Rework terakhir. Abis ini. Setelah ini new chapter beneran.


Disclaimer : Masashi Kishimoto


1

Ketika ayahku bilang dia ingin mengirim seorang tutor ke rumah, aku berpikir kalau yang akan datang adalah seorang pria paruh baya dengan wajah pintar. Tapi begitu tutor datang ke rumah dan memperlihatkan wajahnya. Aku hanya bisa menatap ibuku dengan tatapan yang artinya adalah 'apa kau serius?'.

Kenapa? karena yang sedang berdiri di depan aku dan ibuku sambil menundukan badannya adalah seorang anak laki-laki yang mungkin baru berumur dua atau tiga belas tahun sama seperti Sasuke.

"Namaku adalah Naruto Uzumaki, aku datang ke sini menggantikan ayahku yang punya kepentingan lain, meski aku masih belum sehebat beliau tapi aku yakin bisa mengajari putri yang mulia dengan baik."

Setelah itu anak laki-laki bernama Naruto tadi memberikan dua buah dokumen kepada ibuku. Yang satu adalah surat pribadi dari ayahnya yang tidak bisa menerima pekerjaan dari ibuku karena ada kepentingan di tempat lain, dan satunya adalah semacam sertifikat yang membuktikan kalau anaknya punya kompetensi yang cukup untuk bisa mengajari orang lain.

Aku ikut mengintip dokumen tadi dan mendapati kalau ternyata ayahnya adalah orang penting yang sedang dalam perjalanan diplomasi. Pantas saja dia tidak bisa ke sini, tidak! harusnya aku perlu bertanya kenapa orang penting sepertinya mau menerima pekerjaan dari ayahku?

Untuk Naruto sendiri sepertinya mengikutinya ayahnya agar dia bisa belajar tentang dunia di luar negaranya.

"Selamat datang Naruto, namaku Kanna dan ini adalah putriku Hanabi, bertemanlah baik dengannya"

"Dengan senang hati"

Dengan senang hati huh. Mulutnya mungkin bilang seperti itu, tapi aku sangat yakin kalau sebenarnya dia tidak punya niat untuk berteman baik denganku. Bukan hanya senyum yang dia berikan padaku bisa kelihatan sangat jelas palsunya. Aku tidak tahu alasannya, tapi tatapan matanya padaku juga sama sekali tidak bisa dibilang bersahabat.

Kami baru bertemu, jadi dendam macam apa yang dia punya terhadapku?

"Jadi apa yang harus kuajarkan pada putri yang mulia?"

"Detailnya kuserahkan padamu."

Jawaban itu menunjukan kalau di antara kami bertiga. Dialah yang paling bodoh secara akademik meski padahal dia yang paling tua. Tapi, meski aku yakin Ibuku merasa malu dia merasa kalau dia tidak jujur dan pura-pura jadi orang pintar. Nanti malah putrinyalah yang akan jadi korban dari ketidak kompetenannya. Oleh sebab itulah dia memutuskan untuk jujur pada Naruto. Secara akademis, aku punya level yang lebih tinggi darinya, oleh sebab itulah Kanna tidak bisa memutuskan apa yang anak perempuannya itu butuhkan.

Menyerahkan masalah itu pada orang yang lebih ahli kelihatan seperti pilihan yang logis.

"Tapi tolong jangan lupa mengajarkannya pengetahuan umum"

"Pengetahuan umum? seperti hirarki kera. . "

"Ahh. . bukan yang seperti itu! daripada pengetahuan umum kurasa 'akal sehat' mungkin lebih cocok"

"Akal sehat?"

Permisi nona Kanna, kurasa aku sudah punya akal sehat dan keadaannya baik-baik saja. Jadi maaf saja aku juga tidak perlu seseorang untuk mengajariku akal sehat. Lalu, tolong jangan membuat anak perempuanmu kedengaran seperti seseorang yang otaknya bermasalah. Bagaimana kalau orang-orang mengira kalau aku ini benar-benar punya masalah mental?

"Nanti kau juga tahu sendiri"

Tolong jangan mendorong seseorang untuk melihat putrimu dengan tatapan aneh.

Aku mencoba menyampaikan ketidaksetujuan dengan tatapan yang sudah kubuat semengintimidasi mungkin. Tapi reaksi yang kudapatkan dari Ibuku hanyalah sebuah senyum dan tepukan lembut di kepalaku.

Yang artinya adalah.

Sepertinya, di kehidupan sebelumnya Ibuku ini adalah seekor kucing. Sebab reaksinya tadi adalah reaksi yang hanya ditunjukan oleh seseorang yang, satu. Tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang kumaksud sebab semua masalah bisa diselesaikan dengan sebuah usapan di kepala. Lalu, dua. Dia tahu apa yang kumaksud tapi sengaja tidak mempedulikannya.

Persis seperti kucing yang tidak peduli pada sekelilingnya.

"Hanabi, apa kau bisa mengantarkan Naruto ke kamarnya?"

". . . . .mnnghh. . baiklah"

Aku sempat berpikir untuk menunjukan sedikit kemarahanku dengan sedikit mengamuk dan bertingkah manja di depannya mengingat kalau aku jarang melakukannya. Tapi aku berhasil menahan diri dari godaan itu di saat-saat terakhir. Ibuku memang pernah bilang kalau sesekali bertingkah manja dan nakal itu bukan masalah. Hanya saja, dia baru sembuh dari sakitnya dan sekarang dia sedang ditekan oleh banyak pekerjaan. Oleh sebab itulah aku membatalkan niatku.

"Anak pintar"

"Mmm. . . "

Ibuku mencoba mengusap kepalaku lagi, tapi kali ini aku tidak membiarkannya dan menghindari tangannya. Yang sekali lagi, hanya disambut dengan sebuah senyum dan tawa kecil. Sebelum rasa kesalku bangkit lagi, aku memutuskan untuk memegang tangan anak laki-laki di depanku.

"Kak Naruto, biar aku tunjukan kamarmu"

"Hmm. . ."

Tanpa kuduga, dia langsung menyibakkan tanganku dan melihatku dengan tatapan yang sepertinya bilang 'jangan sok akrab' ke arahku. Sepertinya aku sudah terlalu terbiasa dengan Sasuke yang sekarang sampai aku lupa kalau normalnya, kau tidak akan langsung menjajah personal space seseorang yang baru kutemui. Ketika kami pertama kali bertemu dia juga bertingkah seperti kucing yang ekornya diinjak.

"Maafkan aku"

Aku melihatnya dengan wajah memelas, memanfaatkan sepenuhnya penampilan imutku untuk membuatnya merasa bersalah. Hey, tidak baik kalau aku tidak memanfaatkan kimutanku untuk sesuatu.

". . .tu-tunjukan saja jalannya"

Dengan begitu, aku pun mengajak Naruto untuk menuju ke kamarnya. Berhubung perjalanan kami tidak bisa dibilang sebentar, aku mencoba mengajaknya ngobrol. Tapi semua usahaku itu sia-sia. Bukan hanya dia tidak mau menjawab, tapi selama perjalanan dia terus melihatku dengan tatapan yang seakan bilang 'kau bisa diam tidak?' dan 'kau ini benar-benar menjengkelkan ya' ketika aku mencoba menanyakan tentang dirinya.

Reaksi yang benar-benar membuatku ingin memukul wajahnya. Tapi sebab aku ini sudah dewasa, tentu saja aku berhasil menahan diri. Membuat perjalanan kami menuju kamarnya jadi dipenuhi dengan kesunyian layaknya kuburan.

Dari interaksiku dengan Naruto selama beberapa menit tadi, impresiku terhadapnya hampir jatuh sampai ke dasar laut. Tapi sebab ketika aku akan pergi dia menyempatkan diri untuk berterima kasih padaku, impresiku terhadapnya masih bisa dipertahankan untuk mengambang. Mari kita berharap kalau sebenarnya dia itu bukan anak yang punya masalah kepribadian akut.

Begitu tugasku selesai. Aku memutuskan untuk tidak memikirkan anak laki-laki itu lagi dan mengalihkan perhatianku pada hal lain.

Sekarang, begitu Ibuku sudah sehat lagi. Aku tidak lagi terikat dengan pekerjaan apapun dan bebas melakukan tugasku yang utama sebagai anak kecil. Bermain tanpa mempedulikan apapun dan bersantai tanpa membantu siapapun.

Tapi sayangnya, setelah melihat keadaan ekonomi teritori kami. Keinginanku untuk bermain langsung hilang begitu saja. Ketika aku tahu kalau teritori kami bisa bangrut kapan saja, bagaimana bisa bermain-main? keadaan teritori kami benar-benar bisa disebut sedang berada di ambang batas.

Batas sebelum kami kehabisan uang dan terpaksa harus mengungsi ke kota lain karena tidak bisa mengurus teritori ini.

Sasuke berhasil menciptakan beberapa benda untuk bisa kami jual, dan benda-benda itu bahkan punya nilai yang lumayan tinggi. Tapi meski begitu, keadaan ekonomi teritori kami masih jauh dari yang namanya sehat.

"Aku ma. . . . . .suk. .? "

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya aku sampai juga di tujuanku. Sebuah bangunan di dekat sungai yang hampir semua bagiannya ditutup papan dan kain. Tanpa ragu, aku langsung mendorong pintunya dan masuk.

Untuk suatu alasan aku mendengar suara bel dari arah atasku. Dan ketika aku melihat ke arah suara itu, aku menemukan sebuah tabung besi yang bergoyang-goyang tidak jauh dari bagian atas pintu yang baru kubuka.

"Aku sudah bilang jangan masuk sembarangan kan? kau tahu kalau tempat ini berbahaya kan?"

Tempat mereka berada sekarang adalah workshop pandai besi. Bersama dengan beberapa orang budakku dan juga satu atau dua laki-laki dari desa sebelah, Sasuke memutuskan untuk memperluas workshopnya agar dia bisa memproduksi parts-parts dari penemuannya yang kami jual sebelumnya. Dan saat ini, sepertinya sekarang sedang membuat mata bor sebagai spare part dari bor manual yang kami jual sebelumnya.

"Aku baru melihat bel ini. . siapa yang. ."

"Hanabi!"

"Apa kak Sasuke yang mem. . "

"Hanabi!"

Aku ingin mengalihkan perhatian Sasuke dari tindakanku tadi tapi sepertinya dia sudah hafal dengan trikku.

"Maaf. . aku tidak akan mengulanginya lagi "

Hari ini bukan pertama kalinya aku masuk ke tempat ini dengan santainya. Dan hari ini juga bukan pertama kalinya aku diberikan peringatan oleh Sasuke. Di tempat ini ada banyak benda yang bisa dibilang berbahaya, jadi aku paham kenapa dia tidak ingin aku masuk sembarangan. Bel yang tadi berbunyi juga mungkin adalah sesuatu yang dia buat untuk memberitahukannya ada orang yang masuk sehingga mereka bisa bekerja lebih hati-hati.

"Benarkah"

"Tentu saja b. . . .aku akan berusaha"

Secara logika, aku paham. Tapi sepertinya tubuhku belum bisa menyesuaikan diri sehingga aku sering lupa kalau tempat ini bukanlah bangunan yang bisa kau masuki begitu saja. Dan sebab masalahnya muncul dari sebuah hal bernama 'lupa', aku tidak bisa menjamin kalau dia tidak akan datang lagi nanti. Yang bisa kulakukan hanyalah berusaha.

"Bagus kalau begitu, kalian semua bisa istirahat"

"Eh? kenapa kau membubarkan mereka? aku ingin melihat"

"Tidak ada yang perlu dilihat, apa yang kami kerjakan masih sama seperti yang kemarin-kemarin. . "

"Ehh . . .apa ini gara-gara aku?"

"Tidak, aku ingin membicarakan sesuatu, dengan tenang"

Setelah itu Sasuke mengajakku ke sebuah bangku kayu yang tidak jauh dari workshopnya, dan sebab sepertinya dia ingin privasi. Sasuke memberikan tanda agar semua orang untuk beristirahat di tempat lain. Sebab tempat ini dekat dengan sungai dan di kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, ada banyak lokasi yang bisa mereka gunakan untuk istirahat. Hanya saja, aku tetap bilang maaf pada semua orang.

Begitu kami berdua sampai, Sasuke langsung membuka pembicaraan dengan topik yang tidak ingin kudengar.

"Hanabi, kurasa kita perlu melakukan tindakan drastis"

Saat ini, hampir semua profit yang kami dapatkan digunakan untuk mensubsidi ekspansi lahan pertanian kami. Menjadikan Hasil dari bisnis baru kami secara umum tidak punya pengaruh besar terhadap keadaan ekonomi kami.

Malahan, sama seperti proyek infrastruktur. Biaya yang kami perkirakan selalu berakhir membengkak. Membuat uang yang kami harus gelontorkan untuk proyek itu bertambah dan bertambah di setiap langkahnya.

Dan hal itu masih valid misalkan aku tidak membayar satu orangpun yang mengerjakan proyek itu. Kami masih perlu mengeluarkan uang untuk peralatan, bibit, dan tentu saja. Konsumsi.

"Aku paham kalau kita perlu lebih banyak uang, tapi tindakan drastis apa yang kau maksud?"

Kalau kami kehabisan uang, rencanaku adalah menunda proyek di atas. Yang aku paham akan kelihatan sia-sia, mengingat kalau kami sudah berinvestasi banyak. Tapi lebih baik kalau kami memotong kerugian cepat kami daripada harus jatuh ke lubang sunk cost fallacy.

"Kurasa sudah saatnya kita meningkatkan produktivitas kita, sayangnya. . . . "

Sebab mesin dalam workshop kami bergantung pada Sasuke. Produksi korek dan bor kami tidak bisa dinaikkan. Dan kalaupun secara ajaib kami bisa melakukannya. Jalur distribusi kami yang hanya bergantung pada Jonas juga membatasi seberapa banyak item yang kami bisa jual.

"Kurasa kita perlu partner lain, dan untuk menaikan produktivitas tanpa menambah orang"

Sasuke perlu membuat power tool.

"Jadi, apa pendapatmu? Hanabi"

Menghentikan proyek ekspansi pertanian, menambah pengangguran, dan kembali bergantung pada impor bahan makanan dari luar.

Atau.

Membiarkan Sasuke membuat power too lalu menaikan teritorinya sambil berharap kalau mereka tidak menarik perhatian orang-orang serakah yang punya niat buruk.

"Aaaaa. . . aku pusing, menurutmu bagaimana Sasuke?"

"Hey, ini adalah teritorimu"

"Ugh. . . . "

2

Kemarin, aku dan Sasuke membicarakan rencana kedepan kami hampir seharian tapi sampai akhir hari pun kami masih belum menemukan jalan untuk mencari uang dengan aman dan nyaman tanpa harus menggunakan terlalu banyak cheat Sasuke. Atau setidaknya, tanpa menarik terlalu banyak perhatian dan pertanyaan.

Tapi, meski kami sudah mengambil lembur dan mencoret-coret bukuku sampai tengah malam. Ide bagus masih belum mau muncul juga.

Mataku masih terasa lengket, dan badanku rasanya berat. Sekali lagi, begadang dengan tubuh anak kecil bukan ide yang bagus. Tapi meski ide itu tidak bagus, kurasa aku akan begadang lagi malam ini.

Aku menguap dengan lebar, yang tandanya tubuhku masih kurang istirahat. Tapi aku tidak bisa malas-malasan sebab hari ini kami perlu melakukan banyak hal. Aku dan Sasuke berencana untuk ke kota terdekat untuk melakukan market research dengan menumpang kereta kuda Jonas yang hari ini punya jadwal ke sini.

"Aaaaanghhmmmm. . . "

Sambil menguap lebar, aku berjalan menuju ke bagian belakang rumahku untuk cuci muka. Beberapa hari yang lalu, Sasuke dan anak buahnya membuatkan sebuah bak air di sumur yang ada di belakang. Jadi, tanpa pelayan pun aku bisa mendapatkan air tanpa harus menimba dan mengisi ember-ember kayunya dulu.

Tidak lama kemudian, akupun sampai di area dekat sumur, dan begitu aku bergerak lebih dekat ke arahnya. Aku menemukan seorang Naruto yang sudah berpakaian rapi sedang mencuci wajahnya.

". . . . ."

". . . . . "

Mata kami bertemu.

"Hmm. . ."

Kukira dia akan mengomentari penampilanku dan mengatakan sesuatu yang membuatku ingin memukul wajahnya, tapi tidak sesuai dugaanku. Dia hanya sedikit bergerak ke samping lalu mengangkat dagunya ke arahku, memberikan isyarat untuk ke tempat di sampingnya untuk cuci muka.

"Terima kasih"

Aku berdiri di sampingnya lalu mengambil air dari dalam bak yang isinya sangat susah kuambil karena hanya tersisa setengahnya. Dan sepertinya, seakan ingin membuat lawakan dari kesusahanku tiba-tiba gayung yang kupakai gagangnya patah dan benda itu jatuh kembali ke dalam baik air.

". . . ."

Aku ingin mencoba mengambilnya tapi Naruto menendang pelan kakiku untuk mengalihkan perhatianku.

"Hah. . . .hmm. . ."

Naruto menyodorkan gayung berisi airnya padaku.

"Terima kasih"

Aku langsung mencoba meraih benda itu, tapi sekali lagi. Sepertinya ada yang punya hobi untuk melihatku kesusahan dan tanpa sengaja menyenggol benda itu sampai jatuh. Membuat Naruto langsung memberikan tatapan yang sepertinya 'kau ingin mengajak ribut ya?'

"Maaf, aku tidak sengaja"

"Mnghh, sekarang diam di situ!"

Dia mengatakannya dengan sangat serius sampai aku secara reflex hanya mengangguk pada perintahnya. Lalu, begitu dia melihatku tidak mau melawan dia langsung mengambil kembali gayungnya dan mengisinya sampai penuh. Setelah itu, dia mendekatiku dan mulai mencuci mukaku dengan tangannya.

"Mmm. . .aku bisa mewwlakukannya sendiri"

"Aku bilang diam!"

Dicuci mukanya oleh orang lain bukanlah pengalaman baru bagiku, tapi entah itu pelayanku ataupun Ibuku. Mereka melakukannya dengan hati-hati. Tidak seperti anak laki-laki ini. Hidung dan pipiku benar-benar terasa sakit. Yang tidak mengejutkan mengingat dia meremas-remas wajahku layaknya seperti orang yang sedang membuat adonan roti. Tentu saja aku mencoba melawan dan mendorong badannya, tapi usahaku tidak ada pengaruhnya.

"Ok, selesai!"

Begitu dia melepaskan wajahku, aku langsung mundur dan menjauh darinya. Kemudian aku juga tidak lupa menunjukan kemarahanku pada nya, hanya saja sebab ada sedikit air mata yang keluar yang bisa kutunjukan padanya hanyalah wajah seorang anak kecil yang sepertinya akan menangis.

". . . ."

Aghhh. . . .

Sekarang malah dia melihatku dengan mata kasihan.

Aku tidak peduli lagi, aku ingin pergi dari sini. Yang dia berhasil remas bukan hanya pipiku, tapi juga harga diriku. Diberi tatapan kasihan oleh seorang anak kecil yang umur mentalnya hampir dua kali di bawahku terasa agak menyakitkan. Oleh sebab itulah aku memutuskan untuk buru-buru meninggalkannya dan mengalihkan perhatianku dari Naruto.

"Tunggu dulu!"

Tapi sekali lagi, dengan mudahnya dia menangkapku. Untuk jaga-jaga, aku menempelkan tanganku di atas pipiku bersiap kalau-kalau dia akan meremasnya lagi.

". .apa?"

"Hari ini aku akan memulai kelas, bersiap dan ke ruang tamu nanti jam sembilan"

"Um . .aku baiklah"

"Bagus"

Setelah itu, Naruto meninggalkanku.

Meninggalkanku yang baru saja ingat kalau hari ini aku sudah punya rencana. Begitu aku menyadari hal itu, aku langsung berlari mencari Sasuke memintanya membantuku menjelaskan situasi kami pada Naruto nanti. Yakin kalau hal itu adalah langkah terbaik yang ada di dunia.

3

"Aku mengajakmu duel"

"Hah?"

Begitu aku kembali dari menyiapkan barang-barangku untuk pergi, tiba-tiba aku menemukan Sasuke dan Naruto yang sedang adu argumen dan untuk suatu alasan akan melakukan duel.

"Sasuke apa yang terjadi?"

Setelah didekati oleh Hanabi, Sasuke menjelaskan apa yang terjadi.

Awalnya Sasuke datang untuk memberitahukan Naruto kalau sebelumnya kamis sudah punya rencana. Tapi begitu Naruto tahu rencana apa yang Sasuke miliki, dia memutuskan kalau kami bahkan tidak perlu pergi sebab tugas mereka adalah belajar.

Sasuke tidak menyerah dan menjelaskan keadaan teritori mereka kepada Naruto berharap agar anak laki-laki itu mau mengerti. Tapi sekali lagi, Naruto memberitahukan kalau memikirkan apa yang terjadi pada teritori mereka bukanlah tugasnya dan mereka hanya akan mengganggu pekerjaan orang lain.

Setelah Naruto selesai memberikan pendapatnya, kali ini ganti Sasuke yang bertanya pada Naruto. Dia menanyakan apa yang ingin dia ajarkan padaku sambil memberikan nasihat kalau mengajari mereka hal dasar sama sekali tidak ada gunanya. Mengingat dia yakin kalau aku bahkan lebih pintar dari Naruto.

Membuat Naruto, yang tidak terima dianggap lebih bodoh dari anak yang bahka belum enam tahun. Mengajak Sasuke berduel untuk memutuskan siapa yang pendapatnya benar.

Sasuke melihat ke arahku. Menurutinya, aku mencoba untuk menenangkannya.

"Bukannya aku ingin meremehkanmu kak Naruto, tapi jujur saja kau bukan tandingan Sasuke"

Tapi dengan kalimat yang salah.

"K. . kau. . . "

Dilihat dari kepercayaan diri anak laki-laki itu, aku yakin kalau setidaknya Naruto punya latar belakang bela diri yang cukup. Tapi sayangnya, dia tidak bisa melihat kalau ada anak laki-laki sumuran Sasuke normal yang punya skill bertarung setinggi dia. Selain itu, dilihat dari manapun Naruto bukanlah tipe orang yang spesialisasinya bertarung. Stats Sasuke terlalu tinggi sampai duel mereka tidak akan adil bagi Naruto.

Aku sama sekali tidak bisa melihat prospek kemenangan Naruto sedikitpun.

Oleh sebab itulah aku menganjurkan agar anak laki-laki itu berhenti meski harus menyakiti hatinya.

"Aku tidak mau mendengar komentar itu darimu"

Sama seperti orang yang tidak mau dibilang bodoh oleh orang bodoh. Naruto juga tidak mau dianggap lemah oleh orang yang lebih lemah darinya. Rasa khawatir yang kutunjukan bukan hanya membuat Naruto merasa semakin diremehkan, tapi juga membuat kepala anak laki-laki itu semakin dibakar rasa marah.

Yang tentu saja bisa kupahami. Kalau aku ada di posisinya, aku mungkin akan memberikan reaksi yang sama.

". . . "

". . . "

Aku dan Sasuke melihat satu sama lain, kami tidak bisa menebak kenapa Naruto selalu seperti ingin mengajak bermusuhan dengan mereka, selalu berpikir kalau mereka merendahkannya, dan bersikap keras kepala meski hal itu tidak logis.

"Bagaimana Sasuke?"

Aku sudah tidak tahu harus melakukan apa. Dia yakin kalau Naruto adalah anak pintar, ayahnya tidak akan mengirimkan orang bodoh untuk jadi gurunya. Tapi untuk suatu alasan, anak laki-laki itu tidak mau mendengarkan apa yang Hanabi dan Sasuke katakan dan bersikeras untuk mendorong agendanya sendiri.

Apa bisa memanggil ibuku, tapi. . . .

"Tidak ada pilihan lain, aku menerima tantanganmu, sepertinya kepalamu perlu sedikit didinginkan"

Di dalam budaya bangsawan, duel sendiri bukanlah sesuatu yang asing. Jika ada dua pihak yang tidak lagi bisa menggunakan kata-kata untuk menyelesaikan masalah mereka dan keduanya tidak bisa berkompromi. Mereka bisa menyelesaikannya dengan duel.

Sebab duel tidak bisa diwakilkan oleh siapapun, metode penyelesaian masalah itu sangat jarang digunakan. Tapi meski begitu, duel sendiri bahkan ada di dalam salah satu bagian dari undang-undang hukum Konoha.

Atau, begitulah yang sempat kudengar dari Sasuke.

"Baguslah! sekarang ke belakang!"

Tidak aku, tidak Sasuke, ingin menyelesaikan masalah kami dengan kekerasan. Tapi sepertinya mereka benar-benar tidak punya pilihan lain. Kalaupun ibuku bisa memaksa keduanya untuk berbaikan, aku yakin kalau Naruto hanya akan menyimpan dendam. Karena itulah, kami mengikuti Naruto ke taman di belakang rumah Hanabi supaya mereka tidak mengganggu orang lain.

Tidak lama kemudian, mereka semua sampai di tempat duel.

"Apa kau sudah siap?"

"Tentu saja"

Naruto mengambil posisi diikuti oleh Sasuke yang juga mengambil posisi di depannya. Setelah itu, keduanya memasang kuda-kuda yang dari posisinya punya fundamental yang bertolak belakang. Menunjukan perbedaan yang mencolok antara fokus dari gaya bertarung antara Kiri dan Konoha.

Sasuke menggunakan gaya militer standar dengan kedua tangannya berada di samping dadanya. Gaya bela diri yang fokus pada serangan cepat akurat yang bisa mengakhiri pertarungan dalam satu gerakan. Sedangkan Naruto, memposisikan tangan kanannya di depan wajahnya dan tangan kirinya di pinggangnya. Sebuah kuda-kuda yang dibentuk dengan fokus menangkis serangan awal musuh lalu memberikan counter sebelum lawan bisa bereaksi.

Di sana tidak ada wasit, jadi Sasuke dan Naruto setuju untuk membiarkanu untuk jadi hakim.

"Duel berakhir saat ada yang menyerah atau tidak bisa lagi lanjut, melukai wajah, tenggorokan, ulu hati, dan selangkangan dilarang, kalian paham?"

Keduanya mengangguk.

"Siap? Mulai!"

Sasuke langsung melakukan pukulan cepat ke arah pundak Naruto, hanya saja kedua tangannya tidak mengepal sebab yang dia ingin lakukan adalah meraih tubuh anak laki-laki di depannya. Dia ingin mengakhiri duel itu dengan mengunci pergerakan Naruto.

". . . "

Di saat-saat terakhir Naruto berhasil memiringkan badannya dan menyelipkan tangannya di antara lengan Sasuke. Membuat anak laki-laki itu gagal merengkuh pundaknya.

"Kau lumayan juga."

Sasuke yang melihat Naruto masih memasang muka tenang secara jujur memuji anak laki-laki di depannya. Dasar dari bela diri Konoha adalah seseorang mengalahkan musuh dengan sekali serang. Dengan kata lain, strategi orang Konoha adalah langsung mengeluarkan kartu as di awal ronde. Dan Naruto baru saja menghindari kartu as itu.

". . . . . ."

Naruto memasang wajah tenang, tapi dari satu serangan itu saja dia paham kalau kemampuan Sasuke jauh berada di atasnya. Serangan pertama anak laki-laki itu bisa dihindari adalah karena dia tidak serius melukai Naruto.

Dia paham kalau sepertinya dia baru saja meremehkan seseorang yang ada di atasnya. Tapi hal itu bukan alasan yang dia bisa pakai untuk mundur. Tidak, dia tidak ingin menyerah bahkan sebelum mencoba. Oleh sebab itulah, dia memutuskan untuk maju.

"Haaa!"

Lalu dengan terang-terangan mengincar wajah Sasuke dengan tinjunya.

"Terlalu jelas"

Dan seperti yang Naruto duga, Sasuke dengan mudah menangkis serangan itu.

Tapi Serangan Naruto belum berakhir. Memanfaatkan energi kinetik dari pukulannya, Naruto dengan cepat memutar badannya dan kembali melepaskan pukulan keduanya ke arah ulu hati Sasuke. Yang sekali lagi juga ditangkis dengan mudah. Dan sekali lagi juga, Naruto kembali memutar badannya, hanya saja. Kali ini dia menyapu kaki Sasuke dengan tendangannya.

"Sudah kubilang terlalu jelas!"

Sasuke memiringkan badannya ke depan lalu menggunakan kaki kirinya sebagai jangkar sebelum memutar kuda-kudanya balas memberikan tendangan ke arah kaki Naruto. Membuat serangan anak laki-laki di depannya kembali gagal.

"Trik dari buku tidak akan mempan padaku"

Apa yang coba Naruto lakukan adalah trik dasar bela diri. Mengalihkan perhatian dengan serangan mencolok lalu menyapu kuda-kuda lawan dan menjatuhkannya sebelum memberikan serangan telak di akhirnya. Hanya saja, meski kau tahu akan hal itu melakukan counter dalam timing yang pas bukanlah sesuatu yang orang biasa bisa lakukan dengan mudah.

"Selain itu, bukannya dari tadi kau melanggar peraturan?"

"Peraturan yang mana?"

"Jangan pura-pura lupa! Hanabi!"

Sasuke melihat ke arahku untuk memastikan aturan dari duelnya dengan Naruto sekali lagi. Hanya saja, jawaban yang didapatkannya jauh dari yang dia harapkan.

"Maafkan aku Sasuke, tapi Naruto tidak melanggar aturan"

Atau lebih tepatnya, dia belum melanggar aturan.

"Hah?"

Aturan yang kami buat adalah diskualifikasi saat ada yang melukai area-area tertentu dari lawannya. Tapi dia sendiri lupa tidak mengatakan kalau mengincar bagian-bagian terlarang itu adalah sebuah pelanggaran. Dengan kata lain, sebelum benar-benar ada yang terluka. Seseorang tidak bisa didiskualifikasi dari duel.

"Kau dengar sendiri kan? aku tidak melanggar peraturan"

"Geh. . . Akan kuakui kalau kau pintar"

Mencari loophole dalam sebuah peraturan adalah juga salah satu dasar dalam melakukan negosiasi. Sama seperti mengalihkan perhatian musuh juga adalah sebuah dasar dalam sebuah pertarungan.

Dan berhubung Naruto sadar kalau dia tidak mungkin bisa mengalahkan Sasuke dengan pertarungan langsung yang jujur. Mau tidak mau dia harus menggunakan trik kotor bahkan hanya untuk bisa tetap berkompetisi.

Jujur, aku kagum padanya bisa memikirkan semua itu dalam waktu yang sesempit ini.

Dengan begitu, dimulailah pertarungan tersulit Sasuke sampai hari itu.

Sasuke merasa kalau menang dengan membiarkan Naruto menyerang area terlarangnya akan memberi anak laki-laki itu pelajaran yang salah. Oleh sebab itulah, dia bertahan dan menangkis semua serangan yang jika dia biarkan sebenarnya akan membuat Naruto terdiskualifikasi.

Di saat yang sama Sasuke merasa kalau kekuatannya, reflex serta kecepatan gerakannya tidak jauh berbeda darinya. Yang menandakan kalau. .

"Kau juga punya magic huh"

Dia ingin menyerang balik, tapi menyerang Naruto hampir sama saja dengan berjalan ke ladang ranjau sebab anak laki-laki itu secara literal menggunakan kepala dan badannya sebagai tameng. Sedikit saja Sasuke salah bergerak maka dialah yang akan didiskualifikasi.

Sasuke sadar kalau kelemahannya sedang dieksploitasi. Keinginannya untuk tidak melukai Naruto anak itu gunakan sebagai senjatanya. Dia sadar kalau duel mereka sudah dikotori dengan trik lick Naruto. Tapi meski begitu, dia tidak bisa membenci lawannya sebab mau tidak mau dia harus mengakui kalau pertama. . .

Strategi Naruto itu valid dan efektif. Dalam pertarungan yang sesungguhnya, kau harus bisa memanfaatkan apapun yang kau punya. Apalagi kalau lawanmu lebih baik darimu dalam segala hal. Membuat Sasuke sadar, kalau dia perlu lebih fleksibel dalam bertarung.

Tidak, apa yang Naruto lakukan sudah mengubah duel ini dari sebuah pertarungan menjadi pertandingan.

Kedua, Tidak semua orang bisa meniru strategi Naruto. Untuk bisa melakukannya kau perlu memiliki keberanian untuk secara literal mengorbankan wajahnya untuk dipukul musuh, Satu kesalahan saja dan kau bisa kena cedera parah. Dan Sasuke mengagumi keberanian itu.

Kemudian yang terakhir. Selain keberanian Naruto juga harus memiliki satu hal penting lain untuk membuat strateginya bekerja.

Naruto harus percaya akan skill Sasuke. Dia harus percaya kalau Sasuke akan mampu menghentikan serangannya di di saat-saat terakhir. Membuat duel ini jadi sesuatu yang lebih dari sekedar cara mereka menyelesaikan konflik. Saat ini, duel mereka sudah jadi medium mereka untuk berkomunikasi.

"Bersiaplah"

Jika mereka sedang berlatih Sasuke tidak keberatan lebih lama bertarung dengan Naruto. Tapi sayangnya, hari ini jadwalnya padat dan dia perlu buru-buru menyelesaikan duel mereka.

"Apa kau sudah menyerah?"

Sasuke tidak menjawab dan hanya menatap Naruto dengan pandangan serius. Menandakan kalau dia tidak ingin bermain-main lagi. Kali ini, dia akan melakukan serangan tackle tanpa trik maupun teknik dengan terang-terangan. Jika Sasuke menang, dia akan mengajari Naruto untuk lebih flexible. Lalu, jika dia kalah maka dialah yang harus mulai jadi flexible.

"Maju!"

Naruto dan Sasuke mengambil posisi, lalu dengan cepat keduanyapun berlari ke arah satu sama lain.

Jika mereka menabrakan diri seperti itu secara langsung, bisa dipastikan kalau Sasuke Lah Yang akan menang mengingat dia yang punya kecepatan lebih tinggi. Tapi tentu saja, Naruto tidak akan membiarkan hal itu begitu saja.

Begitu jarak mereka sudah dekat, Naruto menghentikan gerakannya lalu membiarkan Sasuke menabrak tubuhnya. Bukan hanya itu, dia menangkap tubuh Sasuke dengan memeluknya kemudian memberikan dorongan pada dirinya sendiri ke arah belakang. Kemudian, dengan bantuan energi kinetik yang Sasuke berikan diapun membawa tubuh mereka berdua melompat ke tanah.

Setelah itu, saat mereka sedikit melayang di udara Naruto memutar badannya dan memposisikan tubuh Sasuke di bawahnya. Yang membuat gerakannya langsung terkunci begitu mereka kembali jatuh ke tanah.

"Wa. . . ."

Sasuke tidak pernah mengira kalau Naruto akan menggunakan supplex untuk menyerang baliknya. Bahkan saking terkejutnya, dia sampai dia terlambat bereaksi. Membuat duel mereka berakhir dengan kekalahannya.

"Aku menang, itu berarti kalian harus menuruti jadwalku! paham?"

Aku yang menjadi wasit bahkan sampai lupa tugasku dan dengan naturalnya bertepuk tangan. Bagaimana tidak, dia berhasil menang melawan semua statistik yang memojokannya dengan kecerdasannya.

". . .Ya"

2

Entah itu Hanabi maupun Sasuke, mereka tidak suka dengan fakta kalau rencana mereka jadi berantakan. Tapi setelah melihat seberapa kerasnya Naruto berusaha, merekapun merasakan sedikit empati untuk anak laki-laki itu. Keduanya bahkan dengan terang-terangan memuji keberanian Naruto dan tekniknya, membuat anak laki-laki itu sempat semakin naik kepala.

Rasa bangganya itu terus melambung tinggi sampai setengah jam kemudian, semua rasa bangga itu jatuh ke dengan kerasnya sampai hancur berkeping-keping.

Brak.

Naruto menggebrak meja di depannya dengan keras. Sangat keras bahkan sampai dia merasa tangannya agak sakit. Tapi daripada tangannya, ada bagian lain dari dirinya yang merasa lebih sakit.

Harga dirinya. Atau lebih tepatnya, gengsinya.

Mulai dari sejak pertama dia bisa mengingat sampai sekarang, semua orang menjulukinya sebagai anak jenius yang hanya lahir seratus tahun sekali. Dan meski awalnya dia tidak terlalu memperdulikan anggapan orang lain tentangnya, tapi lama-kelamaan stigma yang banyak orang sering tempelkan padanya itu mulai mengakar di dalam dirinya. Membuatnya pelan-pelan percaya, kalau dia itu memang jenius, hebat, dan spesial.

Tentu saja, pujian-pujian yang diterima Naruto dari orang-orang di sekitarnya sama sekali bukan kebohongan. Dan reaksi Naruto yang jadi sedikit besar kepala adalah sesuatu yang normal untuk anak-anak seumurannya. Lalu, sebab dia memang sudah berusaha keras. Mendapatkan sedikit pujian dari sana-sini juga bukan sebuah hal yang perlu dipermasalahkan.

Hanya saja, ayahnya adalah seseorang yang punya kepribadian agak merepotkan. Dia adalah tipe orang yang suka membuli orang yang sukai atau anggap menarik. Jika kau bertingkah pintar di depannya, dia akan terus-terusan memberimu masalah yang memerlukan otakmu untuk diselesaikan. Jika kau bertingkah kuat, dia akan membuat masalah yang solusinya hanya dengan baku hantam. Dan jika kau bertingkah seperti orang yang bisa melakukan apa saja, dia akan melemparkan berbagai macam cobaan layaknya dewa yang sedang mengetes kesetiaan pemujanya.

"Ah. . .aku merasa seperti orang idiot"

Ayah Naruto merasa kalau pendidikan anaknya di negaranya sendiri sudah tidak lagi memadai. Bukannya kualitas mereka tidak bagus, tapi Naruto perlu hal lain untuk dipelajari. Dan hal itu sama sekali tidak bisa dipelajari jika dia terus mendekam di satu tempat saja ketika dia berencana untuk membuat anak laki-lakinya itu mewarisi posisinya di masa depan.

Anaknya butuh pandangan yang lebih luas, oleh sebab itulah dia mengajak Naruto ke Konoha dan memasukkannya ke sekolah bangsawannya. Yang sejujurnya lumayan mengecewakan levelnya. Untung saja dia mendengar berita kalau ada dua orang anak jenius yang karena masalah politik terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Dan beruntungnya lagi, mereka adalah anak dari kenalannya.

Tanpa ragu, dia memutuskan untuk mengambil pekerjaan itu dan menyuruh Naruto untuk menjadi guru mereka dengan bantuan dari sedikit provokasi yang saking efektifnya. Sampai membuat Naruto bahkan tidak menyukai muridnya sebelum mereka bertemu.

"Ahahaha. . .dunia ini benar-benar luas"

Naruto mengatakan kalimat itu dengan mata yang kelihatan seperti ikan mati.

"Apa kau tidak apa-apa kak Naruto?"

Hanabi bertanya dengan nada khawatir, dia merasa kalau ada sesuatu di kepala anak laki-laki itu yang baru saja rusak. Bukan hanya aura permusuhannya tiba-tiba hilang, tapi dia juga merasa kalau kepercayaan diri anak laki-laki untuk suatu sepertinya baru saja luntur.

"Jangan pikirkan aku"

Test yang diberikan oleh Naruto dipenuhi dengan soal dari banyak kategori dan level. Mulai dari sesuatu yang dasar sampai soal yang menanyakan tentang hal-hal yang konsepnya masih bahkan masih abstrak untuk dirinya sendiri. Soal-soal yang dia buat untuk menentukan seberapa kompetennya mereka.

Tapi apa yang dia dapatkan hanyalah fakta kalau sepertinya yang kekompetenannya perlu dipertanyakan adalah dirinya sendiri.

Ayahnya sudah bilang kalau keduanya itu bukan orang biasa, jadi dia sama sekali tidak terkejut ketika soal basic dan soal level medium bisa mereka selesaikan dengan mudah. Yang membuatnya sangat terkejut adalah, fakta kalau Sasuke dan Hanabi baru saja membuat rumus baru secara sambil lalu.

Sasuke dan Hanabi tidak bisa menjawab semua soal yang Naruto berikan, tapi soal yang mereka bisa jawab. Semuanya berisi detail yang bahkan Naruto tidak bisa pikirkan.

Naruto mengira kalau Sasuke hanya jenius dalam masalah bela diri, tapi anak laki-laki itu ternyata jauh dari yang namanya bodoh. Untuk suatu alasan dia bukan hanya menguasai menguasai fisika, kategori ilmu pengetahuan yang baru saja diakui keberadaannya oleh negaranya. Tapi juga tahu tentang hal-hal yang banyak peneliti di negaranya bahkan belum mulai pikirkan seperti hubungan antara magnet dan listrik.

Kemudian Hanabi. Bocah yang umurnya bahkan belum genap enam tahun itu juga untuk suatu alasan, bukan hanya menguasai tapi punya kemampuan untuk membuat konsep ekonomi yang Naruto tidak bisa bayangkan sebelumnya. Jika ada yang bilang kalau Hanabi datang dari masa depan, Naruto akan bisa mempercayainya dengan mudah.

"Sasuke? apa yang kau lakukan? jangan melakukan hal yang aneh-aneh"

"Harusnya aku yang bilang begitu! apa yang kau tulis di lembar jawabanmu? kau tidak menulis yang aneh-aneh kan?"

Naruto mendengar Sasuke dan Hanabi saling menyalahkan siapa yang jadi penyebab perubahan sikapnya. Dan hal itu membuatnya merasa benar-benar kesal, bukan karena suara berisik yang mereka buat. Melainkan karena keduanya tidak sadar kalau dua-duanya sama-sama anehnya.

"Diam!"

Keduanya langsung diam dan mengalihkan perhatian mereka pada Naruto.

"Bagus, sekarang dengarkan aku baik-baik"

"Ya"

"Ya"

Keduanya menjawab dengan serentak. Setelah itu Naruto menarik nafas dalam dan menutup matanya, lalu. Setelah menunggu beberapa saat dia menunduk dan bilang. .

"Maafkan aku sudah bertingkah buruk pada kalian, aku harap kalian bisa memaafkanku"

Naruto adalah seorang anak yang pintar, tapi levelnya memang hanyalah ada pada taraf itu. Seseorang yang pintar dalam banyak hal. Bukan jenius yang kemampuan spesialnya punya level yang tidak bisa diukur. Dia sempat berhalusinasi kalau dia itu spesial, tapi begitu melihat apa yang bisa dilakukan oleh Naruto dan Sasuke. Dia sadar kalau dia hanyalah orang biasa, seseorang yang normal. Naruto tidak mempunyai sesuatu yang spesial, sesuatu yang hanya dia yang punya.

Dengan kata lain, dia tidak punya alasan untuk merasa sombong, dia tidak punya hak untuk sombong atas kemampuannya sendiri. Sebab kemampuannya, sebenarnya hanya biasa-biasa saja.

"Te-tentu saja, aku memaafkan kak Naruto"

"Hm. . . setelah kalah darimu aku paham kalau aku masih perlu belajar banyak"

Sasuke dan Hanabi sempat kaget dengan perubahan Naruto, tapi sebab mereka melihat perubahan anak laki-laki itu menuju ke arah yang lebih baik. Keduanya dengan senang hati memaafkan tindakan-tindakan menjengkelkan Naruto tanpa banyak berpikir. Selain itu, setelah mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Naruto, mereka juga akhirnya paham kalau mereka masih perlu mempelajari banyak hal tentang dunia di mana mereka berada.

Contohnya, mereka bahkan tidak tahu kalau sebagian besar bahan makanan yang mereka dapatkan bukanlah produk Konoha melainkan hasil import dari negara lain dan kiriman dari teritori terjauhnya. Mereka juga baru tahu, kalau kebanyakan bansgawan Konoha tidak ingin membuat usaha pertanian di teritori mereka sebab industri itu dianggap 'pekerjaan orang rendahan' dan masih banyak lagi.

Selama ini mereka mencoba membangun bisnis tanpa tahu apapun dan hanya berharap kalau tembakan mereka akan mengenai sesuatu dan mereka bisa sukses. Tapi jika mereka punya lebih banyak pengetahuan lagi, mereka bisa membuat rencana yang lebih konkrit dan kesempatan berhasilnya jauh lebih besar.

Mereka merasa kalau keberadaan Naruto mungkin adalah kunci untuk menyelesaikan masalah mereka.

"Terima kasih, hanya saja sebab aku punya tugas sebagai seorang guru, aku tetap harus mengajari kalian sesuatu"

Tentu saja jika Naruto harus mencari sesuatu untuk diajarkan pada Hanabi dan Sasuke, akan susah kalau dia memeriksanya dari daftar hal yang mereka bisa. Sebab dia yakin, daftarnya akan panjang. Karena itulah, dia akan mencari apa yang mereka tidak tahu dulu sebelum memutuskan apa yang akan dia ajarkan pada keduanya.

"Jadi?"

Hanabi menanyakan apa yang Naruto maksud.

"Artinya. . mulai hari ini aku yang akan mengikuti jadwal kalian"

Sasuke dan Hanabi melihat satu sama lain kemudian tersenyum. Sepertinya mereka baru saja mendapatkan teman baru dalam perjuangan mereka bahkan tanpa perlu merekrutnya. Dan mereka berharap, kalau yang mereka dapatkan bukanlah hanya seorang partner bisnis, melainkan sesuatu yang lebih. Oleh sebab itulah, mereka bilang. . .

"Selamat datang di keluarga Kanna"

"Selamat datang di keluarga Kanna"

Pada anggota keluarga baru mereka.

Ayahnya bilang kalau kau mengajari seseorang, sebaliknya kau juga akan diajari sesuatu oleh orang itu. Baik itu sengaja atau tidak. Dan Naruto yakin, kalau kedua orang yang ada di depannya itu akan memberinya pelajaran yang tidak akan bisa dia dapatkan di manapun.

Saat ini dia tidak tahu apa spesialisasi yang dia miliki, tapi dia akan terus mencarinya sampai dia bisa menemukan sesuatu yang bisa dia bilang dengan percaya diri. Kalau tidak ada orang yang lebih hebat dari dirinya dalam bidang itu.

Hari itu, keduanya memutuskan untuk melanjutkan rencana awal mereka untuk melakukan market research sambil menyeret Naruto kesana-kemari. Dan di hari itu pula, Naruto menyadari kalau sepertinya bakat tersembunyinya sangat jauh dari masalah akademi.

Bakat yang membuatnya diberi julukan Bleak Knight di masa depan.


Terima kasih