Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Just About Us! [REMASTERED]
.
Bab 1: Festival Budaya dan Murid Baru
.
Naruto Uzumaki memandang sekelilingnya dengan padangan berbinar. Booth-booth berjajar di sepanjang jalan sekolah dan juga di lapangan. Para panitia sibuk berlalu lalang untuk memastikan semua berjalan dengan lancar. Walkie-talkie yang dipegang oleh Naruto tidak henti-hentinya berbunyi, karena para panitia saling berkomunikasi melalui walkie-talkie.
"Kami butuh beberapa siswa laki-laki untuk membantu membawa-peti peti."
"Darimana? Tim logistik sedang ada di lapangan tennis."
"Dari lapangan basket. Ini untuk pementasan dari Klub Drama."
Naruto mengambil walkie-talkie-nya. "Aku bisa membantu," katanya.
"Terima kasih Uzumaki-kun!"
Naruto menaruh lagi walkie-talkie-nya di saku celananya. Dia menatap siswi yang sedang bersamanya di stand bertuliskan Customer Service. "Sakura-chan, aku pergi membantu Klub Drama. Kau bisa sendiri kan?" tanyanya.
Sakura Haruno mengangguk. Rambutnya yang berwarna merah muda bergoyang lembut saat kepalanya bergerak. "Tenang saja, aku bisa mengatasinya. Pergilah Ketua OSIS," katanya sambil mengedipkan mata.
Naruto tersenyum jenaka. "Terima kasih banyak. Aku akan membalasnya dengan kencan paling romantis nanti!" katanya sambil melambai menjauh. Sakura hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku pacarnya, sekaligus Ketua OSIS.
Ini adalah SMA Internasional Konohagakure yang terletak di Tokyo Barat. Sekolah ini terkenal dengan Kurikulumnya yang ketat dan berbasis Internasional, based on Cambridge. Semua orang-orang kaya dan para pejabat berusaha memasukkan anak-anak mereka ke SMA ini karena prospek untuk perguruan tingginya bagus, serta berbasis internasional. Sudah bukan rahasia umum, lulusan SMA Konohagakure sekalu bisa menempati kursi-kursi di kampus-kampus besar dalam dan luar negeri.
Namun, beberapa tahun belakangan ini suasana di sekitar SMA Konohagakure sedikit berubah. Aturannya masih tetap ketat, tetapi terdapat beberapa perubahan yang menyenangkan. Berterimakasihlah kepada Kepala Sekolah yang menjabat saat ini, Tsunade Senju dan didukung oleh Ketua OSIS terpilih selama 2 tahun berturut-turut, yaitu Naruto Uzumaki. Mereka berdua mengubah suasana kolot dan suram SMA ini menjadi sedikit berwarna.
Salah satu prestasinya adalah Festival Budaya kali ini. Untuk kedua kalinya dalam sejarah, Festival Budaya dibuka untuk masyarakat umum. Total pengeluarannya mencapai 4 juta yen, dengan pemasukan sebesar 9 juta yen. Semua warga sekolah antusias menyambutnya, semua warga sekolah menikmati hasil kerja dari Naruto Uzumaki.
Naruto berjalan sedikit berlari ke Lapangan Basket Indoor. Jarak antara stand Customer Service dengan Lapangan Basket Indoor cukup jauh, dan cuaca di bulan akhir bulan September masih lumayan terik, mengingat angin musim gugur seharusnya sudah mulai berhembus. Para siswa juga masih ada belum memakai mantel dan blazer, sehingga Naruto selalu menyediakan sapu tangan di saku kemejanya yang berwarna putih. Hanya saja, selalu ada lambang Pita Merah Ketua OSIS tersemat di kerah bajunya. Pita yang sudah 2 tahun ini di sandangnya sejak dia menjabat ketika berada di kelas 2 SMA.
"Uzumaki-kun," panggil seseorang sambil melambai dari depan pintu lapangan.
"Hyuuga," katanya. "Dimana peti-peti itu?"
Hyuuga Hinata, Ketua Panitia Festival Budaya membungkuk. "Maaf merepotkan," katanya. Rambutnya panjang senada dengan air laut di malam hari, biru tua yang berkilauan ketika ditimpa sinar rembulan. Dia mengikatnya dalam kuncir satu.
"Tidak masalah," balas Naruto sambil melambai. Mereka memasuki lapangan basket bersamaan. "Kau hanya sendiri?" tanyanya.
"Aku menyuruh yang lain mengambil konsumsi dulu karena ini sudah jam makan siang. Ternyata Klub Drama bilang ada beberapa peti yang ketinggalan ketika gladi bersih kemarin." Dia menunjuk ke dua tumpukan peti yang tampaknya cukup berat.
"Apa isinya?" tanya Naruto.
"Katanya properti-properti tambahan," jawab Hinata.
Naruto menghela napas. "Oke, kurasa tidak akan bisa kalau bolak-balik menggotong peti satu per satu. Tunggulah di sini Hyuuga, aku akan mencari trolley dulu," kata Naruto. Hinata mengangguk. Naruto berjalan keluar dari lapangan basket dan mencari di Gudang Barang. Biasanya para petugas kebersihan menggunakan trolley barang untuk mengangkut barang-barang yang berat.
"Bingo!" serunya senang ketika mendapati ada sebuah trolley barang yang menganggur. Kebanyakan panita sedang memakainya untuk mengangkat berbagai jenis logistik. Dia mendorong trolley tersebut sampai masuk ke dalam lapangan basket.
"Hyuuga, kau bisa bantu aku mengangkat peti ini?" tanyanya. Hinata mengangguk. Naruto berada di sisi kiri dan Hinata di depannya. "Satu, dua.. tiga!" Peti diangkat secara bersamaan. Lalu, mereka menaruh peti tersebut perlahan-lahan di atas trolley barang. Setelah kedua peti itu ditaruh dengan rapi di atas trolley, baik Hinata dan Naruto mengelap keringat mereka.
"Ya ampun, apa sih isi properti anak-anak Klub Drama? Memangnya mereka membuat properti dari baja dan besi ya?" keluh Naruto pura-pura kecapekan.
Hinata hanya tertawa kecil menanggapinya. "Kau tahu sendiri Yamanaka seperti apa. Semua harus dibuat semirip mungkin seperti aslinya."
Naruto mengangguk. "Kita bawa sekarang ke Aula Pertemuan?" tanyanya sambil mulai mendorong trolley tersebut.
"Aku mengunci lapangan dulu," kata Hinata. Naruto menunggunya. Setelah selesai, mereka berjalan bersama ke Aula Pertemuan.
Aula Pertemuan adalah sebuah ruangan multifungsi. Biasa digunakan untuk pidato penyambutan murid baru sekaligus pidato kelulusan dan perpisahan kelas 3 SMA. Kadang digunakan untuk menyambut para tamu-tamu penting atau ketika ada pengumuman penting yang ingin disampaikan oleh Kepala Sekolah. Dan saat Festival Budaya, Aula Pertemuan digunakan sebagai Ruang Pertunjukan dari Klub Drama.
"Kau sudah makan siang?" tanya Naruto.
Hinata menggeleng. "Rencananya tadi mau mengambil makan siang, tapi aku harus membantu Klub Drama," katanya sambil menepuk-nepuk tumpukan peti ini.
"Makanlah dulu. Aku bisa mengantarnya sendiri," kata Naruto.
Hinata menatapnya. "Tidak apa? Padahal aku yang minta tolong tapi kau yang malah menyuruhku istirahat," katanya tidak enak.
Naruto melambaikan tangannya santai. "Tidak apa. Kau butuh makan siang, sementara aku sudah makan siang. Aku sudah bersantai seharian di Customer Service," kata Naruto bercanda.
"Meladeni orang-orang yang mengeluh tampaknya lebih melelahkan," kata Hinata.
Naruto terbahak. "Itu bakatku! Sudah, kau makan dulu Hyuuga. Aku bisa sendiri," katanya lagi.
Akhirnya Hinata menyerah. "Oke, aku tidak akan membantah Ketua OSIS," katanya. Dia melambai pada Naruto dan pergi menjauh. Naruto melanjutkan perjalanannya menuju Aula Pertemuan.
Dari kejauhan, di pintu belakang Aula Pertemuan, para anggota Klub Drama sibuk dengan kostum masing-masing. Mereka akan mementaskan Drama Musikal terkenal Les Miserables.
"Uzumaki-senpai!"
Naruto melambai. "Konohamaru, yo! Aku mengantar paket."
Konohamaru tersenyum cerah. "Senpai memang terbaik!" katanya. "Aku akan beritahu Yamanaka-senpai dulu."
"Oke!"
Tak lama setelah itu, Ino Yamanaka keluar bersama beberapa junior di Klub Drama. "Terima kasih Uzumaki-kun. Nanti trolley-nya biar mereka yang mengembalikannya. Maaf merepotkan ya."
Ino sudah selesai berdandan. Dia akan menjadi Cossete. Menurut Naruto dia cocok menjadi Cossete. Wajahnya blasteran Amerika Serikat dan Jepang, dengan tubuh semampai dan rambut pirang panjang. Dia persis seperti boneka Barbie yang hidup.
"Tidak masalah," kata Naruto, "kebetulan aku sedang senggang."
Ino tersenyum. "Kau akan menonton drama kami?" tanyanya. "Pementasan dimulai pukul 4 sore. Kami sedang melakukan rehearsal terakhir."
"Tentu saja aku akan menonton! Ini drama kemenanganmu kan?" tanya Naruto sambil mengedip.
Ino tertawa mendengarnya. "Kau memang pandai bicara, Uzumaki-kun. Seharusnya kau pakai bakat itu di Klub Drama. Kita tidak akan bisa dihentikan."
Naruto ikut tertawa. "Aku tahu menempatkan bakatku, Yamanaka. Dan aku memakainya dengan baik. Untuk sekolah ini."
Ino mendengus. "Benar sekali. Kau memang pengertian. Seharusnya kau menjabat dari kelas 1."
Naruto hanya tersenyum. "Aku harus tahu medan perang dulu jika ingin berdiri di atas orang lain."
Mendengar hal itu Ino semakin tertawa, sampai beberapa junior menatap mereka. "Selera humormu memang menarik. Pantas saja si pesek itu mau bersamamu."
Lalu, seorang siswa memanggil Ino sehingga perbincangan mereka berakhir. "Semoga berhasil," kata Naruto sambil melambai.
Ino balas melambai sambil berjalan jauh. "Kau juga, Ketua OSIS." Setelah Ino masuk ke dalam Aula lewat pintu belakang, Naruto juga kembali ke stand-nya. Namun, dia berjalan memutar untuk melihat semua kegiatan yang ada di sekolahnya.
Sekolah itu memikili 3 gedung inti. Gedung pertama adalah Kantor dan Administrasi, serta Kantor OSIS. Gedung pertama tidak digunakan untuk melangsungkan Festival Budaya, tetapi semua rapat berada di gedung tersebut. Gedung Kedua adalah Gedung sekolah, bersamaan dengan kantin dan juga perpustakaan 2 lantai dengan beragam jenis buku. Masing-masing kelas membuat booth tersendiri dengan tema beragam sebagai kompetisi. Gedung yang terakhir adalah gedung khusus ruang ekstrakulikuler yang tidak membutuhkan ruangan atau lapangan khusus, seperti Laboratorium, Ruang Musik, Ruang Lukis, dan lainnya. Sementara untuk lapangan, terdiri dari beberapa bagian. Ada lapangan tennis, bulu tangkis, basket indoor, baseball, gymnasium dan juga kolam renang. Singkat kata, SMA ini benar-benar besar dan mengitarinya butuh waktu.
Namun, Naruto tidak keberatan. Dia suka mengamati semua kegiatan yang ada. Dia suka ketika gagasan dan ide cemerlangnya terlaksana dengan baik. Dia sangat menikmati saat-saat seperti ini. Semua ini adalah hasil kerja kerasnya, hasil dari buah pikirnya. Naruto memikirkan proposalnya berbulan-bulan, meriset data selama berbulan-bulan. Jadi, dia pantas dihargai karena kerja kerasnya.
Sebelum Naruto kembali ke stand-nya dia berjalan ke vending machine untuk membeli dua botol minuman dingin, satu untuknya dan satu untuk Sakura. Lucu jika mengingat bagaimana mereka bisa berpacaran.
Naruto masih kelas 1 SMA saat itu, di Upacara Penerimaan Murid Baru, setelah selesai berpidato sebagai perwakilan murid, dia melihat gadis itu. Dia mencolok sekali, terutama warna rambutnya. Gadis sederhana dengan rambut senada sakura di musim semi. Yang lebih lucu, namanya juga bernama Sakura.
Di kelas 1 SMA, mereka tidak sekelas, tapi mereka bertemu di perekrutan anggota OSIS. Naruto mendaftar sebagai Wakil Ketua OSIS saat itu dan Sakura hanyalah bagian dari Divisi Logistik di OSIS. "Kau punya ambisi besar," kata ketua OSIS saat itu, anak kelas 3, namanya Sabaku Temari. Orangnya galak dan tegas.
Naruto hanya tersenyum saat mendengarnya. "Saya ingin melakukan yang terbaik untuk sekolah ini."
"Lebih dari sekarang?"
"Lebih dari ini."
Temari hanya menyeringai. Sepertinya dia tidak pernah mendapati seorang kandidat anggota OSIS yang memiliki ambisi sebesar Naruto. Itu bukan hanya sekedar ambisi atau Impian. Naruto benar-benar belajar di bawah kepemimpinan Temari yang keras. Dia menghapal semua peraturan kolot di SMA ini dan membantu Temari menyusul proposal-proposal. Terkadang Naruto sampai harus pulang setelah matahari tenggelam dan mengorbankan waktu istirahatnya.
Di saar dia sedang merevisi beberapa bagian proposal, sebuah botol pocari dingin diletakkan di depan mejanya. Naruto mendongak dan gadis berambut senada musim semi itulah yang memberikannya.
"Kau terlalu bekerja keras," katanya sambil duduk di depan Naruto.
"Sangkyu," katanya. Dia mengambil botol pocari dingin itu dan membuka isinya, lalu meneguknya. Rasa asin dan manis khas cairan elektrolit membasahi seluruh tenggorokannya.
"Kupikir kita ini anggota OSIS, bukan anggota pemerintahan," kata Sakura.
Naruto tertawa mendengarnya. "Keren kan?" ujarnya.
Sakura mendengus. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
Naruto kembali berjalan ke stand mereka dengan dua botol pocari dingin. Sakura sedang membaca sebuah novel. Rambut merah mudanya di kuncir satu untuk mengurangi kegerahan. Dia meletakkan satu botol pocari di depan meja Sakura. "Kau terlalu keras bekerja," ujarnya sambil tersenyum lima jari.
Sakura mengangkat wajahnya dan menyeringai. "Mencoba menggodaku, Uzumaki-kun?" tanyanya. Dia menutup buku yang sedang dibaca dan meneguk isi pocari tersebut.
Naruto hanya duduk disampingnya sambil tertawa-tawa. Kini jabatan Sakura adalah Bendahara OSIS. "Ada masalah selama aku pergi?" tanyanya.
Sakura memutar bola matanya, "Kau pergi hanya 1 menit. Tidak ada yang terjadi. Kau harus sedikit santai Naruto. Festival telah sukses dan kau berhasil menorehkan namamu untuk dikenang di sekolah ini."
Naruto tertawa mendengarnya. "Kau pikir ini perang?"
"Mungkin seperti Grammy Award atau Emmy. Siapa tahu namamu akan ditaruh di museum di sekolah ini." Naruto hanya tertawa menanggapi. Dia meminum pocari-nya dan menatap ke kejauhan.
Sakura memperhatian kekasihnya yang sudah dipacarinya selama lebih dari 1 tahun. Naruto Uzumaki adalah pribadi yang ceria. Dia disukai oleh semua orang. Wajahnya selalu tersenyum, sampai dia memiliki beberapa kerutan akibat sering tersenyum. matanya berwarna biru muda, seperti langit di musim panas yang cerah dan tidak berawan. Mata itu selalu bersinar dan memiliki sinar lembut di dalamnya. Rambutnya berwarna pirang.
Naruto seorang pekerja keras. Semua orang tahu sepak terjang Naruto di SMA ini tidak main-main. Dia menjadi Wakil Ketua OSIS di tahun pertamanya, lalu mulai mencalonkan diri sebagai Ketua OSIS di tahun keduanya, atas rekomendasi Sabaku Temari. Setelah itu, di tahun ketiganya dia mencalonkan diri lagi dan dia berhasil menjadi Ketua OSIS untuk kedua kalinya. Di SMA Konohagakure ini, Naruto lah orang pertama yang berhasil menjabat sebagai Ketua OSIS sebanyak 2 kali berturut-turut.
Dia adalah model sempurna untuk sekolah ini. Siswa teladan, tidak pernah telat satu hari pun, tidak pernah membolos, tidak pernah melanggar peraturan. Atribut sekolahnya selalu lengkap dan kemeja yang dipakainya selalu tampak rapi. Dia adalah orang paling sempurna di SMA ini.
Namun, kadang Sakura merasa ada sesuatu di balik itu semua. Di balik sifat sempurna milik Naruto. Kadang, Sakura tidak tahu apakah pemuda itu bercanda atau tidak dan kadang Sakura merasa ada tawa yang terlalu dipaksakan. Sejauh pengetahuan Sakura, keluarga Naruto baik-baik saja. Ayahnya adalah seorang Dokter Bedah di RS Universitas ternama di Tokyo, Ibunya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang juga merupakan seorang sarjana ekonomi dari Universitas Tokyo. Kakak laki-lakinya baru saja kembali dari Cambridge setelah menyelesaikan residensi Bedah Saraf. Yang artinya, keluarganya baik-baik saja dan cukup harmonis.
"Kenapa?"
Sakura tersentak. Naruto telah menatapnya dengan bingung. Lagi-lagi, iris birunya berkilat. Persis seperti musim panas. Sakura menggeleng.
"Kau mau istirahat di dalam kelas? Mendapat AC sejenak?" tanya Naruto.
Sakura menggeleng lagi. "Naruto, kalau minggu ini kita menonton Catching Fire bagaimana?" tawarnya.
Naruto mengerjap dua kali sebelum tersenyum lebar. "Apa itu ajakan kencan? Darimu?" tanyanya sedikit terlalu bersemangat.
Sakura mendengus. "Aku tidak enak karena dua minggu lalu batal karena aku sedang berlatih untuk Klub Debat. Jadi, minggu ini?"
Naruto menggangguk begitu bersemangat. "Sakura mengajakku kencan! YEESS!"
Sakura memukul punggung Naruto, "tidak usah berlebihan, Baka!" ujarnya malu.
.
Dua hari setelah Festival Budaya berakhir, Naruto dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Ruangan itu lebih mirip kantor CEO dibandingkan Ruang Kepala Sekolah. Terletak di lantai 4, memiliki sofa dan meja tamu tersendiri, berlantai marmer, serta jendela super besar yang langsung menghadap taman sekolah serta kota Tokyo Barat.
Tsunade Senju duduk di kursi kerjanya. Ketika Naruto memasuki ruangan wangi mint tersebut, Tsunade menghentikan kegiatannya.
"Oh, kau sudah datang," katanya. Dia menunjuk kursi di depan mejanya dan Naruto duduk di sana.
"Selamat siang sensei," kata Naruto.
"Selamat untuk kesuksesan Festival Budaya kemarin," puji Tsunade. "Para Dewan tidak berhenti memujimu. Kau memang luar biasa."
Kedua telinga Naruto memerah mendengarnya, tapi dia tidak boleh membiarkan kebahagiaan membuainya. Dia menatap Tsunade dengan fokus. "Ada apa sensei sampai memanggil saya? Apa ada siswa yang bermasalah?" tanyanya.
"Kau peka seperti biasa," jawabnya. "Yah, ini memang mengenai seorang siswa." Naruto mendengarkan. "Aku baru saja menerima seorang siswa baru di tengah semester, kelas 3 SMA. Mereka baru saja pindah dari Kyoto. Dan aku berharap kau mau menyambutnya nanti ketika dia masuk sekolah."
Naruto menatap Tsunade bingung. "Kenapa dia tidak pindah ketika Tahun Ajaran Baru kemarin? Kenapa harus di tengah semester?"
Tsunade menghela napas. "Kondisinya sedikit rumit. Orangtuanya harus mengurus beberapa hal sebelum mendaftarkannya ke sekolah ini, sehingga mereka sedikit telat."
Kalau sudah di bulan Oktober sudah bukan sedikit lagi, tapi super duper telat, batin Naruto. Lagipula, orangtua macam apa yang bisa-bisanya telat mengurus berkas pindahan sekolah? Entah mengapa Naruto seperti mempunyai firasat buruk soal ini.
"Tapi…" kata Naruto, "saya merasa janggal karena Anda memanggil saya hanya untuk seorang murid baru. Tidak biasanya OSIS disuruh menyambut murid pindahan."
"Aku tidak meminta bantuanmu sebagai OSIS, aku meminta bantuanmu sebagai pribadi. Kau adalah orang yang paling gampang bergaul dan juga memiliki banyak teman. Mungkin kau bisa membantunya untuk beradaptasi di lingkungan ini."
Naruto mencelus. Sekarang dia bukan saja sebagai Ketua OSIS, tapi juga sebagai babysitter dari seorang anak baru nan manja yang seenaknya pindah di tengah tahun ajaran. Dia ingin sekali protes karena waktunya akan terbuang sia-sia untuk hal-hal membosankan seperti mengajak jalan-jalan si anak baru. Namun, refleks Naruto adalah tersenyum penuh keceriaan dan tidak menolak. Dia sudah lupa caranya menolak.
"Saya rasa hal itu juga karena teman-teman di sini baik-baik," ujarnya.
Tsunade tersenyum. "Kau memang pandai berkata-kata sedari dulu," katanya pelan. Naruto tidak mendengarnya. Dia masih mempertahankan senyum ramahnya. "Yang harus aku ingatkan adalah, dia sedikit special. Dia…" Tsunade berusaha mencari-cari kata yang paling halus tanpa membuat Naruto lari ketakutan dan menolaknya. "Sedikit bermasalah di sekolah lamanya. Dan karena sudah kelas 3 SMA, orangtuanya berharap dia bisa belajar dengan baik di sini sampai kelulusan."
Hebat, sekarang Naruto bukan hanya babysitter seorang murid baru yang manja tapi juga tukang buat onar. Kenapa sekolah ini harus menerima murid nakal seperti itu? Bukankah ini SMA Internasional yang elite?
Naruto memaksakan senyumnya agar tidak pudar. "Saya mengerti. Kalau saya boleh tahu, kapan murid baru ini akan bergabung bersama kami?" tanyanya sopan.
"Mulai minggu depan, setelah semua berkasnya selesai. Supaya kau mudah berteman dengannya, aku memasukkannya di satu kelas yang sama denganmu. Tolong bantu dia ya."
"Saya paham sensei." Lalu, setelah itu Naruto pamit keluar dari Ruang Kepala Sekolah.
Dia tidak mengubah ekspresi wajahnya sampai dia merasa benar-benar aman. Dia pergi ke toilet yang letaknya paling jauh di Gedung Pertama, mengunci salah satu bilik toilet dan setelah menarik napas, dia mengumpat.
"DASAR SIAL!"
Dia terduduk di closet. Tahun ketiga sudah berjalan setengah semester, sisa beberapa bulan lagi menuju kelulusan dan Ujian Masuk Universitas. Padahal Naruto sudah akan fokus dalam menjalani Ujian Masuk Universitas. Dia tidak boleh gagal. Seharusnya tidak ada lagi distraksi remeh-temeh yang menjadi batu sandungannya. Dia sudah susah payah membangun image di sekolah ini, susah payah mempercantik CV nya untuk Universitas nanti, dan sekarang dia harus mengurus murid baru aneh yang tukang bikin onar?
Apa-apaan batu sandungan seperti itu?
Dia sudah sangat ingin menolak, tetapi refleksnya berkata lain. Naruto sudah terlalu lama dan bersusah payah membangun image siswa sempurna dan jika dia menolak untuk membantu si anak baru, maka tidak ada gunanya dia berusaha selama ini.
Tidak, hal itu tidak boleh terjadi. Dia sudah selangkah lagi menuju tujuannya. Dia tidak boleh goyah ataupun bimbang. Mengurus si anak baru memang bisa jadi batu sandungan, tapi jika Naruto memainkan perannya dengan baik, siapa tahu itu bisa menjadi batu loncatan juga.
Benar, persetan dengan si anak baru. Naruto akan tetap tersenyum, pura-pura baik dan peduli, dan akhirnya dia akan tetap menjadi pemenang. Pada akhirnya dialah yang akan berada di puncak dunia, menggenggam segala sesuatu yang penting. Dia tidak akan kehilangan segalanya hanya karena membantu seorang anak baru.
.
Ketika dia pulang sore hari itu, Ibunya sedang sibuk memasak berbagai jenis makanan.
"Apa kita sedang merayakan sesuatu?" tanya Naruto.
"Selamat datang Naru-chan," kata Ibunya. Naruto menaruh tasnya di sofa Ruang Keluarga dan berjalan ke dapur. "Teman baik Ibu di Universitas baru saja pindah dari Kyoto ke Perumahan ini. Jadi, Ibu mengundang keluarga mereka untuk makan malam di sini sebagai penyambutan antar tetangga."
Naruto mengangguk. Ibunya telah memasak berbagai jenis makanan khas Jepang. "Apa mereka akan datang sebentar lagi?" tanyanya.
"Mereka akan datang pukul 7 malam, setelah membereskan semua barang dari jasa pindahan. Nanti untuk Sashimi bisa Ibu masukkan ke kulkas dulu supaya lebih segar. Cuci tanganmu dan makanlah. Ibu sudah menyiapkan makan siangmu."
"Oke," kata Naruto. Dia naik ke lantai dua, menuju kamarnya dan membuka semua seragam sekolahnya. Kemejanya digantung rapi, kaos kakinya ditaruh di keranjang baju kotor dan Naruto mencuci muka serta tangan sebelum berganti pakaian rumah. Sebelum dia turun ke bawah untuk makan, Naruto mengeluarkan semua buku pelajarannya, menyusunnya di atas meja belajar sesuai prioritas PR dan memasukkan buku untuk esok hari.
Di meja makan, telah tersedia satu mangkok nasi yakiniku dan tempura. "Selamat makan," kata Naruto dan dia mulai memakan. Ibunya duduk di depan Naruto.
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanyanya.
"Lancar. Besok kami akan evaluasi dan rapat pertanggungjawaban, serta mulai membahas kepemimpinan OSIS yang baru."
"Benar juga. Kau sudah kelas 3 SMA, sudah seharusnya belajar untuk Ujian Masuk Universitas. Apa kau sudah mulai mengerjalan soal-soal?" tanya Ibunya.
"Aku berencana membeli buku-buku latihan soal besok siang. Ngomong-ngomong Aniki apakah datang?" tanyanya.
Ibunya hanya mengangkat bahu. "Anak itu sulit dihubungi sejak pulang. Tapi aku sudah mengirimkan pesan bahwa malam ini kita akan makan bersama dengan tetangga baru."
"Wajar saja, Aniki sudah jadi Dokter Bedah Saraf, pasiennya pasti banyak," kata Naruto bersemangat. "Mungkin dia tidak punya waktu untuk pulang."
"Mungkin. Sedari dulu dia memang lebih suka berpergian sendiri. Tapi yah, karena dia sudah jadi spesialis aku tidak protes lagi. Kau tetap ingin mengikuti jejak kakakmu? Todai?"
Naruto mengangguk mantap. "Aku tidak akan kalah dari Aniki! Aku juga akan menjadi dokter."
Ibunya mendengus. "Dasar kau ini. Mirip sekali dengan Minato dan Kurama, terlalu berambisi jadi dokter."
Naruto hanya tertawa. "Soalnya Ayah dan Aniki keren. Aku juga mau menjadi sekeren mereka."
Ibunya menyerah, "Terserah kau sajalah."
"Oh Iya Bu, siapa nama tetangga yang akan makan malam nanti?" tanya Naruto.
"Keluarga Uchiha. Dulu Mikoto teman baik Ibu selama di Universitas dan suaminya juga berteman dengan Ayahmu. Fugaku punya Perusahaan Farmasi dan sering bekerja sama dengan para dokter di RS Universitas Tokyo."
Naruto mengangguk. "Jadi nanti pasangan suami istri itu yang akan makan bersama kita?"
"Dan anak mereka. Katanya dia seusia denganmu. Mungkin kau bisa berteman baik dengannya karena jarang ada anak seumuranmu di Perumahan ini."
Naruto tidak menanggapi. Dia mengaduk nasi teriyaki di depannya.
Hebat, setelah Kepala Sekolah kini Ibu sendiri yang menyuruhku berteman dengan orang aneh, batin Naruto.
"Kenapa mendadak pindah ke Tokyo dari Kyoto?" tanya Naruto lagi.
"Kurasa karena mereka membuka cabang baru di sini serta mau ganti suasana. Ibu juga kurang paham. Mungkin nanti bisa kita tanyakan."
Setelah itu, Naruto selesai makan. Dia menaruh semuanya di kitchen set, mencuci piringnya dan naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di sana, dia mulai membuka buku pelajarannya, mengerjakan PR sambil mendengarkan musik. Yang membuatnya tersadar waktu telah malam adalah ketukan di pintu kamarnya.
"Naru-chan, mereka sudah datang. Berpakaianlah yang pantas dan turun ke bawah," kata Ibunya dari luar kamarnya.
"Oke Bu," jawab Naruto. Dia menutup buku-bukunya, mengeluarkan kaos yang tidak lusuh dan celana panjang. Lalu, dia turun ke bawah. Sudah terdengar beberapa percakapan dan suara tawa dari ruang makan.
"Selamat malam," sapa Naruto sambil tersenyum.
"Mikoto, Fugaku-san, ini putra kedua kami, Naruto."
"Oh, adik Kurama ya," ujar seorang wanita paruh baya berambut hitam legam yang digerai. Mikoto Uchiha. Lelaki paruh baya di sebelahnya pastilah Fugaku Uchiha, suaminya. "Wah sudah besar ya. Sekarang sudah kelas berapa?" tanyanya.
"3 SMA," jawab Naruto.
"Satu angkatan dengan Sasuke ya," kata Mikoto sambil menepuk pundak seorang lelaki muda. Dia punya rambut sehitam malam, dengan iris mata yang senada dengan mimpi buruk. Tatapannya dingin dan raut wajahnya tidak ramah. Rambutnya tampak acak-acakan dan kulitnya pucat. Namun, wajahnya tampan. Hanya saja, Naruto tidak menyukai aura yang keluar dari pemuda itu, pasti dialah Sasuke Uchiha.
"Ayo kita makan," ajak Ibunya.
Mereka mengambil tempat masing-masing. Naruto duduk berhadapan dengan Sasuke.
"Sasuke akan pindah ke sekolah apa?" tanya Ibunya.
"Sesuai rekomendasimu, SMA Konohagakure."
Naruto tersedak teh hangat yang sedang diminumnya. Dia terbatuk-batuk dan tampak malu karena keempat orang dewasa menatapnya. "Maaf," katanya sambil mengambil tissue untuk mengelap mulutnya.
Naruto merasa seperti disiram air dingin. Percakapannya dengan Kepala Sekolah pagi ini, tentang anak pindahan dari Kyoto, tentang kepindahan keluarga Uchiha ke Perumahan ini, tentang putra Uchiha yang akan bersekolah di Konohagakure. Hanya ada satu SMA Konohagakure di Tokyo Barat. Naruto mengambil sumpitnya, tetapi dia tidak memakan makanan di depannya.
Keempat orang dewasa tersebut masih lanjut mengobrol, tetapi Naruto tidak menyimak obrolannya. Dia menatap pemuda beriris sekelam malam yang ternyata sedang menatapnya. Namanya Uchiha Sasuke. Kepala Sekolah Tsunade Senju tidak memberitahu siapa namanya, dan saat itu Naruto pikir tidak ada gunanya untuk bertanya, karena dia masih beranggapan bahwa itu bukan urusannya. Dia hanya tinggal berpura-pura. Namun, ternyata ini semua jauh dari kesederhanaan.
Tatapan mata Sasuke begitu menusuk dan dingin, seperti ada yang menghujam perut Naruto dengan bilah es. Dia berusaha tampak santai dan tidak merasa terintimidasi. Dan itu sangat sulit. Keberadaannya menyesakkan dan seperti mengambil oksigen dari paru-paru Naruto. Naruto masih belum bisa berpaling dari tatapan dingin itu. Dia menelan ludah dengan susah payah. Lalu, dia mulai melihat bibir tipis itu melengkung. Hanya sekilas dan sebentar, tapi Naruto yakin itu adalah seringai.
Tampaknya kehidupan sekolah Naruto akan jungkir balik sejak saat ini.
.
BERSAMBUNG
A/N: Cerita ini adalah cerita pertama yang saya buat sejak saya menjadi bagian dari Fanfiction di tahun 2014. Hanya saja, saat itu idenya mandek dan berakhir tidak selesai. Lalu, saat saya iseng-iseng membuka karya-karya saya yang lama, saya rasa tidak ada salahnya jika meneruskan kisah ini. Hanya saja tidak di dalam satu cerita yanga sama, jadi saya menulis ulang kisah ini.
Salam,
Sigung-chan
