Bumble Trouble 06
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s), lemon!
.
.
.
"Di... Di sini?"
Hinata tak percaya momen ini akan kembali datang. Malam. Gaara. Mobil. Ciuman. Dalam hati ia terbingung dengan apa pentingnya sebuah ciuman. "Iya."
"Tapi bukankah ini ter–"
"See?" Gaara memotong ucapan Hinata. "Kau memang tidak bisa."
"Bagaimana jika ada yang melihat?"
"Tidak akan ada yang melihat."
Hinata terdiam. Lelaki jade menatap tajam padanya, menguarkan aura dominan yang membuat Hinata menciut. Hinata merasa terdesak. Oleh Gaara dan oleh perasaannya sendiri. Seharusnya tidak begini, sebagian dari diri Hinata memintanya untuk berhenti. Sedangkan dirinya yang lain penasaran dan takut dengan reaksi yang akan terjadi jika ia berhenti.
Perlahan Hinata bergerak ragu. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Gaara. Diliriknya bibir agak kering milik Gaara. Detik-detik akhir untuk berhenti. Hinata seharusnya berbalik.
Cup
Hinata menempelkan bibirnya singkat pada bibir Gaara. Benar-benar singkat hingga Hinata merasa tak terjadi apa-apa. Agak mundur, ia memerhatikan raut wajah Gaara. Saat kelopak mata pria merah itu terbuka, Hinata bisa melihat senyum tipis yang Gaara sunggingkan. Rasanya Hinata tidak mau memikirkan apa-apa. Ia ingin duduk dan tiba-tiba sampai di depan flat.
"Hmp?!"
Ketika akan memundurkan tubuhnya, Hinata bisa merasakan lengannya ditarik. Kejadiannya kembali terjadi dengan cepat. Kali ini Gaara yang menciumnya. Hinata masih termangu dengan bola mata sedikit terbuka. Tapi, ketika ia merasakan sesuatu yang basah menyentuh bibirnya, Hinata putuskan untuk tidak memikirkan apa-apa.
Ciumannya disambut. Si perempuan indigo ikut menutup kelopak matanya. Sisi gelapnya menjadi dominan. Hinata ingin menjadi egois untuk sesaat.
Hinata membuka mulutnya, memberikan akses pada Gaara untuk menyesapi bibir bawahnya. Suara decakan-decakan kecil terdengar. Kedua bibir itu mulai memagut lebih dalam lagi.
"Hhhh"
Suara deru napas berat terdengar di sela ciuman. Semakin larut, tangan Gaara mulai bergerak. Membelai pipi Hinata sedikit tergesa hingga menarik tengkuknya semakin mendekat. Pelan-pelan tangannya mulai turun. Memberi sentuhan dan remasan ringan pada bahu, lengan, dan jari Hinata. Hingga entah bagaimana tangan lelaki itu sampai pada dengkul Hinata.
Tentu saja Hinata sadar. Meskipun dimabuk oleh lidah Gaara yang sibuk menjelajahi mulutnya, Hinata bisa merasakan tangan yang meraba-raba pahanya. Dikiranya celana jeans bisa menjadi penghalang, nyatanya saat merasakan sentuhan di pangkal pahanya, Hinata berpikir untuk berhenti.
"Gaa–"
Sempat memutus ciuman, Hinata kembali ditarik oleh Gaara. Lelaki itu bahkan sempat menggigit pelan bawah bibirnya. Satu tangannya menahan kepala Hinata sedangkan tangannya yang lain mendorong punggung Hinata agar semakin mendekat.
"Hnh"
Desahan kecil terdengar ketika tubuh Hinata menempel dengan Gaara. Posisi tubuhnya yang menyamping membuat Gaara semakin leluasa untuk meraba, meremas pantatnya yang terbalut jeans ketat. Tepat saat Gaara menariknya untuk berpindah kursi, Hinata berhenti.
"Aku..." Hinata menahan tubuh Gaara semampu yang ia bisa. "Kita harus pulang."
Hinata tidak yakin jika ucapannya bisa membuat Gaara berhenti. Selama beberapa detik mereka kembali bertatapan. Pemilik iris jade itu benar-benar tidak bisa diterka. "Oke." Akhirnya Gaara berkata singkat sebelum menarik dirinya dan bersiap melajukan mobil.
Sepanjang jalan rasanya canggung. Hinata tidak berani memulai topik obrolan. Tapi, mungkin hanya ia yang merasa begitu. Di sampingnya Gaara jauh terlihat lebih damai. Bahkan lelaki itu terus menggenggam tangannya sambil mengemudi. Sesekali Hinata bisa merasakan tangannya ditarik dan dikecup singkat oleh Gaara. Diam-diam ia mengagumi kemampuan pria itu untuk mengemudi dengan satu tangannya.
"Terima kasih, Hinata."
Gaara memulai obrolan saat mereka tiba di depan gerbang flat. Masih sambil menggenggam tangan Hinata, senyuman tipis tersungging di wajahnya.
"Aku semakin yakin."
Hinata mengenyit singkat. "Terima kasih sudah menjelaskannya padaku. Masuklah. Kau pasti lelah." Dalam hati Hinata ingin membantah. Seingatnya ia merasa biasa saja. Namun, Hinata sudah memutuskan untuk tidak berpikir. Jadi, ia segera turun tanpa berdebat.
"Selamat istirahat, cantik."
.
.
"Selamat malam, Hinata."
Rasanya seperti baru kemarin Hinata dibuat pusing, bimbang, takut, dan berdebar oleh seorang pria jangkung dengan surai merah. Dua hari setelahnya ia pergi bersama laki-laki jangkung lain yang menyapanya di jalan raya depan mall Shibuya.
"Malam, Sasuke-san."
Hinata merasa canggung sendiri. Ia tahu ini baru pertemuan keduanya dengan lelaki bernama Sasuke. Tapi karena semua hal yang terjadi akhir-akhir ini, tiba-tiba perasaan menyesal muncul di benaknya. Haruskah Hinata membatalkan janjiannya?
"Bagaimana kabarmu? Seingatku sebelumnya kau bilang akan sibuk selama seminggu."
Sasuke memulai percakapan di dalam mobil. Sudah dua minggu. Hinata bahkan lupa suara berat khas lelaki raven itu.
"Baik. Bagaimana denganmu, Sasuke-san?"
"Aku juga baik."
"Syukurlah." Hinata tersenyum singkat. Hari ini ia kembali memakai kacamata bacanya. Dengan rambut terurai, rok selutut, dan kemeja berwarna biru langit, Hinata memerhatikan Sasuke yang juga masih memakai balutan kemejanya.
"Karena kau bilang tidak ingin makan malam seperti sebelumnya, ada ide tempat yang bisa dikunjungi?" Sasuke melirik-lirik singkat. Meskipun ia sudah mulai melajukan mobilnya di jalanan Shibuya, Sasuke masih tidak tahu akan ke mana.
"Jam segini, ya?" Hinata melihat layar gawai yang menunjukkan pukul setengah sebelas malam, seperti waktu itu. "Dessert?"
Sasuke terlihat berpikir sebentar. Postur tubuhnya yang tegak saat mengemudi menjadi perhatian Hinata. "Aku hanya tahu sebuah bar yang menjual kue dekat sini. Mau coba ke sana?"
"Boleh."
Hinata kira ia akan mengunjungi bar 'normal' yang dulu beberapa kali pernah ia kunjungi bersama Ino dan Toneri. Tapi ternyata dia belum setahu itu tentang Tokyo. Bagaimana bisa ada sebuah bar besar tersembunyi di perbatasan Shibuya dan Meguro?
"Kau sudah memilihnya?"
Sedikit terkejut, Hinata yang sedang asik melihat etalase kue segera menegakkan tubuhnya. "Ini dan ini?" Hinata menunjuk kue ragu-ragu. Padahal seingatnya ia sudah berusaha menjaga imej agar tidak terkesan rakus.
Sasuke tak banyak menanggapi. Ia langsung menyampaikannya pada pelayan yang sudah menyambut mereka sejak masuk. Merasa sedang tidak ingin mabuk, Hinata memesan mocktail segar untuk mendampingi makanannya.
Satu potong sacher torte dan satu porsi paris brest. Hinata menatap takjub makanan yang tersaji di depannya. Saking semangatnya Hinata bahkan segera menyantapnya begitu pelayan pergi, "Selamat makan!"
Satu suap, dua suap. Hinata menikmati lelehan coklat dari sacher torte yang dimakannya. Mengangguk-angguk dengan spontan, Hinata baru tersadar saat melirik Sasuke.
"Sasuke-san tidak makan?"
Entah tidak memerhatikan atau apa, Hinata bahkan baru sadar jika pria itu hanya memesan secangkir teh ocha.
"Tidak." Sasuke menjawab santai sembari menikmati tehnya. Tetapi jawabannya seperti tidak memuaskan seseorang. Dari ujung pandangannya, ia bisa melihat Hinata yang terlihat meragu. Merasa ada yang salah, Sasuke meletakkan cangkir teh dan mengambil garpu lain dari piring paris brest.
"Aku akan mencicipinya saja."
Hinata memerhatikan Sasuke yang mengambil sedikit potongan sacher torte. Tanpa sadar ia menatap lekat-lekat. Padahal bukan ia yang memasak.
"Enak." Sasuke berkata usai menelan kue. "Habiskan saja. Aku terlalu banyak makan saat makan malam tadi." Lelaki itu menaruh garpu ke sisi piring lagi. Di seberangnya Hinata masih terlihat sedikit meragu. Namun, Sasuke tersenyum lembut dan menganguk singkat.
Seperti anak kecil yang diberi izin, Hinata kembali menyantap kue dengan semangat. Wajahnya yang berbinar tiap mengunyah mengundang senyum yang tak disadarinya.
"Oh ya, kau bilang sedang sibuk dengan tugas akhirmu. Bagaimana perkembangannya?" Sasuke kembali memulai obrolan. Mengundang Hinata kembali bercerita di sela-sela kegiatan makannya.
"Sasuke-san sendiri, apa yang kau lakukan dua minggu ini?"
"Aku baru kembali dari Paris kemarin malam."
"Hm?" Hinata berdeham sedikit bingung. Jika ia tidak salah ingat, Sasuke mengajaknya bertemu hari minggu.
"Perjalanan bisnis."
Hinata ingat sekarang. Sepertinya ia belum mengenal Sasuke lebih jauh. Entah kenapa dan bagaimana, mereka belum mengulik pekerjaan masing-masing.
"Kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu, Sasuke-san? Apa kau pekerja kantoran?" Hinata menebak-nebak dari pakaian Sasuke.
"Ya kurang lebih begitu. Apa kau punya kesibukan lain selain kuliahmu, Hinata?"
"Aku bekerja sambilan di toko pakaian."
"Di mall Shibuya?" Sasuke balas menebak. Hinata mengangguk sembari menyuap. "Keren sekali."
"Apanya yang keren?"
"Kau. Setahuku tidak mudah bekerja sambil kuliah. Menurutku hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang bersungguh-sungguh."
"Memang cukup melelahkan sih. Tapi aku rasa aku masih nyaman menjalaninya."
"Sepertinya kau sangat suka makanan manis, ya?"
Hinata menatap Sasuke bingung. Lalu, ia mengikuti pandangan lelaki itu yang mengarah pada piring sacher tarte. "Hahaha. Begitulah." Hinata menggeser piring yang sudah kosong. Menggantinya dengan piring berisi seporsi paris brest.
"Ibuku sering memasak olahan kue saat di rumah." Dan begitulah obrolan mengalir di antara keduanya. Tengah malam itu, Hinata bicara banyak tentang dirinya dan makanan. Meski terkesan sedikit protes karena semua gula pindah pada pipinya, Hinata tetap menyantap habis olahan paris brest tanpa membaginya.
"Hinata, tunggu sebentar."
Hampir jam satu pagi. Hinata baru tiba di depan gedung flat-nya. Usai membantu Hinata turun dari mobil, Sasuke membuka pintu kursi penumpang belakang. Sebenarnya Hinata sempat bertanya-tanya, ternyata begitu cara membukanya.
"Ini, untukmu." Sasuke menyerahkan sebuah bungkusan. Begitu membukanya sedikit, Hinata bisa melihat bungkusan coklat di dalamnya. "Oleh-oleh dari Paris. Kau terlihat sangat bahagia saat makan makanan manis."
Di gelapnya dini hari, Hinata bisa melihat senyuman lembut Sasuke padanya. Tak lama setelah Hinata mengucapkan terima kasih dengan senangnya, Sasuke pamit untuk pergi. Lelaki itu terlihat sedikit kelelahan. Dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, Hinata menunggu hingga HRV Sand Khaki Pearl itu keluar dari gang flatnya.
.
.
Sudah rutinitasnya setiap rabu. Meskipun dirasa terlalu cepat dan terburu-buru, Hinata mengirimkan hasil perbaikan bab empat skripsinya pada sang pembimbing. Mengabaikan bisikan penyesalan dari dalam diri, Hinata putuskan untuk mengemil coklat ferrero rocher yang Sasuke berikan padanya semalam.
"Astaga, enak sekali!"
Hinata menggeleng-gelengkan kepala. Menatap takjub lima wadah coklat di meja makan.
"Aku harus berterima kasih lagi." Hinata mengambil gawainya. Membuka aplikasi berwarna kuning untuk mengirim pesan pada Sasuke. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Sasuke-san. Aku benar-benar senang atas oleh-olehnya."
Ting
"Oh, dari Gaara." Hinata menyandarkan punggung pada kursi. "sedang apa?"
"Bersiap makan siang."
"kau masak?"
"Tidak. Mungkin aku akan memesan online."
"ayo bersiap. aku akan menjemputmu setengah jam lagi."
"Hah?! Maksudnya?!" Hinata terkejut sampai menjatuhkan coklat yang tengah dimakannya. "Apaan sih? Mendadak sekali!" Hinata mengomel di ruang chat. Namun, alam bawah sadarnya bergerak sendirinya. Tahu-tahu ia sudah bangkit dan bersiap. Kalau kalau Gaara benar akan menjemput, katanya.
"Cantik sekali hari ini."
Pukul sebelas tepat. Gaara benar-benar tiba di depan gedung flat Hinata. Kali ini dengan mobil sport merahnya. Laki-laki itu memakai kaus hitam polos dan kemeja kotak-kotak berwarna merah bata sebagai luaran. Sudah agak lama tapi Hinata hanya menatap sinis padanya. "Dadakan sekali! Bagaimana kalau aku tidak ada?"
Gaara terkekeh pelan. Pria itu meraih tangan Hinata dan menggenggamnya dengan dua tangan. "Maaf. Aku hanya rindu ingin melihatmu." Belaian halus dirasakan punggung tangan Hinata.
"Jangan merajuk, okay? Nanti kita beli makanan yang kau mau. Bagaimana?"
"Terserah."
"Hey," Gaara menarik dagu Hinata yang membuang muka. Iris jade itu menatap dengan lembut. "Kau mau makan apa?"
Beberapa detik sudah berlalu, tetapi Hinata tak kunjung menanggapi. Perempuan itu masih bungkam pada Gaara yang menatapnya dengan memohon. "Bibimbap."
"Hm?" Gaara berdeham sebentar. Tak lama ia bergerak, membenarkan posisi duduknya untuk bersiap menyalakan mesin mobil. "Oke. Kita ke restoran Korea terdekat."
Gaara menyalakan navigasi menuju sebuah restoran Korea di distrik Koutou. Ditemani suara deru mesin mobil sport, Gaara menggenggam tangan Hinata sepanjang jalan.
"Satu porsi bibimbap, satu porsi jjajangmyeon, satu porsi gimbap, dua porsi tteokbokki, satu es jeruk, dan dua air mineral. Silakan."
Pelayan menata pesanan Gaara dan Hinata di atas meja. Duduk di meja berkapasitas dua orang, piring dan gelas memenuhi keseluruhan meja hingga tak ada ruang. "Kenapa pesan tteokbokki?" Hinata menatap bingung jumlah makanan yang dirasa berlebihan.
"Ini restoran Korea. Tentu saja kita harus makan tteokbokki, 'kan?"
"Tapi aku tidak makan makanan pedas."
"Benarkah? Kau tidak bilang." Oh, Hinata mungkin lupa atau Gaara yang ternyata tidak sepeka itu. Hinata bahkan tidak menyentuh saus pedas setiap makan bersama. "Coba saja dulu. Seingatku tidak sepedas itu."
Inginnya Hinata mengabaikan dan makan menu yang dipesannya saja. Tapi, merasa ditunggu oleh Gaara, Hinata bergerak mengambil sendok. Menyuap satu potong kue beras dengan sedikit saus tteokbokki.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Hinata tersedak oleh pedasnya bumbu. Dengan sigap Gaara mengambil botol air mineral. Membuka tutup dan menyodorkannya untuk Hinata minum. "Yasudah. Jangan dimakan. Kau makan yang lain saja."
Kenapa tidak dari awal?
Sejujurnya Hinata sedikit dongkol. Sikap Gaara yang terlalu berinisiatif terkadang membebaninya. Sebelum kembali ke mobil, Hinata masuk ke dalam toilet. Menatap pantulan dirinya dengan helaan napas.
Tidak apa-apa, Hinata. Dia hanya mencoba yang terbaik.
"Kau baik-baik saja?" Gaara bertanya saat Hinata menyusul naik mobil. "Kau tidak sakit perut, 'kan?"
Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Hinata merasa dirinya benar. "Tidak papa, kok." Hinata memberikan senyuman.
"Oh, ya. Weekend ini kau luang?"
"Kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu menonton pertandingan Tiger."
"Pertandingan di Kyoto itu?" Gaara mengangguk. "Tapi acaranya kan sore hari."
"Tentu saja kita akan menginap."
"Hah?"
"Kenapa?" kini giliran Gaara yang bertanya. "Masih rencana sih tapi jika menang, kami akan mengadakan makan malam bersama. Aku ingin membawamu ikut."
"Kau mau kan?" belum sempat Hinata merespon, Gaara sudah menodongnya. Tawaran bertemu dengan atlet kesukaan tentu saja menggiurkan. Masalahnya, ini bukan hanya tentang keputusan yang bisa Hinata putuskan satu pihak. "Aku akan coba bicara pada bosku."
.
.
"HAH?!"
Sebuah suara memekik terdengar memenuhi toko. "Kau gila, ya?! Kau itu diajak menginap oleh seorang laki-laki, Hinata. Masa begitu saja kau tidak mengerti sih?!" Ino menggerutu kesal.
"Memangnya kenapa?"
Kenapa katanya?
"Maksudnya kan baik mengajakku melihat pertandingan baseball. Apalagi berkesempatan bertemu dan berkenalan dengan anggota Tiger." Ino menggeleng-geleng. "Ayolah, Ino. Setahun lebih ini aku selalu taat, 'kan?"
"Bukan itu masalahnya, Hinata. Kau..." Ino menghela napas panjang. Dengan lebih tenang, ia menyentuh tangan Hinata yang bersiap pulang usai shift-nya selesai.
"Hinata, kau itu perempuan. Lalu, ada seorang laki-laki yang mengajakmu menginap. Kalian bahkan belum sedekat itu, 'kan?"
Ino mengangkat alisnya, menunggu jawaban. Tapi, di depannya Hinata hanya terdiam sembari menelan ludah beberapa kali. Pasti ada yang disembunyikan. "Hah, sudahlah." Ino melepaskan pegangannya pada tangan Hinata.
"Kau bukan anak kecil. Kurasa kau pun mengerti maksudku. Sebagai teman, aku hanya mengingatkan. Aku memberimu izin, tapi kau harus hati-hati, ya?"
Hinata mengangguk sambil menenangkan sahabatnya. "Tidak perlu khawatir katanya?" Ino menatap punggung Hinata yang keluar toko. "Justru laki-laki itu yang membuatku khawatir!" rutuknya saat melihat pria bersurai merah menggenggam Hinata.
"Pacar bukan, tapi malah menjemput kerja. Tiap hari pula!"
"Oi, Ino!" Deidara menghampiri adiknya yang sedang mencak-mencak. "Kau itu jangan terlalu lembek pada Hinata." Ino menatap bingung, meminta penjelasan lebih. "Aku dengar dia minta cuti dua hari. Kalau begini terus, tidak adil untuk karyawan yang lain. Coba kau tegur."
Ino menghela napas lagi. Belum beres tugasnya sebagai seorang sahabat, ia harus berlakon sebagai seorang atasan. "Iya, iya. Aku akan menegurnya setelah bersenang-senang dengan si setan merah!" ia kembali merutuk yang membuat Deidara bingung. Merasa ada sesuatu yang menarik, Deidara menempel padanya untuk mengulik informasi.
"Kenapa?"
Gaara menatap Hinata yang tiba-tiba berhenti berjalan. Dilihatnya ke sekitar. Hanya perempatan toko biasa di dalam mall. Si pemilik iris amethyst tidak menjawab. Selama beberapa detik matanya terpaku pada toko pakaian dalam wanita sebelum menarik lengan Gaara untuk lanjut berjalan. "Tidak papa," katanya.
Haruskah aku bersiap?
