Bab 8: Hal Yang Bisa dan Tidak Bisa Dimiliki

"Kenapa sikumu?" tanya Kushina ketika Naruto baru saja pulang. Siku kanannya telah berubah warna menjadi merah dan sedikit bengkak. Naruto masih merasa nyeri ketika menggerakan siku kanannya, tapi karena Shizune mengatakan bahwa sikunya baik-baik saja, jadi dia hanya perlu bersabar hingga memarnya hilang.

"Tadi jatuh saat olahraga," jawab Naruto.

"Nanti akan Ibu suruh Ayahmu periksa," ujar Kushina.

Naruto mendengus. "Tidak perlu, Bu. Kata Perawat UKS baik-baik saja. Satu minggu juga nanti sembuh sendiri." Naruto berjalan menuju kamarnya.

Seperti biasanya, kamarnya sangat rapi. Ditambah, Kushina selalu merapikan tempat tidur Naruto dan menyapu kamarnya setiap hari, sehingga tidak terlihat satu debu pun. Tas sekolahnya diletakkan di bawah meja belajar, Naruto mengeluarkan baju olahraganya dan menaruhnya di tempat baju kotor di Ruang Laundry dan dia segera mengganti bajunya dengan baju kaos yang biasa dikenakannya di rumah. Seragamnya dicuci, karena sudah dipakai berkali-kali.

Dia merebahkan diri di kasurnya sambil memegang siku kanannya yang masih terasa nyeri ketika digerakkan. Benturan yang terjadi lumayan keras, Sasuke bahkan mimisan. Mau tidak mau, dia kembali mereka ulang kejadian tadi siang. Di Ruang UKS, Naruto merasa ketegangan antara mereka berdua sedikit mengendur. Setidaknya, Naruto tahu bahwa Sasuke tidak semenyebalkan ketika mereka pertama kali bertemu.

Terhitung sudah satu minggu Sasuke bertahan di sekolah. Setidaknya, Naruto hanya butuh 3 minggu lagi untuk memenangkan taruhan konyol di antara mereka. Satu minggu yang lumayan berat bagi Naruto. Satu minggu yang penuh dengan gumpalan kekesalan dan umpatan, serta sedikit harapan bahwa Naruto lebih baik tidak mengenal Sasuke. Benar-benar melelahkan.

Ponselnya berbunyi dan dia mendapati pesan dari nomor tak dikenal.

Sikumu masih sakit?

Itulah isi pesannya.

Naruto menatap nomor tidak dikenal itu dengan bingung. Dia mencoba melihat foto profil dari si pengirim pesan, tetapi orang tersebut tidak memakai foto profil. Naruto baru hendak membalas pesan tersebut ketika pesan berikutnya masuk.

Ini si anak baru, Ketua OSIS.

Ternyata yang mengiriminya pesan adalah Sasuke. Sudut bibir Naruto terangkat sedikit ketika membaca pesan itu.

Naruto: Tahu nomorku dari mana?

Uchiha: Dari grup kelas. Jadi, kau belum menjawab pertanyaanku.

Naruto: Masih lebih baik dari kondisi hidungmu yang bengkok. Apa kau butuh operasi plastik?

Uchiha: Begitulah. Kurasa aku harus pergi ke Korea Selatan untuk membenarkan hidungku. Apa aku boleh izin?

Tanpa sadar sebuah tawa lepas dari mulutnya ketika membaca pesan konyol itu. Naruto membalikkan tubuhnya dan mengambil bantal untuk menopangnya. Dia kembali menatap ponselnya.

Naruto: Apa kau mau rekomendasi dokter bedah plastik yang bagus? Atau mau rekomendasi yang murah?

Uchiha: Apa kau punya rekomendasi yang bagus dan murah?

Naruto: Jangan serakah, Anak Baru. Kecuali kau mau hidungmu diganti oleh lilin plastik.

Uchiha: Maksudmu, supaya aku tidak memiliki hidung sejelek punyamu?

Naruto: Sialan kau!

Uchiha: Kau tidak boleh berkata kasar seperti itu, Ketua OSIS.

Naruto terlonjak ketika pintu kamarnya dibuka dan Kushina ada di ambang pintu. Segera dibalikkan layar Blackberry-nya.

"Ibu, ketuk pintu dulu!" protes Naruto. Dia duduk di atas kasurnya.

Kushina mendengus. "Sudah Ibu ketuk dari tadi, tapi kau tidak menjawab. Kau mau makan siang atau tidak? Biar Ibu panaskan lauknya."

Naruto mengangguk. "Oke, aku mau." Dia turun dari tempat tidur dan mengikuti Ibunya ke lantai bawah.

.

"Yo!"

Sasuke berdiri bersandar di tiang listrik yang tidak jauh dari jalan yang biasa mereka lalui ke sekolah. Seragam sekolahnya tetap tidak serapi milik Naruto, tetapi setidaknya atributnya lengkap sehingga Naruto tidak sakit mata melihatnya. Hidung Sasuke tidak berubah, tidak bengkak ataupun bengkok. Hidungnya masih sempurna seperti wajahnya, membuat Naruto sedikit mendengus malas. Dia kira dia akan punya bahan olokan, tetapi Sasuke yang mimisan saja masih tampak keren.

"Kau ketinggalan pesawat atau apa?" tanya Naruto sambil menghampirinya. Lalu, mereka berjalan bersama.

"Oh, jadi kau mau mensponsori biaya operasi plastikku?" tanya Sasuke sambil menyeringai. Seringai yang sangat menyebalkan karena sangat cocok di wajahnya yang sempurna.

"Sepertinya kau masih setengah tidur ketika berangkat pagi ini," komentar Naruto.

"Bersyukurlah karena aku masih mau bangun pagi hari ini."

Naruto mendengus. "Sudah kewajibanmu untuk bangun pagi, teme."

"Sekarang kau juga menjadi asisten Guru BK? Berapa banyak koleksi gelarmu?" tanya Sasuke sambil menguap.

"Kau akan terkejut kalau aku menjabarkannya."

Sasuke tertawa mendengar jawaban seperti itu. Jika minggu lalu, Naruto hanya akan menatapnya sinis, marah-marah penuh kebencian dan meninggalkan Sasuke sendirian. Namun, kali ini dia menanggapinya dengan sarkasme dan tetap berjalan santai di sisi Sasuke.

Seperti biasa, Naruto tampil sempurna dengan kemeja putih bersih, lembut, tidak ada kain yang terlipat. Dari jarak mereka berjalan, Sasuke bisa menghidu aroma pelembut pakaian yang dipakai Naruto, bercampur dengan aroma cologne yang tidak terlalu menyengat. Matanya sebiru langit di musim panas tampak fokus menatap jalan. Entahlah, Sasuke tidak tahu apa yang ada dipikiran si Ketua OSIS sempurna itu. Rambutnya yang pirang berkibar ditiup angin di penghujung musim panas. Hawa sudah mulai sejuk, tetapi mereka belum mengganti seragam menjadi musim gugur.

Perjalanan pagi itu tidak banyak pembicaraan, tetapi tidak terkesan canggung. Sejujurnya, Sasuke punya banyak pertanyaan untuk Naruto, tapi dia tidak yakin mereka cukup dekat untuk Naruto mau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Jadi, mereka hanya diam saja sambil menuju sekolah.

"Naruto! Selamat pagi!" seru Sakura dari arah yang berlawan dari mereka ketika mereka sampai di depan gerbang sekolah.

"Oh, Sakura-chan! Pagi!" langkah Naruto dipercepat hingga dia meninggalkan Sasuke yang berjalan di belakang. Sakura melambai padanya. Gadis itu tampak ceria dan tampil manis pagi itu. Dengan rambut merah mudanya yang lembut dan seragam musim panas, dia seperti lambang musim semi.

"Pagi Uchiha-kun," sapa Sakura dari balik bahu Naruto. Kini, Naruto berjalan di sisi Sakura. Sasuke mengangguk singkat.

Benar juga. Semakin dekat mereka di lingkungan sekolah, semakin terkembang senyum milik Naruto. Senyum yang dimiliki oleh semua orang. Semakin banyak yang menyapa mereka (khususnya Naruto dan Sakura), semakin Sasuke merasa dinding di antara mereka berdua tebal. Satu-satunya kesempatan dimana dinding itu tidak ada hanyalah ketika mereka berdua tanpa ada pihak ketiga. Di sanalah Naruto bisa membuka topengnya tanpa segan.

"Bagaimana persiapanmu? Apa kau mau aku membawa anggota cheerleaders untuk menyorakimu ketika lomba nanti?" tanya Naruto.

"Kalau kau melakukannya, kau sudah pasti ditendang sejauh 2 meter dari tempat lomba," balas Sakura.

Naruto tertawa. Tawa yang renyah dan ramah.

"Yah, aku mencoba menjadi pacar yang suportif."

Sakura mengacak-acak rambut Naruto yang disisir dengan susah payah. Beberapa helainya mencuat ke atas. "Kau sudah suportif."

Sasuke masih bisa mendengar percakapan mereka. Benar, mereka berdua itu sepasang kekasih. Usia hubungan mereka juga sekitar 2 tahun, jadi wajar saja jika Naruto mengatakan hal seperti 'pacar' di depan umum tanpa malu-malu. Anehnya, Sasuke merasa terganggu dengan itu. Rasanya dia ingin menyerobot di antara pasangan kekasih itu supaya Naruto tidak lagi menebar senyum ramah kepada Sakura atau pada siapapun.

Aku pasti sudah gila karena kurang tidur, batinnya sambil menguap.

Mereka masuk ke kelas bersama dan Naruto duduk di bangkunya bersama dengan Sakura. Sasuke duduk di bangkunya yang biasa. Dia berharap hari ini Sakura izin dispensasi untuk persiapan lombanya, tapi sayangnya hingga bel masuk berbunyi, Sakura tidak beranjak pergi dari kursinya. Malah, dia ikut pelajaran seperti biasa. Begitu juga dengan istirahat.

"Apa kau sedang merencanakan pembunuhan?" tanya Shikamaru saat istirahat. Sasuke menatapnya. Shikamaru hanya mengangkat bahunya. "Kalau nanti Haruno tewas di jalan, aku akan bilang pada polisi kau adalah tersangka utamanya."

"Apa sih yang kau bicarakan?" tanya Sasuke ketus.

"Apa kau sadar bahwa sedari pagi kau menatap Haruno seperti ingin mengulitinya hidup-hidup?"

Sasuke mendengus. "Memang seperti ini tatapanku. Kalau kau mau bicara omong kosong, bicara saja pada kaca."

Shikamaru tidak mengindahkan kalimat sinis nan tajam itu. "Apa kau mau makan siang atau mengamati Haruno dan Uzumaki sampai matamu kering?" tanya Shikamaru.

Sasuke ingin menginjak-injak mulut Shikamaru yang bicara asal dan tanpa filter. Namun, dia ikut berdiri bersama Shikamaru dan berjalan bersama menuju kantin. Di perjalanan, dia menatap Naruto yang sedang makan bersama Sakura serta teman-teman yang lain. Mereka menggabungkan meja dan mengeluarkan bekal masing-masing. Semakin dekat ke arah mereka, semakin terdengar jelas percakapan mereka, suara tawa mereka atau komentar satu sama lain terhadap bekal yang di bawa.

Lalu, lagi-lagi Naruto merasakan pergerakan. Matanya menoleh dan bersibobok dengan Sasuke. Sasuke tidak melepaskan pandangannya. Selama mungkin, sebisa mungkin, dia tetap mempertahankan kontak mata mereka. Setidaknya, di dalam dunia Naruto yang diisi oleh banyak orang, Sasuke ada di situ. Menjadi bagian kecil dari dunia itu.

Pundak Naruto ditepuk dan lagi-lagi kontak mata itu putus. Naruto kembali merespon teman-temannya dan Sasuke kembali berjalan ke luar bersama Shikamaru ke kantin. Hanya momen itu yang menjadikan Sasuke bagian dari dunia Naruto, tidak lebih dan tidak kurang.

"Benar-benar," komentar Shikamaru sesampainya mereka di kantin. Kantin penuh dengan murid yang sedang membeli makan siang. Berbagai kursi di kantin sudah terisi hampir penuh. "Aku berubah pikiran. Aku akan tidur di perpustakaan saja," kata Shikamaru sambil membalikkan badan.

Namun, Sasuke menahan pergerakannya. "Kau yang menyeretku ke kantin, Nara. Sekarang kita akan menderita bersama," ujarnya sambil tersenyum dingin.

Shikamaru mengerutkan seluruh wajahnya, seolah Sasuke menyuruhnya mencium sampah. "Aku menyesal berteman denganmu, Uchiha."

Sasuke tidak menanggapi. Dia menyeret Shikamaru untuk ikut mengantre bersamanya. Sudah 100 kali Shikamaru menguap selama 5 menit menunggu antrean pesanan makanan. Akhirnya, mereka berhasil mendapat tempat di sisa meja.

"AH! Ini menyebalkan. Energiku terkuras habis," keluh Shikamaru sambil mengambil sumpit sekali pakai untuk memakan bento-nya.

"Tapi kau selalu punya energi untuk mengeluh ini dan itu," kata Sasuke tidak habis pikir. Lebih tidak habis pikir lagi karena dia menanggapi ucapan Shikamaru yang seharusnya dibiarkan saja. Karena dia lapar, Sasuke juga mulai menyantap bento tersebut.

Sasuke merasa aneh sekali. Sudah sangat lama rasanya dia tidak melakukan aktivitas seperti siswa normal. Datang tepat waktu, mengikuti semua pelajaran tanpa membolos, makan di kantin bersama dengan seorang teman, semua itu terasa aneh tapi juga terasa seperti sebuah nostalgia. Kapan terakhir kali Sasuke memiliki kehidupan normal seperti ini? Biasanya, Sasuke tidak akan pernah mau pergi makan ke kantin, mengantre membeli bento dan mencari-cari kursi kosong. Biasanya, Sasuke tidak akan mau berinteraksi dengan siapapun dari kelasnya karena dia tahu bahwa waktunya di sekolah itu tidak lebih dari 1 minggu sebelum dikeluarkan.

Dia baru menyadari bahwa satu minggu sejak dia berada di SMA ini, Sasuke mengalami satu minggu yang bisa dibilang paling normal untuk beberapa tahun terakhir. Tidak ada bolos, tidak ada pertengkaran antar geng, tidak ada panggilan ke Guru BK karena merokok di area sekolah. Malah, Sasuke tetap diam di kelas, mendengarkan pelajaran, mengerjakan tugas-tugas konyol dan tidak penting dari para guru, hingga berinteraksi dengan orang lain.

Naruto Uzumaki baru satu minggu hadir di kehidupan Sasuke, tapi efek yang ditimbulkan lelaki itu begitu luar biasa. Sasuke jadi penasaran, jika dia bisa bertahan hingga satu bulan, seperti awal taruhan mereka, sejauh apa Naruto akan masuk ke dalan kehidupannya dan mengubah hidupnya? Jika di sekolah ini tidak ada seorang Naruto Uzumaki, akankah Sasuke mengalami perubahan seperti ini?

Lamunannya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang asing tetapi juga familiar. Seorang lelaki kurus berambut abu-abu dengan tampang sangar masuk ke kantin. Seragamnya tidak rapi, dan jika Naruto ada di sini, dia pasti akan mengamuk dan menyuruh mereka memakai seragam dengan benar. Suigetsu dan Juugo, antek-anteknya.

Mereka tidak menimbulkan keributan, hanya siswa yang ingin makan di kantin saja. Namun, para siswa menatap mereka sangsi dan menjauh. Tatapan penuh menghakimi dan takut serta merendahkan ditujukan untuk mereka. Namun, para berandal sekolah itu tampaknya sudah biasa dan tidak peduli. Sebelum bersekolah di SMA Konohagakure, Sasuke sudah sangat hapal dengan tatapan-tatapan seperti itu. Tatapan merendahkan tapi penuh dengan ketakutan itu adalah makanan sehari-harinya.

Sepertinya Sasuke menatap mereka terlalu lama, karena Suigetsu menyadarinya. Tatapan mereka bertemu dan Sasuke bersumpah bahwa Suigetsu hampir meledak seperti bom atom detik itu juga. Ekspresinya menjadi sekeras batu dan matanya melotot. Pastilah Suigetsu tidak lupa 'perkenalan' mereka beberapa hari yang lalu dan bagaimana Sasuke berhasil mempermalukannya tanpa menghajarnya.

Sama seperti Naruto Uzumaki, pikir Sasuke.

Pemuda Uchiha itu sudah siap jika sewaktu-waktu Suigetsu akan mampir ke meja mereka dan memulai keributan, tetapi dia tidak pernah menghampiri Sasuke. Dia memalingkan wajah dan menuju tempat kosong di ujung kantin, sementara anak buahnya yang membeli makanan. Sasuke memutuskan untuk menatap Shikamaru yang sudah setengah tertidur ketika memakan tempura.

"Apa yang terjadi antara Suigetsu dan Uzumaki?" tanya Sasuke, dia tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama.

Mata Shikamaru terbuka lebar seperti dikejutkan. Tempuranya jatuh lagi ke atas nasi. "Apa? Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?" tanyanya. Sesekali Sasuke melirik ke arah Suigetsu yang duduk dengan sembarangan di salah satu kursi kantin. Juugo di depannya. Shikamaru melihat ke arah titik pandang Sasuke sebelum mendengus.

"Saranku jangan berurusan dengan mereka," katanya, "mereka merepotkan." Dia mengambil lagi tempura yang jatuh dan memakannya.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku," kata Sasuke. "Suigetsu tampak takut pada Uzumaki. Apa Ketua OSIS kita pernah menghajarnya hingga babak belur?" tanya Sasuke.

Pertanyaan itu membuat Shikamaru tertawa parau. "Tidak, tentu saja tidak. Kau pikir orang seperti Uzumaki mau membuang-buang tinjunya untuk Suigetsu? Dia tidak terlalu suka juga dengan hal merepotkan seperti itu." Shikamaru mengibas-ngibaskan tangannya seperti mengusir lalat. "Bukan gayanya."

Itu benar. Naruto Uzumaki yang dikenal oleh Sasuke selama satu minggu ini tidak akan menghajar seseorang. Dia terlalu sempurna untuk melakukannya. Lagipula, Naruto selalu mementingkan pandangan orang-orang di sekitarnya, yang artinya dia tidak akan bertindak di luar kendali.

"Jadi, apa yang terjadi?" tanya Sasuke lagi. Dia masih belum mendapat jawaban apapun.

Shikamaru menatapnya dengan alis terangkat. "Apa kau setertarik itu pada Uzumaki? Maaf saja, aku tidak akan membiarkanmu menjadi orang ketiga."

"Jangan bicara omong kosong, kataku," ujar Sasuke kesal. "Aku hanya ingin tahu saja, karena ternyata di sekolah se-elite ini preman pun masih ada."

"Tentu saja ada," kata Shikamaru. "Hanya karena disembunyikan dengan baik, bukan berarti hilang. Uzumaki juga tidak bisa sepenuhnya mengendalikan Suigetsu, jadi dia hanya melakukan apa yang dia bisa."

Mengendalikan, kata Shikamaru. Itu adalah pilihan kata yang menarik dan sangat spesifik. Naruto mengendalikan Suigetsu dan geng-nya. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan hal lain yang lebih kuat. Sasuke merasa ada adrenalin yang mengalir di darahnya. Dia sangat ingin tahu apa yang dilakukan oleh Naruto untuk mengendalikan Suigetsu.

"Jangan bertele-tele dan ceritakan saja," kata Sasuke dengan sedikit tidak sabar.

Shikamaru berdecak. "Mulai sekarang aku akan menagih 10 yen untuk setiap kata yang keluar dari mulutku. Kau paham?" gerutunya.

Sasuke mengabaikannya dan hanya menatap tajam Shikamaru. Akhirnya, pemuda Nara itu menghela napas. Meskipun merepotkan, Shikamaru membuka mulutnya untuk bercerita. "Sebenarnya masalah geng seperti ini pasti ada di sekolah-sekolah. Dari periode sebelum Uzumaki menjabat, masalah ini menjadi sorotan OSIS karena mengganggu ketenangan. Dulu lebih parah lagi, mereka memalak dan mengganggu terang-terangan. Ketika Naruto Uzumaki baru bergabung di OSIS, dia sudah ikut dimintai pendapat oleh Ketua sebelumnya, tetapi dia tidak bisa banyak bertindak, karena jabatannya hanya Wakil Ketua OSIS."

"Sebentar, kalau dia menjabat dua tahun berturut-turut sebagai Ketua OSIS–"

"Iya begitulah. Kau simpulkan sendiri. Jangan memotongku, bisa?" tukas Shikamaru kesal.

Sasuke menutup mulutnya.

"Intinya, ketika Uzumaki naik jabatan, dia mencari berbagai cara untuk menghentikan aksi geng ini. Aku tidak tahu apa yang dia temukan dalam pencariannya, tapi suatu hari dia mengajak Suigetsu bicara empat mata dan seperti sulap, besoknya Suigetsu tidak lagi berbuat onar."

"Apa yang dibicarakan oleh mereka?"

Shikamaru mengangkat bahu. "Kau tanyakan saja pada Uzumaki atau Suigetsu. Itu sudah bukan hakku untuk memberitahu. Yang jelas, topik yang mereka bicarakan sudah cukup kuat untuk mengendalikan Suigetsu hingga akhir tahun. Karena Naruto Uzumaki menjadi Ketua OSIS dua tahun berturut-turut, bisa dibayangkan betapa dongkolnya Suigetsu karena dia dikendalikan seperti anjing oleh Uzumaki."

Shikamaru menyelesaikan cerita itu dengan dramatis.

"Sekarang, boleh aku lanjut makan? Energiku bahkan belum terisi ketika kau menyuruhku bercerita."

Begitu rupanya. Cerita Shikamaru lebih masuk akal dan lebih mirip dengan penyelesaian yang akan diambil oleh Naruto. Bukan secara fisik atau dengan tinju, tapi dia menekan lawannya dengan pendekatan lain. Sebuah kelemahan lain yang mengalahkan ketakutan akan rasa sakit fisik. Sebuah kelemahan yang bisa menghancurkan lawannya sekali dan selamanya.

Memikirkan seorang Naruto Uzumaki dengan senyum secerah mataharinya melakukan itu untuk mengendalikan preman sekolah, mau tidak mau Sasuke merasa perasaan penasarannya meningkat berkali-kali lipat. Setiap kali dia bertemu Naruto, dia menemukan sisi baru dari pemuda itu, sisi lain yang tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Naruto lebih dari sekedar pemuda yang hobi berpura-pura di dalam hidupnya.

"Sekarang aku yang akan bertanya," kata Shikamaru. Sasuke menatapnya. Bento mereka sudah hampir habis. "Kenapa kau begitu tertarik dengan Uzumaki? Dari awal kau di sekolah ini, hidupmu sepertinya hanya berputar di sekitar Uzumaki."

"Aku baru satu minggu di sekolah ini," koreksi Sasuke.

"Itu maksudku. Baru satu minggu, tapi caramu penasaran dengan Uzumaki itu terasa aneh."

Sasuke mengaduk salad di bento-nya. "Siapapun akan penasaran dengan Ketua OSIS yang bisa mengendalikan preman sekolah hanya dalam satu negosiasi."

"Aku punya jawaban untukmu," kata Shikamaru. "Mereka hanya tahu mengenai kisah itu sebagai rumor."

Sasuke mengerjap, untuk sesaat dia tampak bingung dengan ucapan Shikamaru. "Jadi ceritamu tadi mengada-ada?" tanya Sasuke kesal.

Shikamaru mengangkat bahunya. "Setidaknya itu cerita yang beredar di OSIS. Anggota-anggota yang bosan, tidak ada drama, akhirnya membuat spekulasi-spekulasi sendiri tentang kejadian itu. Lagipula, masalah itu tidak pernah jadi masalah resmi OSIS, karena seharusnya yang mengurus hal tersebut adalah sekolah."

Apa yang dikatakan Shikamaru ada benarnya. Masalah geng atau preman sekolah seharusnya adalah masalah sekolah dan yang harus menyelesaikannya adalah sekolah, bukan OSIS. Namun, Sasuke juga tahu bahwa para korban tidak akan ada yang berani mengadukannya ke guru karena pembalasan dari para pelaku bisa lebih kejam jika ketahuan ada yang melapor. Mungkin, karena itu Naruto memutuskan untuk turun tangan membereskan masalah ini dengan caranya sendiri. Kalau begitu, hal itu menjadi urusan pribadi antara Naruto dan Suigetsu.

"Apapun itu, bukan urusan kita," simpul Shikamaru. "Hidup ini sudah terlalu merepotkan untuk mengurusi urusan orang lain." Dia menguap.

Bersamaan dengan itu, bel masuk berbunyi. Mereka berdua membuang kotak bekas bento mereka ke tempat sampah dan berjalan kembali ke kelas. Di perjalanan, Sasuke tidak bicara apapun. Dia sibuk dengan pikirannya yang berlompat-lompatan. Kebanyakan tentang Naruto. Apakah ada manusia yang sempurna seperti itu, sama sekali tidak punya kekurangan? Bisa melakukan semuanya sendiri, menyelesaikan masalah sendiri? Apakah itu tidak berlebihan untuk ukuran seorang anak SMA?

Anak-anak di kelas mereka sudah mulai duduk di bangku masing-masing. Para siswa yang makan bersama tadi sudah membereskan bangku mereka masing-masing dan mengeluarkan buku pelajaran. Begitu pula dengan Naruto. Kali ini, Sasuke tidak melewati pintu depan, tetapi pintu belakang sehingga Naruto tidak melihatnya masuk kelas. Sasuke duduk dengan tenang di mejanya. Punggung Naruto terlihat begitu tegak dan percaya diri. Dia sedang bicara asyik dengan Sakura. Kekesalan Sasuke kembali.

Sembari menunggu guru masuk, Sasuke memikirkan percakapannya tadi dengan Shikamaru. Sasuke tidak yakin Shikamaru berbohong, karena Shikamaru adalah orang pemalas yang bahkan sulit menggerakkan mulut untuk memberitahukan kebenaran, apalagi kebohongan. Sejujurnya, Sasuke ingin sekali langsung menghadapi Naruto, menatapnya langsung di mata dan bertanya apakah semua itu benar? Apakah kau memang hanya anak SMA? Kenapa kau berusaha menjadi sempurna? Kenapa pandangan orang lain adalah segalanya untukmu? Apa kau tidak lelah tersenyum dan bersikap ramah?

Tentu saja hal itu tidak pernah keluar dari mulut Sasuke. Dia hanya menatap punggung Naruto tanpa bisa melakukan apapun. Lagi-lagi, di bawah sorotan lampu panggung, hidup Naruto milik semua orang, Sasuke tidak bisa memilikinya. Yang bisa Sasuke miliki hanyalah semua hal yang tidak tersorot oleh lampu panggung. Emosinya yang meledak-ledak, tatapan super dingin dan kerasnya ketika dia bicara serius, amarahnya yang terkumpul di balik iris sebiru langit itu, dan potongan-potongan percakapan mereka.

Namun, apakah Sakura juga memiliki hal tersebut? Sebagai kekasihnya, Sakura pasti sudah mengenal Naruto jauh lebih lama dari Sasuke. Apakah Sakura mengenal Naruto yang tidak tersorot lampu panggung? Selama dua tahun, apa saja yang sudah pernah ditunjukkan oleh Naruto? Apa saja bagian dari Naruto yang telah dimiliki oleh Sakura? Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu bergolak di dalam perut Sasuke, membuat tubuhnya merasakan sensasi tidak menyenangkan dan berbahaya.

.

BERSAMBUNG