Bumble Trouble 11

by

acyanokouji


Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?

"Hi, boleh kenalan?"

"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"

"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"

.

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!

.

.

.

Hinata menatap langit dengan napas teratur. Pagi-pagi begini ia sudah berolahraga, menyegarkan diri. Menaiki bus dari distrik Shibuya ke distrik Koutou. Hinata berjalan dari halte terakhir menuju dermaga dekat Pantai Odaiba. Sedikit ke timur, Hinata pergi menuju bukit yang dulu sering dikunjunginya saat masih jadi mahasiswa baru.

"Rasanya sudah lama sekali," gumamnya. Hinata memejamkan mata. Menikmati semilir angin yang berdesir. Di bawah pohon rindang, mengarah ke lautan. Begitu tenang selama beberapa saat. "Mumpung di sini, aku akan pergi ke toko seperti waktu itu."

Klinting. Hinata keluar dari toko kelontong di atas bukit. Membeli es krim lokal yang membuatnya bernostalgia. Senyuman terukir di wajahnya. Hinata memandangi es krim coklat selama beberapa saat.

"Aku harus mengabadikannya."

Hinata meraih gawai, membuka aplikasi instagram dan bersiap memotret. Cekrek. Mengunggahnya dalam cerita, Hinata sudah siap membuka es krim.

"Jangan mengikutiku, Nanami!"

DUK! Hingga suara gaduh di depannya mengalihkan perhatian. "Jangan sok jadi pahlawan! Kau itu bukan siapa-siapa, Satoru!"

Hinata bergidik melihat pertikaian di depannya. Dua anak kecil di depannya. Keduanya memakai seragam yang sama. Mungkin dari sekolah dekat sini. Satu laki-laki dan satu perempuan. Anak yang berteriak duluan adalah anak laki-laki yang sedang tersungkur di tanah. Sedangkan anak perempuan berambut merah berdiri di dekatnya. Diam-diam Hinata membatin, apa semua yang berambut merah memang suka melukai?

"Kau yang sok jagoan, Nanami!" DUK! Tiba-tiba muncul anak lelaki lain yang mendorong si anak perempuan. Nanami jatuh di dekat Satoru, tapi perempuan itu tak lama bangkit setelah matanya bertabrakan dengan mata Satoru.

"Jangan ikut campur, Koichi!" Nanami memandang sengit anak laki-laki berambut hitam di depannya. "Meski aku perempuan, aku tidak takut padamu. Atau pada keluargamu!"

Pertikaian anak-anak kecil itu semakin menjadi. Nanami kini beradu mulut dengan anak laki-laki berambut hitam agak ikal. Satoru, anak laki-laki berambut hitam klimis, yang terjatuh telah bangkit. Berusaha melerai teman-temannya.

Hinata merasa mendapat tontonan gratis. Di saat yang sama merasa harus berbuat sesuatu. Haruskah Hinata memanggil nenek penjaga toko untuk membantunya? Hinata celingukan, sekolah mereka mustinya ada di sebelah sana, 'kan?

"Heiiii, anak-anak, hentikan!"

Hinata berteriak. Bagus. Anak-anak TK itu berhenti ribut dan kini malah menatapnya. Hinata lega sekaligus bingung. Ia tidak terlalu suka anak-anak. Bingung musti bagaimana, Hinata putuskan untuk menghampiri tiga anak itu.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" pertanyaan bodoh. Hinata sukses mendapatkan tatapan tak suka dari ketiga anak yang tingginya kurang lebih sepinggangnya. "Jangan bertengkar ya, adik-adik?" Hinata berjongkok. Menyamakan tingginya dengan anak-anak itu.

"Tante siapa? Ini urusan anak kecil!"

Hinata terkejut. Kali ini ia benar yakin, manusia berambut merah memang pandai melukai. Dengan atau tanpa kata-kata.

"Kalau tidak salah namamu Nanami, ya? Nanami, kau tidak boleh mendorong dan membentak temanmu seperti itu. Tidak baik. Sekarang, hm..." Hinata berpikir, apa lagi yang harus ia lakukan. "Maafan. Ayo, minta maaf pada temanmu."

"Tidak!" Nanami menyentak tangannya yang berusaha Hinata raih. "Tante pasti orang suruhan Koichi, 'kan?!" tuduhnya. "Cih! Benar kata ibuku, hati-hati bergaul dengan Uchiha!"

Setelah mengatakannya, Nanami pergi, meninggalkan Satoru dan Koichi ke arah yang berlawanan dari Hinata datang. Lagi-lagi Hinata tersentak. Apa anak kecil bisa bicara seperti itu? Lebih lagi, anehnya Hinata seperti sedikit setuju dengan ucapan bocah perempuan itu.

"Satoru? Koichi? Kalian tidak apa-apa?"

"Ayo, Satoru. Kita pulang. Pamanku sudah menjemput."

Hinata kembali tersentak. Ia diabaikan? Kali ini oleh anak kecil? Koichi menarik Satoru dan pergi menyusul Nanami, agak jauh di belakangnya. "Apa tidak ada satu orang saja yang ingin mendengarkanku?"

Hinata mengesah. Ia bangkit, kembali duduk di kursi depan toko kelontong. Kembali pada es krim coklatnya yang sudah setengah mencair. Srettt. Usai membuka bungkusan, Hinata benar-benar siap memakannya kali ini.

"Ternyata benar... hah... hah... Kau di sini, Hinata."

.

.

"Ino?" Hinata menatap bingung sahabatnya yang berjalan mendekat. "Bagaimana kau bisa ada di sini?"

Ino duduk di samping Hinata dengan napas tersenggal-senggal. "Berjalan mendaki bukit?" Hinata mengangkat sebelah alis, bukan itu maksudnya. Lalu, Ino mengangkat tangan kanannya yang menggenggam gawai. "Untung kau posting cerita. Es krim itu," Ino melirik es krim yang ada di genggaman Hinata. "Juga bukit itu." Kemudian Ino menatap lurus ke depan. "Sudah jelas Pantai Odaiba, 'kan?" tanyanya retoris.

"Kenapa kau menyusulku?" tanya Hinata. Lalu, ia mulai menikmati es krimnya yang sudah setengah menjadi air. "Kau tidak membalas pesanku," rajuk Ino.

Hinata meminta maaf dalam gumaman. Kriettt. Kursi ditarik, Ino membuat Hinata berhadapan dengannya. "Kau kenapa, Hinata?"

"Hu-um?" Hinata menunjuk diri sendiri sambil bergumam. Lalu, Hinata menggeleng, menyiratkan jika ia tidak kenapa-kenapa.

"Bohong!" Ino dengan tegas menentang. Sudah sekitar enam tahun mereka saling mengenal. Ino jelas tahu Hinata yang pergi ke Odaiba sendirian adalah Hinata yang sedang tidak baik-baik saja. "Hinata, dengar. Aku benar-benar minta maaf padamu."

"Minta maaf? Untuk apa?" akhirnya Hinata menghabiskan es krim dengan cara meminumnya.

"Aku minta maaf jika keputusan Dei membuatmu sedih. Aku berusaha mempertahankannya, tapi Dei benar. Aku lebih senang jika kau segera menyelesaikan tugas akhirmu."

Wajah Ino menggambarkan kesedihan dan penyesalan. Ia menatap Hinata dengan binar-binar air mata. "Hah..." Hinata menarik napas cukup dalam. "Aku tidak papa, Ino. Aku tidak marah padamu atau Kak Dei. Lagipula aku memang berencana akan berhenti agar bisa sedikit lebih fokus."

"Kau tidak sedih karena dipecat?"

"Tidak." Ino menghela napas lega. Ia tersenyum senang karena Hinata baik-baik saja. Maksudnya, baik-baik saja dari tindakan Deidara. "Tapi... Kau benar baik, Hinata?" gumaman terdengar. "Kau yakin?"

Ino menatap curiga. Hinata terdengar jujur saat bilang ia tidak terluka karena dipecat. Tetapi, Ino merasa ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Hinata sedih sampai-sampai pergi tanpa mengabari siapa pun.

"Aku..." Ino menunggu. Dilihatnya Hinata yang beberapa kali menelan ludah dan membuang napas kasar. "Aku patah hati, Ino."

Suaranya mulai bergetar. Raut wajah Hinata berubah. Matanya sayu dan berkaca-kaca. "Aku sudah berusaha membiarkannya, melupakannya. Aku berusaha melanjutkan hidupku tapi rasanya... rasanya aku rindu meski kita hanya bertemu untuk bertengkar. Meski dia hanya akan memaksakan pilihannya, aku rindu."

Isakan terdengar. Hinata bercerita sambil berusaha menahan dirinya sendiri. "Hey, Hinata." Ino meraih tangan Hinata. Mulai mengelus-elusnya sembari mendengarkan cerita Hinata.

Tentang bagaimana mereka bertemu. Bagaimana hobi mereka sangat sama. Bagaimana kejutan di setiap pertemuan mereka. Bagaimana dia bisa membuat Hinata bingung dan senang di saat yang sama. Bagaimana semuanya begitu membekas.

Hinata menumpahkan semua perasaannya pada Ino. Bercerita di tengah segukan yang mengundang Ino turut menitikan air mata. "Aku harus bagaimana, Ino? Aku benar-benar merindukannya."

"Kita tidak bisa memintanya kembali jika dia sudah tidak menginginkannya." Ino bergeleng-geleng. Mengatakan sebuah fakta yang menyakitkan. "Kau tahu? Persetan dengan para lelaki! Kau cantik, Hinata. Kau bisa memulainya lagi. Nanti, setelah kau selesai dengan tugas akhirmu."

Hinata merengut. Masih saja disindir. Ino membereskan dirinya sendiri. "Liburan kampus sudah akan dimulai, 'kan?" Hinata mengangguk. "Oke. Malam ini, kita lupakan semua yang terjadi. Kita ke bar yang dulu biasa kita datangi? Kita mabuk sampai menggila!" Ino berseru, diikuti Hinata yang mengangguk-angguk semangat.

"Oh, sialan!" Ino tiba-tiba menghentikan gerakannya yang menarik Hinata untuk bangun. "Tidak. Kau tidak boleh mabuk, Hinata."

"Kenapa?"

"Pokoknya tidak boleh! Kalau sedih, kau makan camilan manis saja, okay?" Hinata mengangguk dengan belaian di atas kepalanya. Ia tidak banyak protes pada Ino. Kemudian, Ino masuk ke dalam kedai dan keluar dengan setumpuk camilan yang akan mereka habiskan di perjalanan kembali ke Shibuya.

Cekrek. Ino mengambil swafoto bersama Hinata setelah mereka berdua sama-sama membersihkan wajah di toilet umum. Tangan Ino dengan lincah mengetik sesuatu sebelum mengunggahnya ke cerita instagram. "Single Girls Time", katanya.

"Oh, ya. Kau dan Toneri sedang marahan?" Ino bertanya saat mereka berjalan menuju halte bus. "Tidak. Kenapa?"

"Katanya Toneri tidak menghubungimu selama dua minggu?"

"Ya. Aku dan Toneri tidak bertikai. Hanya saja..." Hinata menunduk sebentar. "Aku menolak Toneri dua minggu lalu."

Gerakan tangan Ino berhenti berselancar di aplikasi merah muda. Seketika pikirannya melayang entah kemana. Baru ketika Hinata menarik ujung bajunya, Ino menoleh dan melihat bus sudah ada di depan matanya. "Kau melamun? Ayo naik, Ino."

.

.

Hinata kira, rasanya akan berat. Benar, rasanya memang berat. Liburan sudah dimulai, tapi Hinata tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bimbingannya tertunda. Ia sudah tidak bekerja. Mengisi waktu luang, Hinata coba untuk belajar memasak kue di flat selama liburan.

Satu hari, dua hari. Satu minggu, dua minggu. Benar kata Ino. Hidup akan terus berjalan. Sampai waktu satu setengah bulan terlewati dan Hinata mencapai titik jenuhnya.

Ting

"Hai Hinata? Kau terlihat cantik di foto. Mau bertemu?"

Katanya, cara move on terbaik adalah dengan menemukan orang baru. Hinata patah hati oleh laki-laki bernama Gaara Sabaku. Setelah dua bulan lebih, Hinata putuskan untuk meniatkan diri move on.

Bukan dengan Sasuke Uchiha yang juga ikut menghilang. Bukan dengan Sai Shimura yang terasa tidak cocok untuknya. Bukan juga dengan Toneri Otsutsuki yang selamanya akan Hinata anggap sebagai seorang sahabat. Tapi dengan sosok baru. Sosok berambut pirang dengan senyuman cerah di wajahnya yang memperkenalkan diri sebagai,,,

"Naruto Namikaze!" sapanya dengan deretan gigi yang terlihat di sela senyuman.

Hinata merasa dejavu. Energi Naruto mengingatkannya pada Sai yang banyak bicara. Tawa dan gaya bicaranya mengingatkan Hinata pada seseorang yang ingin Hinata lupakan. Bahkan sikap tegas dan to the point-nya mengingatkan Hinata pada... "Ini jumat malam. Kau tidak ada acara kan, Hinata? Mau ke bar untuk lanjut ngobrol? Aku tertarik padamu."

"Aku kurang suka minum."

"Kau tidak perlu mabuk. Lagipula, kan ada aku yang menjagamu." Naruto meyakinkan dengan kekehannya yang khas... Gaara.

Seharusnya Hinata menurut pada Ino. Persetan dengan semua lelaki! Naruto benar-benar lelaki dengan mulut berbahaya. Merayunya hingga Hinata setuju memesan cocktail yang Hinata sudah lupa namanya.

"Tentu adik-adik tingkatku semua panik. Tapi aku mengusir ular yang masuk ke tenda mereka!" Naruto bercerita dengan semangat. Kisahnya saat kuliah, SMA, SMP, SD, bahkan ketika masih di taman kanak-kanak. Hinata menanggapinya dengan senyuman dan tawa pelan saat Naruto berusaha membanyol. Pertemuan pertama. Hinata sudah yakin tidak akan lanjut.

"Naruto, aku akan pergi ke toilet dulu."

"Perlu aku antar?" Naruto ikut bangkit dari kursi bar, membantu Hinata berdiri yang terlihat sedikit sempoyongan. "Tidak perlu. Aku aman." Hinata tersenyum, mengangkat jempolnya.

Byurrr

Hinata membasuh wajahnya di toilet. Memandang wajahnya yang basah di cermin. "Bodoh! Apa yang aku lakukan?" Hinata mengesah. Bisa-bisanya ia membandingkan Naruto dengan Gaara. Lebih lagi, Hinata memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia masih mengingat sosok yang sedang ia coba lupakan?

Usai membersihkan diri, Hinata berjalan keluar toilet. Ia akan meminta diantar pulang. Dirinya merasa sedikit mabuk... atau tidak? Hinata tidak mengerti. Ia mengurut pelipisnya sembari berjalan menunduk.

DUK! Hinata menabrak sesuatu, lebih tepatnya seseorang yang bertanya, "Kau tersesat?"

Hinata mendongak. Saat membuka mata di depannya ada sebuah dada bidang. Lagi, Hinata mendongak lagi guna melihat wajah seseorang yang membuat kelopak matanya terbuka lebih lebar lagi. Surai dan iris itu. Sudah pasti Hinata mengenalnya, kan?

.

.

.

.

"Oi, Toneri!"

Toneri yang baru memarkirkan sepeda motornya berbalik, melihat seseorang berjalan ke arahnya. "Baru pulang?" Toneri mengangguk sambil berdeham. "Ada apa menemuiku, Ino?"

Ino mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sebuah kantung keresek putih terlihat. "Mau ngobrol sambil makan es krim sebentar? Di taman sebelah saja," ajaknya.

Krit Krit. Bunyi besi dari ayunan yang mulai berkarat terdengar. Ino dan Toneri duduk di ayunan taman samping flat tempat Toneri tinggal. "Aku menemui Hinata tadi siang." Ino memulai obrolan.

"Oh, ya? Dimana?" Toneri berusaha menanggapi seadanya.

"Pantai Odaiba."

"Koutou?" suara dehaman terdengar. "Tumben. Sedang apa Hinata ke sana?"

"Patah hati."

Toneri menghentikan gerakan mengayunnya. Ia menoleh pada Ino yang ternyata sedang menatapnya. "Siapa? Hinata?" anggukan terlihat. "Kenapa lagi dia? Lagipula, laki-laki yang mana?"

"Yah, rumit. Masalah perasaan memang rumit."

"Dia sudah mendingan?"

"Sepertinya begitu."

Toneri mengangguk, ia mulai kembali mengayunkan diri. Selama beberapa saat yang terdengar hanya suara besi seperti semula. "Kau sendiri, sudah mendingan?" Ino akhirnya bertanya setelah meyakinkan diri.

"Aku? Aku kenapa?" Toneri mengernyit bingung.

"Kau ditolak Hinata."

Toneri kembali menoleh pada Ino. Hanya sebentar sebelum ia membuang muka dan menatap ke depan, pada ibu-ibu tukang sapu di ujung taman. "Tidak papa. Seperti katamu, soal perasaan memang rumit, 'kan?" Toneri tertawa hambar. Menertawakan dirinya sendiri.

"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"

"Siapa? Ibu-ibu penyapu jalanan?" Toneri terkekeh menatap ibu-ibu yang berada tepat di depan pandangannya. Tidak lama. Tiba-tiba Toneri terpikirkan sesuatu. Ia menoleh, menemukan Ino yang menatapnya serius. Perempuan itu sudah tidak mengayun, bahkan membiarkan es krimnya sedikit menetes. "Kau bercanda, 'kan?"