu terdengar kejam.
"Baiklah." Temari menganggukkan kepalanya, ia mengangkat kepalanya ke atas. "Pada saat aku kecil, aku mendapatkan kado ulang tahun dari Ayahku. Saat kubuka, ada sebuah boneka teddy bear besar berwarna merah muda, aku namakan boneka itu Momo."
"Momo selalu kuajak kemana-mana, tak pernah kutinggalkan dia. Tanpa memeluknya pun aku tak dapat tidur. Boneka itu menjadi kesayanganku dan seperti memiliki separuh hidupku. Dua tahun lamanya aku selalu lewati bersamanya. Namun, pada suatu hari, saat aku datang ke taman bermain, aku meletakkannya di bangku taman. Aku berlari sambil bermain bersama temanku."
Shikamaru terus menyimak.
"Saat aku kembali, bonekaku telah hilang. Boneka yang paling aku sukai sudah lenyap entah kemana. Aku terus mencarinya sampai aku menangis pada Ayah. Pada akhirnya, aku menemukannya berada dipelukan seorang temanku, yang cantik dan sangat kaya. Dia memeluk Momo bagaikan Momo adalah miliknya. Itu membuatku sedih dan pulang ke rumah dengan kecewa. Aku terus bersedih, meskipun Ayah membujukku untuk membeli boneka yang baru."
Sinar mata Temari menggelap. "Hari itu, aku sedang membeli buku bergambar di sebuah toko. Saat aku melewati jalanan, tepat di pinggir jalan, di tumpukan sampah teratas itulah aku melihat boneka. Aku mendekatinya dan memeriksanya, warna dan bentuknya meyakinkanku kalau itu Momo, walaupun bau dan warnanya menyatu dengan sampah. Saat aku ingin mengambilnya, petugas kebersihan datang dan mengambil sampah-sampah itu, termasuk Momo. Aku berteriak sampai menangis, tapi petugas itu malah mengusirku. Akhirnya, aku pulang ke rumah dengan sedih," Temari mengakhiri ceritanya.
Shikamaru menganggukkan kepalanya mengerti. "Jadi begitu."
"Ya, meskipun itu sudah begitu lama, tapi sampai sekarang aku terus memikirkannya. Ketika aku memikirkannya itu selalu membuatku sedih. Jika aku memberitahukannya pada keluargaku, mungkin saja mereka akan ikut bersedih, aku tidak ingin hal itu terjadi," ujar Temari.
"Menurutku, harusnya kau tidak perlu memikirkannya lagi. Dia tidak bersamamu sejak lama, aku mengerti perasaanmu, tapi sebaiknya kau segera melupakannya," ucap Shikamaru sambil mengusap dagunya.
Temari mendengus. "Apa yang kau pikirkan? Semakin aku berusaha melupakannya, semakin aku merasa kalau dunia tidak menyayangiku. Bagiku Momo adalah segalanya dalam hidupku, apapun yang aku kerjakan, aku selalu saja teringat padanya."
"Kalau begitu, ini terdengar serius. Kau tahu, mungkin saja akan ada pengganti darinya, hal itu, dari yang telah kupelajari, akan membuatmu memiliki kenangan baru dengan penggantinya."
"Nara, ucapanmu secara tidak langsung terdengar begitu kejam." Temari memasang wajah datarnya.
"Eh?" Shikamaru bingung, ia tidak tahu jelas apa yang Temari maksud. Yang ia tahu hanya 'kehilangan yang tak bisa dilupakan' telah dialami Temari. Perumpamaan cerita itu sebenarnya membuatnya tak terlalu bisa berbuat banyak.
Mata Temari terpejam untuk sesaat. Ia kembali memikirkan masalahnya.
Terlalu cepat, tampak di penglihatan Shikamaru hal itu terjadi terlalu begitu cepat. Bintang jatuh, begitulah yang selalu orang katakan, turun melintas membelah langit. Ia menarik sudut bibirnya, melengkungkan senyum sambil mengatakan sesuatu. "Ada bintang jatuh, kau tak ingin membuat harapan?"
Temari membuka kedua kelopak matanya dan menatap Shikamaru. "Memangnya kenapa kalau ada bintang jatuh? Itu juga meteor."
"Kupikir biasanya anak perempuan selalu melakukannya," jawab Shikamaru sambil menaruh kedua tangannya di kepala sebagai sandaran, serta memejamkan matanya.
"Kau pikir aku anak perempuan yang seperti itu, eh?" Temari mendengus kembali menatap ke depan.
"Kenapa tidak dicoba saja? Katanya, biasanya selalu berhasil. Tak ada salahnya, 'kan, membuat harapan untuk masalahmu?" Ia mengintip dari satu matanya yang terbuka.
Temari berpikir, memang ada benarnya perkataan Shikamaru. Ia rasa perkataan Shikamaru memang patut dicoba. Kemudian, jari-jarinya tertaut dan kedua telapak tangannya saling bersentuhan. Membuat harapan, harapan yang nyata. Aku ingin mendapatkan jalan keluar dari masalahku. Tak perlu pengganti, aku hanya ingin tetap seperti ini dan bisa tenang memikirkannya.
Senyum tipis kembali melengkung di bibir Shikamaru. Gadis di dekatnya itu benar-benar tidak bisa ditebak. "Merepotkan." Sampai ia tak sadar untuk mengucapkan kata-kata itu sejak tadi.
Pintu kamar Shikamaru terbuka pelan, pemuda itu kembali menutupnya. Ia memegang punggungnya yang pegal. Gadis itu tadi masih bercakap-cakap dengan Shikamaru, kemudian beberapa menit ia telah tertidur di teras.
Rasanya tak enak membangunkannya yang terlihat begitu pulas, sampailah Shikamaru mengangkatnya sampai ke kamar tamu. Apa lagi tubuhnya begitu berat saat diangkat Shikamaru yang masih dalam keadaan baru sembuh dari demam itu.
Ia duduk di pinggir ranjangnya, sebentar lagi ia akan merebahkan dirinya ke dunia mimpi, hal yang selalu disukainya saat dalam rumah. Saat ia hendak mematikan lampu tidur penerangan yang masih hidup, matanya tiba-tiba tertangkap pada sesuatu di dekat lampu tidur.
Sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia mengambilnya dan membukanya. Mungkin saja itu kertas Temari yang ketinggalan di kamarnya. Namun, tampaknya tulisan yang tertulis dengan tinta pena biru rapi itu menghancurkan persepsinya.
Aku bisa memaafkan kalau kau berbicara dengan Kakak soal dewan murid atau sekolah, tapi jika diluar itu aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membunuhmu jika kau terlalu dekat dengan Kakak, Nara.
Satu paragraf, hanya cukup satu paragraf dapat membuat Shikamaru diam sesaat. Salah satu dari kedua adik Temari atau keduanya pasti melakukan hal ini. Tentu saja, ia sangat yakin kalau pemuda berambut merah bermata tajam itu yang menulisnya. Sangat yakin.
"Tch... Apa aku tidak bisa tidak dikelilingi orang-orang yang merepotkan?"
Dan, ya, ia sangat yakin kalau membuat kesalahan pada pemuda itu akan membuatnya dalam masalah.
.
To Be Continued
Senin, 12 Oktober 2015
Mind to Review?
