Bumble Trouble 08
by
acyanokouji
.
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!
.
.
.
"Kau habis dari mana?"
Ditodong saat membuka pintu, Hinata menemukan Toneri berdiri di depan pintu flat-nya beberapa jam setelah ia kembali dari Kyoto. "Kamar mandi." Hinata melengos, masuk ke arah dapur untuk mengambil segelas air dingin.
"Bukan tadi. Maksudku kemarin."
Toneri mengekor di belakang Hinata. Dari ujung gelas, Hinata mengangkat alisnya pada Toneri. "Kenapa kau tidak membalas pesanku?" Toneri menunggu Hinata menelan air dan menaruh gelasnya di atas meja. "Aku sudah membalas pesanmu tadi." Hinata mengedikkan bahu.
"Kemarin, Hinata, kemarin." Toneri menekankan setiap kata yang diucapkannya. "Kenapa tidak dijawab dari kemarin?"
Toneri mendesak meminta jawaban. Hinata mengernyit bingung menatapnya. Tumben sekali Toneri terlihat tergesa. "Kau pergi dengan seorang pria?"
Alis Hinata terangkat sebelah. "Kata siapa?" ia berusaha bicara tenang, duduk di sofa. "Jawab saja. Iya atau tidak?" Toneri menyusul duduk di samping Hinata. "Bukan urusanmu, 'kan?" Hinata kembali menaikkan sebelah alis sebelum berusaha bangkit karena merasa risih.
Greb. Toneri menahan tangan Hinata agar tidak bangkit berdiri. "Benar, Hinata? Kau pergi dengan seorang pria?"
"Lepas."
Hinata berusaha meloloskan tangannya dari genggaman Toneri. Namun, lelaki itu seperti bukan dirinya. Ia mencengkeram erat-erat. Dengan alis menukik, menatap tajam pada Hinata yang menggerakkan tangannya tak nyaman, mulai kesakitan.
"Lepaskan aku, Toneri. Kau menyakitiku!"
Baru Toneri tersadar ketika suara Hinata mulai meninggi. Pria itu segera melepas pegangannya. Ditatapnya Hinata yang memegang lengannya dengan tangan yang lain. Ketika Hinata meliriknya, Toneri masih menatap, menunggu jawaban dengan lebih sabar.
"Ya."
"Siapa?"
"Kau tidak akan kenal."
"Kenal dari mana?"
Hinata mengernyit. "Kenapa kau sangat ingin tahu?"
"Tentu saja aku harus tahu. Aku temanmu, yang dititipi ibumu untuk menjagamu di Tokyo." Hinata menggulirkan bola mata, alasan itu lagi. "Jadi, kau kenal dari mana?"
"Bumble."
"Hah?!" balik Toneri yang mengernyit. Alisnya menukik tajam, sedikit melotot. "Kau benar main bumble lagi?"
"Dengarkan aku dulu, Toneri. Aku –bi"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?!" Hinata mengatupkan bibirnya yang terbuka. Ucapannya dipotong tanpa diberi kesempatan. "Apa kau tidak kapok? Bagaimana kau bisa lupa dengan bajingan yang membohongimu dulu itu?" Toneri terlihat menggebu.
Hinata menarik napas dalam, berusaha tenang meski tersinggung dengan ucapan Toneri. "Aku dan Kiba tidak bertemu melalui dating app." Katanya menegaskan.
"Bukan si Anjing. Maksudku laki-laki bertindik yang hampir memperkosamu dulu."
"Bisakah kau berhenti membicarakan masa lalu, Toneri?" Hinata mengurut kepalanya yang tiba-tiba pening dengan mata tertutup. "Aku sudah banyak belajar dari kesalahan. Aku sudah lebih dewasa."
Hinata membuka matanya. Setelah menurunkan tangan, ia menoleh dan menemukan Toneri yang menatapnya. Wajah pria itu lebih melembut sekarang. "Kurasa kali ini akan berbeda. Dia..." Toneri bisa melihat mata Hinata yang bergerak-gerak, mencari kata yang tepat. "Dia berbeda. Dia sepertinya tahu apa yang dia lakukan."
"Oke, aku akan cerita padamu." Hinata bergerak, memiringkan duduknya untuk menghadap Toneri. "Aku dan dia –berte"
"Aku tidak mau dengar." Toneri bangkit berdiri.
"Kenapa?" Hinata ikut berdiri. Sebagai sahabat, jelas ia ingin Toneri tahu kisahnya.
"Pokoknya aku tidak mau dengar." Begitu selesai bicara, Toneri segera pergi meninggalkan flat Hinata tanpa berpamitan. Hinata sendiri tidak berniat untuk menyusul. Ia yang bertanya, tiba-tiba ia yang tidak ingin dengar. Hinata gondok dalam hati, tetapi urusannya masih banyak. Apalagi dengan pesan yang baru saja masuk ke gawainya.
"kau benar akan menemui dosenmu sendirian? aku curiga dia ada maksud lain"
.
.
Seperti isi pesan yang diterimanya hari minggu lalu. Hinata pergi ke restoran Hotel Royal saat makan siang. Pengalaman baru dalam hidupnya, bimbingan skripsi di luar kampus. Agaknya sedikit di luar nalar, tapi kapan hidupnya pernah sesuai nalar?
"Hyuuga? Sudah lama menunggu?"
Hinata menoleh dan menemukan dosen pembimbingnya sudah berada di samping. "Baru saja kok, Pak." Hinata berdiri. Begitu pria paruh baya itu berdiri di sofa seberangnya, si pria memberinya isyarat untuk ikut duduk.
"Ini." Kakashi menyodorkan lembaran kertas yang sejak tadi dibawanya. "Saya mencetaknya sebelum dibaca." Hinata meraih sodoran kertas berisi cetakan bab empat tugas akhirnya. "Sudah saya tandai beberapa perbaikan lagi."
Ah, sudah mulai lagi... Hinata membatin sembari membolak-balik kertas yang penuh dengan coretan.
"Kau bisa baca dulu. Jika ada yang tidak kau mengerti bisa kau tanyakan langsung."
Hinata membaca catatan-catatan yang Kakashi tulis di lembaran kertas. Beberapa menit waktu berlalu, Hinata rasanya sudah mual membaca tulisan yang ia tulis sendiri. "Sudah, Pak. Berarti seperti yang Bapak tulis, saya harus meminta data tambahan dari pihak perusahaan ya, Pak?"
"Ya. Jika memungkinkan, apa bisa kau dapatkan sampai minggu depan? Waktu kita sudah semakin mepet." Hinata meremas pelan kertas yang digenggamnya. "Baik, Pak. Saya usahakan." Ucap Hinata meski batinnya sedikit menjerit.
"Siapa?" Hinata menatap bingung Kakashi yang tiba-tiba bertanya tak jelas. "Siapa laki-laki di meja belakang yang terus memerhatikanmu?"
Hinata menggigit bibir bawahnya singkat. "Kau datang bersama pacarmu? Kenapa? Takut saya apa-apakan?" Kakashi mengangkat sebelah alisnya. Ekspresinya datar menatap Hinata yang malu tertangkap basah.
"Ti-Tidak kok, Pak. Saya hanya kebetulan sedang keluar bersama dia." Hinata menggaruk belakang kepalanya dengan gugup. Ia coba tertawa yang berakhir dengan kecanggungan.
"Lain kali, kalau kau tidak nyaman, kau bisa menolakku. Kau hanya perlu bilang jika kau sudah punya pacar."
Ingginnya Hinata membela diri saat tiba-tiba dosennya memberi komentar di luar tugas akhir. Pertama, Gaara bukan –atau belum- pacarnya. Kedua, kenapa dosennya terlihat terganggu? Padahal kan hubungan mereka hanya sebatas dosen dan mahasiswa, kan? Ketiga, Hinata tidak suka karena ia merasa dipojokan. Ia bukannya tidak bisa bersikap tegas, tetapi sikap yang diberikan dosennya pun bisa membuat salah paham.
"Kenapa diam saja?"
Gaara melirik Hinata yang terdiam di kursi samping. Mereka sudah berada di dalam mobil dan hendak menuju tempat makan saat ini. Namun, perempuan itu belum bicara setalah Gaara merangkulnya keluar Hotel.
"Kenapa sih kau harus ikut denganku?" keluh Hinata. Dari samping Gaara menatap bingung. Alis tipisnya menyatu tak suka. "Kenapa? Dosenmu ada bilang sesuatu?" Gaara bertanya balik. Dengan sabar menunggu Hinata untuk akhirnya menoleh padanya. "Aku rasa sepertinya tadi terlalu berlebihan. Pak Kakashi hanya membimbing skripsiku. Dia tidak ada maksud lain."
"Kenapa kau bisa seyakin itu?!" Gaara mulai sedikit meninggikan suaranya. Dahinya kian mengerut sebal. "Toh aku hanya berusaha melindungimu."
Hinata juga menatap dengan tak kalah mengernyitnya. Entah apa yang salah. Entah sebal pada siapa. Yang ia tahu, ia hanya kesal dan malu di saat yang sama. Jadi, Hinata memalingkan diri dari Gaara, menghadap ke jendela samping.
Beberapa detik Gaara menunggu sahutan dari Hinata. Namun, perempuan itu hanya berpaling tanpa bicara apapun. Bahkan, Gaara yakin Hinata berusaha mengatur deru napasnya agar tidak terdengar olehnya. Masih tak ada respon, Gaara putuskan untuk mulai menyalakan mesin mobil dan menggerakkannya.
Hatinya sedang dongkol, Hinata tidak paham mengapa Gaara langsung melaju tanpa berusaha menenangkannya terlebih dahulu. Hinata melirik Gaara sekilas dari ujung matanya. Lelaki itu terlihat berwajah datar sambil menatap jalanan.
"Aku sudah tidak ingin makan siang." Hinata bicara sembari kembali memalingkan badannya. Ia bisa merasakan lelaki merah di sampingnya melirik sekilas. Sangat samar, bisa terdengar kata 'oke' dari samping. Lalu sisanya, hanya keheningan yang menemani perjalanan hingga mobil merah itu berhenti di depan flat Hinata.
"Kenapa tiba-tiba ke sini?"
Hinata benar-benar baru tersadar jika Gaara membawanya kembali. Bangun sedikit, Hinata menatap Gaara yang juga menatapnya. Wajah lelaki itu masih datar, terkesan dingin padanya.
"Kenapa? Bukannya kau sudah tidak mau makan?"
Akhirnya Gaara bicara juga. Tapi jauh di dalam hatinya, bukan ini yang Hinata inginkan. Ia hanya sedikit marah, mungkin, dan imajinasinya Gaara akan mencoba untuk merayunya.
Inginnya Hinata bicara, menjelaskan maksud kekesalannya. Berusaha memperbaiki sikapnya. Namun, Gaara lebih dulu memutus pandangan mereka. Lelaki itu menoleh, kembali menatap jalanan dengan tatapan dinginnya.
Tentu Hinata merasa sedikit tersinggung. Ia tahu Gaara bukan tipe yang banyak bicara seperti Sai. Banyak kekesalan melintas di pikirannya. Hinata putuskan untuk merapikan barangnya dan turun dari mobil. "Terima kasih atas tumpangannya." Dan Gaara benar-benar pergi setelah Hinata berpamitan. Tanpa sapaan perpisahan. Tanpa senyuman, apalagi ciuman.
.
.
"Syukurlah. Kau masih tinggal di sini ternyata, Hinata."
Hinata menghentikan langkahnya saat menemukan seseorang berdiri di depan pintu flatnya. "Kiba?" Hinata mengernyit heran, sedangkan lelaki itu tersenyum lebar hingga tato taringnya ikut naik. "Aku menunggu balasan pesanmu tapi sepertinya kau tidak ada niat membalasnya. Jadi, aku putuskan untuk coba mendatangi tempat tinggalmu."
Kiba berusaha untuk mendekat, tetapi Hinata mundur dua langkah. "Mau apa kau kemari?" Hinata bertanya dingin. Suasana hatinya sedang tidak baik sekarang. Ditambah dengan kehadiran Kiba. Sepertinya hanya memperburuk keadaan.
"Aku ingin bertemu denganmu. Sudah lama kita tidak berbincang. Mungkin memang ada banyak hal yang perlu diluruskan, tapi aku ma–"
"Hentikan. Aku tidak ingin berbincang denganmu. Jadi, kau bisa pergi." Hinata bergeser sedikit. Dengan dagunya, ia memberikan isyarat agar Kiba segera pergi meninggalkannya.
Kiba bergeming. Ia hanya menatap Hinata yang berdiri dengan tumpukan kertas dalam genggamannya. Lalu, Kiba tersadar pada sekantung paper bag yang dibawanya. "Ah, ini. Aku membawa beberapa makanan dan vitamin untuk Kiba, kucingmu." Kiba mengulurkan tangannya untuk memberi kantung pada Hinata. Perempuan itu melirik uluran tangannya sekilas sebelum berkata, "Aku tidak butuh."
Hinata berusaha menghindar untuk masuk ke dalam flatnya. Namun, ketika ia baru selesai membuka kunci, tangannya ditarik. "Terimalah, Hinata. Aku memberikannya untuk Kiba kok."
"Cukup, Kiba."
Hinata menyentakkan lengannya yang mengepal. "Kubilang, aku tidak butuh." Hinata berjalan masuk ke dalam flat. Sebelum menutup pintu, ia bicara sekali lagi untuk penekanan. "Pulanglah. Aku sedang lelah. Ingat, kau sudah punya Ayame."
Brak. Hinata sangat lelah. Seharian ini energinya serasa terkuras. Belum masalahnya dengan Toneri yang masih bersikap dingin selama beberapa hari padanya. Dosennya, Gaara, dan Kiba. Hinata tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Iya, itu memang pemikiran yang muncul di otaknya, sesaat. Karena jika tiba-tiba kau diajak makan ice cream besok lusa, tentu kau tidak akan menolak, kan?
.
.
Hinata tidak menyesali keputusannya. Setelah sekitar lima hari dibuat pening dengan keributan yang terjadi, memutuskan bertemu dengan Sasuke adalah pilihan yang tepat menurutnya. Pria itu menjemputnya di flat jumat sore. Sepertinya Sasuke memanglah seorang pekerja kantoran. Hampir sama seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya, lelaki itu masih memakai setelah kemeja dan celana kerjanya yang formal.
"Aku tidak tahu kalau Sasuke-san juga tertarik dengan tempat seperti ini."
Mata Hinata berpendar menatap restoran yang terkenal menjual makanan manis. Bahkan interiornya pun sangat gemas bertemakan dessert. Rasanya agak berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang terkesan mewah dan elegan. Sisi menggemaskan ini baru Hinata tahu.
"Aku tahu dari kakakku yang punya anak kecil." Hinata mengangkat alisnya sembari duduk di kursi. "Oh? Kau punya keponakan?" seorang pelayan menghampiri di kala Hinata dan Sasuke sedang berada di tengah perbincangan.
"Ya. Satu laki-laki dan satu perempuan." Sasuke membolak-balik buku menu. "Kau sudah tahu mau pesan apa?" diliriknya Hinata yang mengangguk mantap. Perempuan itu terlihat tak ragu memesan menu yang diinginkannya. Membuat Sasuke menarik simpul ujung bibirnya.
Usai menerangkan pesanan, mata Hinata kembali melihat sekeliling. Resto dipenuhi dengan beberapa keluarga yang membawa anak-anak kecil mereka. "Jadi, keponakan Sasuke-san seperti apa?" Hinata berbalik pada Sasuke dan memancing obrolan. Selama beberapa saat Sasuke bercerita singkat tentang keponakannya yang ngambek minggu lalu. Tak lama, pesanan mereka tiba yang mengalihkan perhatian Hinata.
Si perempuan indigo itu menatap pesanan dengan berbinar. Berbeda dengan Sasuke yang memesan spageti dan iced americano, si lelaki menatap gelas selama beberapa saat. Kemudian ia memantapkan diri menatap Hinata yang berada di depannya.
"Hinata, aku ingin bertanya sesuatu padamu."
"Hm? Sasuke-san ingin bertanya apa?" Hinata masih menanggapi dengan senyuman semangat. Dua detik menunggu Sasuke memberi isyarat dengan dagunya, Hinata bersiap untuk menyantap kue yang dipesan. Garpu kecil di tangan kanan, Hinata mulai memotong ujung kue strawberry. "Apa kau sedang dekat dengan laki-laki lain?"
Gerakan Hinata terhenti. Masih menggenggam garpu, Hinata sedikit mendongak untuk melihat wajah Sasuke. Tatapan lelaki itu lebih tajam dari sebelumnya. Wajahnya datar dan terkesan lebih dingin. Tatapan yang dua hari lalu Hinata lihat dari lelaki lain.
