Bumble Trouble 07
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s), lemon!
.
.
.
"Apa tidak apa-apa?"
Hinata memandang pantulan dirinya di depan cermin. Siang ini ia akan berangkat ke Kyoto bersama Gaara. Memakai kaus putih polos yang agak pas badan dengan rok biru gelap lima senti di atas lutut, Hinata berputar untuk memastikan penampilannya aman.
"Atau aku pakai jersey penggemar Tiger?" Hinata melirik lemari bajunya yang terbuka. "Ah, tapi masih ada nama dan tanda tangan Shikamaru-san di sana." Ia menggeleng dua kali sebelum menutup lemari pakaian.
'aku di depan. turunlah jika kau sudah siap'
Pesan masuk dari Gaara. Tak ingin membuat si pria merah lama menunggu, Hinata segera mengambil tas ranselnya. Sekali lagi sebelum keluar, mata Hinata berpedar ke seluruh penjuru ruangan. Lampu, AC, dan kompor. Memastikan semuanya sudah dimatikan.
"Halo, Cantik." Sapa Gaara. Pria itu sedikit mengernyit saat Hinata bergerak duduk di kursi sampingnya. "Kau memakai kacamata?" Hinata mengangguk singkat sambil berdeham. "Iya. Aku agak jarang memakainya karena minus mataku sedikit sih."
"Apa tidak cocok?"
"Cocok saja, kok." Gaara menyentuh pipi Hinata dan mengusapnya pelan. "Kau terlihat cantik bagaimanapun." Pujinya yang mengundang kekehan bagi keduanya.
Gaara menurunkan pandangan sedikit. Lalu, ia bergerak mengambil sesuatu dari belakang mobil. "Ini, pakailah." Gaara memberikan sebuah jersey pada Hinata. "Itu jersey penggemar Tiger yang baru."
"Oh ya?" Hinata membeberkan jersey. Kemudian, ia melirik Gaara. Baru ia sadari jika Gaara memakai jersey sebagai luaran turtle neck hitamnya. "Terima kasih banyak."
Pukul dua siang. Hinata dan Gaara tiba di bandara Kyoto. Begitu sampai, sudah ada seseorang yang menjemput keduanya. Lelaki yang katanya sepupu jauh Gaara, Akasuna Sasori.
Sasori menyambut Gaara. Sedikit berbasa-basi untuk menanyakan kabar. "Aku akan mengantar kalian ke penginapan." Kata Sasori.
"Tidak usah." Gaara menolak. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Sudah jam segini. Langsung ke stadion dulu saja."
Sasori mengangkat sebelah alisnya bingung. Hinata yang berdiri sedikit di belakang Gaara juga bingung. Namun, tak lama Sasori menuruti perkataan Gaara. "Baiklah. Kau mau aku pulang sendiri, 'kan?"
Sasori memang cepat tangkap. Gaara tersenyum miring. "Ini. Aku parkir di dekat pohon sakura." Sasori menyerahkan kunci dan karcis parkir. "Selamat bersenang-senang!"
Pertandingan antara Tiger dan klub baseball asal Kyoto dimulai pukul tiga sore. Semua tiket penonton sudah terjual. Beruntungnya Hinata yang mendapatkan tiket gratis dan kursi spesial bersama deretan tim sponsor Tiger. Siapa sangka Hinata bisa duduk bersebelahan dengan Asuma Sarutobi, manajer tim Tiger?
"Dan inilah babak penentu pertandingan hari ini. Chouji Akimichi akan menjadi pemukul bola kali ini." Suara pemandu acara terdengar menggema.
"Apa? Tapi Chouji-san biasanya menjadi pemukul." Hinata bergumam pelan. Asuma yang duduk di sebelah kanannya mendelik. Penasaran dan sedikit tersinggung. Tanpa sengaja matanya berpapasan dengan Gaara yang juga menoleh ke arah Hinata. Lalu, Asuma putuskan untuk berdiri, mendekat ke arah lapangan untuk memerhatikan pertandingan.
"Lihat saja. Kau akan terkejut."
Hinata menoleh dan menemukan Gaara yang tengah menatapnya. Pria itu menggenggam tangannya dan kembali menonton pertandingan.
Tang
Bola dipukul. Chouji Akimichi segera mulai berlari, berusaha mencetak poin. Hinata menonton dengan saksama. Ia ikut bergumam bersama penonton yang bersorak-sorai. Matanya terus memerhatikan Chouji yang berlari juga tim lawan yang berusaha menangkap bola dan melemparkannya pada anggota Tiger.
"HOME RUN!"
Chouji Akimichi terlihat kembali pada home base setelah nyaris terkena lemparan bola. Seketika seluruh penggemar klub Tiger berteriak memberikan semangat. Semua penonton kompak berdiri melihat selebrasi.
Tak berbeda dengan Hinata. Perempuan itu juga spontan berdiri, melepaskan pegangan tangannya dengan Gaara. Kegirangan, Hinata bertepuk tangan dengan tawa yang menghiasi wajahnya. Matanya bahkan sedikit berair melihat para pemain Tiger yang saling berpelukan setelah waktu pertandingan dinyatakan selesai.
Greb. Tiba-tiba Hinata merasakan badannya ditarik. Dengan kedipan mata, ia melihat Gaara meraih dagunya untuk mendongak. Sambil menunduk, Gaara mencium Hinata di tengah meriahnya pertandingan.
Tentu saja Hinata terkejut. Ia membelalakkan matanya selama beberapa detik. Kemudian ia bisa merasakan pinggangnya ditarik mendekat ke arah Gaara. Ketika pria merah itu semakin mendorong tengkuknya, saat itulah Hinata memejamkan matanya. Menikmati ciuman perayaan yang basah dan panas di sore hari menjelang terbenamnya matahari.
.
.
"HORAYYYY!"
Suara gelas yang beradu terdengar. Usai pertandingan, tim Tiger benar melangsungkan makan malam bersama di wisma yang akan digunakan untuk menginap. Para pria berkumpul di meja bundar taman. Terdengar gelak tawa yang menghiasi obrolan para lelaki.
"Hinata? Kau bilang namamu Hinata kan tadi?"
Hinata menoleh pada seorang perempuan berambut coklat yang menemaninya di dapur. "Ya. Kau... Matsuri?" si perempuan coklat mengangguk.
"Kudengar kau datang bersama Gaara Sabaku, ya?" gantian Hinata yang mengangguk. "Apa kalian berpacaran?" Hinata terdiam. Jika ditanya begini, dia pun bingung. Dibilang pacar, tapi bukan. Dibilang tidak ada hubungan apapun juga, tidak mungkin kan?
"Ah, maaf tiba-tiba bertanya begitu. Hanya saja kalian terlihat serasi."
Matsuri segera menyambung kalimat sambil tertawa canggung. "Oh, aku akan mengeluarkan hidangannya sekarang."
"Aku akan membantu."
Hinata ikut memindahkan makanan bersama Matsuri dan yang lainnya. Malam itu Kurenai Sarutobi, istri Asuma Sarutobi, yang menyiapkan hidangan bersama tim katering yang biasa membantunya. Salah satunya adalah perempuan bernama Matsuri. Dari perkenalan, Hinata dengar perempuan itu ditunjuk Gaara langsung untuk bergabung dengan manajemen.
"Selamat atas kemenanganmu, Chouji-san."
Pria gempal yang tengah menyantap kue telihat bingung saat didekati perempuan asing. "Ah, maaf. Aku Hinata Hyuuga. Penggemar Tiger." Hinata, si perempuan asing, memperkenalkan diri. "Mungkin Chouji-san tidak ingat, tetapi aku beberapa kali menghadiri acara jumpa penggemar Tiger saat Shikamaru-san masih bergabung." Hinata menggaruk tengkuknya canggung.
"Oh, benarkah?" Chouji menaikkan alisnya. "Terima kasih sudah menjadi penggemar kami." Pria itu menaruh piring di atas meja dan membungkukkan badannya singkat, memberikan penghormatan.
"Eh, tidak perlu sampai begitu." Hinata mencoba menahan Chouji yang sudah kadung membungkuk. "Aku senang bisa mendukung kalian. Apalagi bisa menonton dan bicara langsung denganmu. Penampilanmu di pertandingan kali ini sangat keren."
Hinata dan Chouji mulai mengobrol. Pria bermarga Akimichi itu mulai menanggapi Hinata dengan lebih baik. Keduanya bertukar cerita dan tawa. Sesekali membicarakan mantan rekan Chouji tanpa menyadari tatapan tak suka dari laki-laki yang memerhatikan dari sudut.
"Cemburu?"
Gaara menoleh dan menemukan Asuma yang mendekatinya. "Untuk apa mengajaknya jika kau akan dimakan api cemburu?" Asuma bersandar di dinding. Saat akan menyalakan korek api untuk menyulut rokok, matanya melirik Gaara yang tengah mendelik tak suka. "Mau?" Asuma menyodorkan rokok pada Gaara.
"Oh, kau pasti tidak mau bau rokok saat berciuman dengannya, ya?" Asuma menarik tangannya kembali karena tidak mendapatkan respon dari Gaara. "Apa? Salah kalian sendiri malah berciuman di tempat terbuka."
Gaara berdecak kesal sebelum pergi meninggalkan Asuma. "Hati-hati saat mau ciuman katanya?" gumam Gaara pelan sembari berjalan di lorong. Usai makan malam Gaara putuskan untuk pergi ke dalam wisma lebih dulu. Sudah jam sembilan lebih. Gaara menggeram dan menggerakkan kakinya tak tenang.
Ceklek
Begitu pintu kamar terbuka. Gaara bangkit dengan cepat. Bagaikan angin yang berhembus, ia membalikkan dan mendorong tubuh orang yang masuk ke dalam kamar.
"Gaara? Apa yang –kau"
Hinata yang baru masuk ke kamarnya terkejut melihat Gaara. Belum selesai, ia lanjut terkejut dibungkam oleh bibir dingin si pria merah. Pelan, Hinata mencoba untuk mendorong Gaara. Namun, pria itu malah semakin mengapitnya dengan pintu.
Menyerah. Hinata putuskan untuk tidak berpikir seperti sebelumnya. Ia berusaha menyambut ciuman Gaara yang tergesa.
"Senang bicara dengan si Akimichi?"
Hinata mengernyit bingung. "Akimichi? Chouji-san?" Gaara tak menjawab, pria itu hanya menatap tak suka padanya. "Ah, iya. Aku berbincang dengannya tadi. Ternyata dia tak semenyeramkan penampilannya, ya." Hinata mulai bercerita dengan semangat, mengabaikan suasana dan posisi yang kurang mengenakkan.
"Dia bahkan mengundangku untuk berte –hmp?!"
Hinata kembali dibungkam. Gaara menekan bibirnya agar keras. "Bicara lagi dan aku akan menciummu."
"Tsk. Kau ini kena–"
Cup. Gaara kembali menciumnya, menempelkan bibirnya agak lebih lama. "Aku tidak bercanda, Hinata." Gaara bicara dingin. Hembusan napasnya bisa Hinata rasakan di pipinya.
Jade dan amethyst saling berpandangan. Hinata membuka sedikit bibirnya, tetapi ia dengan cepat menutupnya kembali. Gerakannya diperhatikan oleh Gaara. Lelaki itu kembali tak sabar. Didorongnya lagi tubuh mereka. Merapat, menyatukan bibir dingin pada bibir mungil yang menarik atensinya.
Kali ini Hinata benar-benar menyambutnya. Mata perempuan itu tertutup, bibirnya membalas ciuman Gaara yang perlahan berganti menjadi sebuah lumatan.
Mendapat respon baik, Gaara menjadi bersemangat. Ia semakin terbakar, meski berbeda dengan rasa terbakar yang tadi menyelimuti hatinya. Tangan kanannya menahan dagu Hinata agar terus mendongak. Sementara tangannya yang lain mulai bergerilya di tubuh Hinata.
Mengusap-usap punggung, bahu, dan membuka jersey yang Hinata kenakan. Ciumannya sedikit terhalang, tapi Gaara mengabaikannya untuk sesaat. Tangannya masih sibuk membelai belakang tubuh Hinata dengan terburu.
Dengan perlahan Gaara menarik Hinata menuju ranjang. Duduk di sisinya, Gaara memangku Hinata yang duduk menyamping di pahanya. "Mengganggu." Akhirnya Gaara melepaskan kacamata Hinata yang sedari tadi sedikit membatasi ciumannya. Usai menaruhnya di laci kecil, Gaara menciumi belakang telinga Hinata. Mengecupinya berkali-kali.
"Eungh, Gaara."
Hinata merasa tersengat oleh kecupan Gaara di cuping dan lehernya. Pelan-pelan ciuman itu turun hingga ke ujung kaus putih Hinata. Sontak membuat Gaara menariknya ke atas dengan cepat.
"Aku melihatnya sekilas saat di mobil. Ternyata memang warna merah tua."
Gaara tersenyum usil. Hinata yang baru tersadar dengan keadaannya merengek dalam dehaman. Perempuan itu berusaha menunduk untuk menghindari pandangan. Namun, Gaara tak membiarkannya. Ia menarik dagu Hinata untuk kembali menatapnya.
"Sekarang, tidak apa melanjutkannya, 'kan?" tanya Gaara sembari menatap dalam Hinata yang berada di pangkuannya. Buk. Hinata memukul pelan bahu Gaara. Dirinya yang sudah hampir setengah telanjang, tidak mungkin tidak berlanjut, kan?
.
.
Akhir pekan tak lagi terasa sama jika kau bekerja pada dirimu sendiri. Memang sih tidak sepenuhnya sendiri. Tapi Ino tetap harus menjaga toko baju yang dibuka oleh ia dan kakaknya.
"Oi, pirang!"
Ino menoleh saat mendengar suara dari sisi kanan. Matanya menatap malas pada lelaki berambut perak kebiruan yang berjalan ke arahnya. "Pasti mau bertanya soal Hinata lagi." Bisiknya pelan pada diri sendiri.
"Apa?" Ino menyahut. Di hadapannya lelaki itu tersenyum dan bertanya dengan suara lembutnya. "Kau tahu di mana Hinata?"
Kannnn
"Tidak tahu."
"Yang benar?"
"Tsk. Kau kan juga sahabatnya. Masa tidak tahu sih."
"Kau juga tidak tahu."
Skak. Ino tidak bisa membalas ucapan Toneri. "Aku mengiriminya pesan tapi dia tidak balas sejak kemarin."
"Mungkin Hinata sibuk." Ino mengedikkan bahu, berusaha coba mengalihkan dengan pergi menuju meja kasir. Sialnya, Toneri malah mengikutinya. "Sibuk apa? Hinata kan hanya pergi bekerja di tempatmu atau menyusun tugas akhir."
"Ya tidak tahu. Dia kan punya kehidupannya sendiri selain di tempatku."
"Flat-nya juga kosong tadi."
"Tsk." Ino mendelik sebal pada pria bersurai biru itu. "Dengar ya, Toneri. Hinata itu bukan anak kecil. Kau bukan pengasuhnya. Kemana pun Hinata pergi tidak perlu mengabarimu, 'kan?" belum sempat Toneri menanggapi, Ino keburu bicara lagi dengan nada omelannya. "Lagipula kau seperti tidak punya kehidupan pribadi, mengurusi Hinata terus. Mungkin zaman sekarang status tidak terlalu penting, tapi pernahkah kau berpikir jika Hinata ingin bergaul dengan lelaki lain selain dirimu?"
"Apa maksudnya?"
Oh. Ino keceplosan. "Tidak jadi." Ino berbalik, hendak masuk ke ruang khusus karyawan. Tetapi, Toneri menahan lengannya untuk pergi. "Hinata pergi dengan laki-laki? Siapa? Kenapa dia tidak bilang padaku?"
"Lepaskan."
"Siapa?" di balik wajah kalemnya, Toneri ternyata kuat juga. Ino bisa merasakan genggaman yang tak nyaman di lengannya. "Tidak tahu." Ino menyentak tangan Toneri agar terlepas.
"Kalau kau begitu penasaran, tanyakan saja pada Hinata. Dia pasti pulang. Besok sudah akan masuk kerja."
Meskipun sahabatan, Ino tidak mungkin membeberkan tentang Hinata dan lelaki merah yang diceritakan padanya. Terlebih pada Toneri. Nalurinya berkata untuk melindungi sesama wanita, meskipun ada sedikit rasa mengganjal di sana.
"Yasudah, aku pergi dulu."
Tak berlama-lama. Toneri segera pergi usai Ino kukuh menutup mulutnya. Kaus polo berwarna senada dengan surainya membelakangi Ino yang menatap sambil melemaskan lengannya. "Dipikirannya hanya ada Hinata, 'kan?" sebuah gumaman lirih terdengar. Tertangkap telinga sesosok yang melintas di belakang.
"Kau bilang apa?"
"Oh Jesus Christ!"
Ino terperanjat. Ia sontak berbalik dan menemukan kakaknya yang menatap penasaran. "Dei, bisa kau muncul dengan normal? Kau seperti serangga. Suka muncul tiba-tiba!" usai meluapkan amarahnya pada orang tak bersalah, Ino menyentakkan kaki dan pergi ke gudang untuk menenangkan diri di antara tumpukan barang. Sementara Deidara hanya menatap bingung, sebelum mengedikkan bahu dan kembali berjalan memasuki toko. Mungkin adiknya butuh istirahat sebentar.
.
.
Selesai pertandingan, anggota tim Tiger kembali ke Tokyo. Rombongan manajemen memesan tiket pesawat hingga semua kursi terisi oleh mereka. Kali ini Gaara dan Hinata ikut bersama rombongan. Berada di barisan tengah, Gaara duduk di antara Hinata dan Asuma yang duduk di sisi dekat masing-masing lorong.
"Kau tidur nyenyak, Gaara?" Asuma berbasa-basi. "Tentu saja. Sangat nyenyak." Senyum culas yang Gaara sunggingkan mengundang curiga. Tapi pria yang memasuki usia awal empat puluh tahunan itu hanya terkekeh pelan sebentar, tak ingin usil lagi.
"Sepertinya semalam aku mendengar suara desahan."
Sebuah bisikan terdengar dari sisi kiri Asuma. Obrolan para atlet menarik atensi kedua pria. Barisan itu diisi oleh dua orang, atlet berambut ikal dan cepak. Sangat berseberangan.
"Apaan? Kau mimpi basah?" sahutan lain terdengar dari si atlet berambut ikal.
"Bodoh. Tentu saja bukan!" si cepak membela diri. "Aku samar mendengar suara saat keluar ke toilet. Sepertinya dari kamar belakang."
"Kamar belakang? Apa jangan-jangan Asuma-sensei..."
Kedua atlet menoleh ke kanan, pada kursi sang manajer yang dicurigainya berbuat yang iya-iya. Secara manajernya membawa sang istri yang saat ini tidak ikut pulang ke Tokyo karena ada urusan. Tapi begitu menengok, para atlet melihat Asuma yang tengah memejamkan mata. Seolah merasa terganggu, Asuma bergerak dalam 'tidurnya'. Para atlet pun sontak memalingkan wajah dan bicara lebih pelan. Mencari topik bicara yang lain.
Dari sudut matanya, Gaara melihat itu semua. Ia yang berpura-pura membaca majalah diam-diam memerhatikan. Juga saat Asuma membuka mata di sela 'tidurnya'. "Sepertinya aku dituduh atas hal yang tidak aku lakukan." katanya pelan sambil melirik Gaara.
"Semalam kau benar-benar terbakar ya, Sabaku?" kekehan pelan mengganggu Gaara yang tengah merengut sebal. "Untung saja kau tidak lupa mengunci kamar."
Gaara terdiam. Ia seperti diingatkan. Memutar memori semalam, apakah ia benar mengunci kamar? Inginnya Gaara bertanya pada Hinata. Tetapi perempuan itu sepertinya sedang sibuk. Sedari tadi memandangi gawainya yang menyala.
"Maaf, Hyuuga. Saya ada seminar di Hokkaido selama seminggu. Jika kau mau, bisa menemuiku rabu depan di Hotel Royal saat makan siang? Saya hanya ada waktu sebentar sebelum ada urusan ke Jerman minggu depan."
VERSI LENGKAP MOMEN GAARA X HINATA TERSEDIA DI KARYA KARSA.
SILAKAN MAMPIR DI AKUN "acyanokouji" JIKA BERKENAN. :)
