Bumble Trouble 14
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!
.
.
.
Sasuke membuka pintu sambil menguap. Masuk ke dalam kamarnya, ia menelengkan kepala beberapa kali. Mengurut dahinya yang masih pusing karena jetlag, Sasuke menaruh koper dan melepaskan pakaiannya. Ia bersiap untuk memasuki kamar mandi dan menyegarkan diri.
Sore ini Sasuke baru kembali ke Jepang setelah perjalanan bisnisnya di Singapura. Di tengah guyuran air, pikirannya masih penuh dengan kontrak kerjasama yang belum terselesaikan. Selesai dengan sesi mandinya, Sasuke melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.
Sasuke mengernyit. Pakaiannya yang berserakan di lantai menghilang. Begitu menoleh, ia malah mendengus. Melihat seseorang yang melakukannya.
"Sudah pulang, Sasu?" orang itu bangkit dari rebahannya di sofa. "Kau harus membiasakan diri tidak menaruh pakaian kotor sembarangan," katanya.
Sasuke menggulirkan bola mata. Ia berjalan santai dengan air yang masih menetes dari rambutnya. "Apa yang kau lakukan di kamarku, Itachi?" tanya Sasuke sembari membuka lemari, mencari pakaian untuk tidur.
"Menyambutmu, tentu saja." Itachi mengedikkan bahu. Ia berdecak melihat tetesan air di lantai. "Inilah kenapa Kakek ingin kau segera menikah, Sasuke. Agar saat kau pulang, ada orang yang mengurusmu."
"Aku tidak akan mencari istri hanya untuk membersihkan lantai kamarku. Aku pun bisa membersihkannya sendiri. Kalau pun malas, itulah gunanya punya asisten rumah tangga, 'kan?" Sasuke menenteng pakaian. "Sekarang, kalau kau hanya ingin menceramahiku setelah perjalanan panjang, keluarlah. Aku akan memakai baju."
Itachi tak bergeming. Ia malah bertopang kaki dan memangku dagu, seolah berpikiri. Itachi bisa merasakan tatapan tak suka dari adiknya. Mereka beradu tatapan, tetapi Itachi kembali mengedikkan bahu. "Kau bisa pakai di kamar mandi, 'kan?"
"Tsk." Sasuke berdecak sebal. Namun, kakinya melangkah kembali ke dalam kamar mandi. Sambil memakai pakaian dan mendumel, Sasuke semakin sebal begitu keluar dan melihat kakaknya asik bermain gawai di sofa kamarnya.
Bukan, bukan bermain gawai masalahnya. Tapi, Sasuke jelas tahu gawai siapa yang dibuka oleh Itachi. "Apa yang kau lakukan?!" Sasuke berjalan cepat menuju Itachi.
"Mencari adik ipar." Sasuke mengernyit pada layar gawai yang Itachi tunjukan padanya. "Cara lama sepertinya tidak bekerja untukmu. Jadi, kita coba cara modern. Aplikasi kencan. Kau bisa menyaring perempuan yang sesuai tipemu."
"Lihat, aku sudah selesai membuat akun untukmu. Ini. Geser ke kiri kalau kau tidak tertarik dan geser ke kanan untuk menyukainya. Jika beruntung, kalian akan terhubung."
Itachi memberikan arahan pada Sasuke dalam menggunakan aplikasi bernama Bumble. Langsung. Secara praktik menunjukkan penggunaannya.
"Hentikan. Jangan sembarangan menyentuh gawaiku, Itachi!" Sasuke merebut paksa gawainya. Ia mendengus dan berdecak berkali-kali. Mengomeli Itachi hingga suara denting dari gawai menarik perhatiannya.
Sasuke melirik gawainya. Sebuah pemberitahuan muncul. Katanya ia match dengan seseorang dan mendapatkan pesan dari seseorang tersebut. "Halo?" Sasuke membaca pesan yang masuk dengan kernyitan di dahi. Settt. Begitu lengah, gawainya kembali direbut oleh Itachi yang melarikan diri ke ranjang.
"Demi Tuhan, Itachi. Berhenti menggangguku. Aku bukan adik kecilmu lagi!" runtuk Sasuke.
"Oh, ya? Bagiku, berapa pun usiamu, kau tetap adik kecilku, Sasuke. Jadi, sekarang diamlah. Aku akan membuka jalan untukmu. Oke? Percayalah padakku, Adik." Itachi mengerling. Sambil bersantai di sofa, ia mengirim pesan pada orang pertama yang match dengan akun adikknya. "Hi, boleh berkenalan?"
Sasuke terus-terusan berdecak, menghela napas, dan menggeram menatap kakaknya yang terlihat asik memainkan gawainya. Itachi dan tingkah konyolnya entah yang ke berapa kali. Sasuke putuskan untuk mengambil tab, membaca laporan pekerjaan sambil menunggu. Biar saja. Sasuke yakin sebentar lagi Itachi akan bosan karena ia abaikan.
"Oke, selesai."
Seruan Itachi membuat Sasuke melirik. Kakaknya terlihat senyum dengan alis yang terangkat. Lalu, Itachi bangkit dan berjalan mendekat.
Puk. Itachi melempar pelan gawai Sasuke ke arah adiknya. "Selasa malam. Kau akan bertemu dengannya. Ingat, kau harus bertemu dengannya, Sasu. Percayalah, ia cantik dan..." Itachi bersiul singkat, "menarik."
Tak lama Itachi keluar dari kamar Sasuke, masih dengan senyuman konyol di wajah. Sasuke hanya kembali mendengus. Ia membuka gawainya yang tadi dilemparkan. Melihat histori pesan yang Itachi kirimkan. Membuka profil orang yang tak sengaja match dengannya. Sasuke bergulir hingga foto terakhir. "Hinata Hyuuga, ya?" gumamnya pelan.
.
.
"Kau memikirkan sesuatu?"
Sasuke berdeham dan menoleh, ia menemukan Hinata sudah masuk ke dalam mobilnya. "Kutanya, kau sedang memikirkan sesuatu?" Hinata mengulangi pertanyaannya. Dengan alis yang terangkat, ia tadi melihat Sasuke sempat termenung selama beberapa saat.
"Tidak ada."
Hinata mengernyit singkat, memicing curiga. "Baiklah." Lalu, ia tak ambil pusing. Hinata mengeluarkan wadah yang dibawanya. "Sebelum kita pergi, aku ingin kau mencoba sesuatu." Hinata menunjukkan wadah berisi kue. "Aku memasaknya. Cobalah."
Disodorkan sepotong kue di depan mata, Sasuke tidak punya pilihan selain memakannya, kan? Apalagi dengan tatapan berharap Hinata, laki-laki itu hanya bisa membuka mulutnya dan mengunyah kue masakan Hinata.
"Bagaimana?"
Hinata bertaya penuh harapan. Memerhatikan setiap kunyahan yang Sasuke lakukan. "Enak." Sasuke berkomentar singkat. "Dan... manis?"
Hinata terkekeh pelan. "Tentu saja itu manis, Sasuke-san. Itu kue bolu dan seperti yang kau tahu, aku suka makanan manis," katanya sembari mengangkat alis dan tersenyum.
"Oke. Jadi, kita makan siang dulu?" ajak Sasuke. Hinata mengangguk sembari merapikan wadah kue bolunya. Ia berencana akan mengemilnya selama perjalanan mereka hari ini.
Berjalan menuju distrik Nerima, Hinata dan Sasuke mengunjungi restoran cepat saji khas Brazil. Mereka duduk di tengah. Seolah biasa, Hinata memesan dengan akrab pada pelayan.
"Kau suka makanan cepat saji, ya?" Sasuke memulai obrolan. "Tentu saja. Mereka cepat, 'kan?" Hinata mengangkat sebelah alis sambil tersenyum pada pelayan yang menaruh pesanan mereka dalam hitungan menit. "Gracias."
"Dan yang terpenting... ini." Hinata mengangkat satu hidangan. "Tapioca coklat mereka sangat enak. Dan manis." Hinata mulai menggigit tapioca, mengunyah dengan lelehan coklat yang membuatnya senang. Dengan mulut yang penuh, Hinata menyodorkan ujung tapioca lain pada Sasuke. Namun, lelaki itu menggeleng dengan cepat.
"Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup makan makanan manis."
"Sasuke-san... tidak suka makanan manis?" Hinata bertanya setelah ia selesai mengunyah. "Aku kurang terlalu suka."
Trak. "Kenapa?" Hinata bertanya usai menaruh tapioca kembali ke atas meja "Bukankah Sasuke-san beberapa kali mengajakku makan dessert? Juga memberiku cukup banyak coklat sebelumnya."
"Yah, aku hanya membawamu ke tempat yang kau suka. Dan masalah coklat itu..." Sasuke menghembuskan napas. "Well, sebenarnya aku membelikan oleh-oleh untuk keponakanku. Tapi saat kita bertemu, aku jadi ingin memberikannya untukmu."
."Jadi aku second choice?" Sasuke mengernyit tak mengerti. "Maksudnya, pilihan kedua. Awalnya oleh-oleh itu bukan untukku, 'kan?"
"Ah... Tidak. Bukan begitu. Aku hanya senang melihatmu senang. Maksudnya. –aku"
"Hahaha. Aku hanya bercanda!" Hinata memotong ucapan Sasuke sambil terkekeh. "Terima kasih sudah memberikannya padaku, Sasuke-san."
Hinata tersenyum lembut. Senyuman yang terlihat begitu damai bagi Sasuke. Selama beberapa saat Sasuke hanya fokus pada bibir Hinata, meskipun ada coklat yang menempel di ujungnya.
Kres. Hinata melanjutkan makan tapioca, merekomendasikan Sasuke makanan lain yang tidak terlalu manis. "Bisa kau hentikan, Hinata?" Hinata berhenti mengunyah, bingung. Sepertinya ia terlalu banyak bicara. "Bisa kau berhenti memanggil namaku dengan formal? Kurasa sudah saatnya kita bicara lebih santai satu sama lain."
"Bagaimana kau ingin aku memanggilmu?"
"Sekarang terdengar lebih baik. Mungkin kau juga bisa memanggil namaku tanpa nama keluargaku. Well, apapun yang menurutmu nyaman dan tidak membuat aku merasakan gap usia kita." Hinata terkekeh pelan. "Baiklah, Sasuke," ucapnya sembari tersenyum simpul.
"Omong-omong, besok lusa aku akan pergi." Hinata mendengarkan. "Urusan pekerjaan ke Meksiko. Yah, kebetulan sekali kan kita makan di restoran ala Spanyol?" tanyanya retoris. "Seperti yang pernah aku bilang, kuharap kau dapat mengerti."
Hinata mengernyit dan berdeham. "Mengerti apa?"
"Mengerti aku." Belum sempat Hinata bertanya lagi, Sasuke menerangkan. "Mengerti keadaanku yang mengharuskan aku beberapa kali pergi untuk mengurusi pekerjaan. Dan selama itu, mungkin aku akan cukup sulit dihubungi."
"Kau juga pernah bilang, kau tidak keberatan dengan pasangan yang sibuk, 'kan?" lagi, Sasuke bertanya padahal sudah tahu jawabannya. "Aku juga akan tetap berusaha mengabari dan meminta pengertianmu. Bagaimana menurutmu?"
Hinata kembali tersenyum. Ia merasa tersentuh, bagaimana Sasuke ternyata cukup dewasa.
"Tentu saja aku tidak keberatan. Aku sadar jika aku bukan anak-anak lagi. Dan melihat usahamu, tentunya aku pun juga harus berusaha untuk kita saling mengenal, 'kan?"
Itu yang Hinata ucapkan beberapa hari lalu. Tapi, sepertinya perbuatan tidak semudah ucapan. Ia merasa galau. Dikirimi pesan hanya beberapa kali dalam sehari. Sasuke yang lambat membalasnya. Belum lagi perbedaan jam antara Jepang dan Meksiko yang mengganggu. Sudah jelas Hinata kesepian.
"Bisa kau berhenti menghela napas dan membolak-balikkan badanmu terus, Hinata?" suara dari arah kompor membuat Hinata sedikit mendongak. "Kau bilang habis membaca quotes bahwa hubungan itu berdasarkan kepercayaan. Jadi, stop panik begitu!"
Gerutu Ino membuat Hinata berdecak sebal. Mengerucutkan bibirnya. "Lagipula, kau tidak mau coba cari kesibukan? Bekerja mungkin?" Ino dan Hinata berpandangan. "Bukan di tokoku. Cari kesibukan yang lain saja. Membantu mengurus peternakan ayahmu atau panti di Hyougo misalnya."
Ino berkacak pinggang sembari menatap rebusan mie instan yang dimasaknya. "Ingat, Hinata," Ino kembali berbalik dan bertatapan dengan Hinata. "Kau juga harus meningkatkan dirimu. Apalagi pacarmu itu seorang Uchiha. He is a fckn Uchiha!" paniknya sendiri.
"Kami belum berpacaran!" Hinata merengut, tapi ia juga bangun terduduk setelah Ino selesai memasak mie instan dan duduk di sampingnya. "Lagipula, bukankah ada hal yang lebih penting?" Ino mengernyit bingung. "Kau! Bagaimana bisa kau berpacaran dengan Toneri?"
"Apa? Itu rahasia!" Ino mengelak. "Oh ya? Aku jujur padamu tapi kau tidak mau?" Ino mengangguk sambil mencebik. "Pelit. Egois. Sahabat macam apa –yang"
TOK TOK
Hinata dan Ino terdiam. Bertatapan karena bingung mendengar suara ketukan pintu. Ketika suara ketukan kembali didengar, Hinata bangkit untuk membuka pintu.
"Hinata Hyuuga?"
Hinata mengernyit bingung menatap seorang pemuda berdiri di depan flatnya. Membiarkan pintu terbuka agar Ino juga dapat melihat, Hinata mulai menanggapi. "Ya. Siapa?"
"Kami dari Oishii Mart. Untuk barangnya bisa kami taruh di mana?" Hinata menunduk, ia baru sadar jika si pemuda membawa dus agak besar dan ada satu kantung belanja di sampingnya. "Aku tidak memesan apa pun."
"Ini pesanan yang ditujukan untuk Hinata Hyuuga dari Sasuke Uchiha?" si pemuda berambut biru terang itu membaca dokumen yang dibawanya.
Hinata menengok, bertatapan dengan Ino yang memerhatikan. "No way!" pekiknya. "Ia mengirimimu satu dus jus dan sekantung jeruk segar karena kau bilang terbiasa meminumnya setiap hari?!"
"It's a fckn Uchiha's thing!" Ino mengomel dengan gelengan kepala. Sementara Hinata tersenyum kecil. Mungkin ia tidak terlalu kesepian?
.
.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Sasuke melirik bingung Hinata yang seharian ini menatapnya aneh. Satu setengah minggu akhirnya berlalu. Mereka akhirnya kembali bertemu dan makan malam di kedai kecil sudut kota atas permintaan Hinata. "Tidak papa."
Perempuan itu berpaling sambil tersenyum-senyum, membuat Sasuke semakin penasaran. "Hinata, ada apa?" Sasuke menyentuh bahu Hinata, meminta si perempuan menatapnya.
"Hah..." Hinata menghela napas. Ia mengambil tangan Sasuke dan menggenggamnya di atas paha. "Aku hanya senang. Kau begitu baik padaku. Meskipun kau jauh, kau tidak melupakanku," ujarnya sembari menatap tautan tangan mereka. "Terima kasih atas jus dan jeruk yang kau kirimkan, Sasuke."
Hinata mendongak. Tersenyum lembut yang membuat Sasuke terdiam selama beberapa saat. "Kukira ada apa." Trak. Sasuke menggeser gelas berisi ocha hangat di depannya. "Jadi, bisa kita kembali bicara?" Hinata mengangkat alis. "Sejauh apa hubunganmu sebelumnya?"
Hinata merengut. Sasuke mulai ingin tahu lebih jauh tentang dirinya sejak bertemu di mobil. "Seingatku dulu kami berpacaran tak jauh beda seperti orang lain. Saling mengirim pesan, makan bersama, saling mendukung satu sama lain."
"Tidak ada sentuhan seperti ini?" Hinata menunduk, memerhatikan tangan Sasuke yang membelai-belai tangannya dalam genggaman. "Tentu saja ada pegangan tangan." Sasuke menatap iris Hinata, meminta jawaban lebih. "Dan... lebih, mungkin?"
"Sejauh mana?"
Hinata menggigit bibir bawah, mengecapnya. Ia meneguk ludah sekali. "Rahasia." Jawabnya cepat sembari melepaskan genggaman tangan mereka dan sedikit membuat jarak.
"Kau sendiri bagaimana? Seserius apa hubunganmu sebelumnya?" Hinata menunggu jawaban. Menunggu Sasuke meneguk ocha dan menaruh gelas hingga menimbulkan bunyi. "Aku belum pernah punya pacar."
"Serius?" Hinata memicing curiga, tapi gestur Sasuke terlihat meyakinkan. "Sama sekali?"
"Sama sekali."
Sasuke kembali meminum ocha, menghabiskannya. "Jadi secara teori kau yang lebih berpengalaman, Hinata."
"Berpengalaman apa?"
"Berpengalaman pacaran, 'kan?" Hinata mengedikkan bahu. Ia juga ikut-ikutan meneguk ocha dan menyisakan sedikit isinya.
Pemandangan itu membuat Sasuke tersenyum kecil. Kini gilirannya menunggu Hinata selesai minum sebelum kembali mendapatkan atensi. "Karena kau lebih berpengalaman, mungkin kau bisa mengajariku, Hinata."
"Mengajari apa?" Sasuke mengetukan jari di meja. "Cara berciuman, mungkin?"
Napas Hinata terhenti selama beberapa saat. Ia terkejut dengan ucapan Sasuke yang membuat pipinya sedikit memerah. "Atau kau lebih suka aku yang menciummu lebih dulu?"
Hinata memundurkan badannya ketika Sasuke mencondongkan tubuh ke arahnya. Jantungnya seketika berdegup-degup. "Aku..." Hinata mengalihkan pandangan dan meneguk ludahnya lagi.
Lain halnya dengan Sasuke. Ia merasa kurang nyaman dan penasaran karena Hinata merahasiakan hal darinya. Di depan matanya, ia fokus memerhatikan gerak-gerik Hinata. Bagaimana iris indigo itu memutus pandangan. Bagaimana Hinata meneguk ludahnya. Dan bagaimana bibir merah muda itu menarik atensinya sejak lama.
"Boleh aku menciummu, Hinata?"
Pandangan mereka kembali bertemu. Hinata semakin tegang. Duduk di meja bar kedai, kursi yang didudukinya tak ada sandaran hingga Hinata memegang erat sudut kursi. Di depannya Sasuke terlihat sedang menunggu jawaban. Pelan tapi pasti, Sasuke mendekat setelah mendengar Hinata berdeham.
Matanya tertutup, Hinata tak bisa melihat Sasuke yang sempat ragu untuk menciumnya. Cup. Bibir mereka akhirnya bersentuhan. Sasuke membiarkannya selama beberapa saat sebelum mencoba mengecap bibir atas Hinata. Rasanya waktu seperti terhenti. Begitu dirasakan Hinata berusaha membalas kecupannya, mereka saling memagut lembut selama beberapa saat. Mengabaikan posisi mereka yang berada di kedai kecil sepi, tanpa pengunjung lain.
Malam ini rasanya bintang bersinar lebih terang dan lebih dekat. Hinata terus-terusan tersenyum sejak ia berpisah dengan Sasuke. Saat melihat pantulan wajahnya di cermin, barulah Hinata tersadar jika ia sepertinya sudah mulai gila.
Bruk. Hinata merebahkan diri di ranjang. Masih dengan wajah tersenyumnya, ia meraba pelan bibirnya yang sedikit berantakan.
Ting
Sebuah pesan masuk. Dengan terburu Hinata mencari gawainya yang ada di dalam tas selempang. Membuka pesan dengan harapan tinggi, Hinata kehilangan senyumnya saat membaca.
"Bisakah kau membalasku, Hinata? Kita benar-benar perlu bicara. Aku akan menjelaskan semuanya."
Terima kasih atas dukungannya!
Kurosaki Mikasa: Makasih semangatnya, ya. Tulisan ini sedang diusahakan untuk selesai, kok. Sekali lagi, terima kasih sudah membaca dan berkenan meninggalkan jejak! ^^
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
