A ROSE ON ME (CHANBAEK)

BOYSLOVE/YAOI

Main Cast :

Byun Baekhyun

Park Chanyeol

Summary :

Baekhyun kira pertemuannya dengan Chanyeol sudah berakhir setelah ia mengembalikan bantuan yang pernah pria itu beri, namun satu tawaran tak terduga berhasil menyeretnya ke sebuah penthouse dengan fakta mengejutkan tentang seorang Park Chanyeol.

~Keseluruhan cerita berasal dari imajinasiku sendiri~

.

.

BB922020


A ROSE ON ME : Chapter 10

Sesuatu yang terjadi kemarin bukanlah sebuah dongeng atau mimpi semalam. Saat Baekhyun membuka mata ia bisa merasakan nyeri di sekujur tubuh terutama di bagian bokongnya. Ia dibuat meringis kecil saat mencoba duduk di kasur.

Maniknya menjelajah ke setiap sudut ketika tak mendapati siapapun di sebelahnya. Kosong dan hampa menyergap. Entah mengapa dia langsung mencari keberadaan Chanyeol.

"Kau sudah bangun?"

Baekhyun menoleh ke arah pintu dan menemukan pria yang dia cari mengenakan setelan kerja. Dia tak sadar jika hari sudah menjelang siang. Dia tertidur cukup lama.

"Kau habis dari mana?"

"Mengantar Jackson dan mengurus beberapa hal di kantor." Pria itu berjalan dengan langkah ringan menghampiri Baekhyun.

Dia duduk di pinggir ranjang dan menepuk pahanya. "Kemari."

"Badanku sakit..." Adu Baekhyun. Rona merah samar-samar menghiasi pipi saat mengingat kejadian semalam.

Chanyeol mengerti dengan kondisi Baekhyun, karena itu dia tidak banyak bicara. Dia mengulurkan tangan menuntun Baekhyun pindah ke atas pangkuannya dengan hati-hati. Baekhyun menurut seperti anak baik tanpa ada bantahan.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

"Kau membutuhkan ini." Chanyeol mengeluarkan sebuah salep dari saku jas.

Saat ini Baekhyun hanya mengenakan baju kebesaran milik Chanyeol yang dia gunakan untuk tidur semalam dan tak ada sehelai celana menutup area privatnya. Itu memudahkan Chanyeol untuk mengolesi salep pereda nyeri yang sempat ia beli ke lubang sang kekasih.

Baekhyun tak protes dan hanya memeluk leher Chanyeol. Membiarkan pria itu merawatnya dengan baik.

"Pelayan akan segera datang membawakanmu sarapan."

"Aku masih mengantuk..."

"Perutmu kosong sejak pagi. Aku akan menemanimu makan."

Baekhyun tak balas menjawab. Ia mengerjap sayu masih terbius oleh rasa kantuk. Bagaimana tidak? Dia bercinta dengan Chanyeol sampai tak mengenal waktu. Entah pria itu mendapat stamina dari mana untuk terus memberikan cumbuan yang membuat Baekhyun pasrah.

Bahkan saat ini Chanyeol kembali melahap bibir Baekhyun. Tak rakus, namun cukup membuat bulu kuduk Baekhyun merinding. Sentuhannya sangat sensual.

"Berhenti menciumku." Baekhyun melepas pelukannya.

"Kau tidak bisa menghentikanku." Pria itu beralih mencium pipi empuk Baekhyun dengan tarikan napas menghirup aroma lembut lelaki itu. Manis.

"Tapi ini wajahku!"

Chanyeol tak berniat menanggapi protesnya. Dia semakin gencar memberi kecupan di setiap inci wajah tersebut.

Baekhyun tertawa kecil oleh rasa geli. Tak tahu bagaimana bisa semua terasa semanis permen kapas, namun Baekhyun menyukainya. Siapa yang menduga keadaan bisa berubah sedrastis ini untuk mereka?

Para pelayan datang menginterupsi dengan sarapan di tangan. Baekhyun merona malu dan langsung bergerak melepaskan diri.

Tak seperti biasanya, hari ini Chanyeol terlihat lebih tenang. Suasana hati pria itu sedang bagus sehingga dia membiarkan Baekhyun beralih duduk di sebelahnya tanpa protes.

"Makanlah."

Baekhyun menurut dan mulai menyantap makanannya dengan sorot mata yang sesekali melirik Chanyeol.

"Kau tidak kembali ke kantor?"

"Aku ingin di sini."

"Kau tidak perlu menemaniku. Aku baik-baik saja."

"Aku yang memutuskan di mana aku ingin berada. Habiskan makananmu."

Pria kaku. Dingin. Dia bukan pria yang senang dibantah dan terkadang sangat diktator. Menurut Baekhyun, pria itu adalah manusia paling menyebalkan di muka bumi. Tetapi memiliki pria itu di sampingnya dan bahkan hanya duduk diam memperhatikannya makan membuat Baekhyun bahagia.

"Kau makan seperti anak kecil." Pria itu mengusap jejak sup di sudut bibir Baekhyun dengan ibu jarinya.

Si mungil mengunyah pelan dengan mata yang perlahan meredup ketika rasa kantuk mulai kembali menyerang.

"Jangan tidur." Chanyeol mencolek pipi gembil Baekhyun, berusaha mengembalikan kesadaran lelaki itu.

Baekhyun merengut sebal sebelum kembali menyuapkan sendok ke dalam mulut.

Di sana, Chanyeol tak mengalihkan mata pada pemandangan menarik. Baekhyun adalah satu-satunya pusat perhatian. Ke arah manapun tidak ada jalan untuk berbalik baginya. Dia menyukai keberadaan lelaki itu lebih dari yang bisa dia artikan.

ㅡ《•••》ㅡ

Di antara bukti kesibukan yang menumpuk di meja layaknya gunung, pikiran Chanyeol terdistraksi oleh kejadian beberapa waktu lalu. Kyungsoo telah melaporkan kejadian yang Baekhyun alami secara rinci dan untuk pertama kalinya Chanyeol merasa gelisah. Dia mengkhawatirkan keselamatan Baekhyun di sisinya.

"Ada yang perlu kutanyakan padamu."

Chanyeol memegang ponsel di telinga dengan pandangan lurus menatap ke luar jendela kaca di ruang kerja.

"Kau menghubungi Ayah tanpa basa-basi? Seharusnya kau tanyakan kabarku lebih dulu sebelum mengambil informasi dariku."

Ucapan itu tak mengubah raut serius di wajah Chanyeol. Dia punya pertanyaan penting.

"Apa kau tahu sesuatu mengenai anggotaku?"

Mudah saja bagi Chanyeol untuk berpikir bahwa sang Ayah mengetahui segalanya. Ia tahu seberapa besar kuasa Buckmoth dan ia tahu ketua mafia tersebut tidak pernah melepaskan mata darinya selama ini.

Keheningan menyapa untuk sesaat. Sang Ayah berdeham tenang.

"Kau baru menyadarinya sekarang? Kau menjadi lamban, Park Chanyeol. Mereka sudah berada di sampingmu sejak kematian Yoonjung."

"Mereka...?" Chanyeol menggertakan giginya dengan penuh emosi. Kematian Yoonjung sudah berlalu tiga tahun lamanya dan dia tidak pernah menyadari apapun. "Kenapa kau tidak mengatakannya padaku sejak awal? Kau membiarkan mereka berada di sisiku selama ini?"

"Kau harus menjaga musuhmu sedekat mungkin. Tenang saja, mereka selalu berada dalam pengawasanku. Sejauh ini mereka belum bergerak."

Chanyeol bisa merasakan tensi darahnya naik. Kehadiran seorang pengkhianat di dekatnya membuat dirinya merasa seperti orang dungu. Bagaimana bisa ia begitu lalai membiarkan daerah kekuasaannya diinjak oleh orang-orang munafik?

Matanya berkilat marah. "Aku akan kembali ke pelatihan Buckmoth."

"Itu bagus. Kau memang seharusnya kembali ke jati dirimu yang sebenarnya. Kau harus kembali kepada Buckmoth."

"Aku tidak bilang akan menggantikanmu."

"Lalu kau pikir kuasamu saat ini sudah cukup untuk menyelamatkan dirimu dan orang yang kau cintai? Jangan konyol. Apa kau ingin melihat mayat Baekhyun karena kebodohanmu?"

Chanyeol terpancing. Dia mengatupkan rahangnya dengan emosi. "Jaga ucapanmu."

"Jika kau sangat mencintainya, maka kau harus melindunginya dengan kekuatan yang lebih besar. Kau harus menggantikanku."

Chanyeol bisa merasakan seluruh kemarahannya berkumpul di dada. Dia benci mengakuinya namun ucapan sang Ayah benar. Ada terlalu banyak kekurangan dengan apa yang ia punya saat ini.

Sekarang dia perlu mencurigai semua orang di sekitar. Seberapa dekat jarak pengkhianat itu dengan dirinya dan Baekhyun?

"Kau belum memberitahuku siapa para pengkhianat itu."

"Temui aku akhir pekan ini. Aku akan memberitahumu segalanya."

Percakapan berakhir tak memuaskan. Kembali menjadi bagian dari Buckmoth dan bahkan memegang tahta ketua mafia adalah hal tersulit untuk disanggupi. Trauma telah menciptakan sosok pengecut di dalam dirinya.

Ketukan pintu membuat atensi beralih.

Dahi Chanyeol berkerut tipis melihat sosok wanita tinggi semampai berjalan menghampirinya. Wajah baru yang tak dikenal.

"Siapa kau?"

Bibir wanita itu terpoles lipstick merah. Dia tersenyum manis. "Perkenalkan saya Nana dari Louvrei Entertainment. Kehadiran saya di sini ingin menawarkan sebuah kerja sama yang menarik untuk anda. Bisakah kita bicara sebentar?"

Uluran tangan itu tidak disambut baik.

"Apa kau kira aku bodoh?" Tatapan pria itu menajam. "Katakan siapa dirimu." Ulangnya.

Chanyeol bukan orang yang bisa dianggap remeh. Pria itu mengenal seluruh orang di dalam industri dan ia tidak pernah mendengar nama tersebut seumur hidupnya.

Wanita itu tertawa pelan. "Kau benar-benar orang yang sangat waspada, Tuan Park Chanyeol."

"Aku bukan siapa-siapa." Raut wanita itu berubah datar layaknya sebuah robot kaku. "Aku hanya ingin menyampaikan pesan padamu."

"Bersiaplah. Semuanya akan segera dimulai."

Dia adalah penyusup.

Kalimat itu membuat darah Chanyeol mendidih. Sial. Harga dirinya diinjak-injak oleh kehadiran penyusup yang bebas masuk ke dalam perusahaannya. Ini membuktikan betapa lemah kuasa yang dia punya.

"Kau bekerja untuk siapa?"

"Seorang anonim membayarku untuk menyampaikan pesan ini."

"Apa lagi yang dia katakan?"

"Orang itu berkata bahwa kau tidak bisa menggunakan pistol, benar?"

Chanyeol bungkam. Informasi itu hanya diketahui oleh beberapa anggota Buckmoth. Terutama anggota Buckmoth yang bekerja untuknya.

Dia mengepalkan tangan. Pengkhianat itu benar-benar menantangnya dengan semua lelucon ini.

"Benar." Suara pria itu berubah berat dan dingin. Derap langkah kakinya terdengar menakutkan. "Tapi apakah dia memberitahumu jika aku bisa membunuh orang dengan tangan kosong?"

Wanita itu bergerak panik.

"K-Kau tidak akan membunuhku, 'kan...?" Dia lantas berjalan mundur. "Aku hanya menyampaikan pesan! Aku tidak tahu apapun!"

Kedua iris mata Chanyeol menggelap. Siapapun yang tahu bagaimana Chanyeol bekerja saat menjadi anggota Buckmoth dulu tidak akan terkejut jika melihat seberapa psikopat pria itu. Dia berdarah dingin ketika menghabisi lawannya. Dia tidak mengenal ampun.

"Kau datang di saat yang tepat. Aku sedang membutuhkan pelepas stresku."

Kepalan tinju dilayangkan ke wajah wanita tersebut hingga wanita itu jatuh tersungkur kencang di lantai. Tidak ada yang bisa menghentikan apapun yang sedang Chanyeol perbuat saat ini. Hanya muncratan darah yang menjadi saksi kematian wanita malang tersebut.

ㅡ《•••》ㅡ

Langit terlukis dengan warna biru muda dan bercak putih menjadi hiasan. Rumput-rumput hijau berdiri segar seolah menyambut kedatangan orang-orang di lapangan tembak saat ini.

Para anggota Buckmoth yang tengah berlatih seketika menghentikan aktivitas mereka tatkala melihat kehadiran Chanyeol setelah sekian lama. Dulu pria itu paling menyukai arena ini di Buckmoth. Dia sangat cinta menembak. Setidaknya dulu sebelum kejadian besar yang membuatnya angkat kaki dari Buckmoth.

Baekhyun mengekor di belakang lengkap dengan pelindung telinga seperti yang Chanyeol kenakan. Mata sipitnya mengedar ke seluruh sudut.

"Kau diam di sini. Jangan pergi kemanapun. Tempat ini berbahaya untukmu."

Perintah Chanyeol mendapat anggukan dari si mungil. Dia akhirnya duduk di jarak yang cukup jauh bersama pengawal dan sosok Daniel.

Chanyeol kini berdiri mengambil posisi menatap lurus ke arah target tembak. Berulang kali dia mengatur pernapasan. Dia tahu tidak seharusnya dia ragu.

Salah seorang pengawal mendekat lalu menyerahkan pistol kepada Chanyeol. Pada detik itu, Chanyeol bisa merasakan reaksi tubuh yang selalu sama setiap kali jemarinya menyentuh pistol. Sebuah rasa sakit di seluruh tangan yang membuat ngilu persendian.

"Aku akan memanggil dokter." Daniel langsung berpamitan pergi seolah dia tahu apa yang akan terjadi.

Chanyeol mengeraskan rahang kuat-kuat menahan rasa sakit itu. Berusaha melawan trauma tubuhnya yang mengingat jelas semua kenangan buruk tentang sang ibunda.

Napasnya mulai tak beraturan. Matanya mengeluarkan urat merah saat dia mati-matian memaksakan diri untuk mengangkat tangannya.

"Ugh!" Pistol itu terlepas begitu saja ketika dia tak bisa lagi menahan sakit bak sengatan listrik.

Baekhyun bangkit dari duduk. "Chanyeol!"

"Mundur." Ucap Chanyeol saat dia merasakan langkah kaki Baekhyun mendekat.

"Apa kau baik-baik saja?" Baekhyun terlihat cemas melihat pria itu mencengkeram kuat lengannya sendiri.

Chanyeol berusaha kembali mengambil pistol itu dari tanah. Sesaat pandangannya kabur tergantikan oleh memori di mana dia membunuh Nyonya Park tanpa belas kasih. Suara ledakan tembak memenuhi pendengaran.

"Berengsek. Berengsek." Pria itu memukul kuat lengannya berkali-kali untuk menyadarkan diri. Dia tidak pernah selemah ini. Dia bukan pecundang.

Dokter pribadi yang bekerja untuk Buckmoth datang tergesa-gesa bersama Daniel. Dia berusaha mendekati tuan mereka namun lagi-lagi Chanyeol menolak didekati siapapun.

"Mundur!" Pria itu bersikeras dapat menahan segalanya. Dia berpikir dia masih bisa melesatkan tembak ketika dia bahkan tidak bisa memegang pistol dengan benar.

"Anda tidak bisa melanjutkannya, Tuan. Anda harus berhenti sekarang juga."

"Aku tidak menyuruhmu bicara." Pria itu bahkan tidak menyadari getaran suaranya yang menahan sakit. Semua orang bisa mengetahuinya.

Napasnya kian memburu. Pria itu sekali lagi memaksakan diri untuk menggenggam pistol. Sekuat tenaga mengangkat tangannya tertuju ke arah papan tembak.

"Sialan!" Kata umpatan keluar ketika rasa sakit itu kini menjalar ke kaki hingga dia tidak bisa menopang tubuh dan jatuh bersimpuh. Lagi dan lagi pandangannya tertutup oleh ingatan menyakitkan.

"Chanyeol!" Baekhyun berlari panik.

Sang dokter langsung menghampiri dan memberi suntikan pereda nyeri di lengan pria itu. Chanyeol menutup erat matanya. Dia amat kesakitan.

"Anda tidak bisa memaksakan diri lebih dari ini, Tuan. Jika anda tetap bersikeras, anda bisa kehilangan kesadaran." Ucap sang dokter.

Tubuh pria itu jelas memberikan reaksi trauma. Seharusnya Chanyeol berhenti di detik awal. Dia sudah bukan lagi Park Chanyeol yang tak terkalahkan. Dia mungkin tidak pernah pantas kembali menjadi penerus Buckmoth.

Baekhyun berjongkok di hadapan Chanyeol. "Kita hentikan latihan hari ini."

"Tidak. Bukan kau yang memutuskan."

"Apa kau sudah gila? Kau tidak dengar apa yang dokter katakan?"

Chanyeol menatap bengis pada sang kekasih. "Aku bisa melakukannya."

"Kau kesakitan!" Baekhyun berteriak frustrasi. Terlihat sebuah kilat ketakutan di iris mata itu. "Ini bukan saatnya untukmu menjadi keras kepala! Kau membuatku khawatir. Aku tidak menyukai ini."

Chanyeol melihat tubuh mungil itu bergetar. Dia bisa melihat manik mata yang selalu punya banyak kasih sayang melimpah kini berkaca-kaca karenanya. Chanyeol belum pernah menemukan seseorang menaruh rasa khawatir kepadanya seperti lelaki itu.

Mungkin efek dari obat telah bekerja, kini Chanyeol menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Sesaat napasnya mulai bergerak teratur, dia menarik Baekhyun ke dalam pelukan.

Dia mengusap lembut surai lelaki itu. "Kenapa kau berteriak padaku?"

"Kau pantas mendapatkannya. Kau keras kepala." Baekhyun memukul punggung pria itu dengan kepalan tangan mungil.

Baekhyun benar-benar mendapat perlakuan istimewa dari sang CEO. Karena bagaimana mungkin seorang Park Chanyeol bisa terima begitu saja saat seseorang memukulnya? Baekhyun adalah pengecualian untuk segalanya.

"Sudah kubilang kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Baekhyun."

"Berhenti mengatakan itu." Baekhyun kembali memberi pukulan lemah yang tak menyakitkan. Dia kesal.

Baekhyun mengerti jika orang berketurunan mafia seperti Chanyeol menganggap hal yang terjadi barusan adalah perkara sepele, namun bagaimana bisa Baekhyun bersikap biasa saja saat melihat prianya terluka?

Chanyeol tak lagi berusaha membela diri. Dia tahu Baekhyun tidak terbiasa. Jadi yang ia lakukan saat ini hanya terus memeluk Baekhyun lebih erat untuk menenangkannya.

Trauma Chanyeol tidak ada artinya ketika Baekhyun ada di sini. Rasa sakit itu cepat berganti dengan perasaan lembut melingkupi hati. Baekhyun adalah sebaik-baiknya penyembuh. Dia akan baik-baik saja selama memiliki laki-laki itu.

ㅡ《•••》ㅡ

"Kita harus bergerak cepat."

Sosok yang lebih muda mengangkat alis mendengar ucapan itu.

"Ada apa? Kudengar Chanyeol gagal melakukannya hari ini. Dia bukan Park Chanyeol yang dulu. Sekarang dia jauh lebih mudah untuk dikalahkan."

Pria itu menggeleng. Itu adalah pemikiran bodoh. Dengan semua kelemahannya saat ini, Park Chanyeol masih tetap menjadi sosok yang patut ditakuti. Dia hanya tidak bisa menggunakan pistol, tetapi dia masih Park Chanyeol yang punya seribu macam taktik dan kekuatan fisik yang luar biasa.

"Sepertinya dia berniat kembali ke Buckmoth. Jika benar, itu artinya Tuan Besar akan mendukung penuh semua rencananya."

"Kalau begitu kau harus menahannya kembali ke Buckmoth. Pancing dia dengan traumanya." Ucap sang adik.

Chanyeol bergabung kembali dengan Buckmoth? Mereka semua bisa habis tak bersisa. Chanyeol dan Buckmoth adalah perpaduan mematikan. Tidak ada celah untuk menghancurkannya. Pria itu tidak boleh menjadi ketua mafia selanjutnya.

"Aku tidak yakin dia akan mendengarkanku. Baekhyun sialan itu punya kendali atas Chanyeol."

"Ini salahmu karena bertindak tanpa perintah. Kau tidak seharusnya mencelakai Baekhyun hari itu."

Dia berdecak kesal, lantas mendorong bahu sosok yang lebih muda. "Kenapa kau membelanya? Kau menyukainya, huh? Atau kau merasa telah menjadi sahabat baiknya?"

Kakak beradik itu saling memancarkan tatapan tajam. Keheningan dari ruang kosong menciptakan atmosfer yang lebih buruk. Sang adik mengepal kuat tangannya tak merasa terancam oleh kemarahan kakaknya sendiri. Ia sudah terbiasa menanggapi sifat pria itu.

"Tindakan bodohmu itu membuat Chanyeol menjadi waspada. Aku yakin alasan yang membuatnya kembali ke Buckmoth adalah Baekhyun."

"Sial." Dia menendang udara kosong sebagai pelampiasan.

"Aku tidak mengerti denganmu. Kau adalah orang yang paling lama bekerja untuk Tuan Chanyeol. Bagaimana bisa kau mengkhianatinya dan menyeretku ke dalam rencanamu seperti ini?"

"Kenapa? Kau menyesal telah melakukan semuanya?" Pria itu menggeram. Dia menjadi lebih sensitif dari biasanya.

Tak ada tanggapan lebih lanjut atas pertanyaan itu. Entah dia tidak ingin menjawab atau mungkin dia sudah menemukan jawaban, hanya saja tidak mudah untuk mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika waktu bisa diputar kembali, dia tidak akan ragu untuk memilih jalan yang berbeda dari hari ini.

"Tuan baru saja siuman dari kritisnya setelah tiga tahun. Aku tahu kau sudah menunggu selama itu, tapi kita harus bergerak sesuai perintah. Berhati-hatilah."

ㅡ《•••》ㅡ

Tinjuan demi tinjuan menghantam samsak di hadapannya. Keringat yang bercucuran di lekuk tubuh atletis tanpa kain tidak mampu menghentikan kegiatan. Dia masih punya banyak stamina untuk mengatur pernapasan dan tetap memfokuskan seluruh tubuh.

Baekhyun berjalan menghampiri.

Kali ini ada respons yang berbeda. Chanyeol hanya memberi lirikan singkat tanpa minat.

"Pengawal bilang kau sudah berlatih lebih dari enam jam. Kau harus beristirahat."

"Pergi."

Pria itu mengusir tanpa hati. Bahkan tak ditemukan tatapan hangat yang selalu menyapa Baekhyun. Si mungil lantas menyadari sikap aneh tersebut. Dia mengernyit bingung.

"Ada apa denganmu?"

Chanyeol memberi tinjuan keras di samsak sebelum berbalik menghadap kekasihnya. Raut dingin yang pria itu punya tak menampakan keramahan.

"Tidak ada. Aku hanya terbiasa menghabiskan tiga hariku berlatih seorang diri."

Ucapan itu terdengar seperti sebuah sindiran di telinga. Baekhyun cukup peka untuk memahaminya.

"Bukan tanpa alasan aku tidak bisa menemanimu, Chanyeol. Aku juga perlu membagi waktuku dengan Jackson. Sejak kemarin banyak kegiatan di sekolah yang harus diikuti."

Penjelasan Baekhyun tidak diindahkan oleh pria itu. Dia kembali pada kegiatan awalnya. Samsak yang tergantung bergoyang kencang di setiap tinjuan.

Baekhyun tak menyerah begitu saja. Dia datang ke belakang tubuh pria itu lalu melingkarkan tangannya di perut keras tersebut.

"Apa kau sedang merajuk padaku?" Bisiknya lembut.

Chanyeol berhenti dengan rahang terkatup rapat. Memangnya dia anak kecil yang suka merajuk?

Lagipula dia adalah sosok yang terkenal keras dan kasar. Siapapun tahu dia tidak pernah memberi ampun atau punya sedikit hati nurani untuk memaafkan orang. Tidak ada yang berani berhadapan dengannya. Jadi bagaimana bisa Baekhyun berpikir seorang Park Chanyeol dapat luluh?

"Aku merindukanmu."

Dengan satu kalimat itu, Chanyeol lantas berbalik badan dan balas memeluk erat sang kekasih. Baekhyun adalah pemilik sisi lemahnya.

Pria itu menarik Baekhyun untuk jatuh bersama. Dia merebahkan punggung di lantai dengan mata terpejam tenang sementara Baekhyun berada di atas tubuhnya. Posisi ini nyaman baginya.

"Apa yang kau lakukan...?"

Chanyeol melingkarkan tangan di pinggang si mungil dengan kaki yang ikut mengunci pergerakan Baekhyun. Dia tidak bisa kemana-mana.

"Aku sedang beristirahat."

Baekhyun menggeliat dalam belitan Chanyeol. "Ugh, aku tidak bisa bergerak."

"Chanyeol!"

Pria itu tak menanggapi. Berulang kali Baekhyun mencoba melepaskan diri, namun Chanyeol tak mengizinkannya. Meski begitu, Baekhyun akan selalu menemukan cara untuk mengalahkan seorang Park Chanyeol.

Dia memajukan wajah dan memberi kecupan tipis di rahang pria tersebut. Chanyeol lantas membuka mata dengan ekspresi penuh tanya. Baekhyun terkekeh dan langsung melepaskan diri ketika pertahanan Chanyeol longgar.

"Aku memintamu untuk benar-benar beristirahat. Kau sudah cukup banyak menghabiskan waktu selama tiga hari ini." Baekhyun duduk di samping Chanyeol dan membantunya melepas sarung tinju.

"Kalahkan aku lebih dulu jika kau ingin aku beristirahat."

"Huh...?"

"Jika kau bisa memukul tepat di wajahku, maka aku akan beristirahat seperti yang kau inginkan."

Baekhyun memiringkan kepalanya menanggapi tantangan itu. Akan tetapi dia tidak perlu berpikir terlalu lama untuk menyanggupinya. Dia pasti bisa mengalahkan Chanyeol.

"Baiklah."

Chanyeol mengangkat sebelah alis dengan skeptis. Sangat lucu melihat rasa percaya diri berkobar di mata Baekhyun seolah yang berada di depannya saat ini bukan seorang mafia yang punya segudang pengalaman.

Namun dia tetap memakaikan sarung tinju ke tangan yang lebih mungil darinya sebelum mereka berdiri dan saling berhadapan satu sama lain.

Chanyeol mengambil posisi blocking dengan membawa kedua tangannya menutup wajah.

"Kau bisa memulai."

Setelah ucapan itu, Baekhyun langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Dia tidak tahu teknik apapun, jadi yang menjadi fokusnya hanyalah mengenai wajah pria itu.

"Kau tidak bisa melukaiku dengan pukulan selemah ini." Ucap Chanyeol masih tetap dalam posisinya.

Baekhyun menggeram kesal. Ia kesulitan untuk mendapat wajah pria tersebut sementara Chanyeol sangat mudah menangkis setiap serangan Baekhyun dengan tangan kosong. Apa pukulannya memang selemah itu?

"Hati-hati menggunakan tanganmu, kau bisa terluka."

"Aw!"

Baekhyun meringis sembari memegang pergelangan tangannya.

Raut Chanyeol lantas berubah panik. Dia menghampiri si mungil dan mengabaikan taruhan konyol mereka.

"Apa kau terluka?"

BUGH!

Sesaat ketika wajah Chanyeol tak terlindungi, Baekhyun langsung melayangkan pukulan hingga wajah pria itu menoleh ke samping.

"Yey, aku menang!" Baekhyun bersorak seraya mengangkat kedua tangannya.

Chanyeol terdiam memandang lelaki yang kini sedang tersenyum sangat lebar dan cantik. Dia sangat bangga seolah meninju wajah Chanyeol adalah pencapaian besar. Sejujurnya, pukulan itu tidak menyakitkan namun cukup membuat terkejut.

Chanyeol tampak masih mencerna situasi. "Kau menipuku?"

Baekhyun terkekeh. "Itu adalah trik."

Chanyeol tak habis pikir dengan tindakan Baekhyun. Ia benar-benar sangat khawatir ketika lelaki itu meringis kesakitan namun ternyata ia telah ditipu. Dia dikerjai.

Pria itu langsung mendekat dan tiba-tiba menggigit pipi Baekhyun.

"Awh!"

Baekhyun meringis dan mencoba memukul pria itu, namun Chanyeol sigap menahan kedua tangannya. Dia menggigit Baekhyun dengan perasaan gemas. Pria sepertinya bukanlah tipe yang menyukai hal manis, namun mulai sekarang Baekhyun akan menjadi satu-satunya favoritnya.

"Aaa.. Chanyeol! Lepaskan pipiku!" Baekhyun merengek karena Chanyeol tak kunjung menyudahi gigitannya.

Pria itu menjauh dan melihat hasil bekas gigitannya tercetak jelas di pipi gembil milik Baekhyun. Sangat lucu, membuatnya tak bisa berhenti tersenyum.

Baekhyun tertegun menyaksikan ekspresi tersebut. Ini pertama kalinya pria itu tersenyum lama. Dia memukul perut pria itu untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Karena aku menang jadi kau harus beristirahat sekarang."

"Aku akan pergi mandi," Pria itu membantu si mungil melepas sarung tinju lalu membuangnya ke sembarang tempat. Lirikan matanya yang tajam beralih kepada kedua mata sipit di hadapannya. "Denganmu."

Baekhyun sontak membulatkan mata. Chanyeol itu berbahaya. Dia tidak akan selamat di tangan pria itu.

"Tidak mau!"

Namun siapa yang dapat menolak seorang Park Chanyeol? Dengan sangat mudah, dia mengangkat tubuh Baekhyun ke bahu layaknya sekarung beras. Dia menculik Baekhyun.

"Chanyeol! Turunkan aku!"

ㅡ《•••》ㅡ

Pagi hari yang buruk.

Para pelayan berbaris dengan pandangan menduduk ketakutan. Tak ada satupun dari mereka yang berani melawan atau membantah ucapan tuan mereka yang kini mengalun bagai melodi kematian.

"Aku tidak menyuruh kalian diam. Bahkan jika kalian bisu kalian harus tetap bicara atas perintahku." Ucap Chanyeol dengan delikan sinis.

"M-Maafkan kami, Tuan. N-Namun kami sudah memastikan kemeja anda berada di sana pagi ini. K-Kami tidak tahu bagaimana kemeja anda bisa hilang."

Pria itu mengalihkan mata ke setiap sudut ruang wardrobe megah miliknya yang menampilkan deretan kemeja dan jas tersusun rapi. Chanyeol memang tidak punya pakaian favorit namun dia punya satu kemeja putih yang paling sering digunakan. Kemeja itu tidak ada dua di dunia karena dirancang khusus oleh desainer ternama hanya untuknya.

Dia bisa saja memakai kemeja lain, namun dia tidak mau.

"Lantas apakah kemejaku memiliki kaki untuk berjalan sendiri?!"

"K-Kami akan mencarinya, Tuan. M-Mohon a-ampuni kelalaian kami." Keempat pelayan tersebut lantas duduk bersimpuh di lantai memohon pengampunan.

"Ada apa ini?"

Suara seseorang menginterupsi.

Baekhyun berdiri begitu polos dengan mata berkilau cerah menatap ke setiap orang yang kini tengah memandangnya dengan raut tak terbaca.

Wajah tegang Chanyeol yang sejak tadi menahan marah kini meluruh saat melihat lelaki tersebut. Iris matanya menemukan kemeja yang tengah ia cari berada di tubuh mungil Baekhyun. Membalut lelaki itu dengan sangat manis.

Pria itu menghela napas. "Kalian bisa keluar."

Maka secepat mungkin para pelayan menghilang dari pandangan sang calon ketua mafia. Mereka tidak ingin berlama-lama dalam ambang kematian.

Baekhyun mengernyit seraya berjalan mendekati Chanyeol. "Kenapa kau memarahi mereka?"

Pria itu menarik pinggang ramping Baekhyun merapat pada tubuhnya. "Aku sedang mencari milikku yang hilang, namun ternyata ada pencuri kecil di sini." Dia berbisik lembut.

Baekhyun mendongak menatapnya. "Kau mencari apa?"

"Sesuatu yang kau kenakan."

Baekhyun berpikir sesaat. "Ah, kemeja ini? Aku mencari baju yang nyaman untuk kupakai dan aku menemukan ini di lemarimu."

Pria itu tak mengalihkan mata dari kekasihnya.

"Apa kau marah...?" Cicit Baekhyun.

Chanyeol mengangkat tubuh ringan Baekhyun lalu mendudukannya di atas sebuah nakas besar dan panjang di tengah ruangan. Biasanya di sana tempat Chanyeol menaruh koleksi dasi dan ikat pinggangnya.

"Kau harus dihukum."

Raut wajah Baekhyun berubah panik. "Karena kemeja ini? Maaf, aku tidak tahu jika aku tidak boleh mengenakannya."

"Karena kau sangat cantik."

Chanyeol meraup lembut bibir mungil lelaki itu ke dalam ciuman. Dia berdiri di antara kedua paha Baekhyun. Jemari besarnya mengusap paha mulus Baekhyun yang terekspos bebas sebab dia hanya menggunakan kemeja tanpa bawahan.

"Rambutmu sudah panjang." Suara Chanyeol mengalun pelan pada jarak wajah mereka yang hanya beberapa senti.

Dia mengusap lembut pipi lelaki itu sembari mengagumi parasnya yang indah. Rambut itu mulai panjang hingga nyaris mengenai mata lelaki itu namun dia sangat cantik dan Chanyeol menyukainya.

"Apa aku harus memotongnya?"

"Tidak. Kau sangat cantik dengan itu."

Baekhyun merona malu oleh pujian tanpa henti yang pria itu berikan. Sebuah perasaan baru melihat pria itu begitu memujanya.

Chanyeol menikmati seluruh ekspresi Baekhyun saat ini. Jika dia bisa membuat pengakuan, dia menyukai semuanya.

"Aku ingin memakanmu, Xuxu."

"Huh?" Baekhyun kembali mengernyit bingung. Memakannya?

Namun tidak seperti sebelum-sebelumnya, hari ini Chanyeol akan membuat dia mengerti arti itu.

Sang pria kembali mencium Baekhyun. Posisi mereka saat ini membuat wajah keduanya sejajar dan memudahkan Chanyeol untuk melakukan penjelajahan manis di dalam mulut tersebut.

Dia melumat bibir Baekhyun dengan basah menciptakan alirah darah berdesir hebat. Baekhyun menikmati ciuman mereka dan memeluk leher Chanyeol agar tak ada jarak tersisa.

Tanpa dia sadari, Chanyeol telah melepas semua kancing kemeja yang dia pakai.

"Ahh!" Baekhyun terkapar pasrah di atas meja nakas ketika pria itu mendorongnya dan meraup puting merahnya yang mencuat penuh goda.

Pria itu menghisap putingnya tanpa ampun dengan lumatan dan decakan basah yang memenuhi pendengaran. Sementara itu, satu tangannya meremas dada Baekhyun yang tak terjamah oleh bibirnya.

Tubuh Baekhyun sangat sensitif. Perlakuan Chanyeol membuatnya tak bisa diam dan menggeliat resah. "Nghh.. Chanyeol..!" Pria itu menghisapnya kuat hingga Baekhyun berpikir putingnya bisa saja hilang. Apa ini yang pria itu maksud dengan memakan?

"Berbalik." Chanyeol berbisik seraya membuka kemeja yang Baekhyun kenakan. Dia melempar asal, tidak lagi membutuhkan kemeja mahal itu di sini.

Baekhyun menurut dan membalik tubuhnya hingga kini wajah dan setengah tubuhnya menempel sempurna di permukaan nakas. Chanyeol kemudian menarik lepas bokser ketat Baekhyun hingga kini lelaki itu tak berbusana sehelaipun.

"Anghh! A-Apa yang kau lakukan?!"

Baekhyun terkejut luar biasa ketika Chanyeol menampar bokong sintalnya lalu membuka pipi bokongnya hingga sebuah lubang surga terekspos jelas. Wajahnya berubah merah sempurna. Dia merasa sangat terbuka.

"Mmhh! C-Chan!" Jemari kakinya berjinjit tegang.

Ini gila. Baekhyun menoleh ke belakang dan dia melihat pria itu tengah menjilati lubangnya. Mata mereka bertemu dan Chanyeol tak kunjung berhenti. Dia justru melumat lubang itu dengan kedua tangan yang meremas-remas pipi bokongnya.

"Ngghh! Ahh..!" Baekhyun kembali menjatuhkan sisi wajahnya ke meja dengan kedua tangan mencengkeram pinggiran nakas. Chanyeol benar-benar gila.

Seumur hidup Baekhyun tidak pernah merasakan perasaan ini. Tubuhnya sontak menjadi lebih sensitif dari sebelumnya. Dia tidak bisa berpikir apapun. Dia tidak tahu harus bagaimana dan tanpa sadar air mata telah mengalir. "Aanggh! Hiks.. Mmh.. hiks..!"

Tangisan Baekhyun semakin kencang tatkala Chanyeol menjulurkan lidah panjang dan gemuknya untuk menyelinap keluar masuk di dalam lubang surga Baekhyun. Mengaduknya acak dan menghisap kuat seolah dia benar-benar akan melahap habis kekasihnya.

"Ahh! Jangan m-makan aku..! hiks..!" Baekhyun merengek karena tubuhnya semakin sensitif hingga bokongnya tidak bisa diam dan Chanyeol perlu menahan kuat pahanya. "J-Jangan! Hiks.. C-Chanyeol..!" Dia menangis tanpa henti oleh jilatan dari lidah panas itu. Sangat kacau.

Dia begitu sensitif hingga hanya dengan sentuhan tersebut, Baekhyun mencapai putihnya. Dia mengerang nikmat saat cairan keluar membasahi nakas. Pemandangan gila yang Chanyeol suka.

Tubuh Baekhyun sangat lemas. Dia masih terisak dengan terengah-engah. Wajah Chanyeol bergerak mendekat untuk memberi kecupan ringan di pelipis Baekhyun.

"Ada apa?" Pertanyaan itu ditujukan untuk tatapan tajam yang Baekhyun beri.

"Jangan makan aku lagi! hiks...!" Hidungnya memerah lucu karena tangis.

Chanyeol tidak pernah suka lelaki itu menangis, namun untuk alasan seperti ini dia menyukai tangisan Baekhyun.

"Bukankah kau menikmatinya?"

"Rasanya aneh..."

"Jangan menangis lagi." Meski suaranya sangat dingin, pria itu mengusap lembut pipinya dengan penuh sayang.

"Berhenti menangis, kau bisa kesulitan bernapas." Pria itu membalik posisi Baekhyun hingga lelaki itu telentang dan dapat menghirup banyak udara. Dada Baekhyun naik-turun mencoba menenangkan perasaannya setelah sesi nikmat yang Chanyeol beri.

"Ambil napas sebanyak yang kau butuhkan, karena aku belum selesai denganmu."

Baekhyun menatap Chanyeol bingung untuk sesaat, namun mendesah setelahnya ketika sebuah batang penis yang keras dan tegang memasuki lubangnya. Chanyeol benar-benar tahu cara membuat Baekhyun gila.

Ini akan menjadi pagi yang panjang untuk mereka.

ㅡ《•••》ㅡ

Chanyeol datang sesuai janji kepada sang ayah. Hari ini dia menginjakan kaki di mansion Buckmoth bersama kehadiran Baekhyun dan Jackson untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Sementara Chanyeol mempunyai kesibukannya sendiri, Baekhyun dan Jackson berjalan-jalan mengelilingi mansion yang luas. Seharusnya ada Kyungsoo yang menemaninya karena pria itulah yang berjanji untuk menjadi pemandu, namun sayangnya Kyungsoo tidak bisa. Dia dipanggil ikut serta oleh Tuan Besar.

Baekhyun tak tahu apa yang akan mereka bicarakan dan ia pun yakin tak akan mengerti.

"Papa, lihat kacanya sangat besar!" Jackson menunjuk ke sebuah bangunan yang dilapisi oleh kaca cermin.

Manik mata Baekhyun terpukau. Sepertinya ini yang dimaksud oleh Kyungsoo. Keduanya berdiri tegap memandangi bangunan tersebut dan berusaha mencari sedikit celah untuk melihat ke dalam meskipun sia-sia.

Yang tak mereka sadari adalah orang-orang di dalam ruangan itu dapat menyaksikan mereka berdua.

"Hei, siapa itu? Apa kalian mengenalnya?" Bisik-bisik anggota Buckmoth saling menyenggol satu sama lain dengan pandangan tertuju ke luar ruangan.

"Bukankah itu Tuan Muda Jackson? Dia bersama dengan siapa?"

"Apa dia penyusup?"

"Penyusup tidak mungkin secantik itu."

"Mungkinkah anggota baru Buckmoth? Tapi dia berada di divisi mana?"

Jackson menggandeng tangan Baekhyun dengan penuh semangat. Anak kecil itu tidak pernah merasa sebahagia ini ketika menginjakan kaki di markas utama. Dalam ingatan singkatnya, ia hanya punya kenangan bersama sang nenek yang selalu mengajaknya bicara ketika dia tengah sendiri tanpa penjagaan.

"Papa, Jack sangat bahagia." Ucapnya tiba-tiba.

Baekhyun merendahkan tubuhnya hingga mereka bisa bertatapan dengan mudah. "Apa yang membuat Jack bahagia, hm?"

"Semuanya. Jack suka semua. Jack senang ada Daddy dan Papa."

Jackson yang dulu hanya bisa memimpikan hari di mana ia mendapat kasih sayang utuh dari Chanyeol, tetapi kini dia bahkan mendapat sosok Baekhyun layaknya hadiah dari Tuhan.

"Papa, apakah Daddy menyayangi Jack...?"

Pertanyaan itu membuat Baekhyun tersenyum manis. "Tentu saja. Mungkin Daddy tidak bisa menunjukannya dengan baik, tapi jauh di dalam hatinya Daddy sangat menyayangi Jack." Dia mengusap puncak kepala Jackson.

Jackson balas tersenyum. "Daddy tidak akan pernah meninggalkan Jack lagi, 'kan?"

Tatapan lugu dan polos itu membuat hati Baekhyun meringis sedih teringat masa lalu yang menyakitkan. Tidak mungkin akan ada yang pergi lagi dari sisinya. Hal bodoh yang sama tidak boleh terulang kembali. Jackson berhak mendapat cinta yang tulus.

"Tidak akan lagi."

Anak manis yang penuh dengan tanya di kepala mungilnya itu kembali bersemangat untuk mengajukan sebuah pertanyaan. "Apa Daddy dan Papa akan bersama selamanya dengan Jack?"

Baekhyun mengangguk pasti. "Kita akan bersama selamanya."

"Selama-lamanya?"

"Selama-lamanya, Sayang."

Senyuman Jackson kian melebar.

Bukan salah Jackson yang masih muda untuk menganggap serius kata-kata itu. Bukan salah Jackson yang berpikir bahwa mereka adalah keluarga bahagia yang tidak akan pernah terpisahkan. Bukan salah Jackson jika pada akhirnya semua berjalan di luar kendali. Itu sama sekali bukan salah Jackson.

ㅡ《•••》ㅡ

Ruangan eksekutif hanya berisi kesunyian untuk waktu yang lama. Bos mafia belum berniat membuka pembicaraan. Meski gerak tubuhnya terlihat tenang, namun dia punya rahasia besar yang perlu dijelaskan.

"Jadi, apa yang sebenarnya ingin Ayah katakan? Waktuku tidak banyak." Ucap Jinyoung seraya menguap bosan.

Dia terlihat tak punya minat untuk duduk di ruangan itu, jauh berbeda dengan sosok Chanyeol yang duduk tegap sempurna. Kedua tangannya berpangku di atas meja dengan raut wajah serius dan iris mata tajam. Kepribadian mereka sangat bertolak belakang.

"Aku akan mulai rapatnya."

Jaemyung berdeham singkat, kemudian Hajoon datang memberi kumpulan kertas di dalam map.

"Lima tahun lalu, Fernando Go telah melanggar kontrak kerja sama."

Dia melempar sebuah dokumen ke tengah meja panjang di antara tim Alpha yang beranggotakan sepuluh orang termasuk kedua putranya. Di sisi lain, Hajoon mengatur layar proyektor dan menampilkan data diri Fernando Go.

Jinyoung menopang wajahnya dengan tangan. "Fernando yang menyebabkanmu lumpuh itu?" Ucapnya santai.

Jaemyung melirik tajam. "Benar."

"Saat itu kau membawa anggota Buckmoth biasa yang bukan tim Alpha dan pada akhirnya mereka semua gugur menyisakan dirimu dan Hajoon." Chanyeol memperjelas ingatannya.

Pada masa itu, Chanyeol sangat murka ketika Jaemyung menjalankan misi tanpanya bahkan tidak ada informasi untuk sebuah rinci kejadian. Hari itu menjadi pertama kalinya seluruh tim Alpha dikeluarkan dari misi penting.

"Kau benar."

"Aku masih tidak mengerti alasanmu mengeluarkan tim Alpha hanya untuk sebuah kekalahan konyol. Kau tidak memberi penjelasan apapun." Sinis Chanyeol.

Jaemyung tetap duduk tenang. Tidak salah lagi jika mereka memiliki darah yang sama karena keduanya mampu memberikan intimidasi pada lawannya.

Semua penjelasan akan dimulai dari awal.

"Seperti yang pernah kujelaskan, Fernando Go terikat kontrak dengan Buckmoth terkait transaksi penyelundupan senjata api sebanyak tiga kali."

"Awalnya semua berjalan lancar, namun pada transaksi ketiga di tanggal 16 Oktober 2017, Fernando bekerja sama dengan Sinaloa untuk melakukan penyerangan terhadap anggota Buckmoth dan mencuri 24 peti senjata api."

Kini layar proyektor berganti dan menunjukan beberapa barang bukti atas kejadian yang terjadi pada saat itu. Sinaloa adalah kartel narkoba terbesar di Meksiko.

"Sebelumnya Fernando Go hanya sekadar pemimpin organisasi anti pemerintah biasa di Meksiko, namun kemudian di tahun 2017 dia bergabung dengan Sinaloa dan merencanakan penyerangan terhadap Buckmoth."

"Pada tanggal 11 April 2018, Buckmoth melakukan penyerangan besar kepada Sinaloa dan berhasil mengambil kembali 16 peti senjata api. Setengah dari anggota Sinaloa yang terlibat di hari itu dilenyapkan. Kemudian pada tanggal 13 April, Buckmoth kembali melakukan penyerangan. Sayangnya, Sinaloa meledakan seluruh bangunan gedung dan menggugurkan 28 anggota Buckmoth."

Chanyeol mengerutkan dahi mendengar kronologi sejak 2017 hingga 2018 silam. Terlalu banyak lubang kosong di alur cerita yang membuat Chanyeol menaruh curiga. Sejak kapan Buckmoth menjadi seceroboh ini?

"Ledakan itu membuatku setengah lumpuh dan Fernando Go mengalami kritis. Dari informasi yang kudapat, dia sudah berhasil melewati masa kritisnya setelah tiga tahun berlalu. Karena itu aku mengumpulkan kalian semua di sini. Tim Alpha akan bersiap untuk menerima misi."

"Penjelasanmu tidak menjawab rasa penasaranku." Lontar Chanyeol.

Situasi yang sudah tegang semakin menegang. Tidak ada siapapun yang berani bersuara ketika pembicaraan itu melibatkan Chanyeol dan Jaemyung. Dua orang dominan berjiwa keras.

Jaemyung mengatupkan rahangnya, mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan terburuk.

"Pengeluaran tim Alpha dari misi di tahun 2018 terjadi karena aku tidak ingin kau dan Jinyoung tahu alasan sebenarnya di balik penyerangan itu."

Chanyeol mengernyit. "Bicara dengan jelas."

"Menurutmu kenapa pertahanan Buckmoth saat itu melemah hingga dengan mudahnya tertipu dan dicuri?" Tanya Jaemyung.

Tak ada jawaban. Seluruh manusia yang berada di meja panjang bungkam.

Jaemyung mengeluarkan dokumen lain ke atas meja. "Lee Youngae." Layar proyektor kini berganti menunjukan data diri wanita tersebut.

Chanyeol merasa tenggorokannya tercekat. Tatapan tajam menusuk. Itu sang ibunda.

"Apa maksudmu?"

"Fernando Go berhasil mencuri informasi Buckmoth melalui Lee Youngae yang saat itu menjadi kekasih simpanannya."

Tarikan napas terkejut menjadi satu-satunya pengisi ruang. Tidak ada yang percaya. Wanita itu bagaikan permata Buckmoth yang sangat dicintai dan dipuja. Dia memberi cahaya di istana Buckmoth yang gelap.

Chanyeol mengepal kuat tangannya dan menggebrak meja. "Sial, apa yang kau bicarakan?!"

Layar proyektor kini membuka kembali luka lama Jaemyung. Setiap bukti perselingkuhan Youngae sangat menyakitkan mata. Wanita itu tersenyum lebar di setiap pelukan dan ciuman pria lain.

"Mereka menjalin hubungan sejak awal Januari 2017. Youngae terlalu bodoh untuk menyadari jika dia sedang dimanfaatkan. Dia membeberkan beberapa informasi rahasia Buckmoth hingga penyerangan terjadi di tanggal 16 Oktober."

"Ini tidak benar." Rahang Chanyeol mengeras. Pandangannya berkabut marah. Semua pasti hanyalah tipuan konyol dari Jaemyung.

Jinyoung yang sejak tadi diam beralih menatap sang Ayah dengan terluka. "Apa ini alasannya kau tidak pernah datang ke pemakaman Ibu?"

Jaemyung bertahan dengan ekspresi dingin yang kaku. Dia akan melepas informasi yang lebih menyakitkan dari segalanya. Sebuah berita yang membuat Jaemyung merasakan neraka dunia untuk kali pertama.

"Pada akhir bulan Mei sebelum penyerangan Buckmoth terjadi, Youngae melahirkan seorang bayi laki-laki hasil dari perselingkuhannya dengan Fernando Go."

"Lee Haru."

Chanyeol merasa detak jantungnya berhenti untuk sesaat menatap potret bayi yang sangat ia kenal di layar.

Jaemyung melempar seluruh dokumen terkait Haru ke mejanya. Informasi kelahiran, tes DNA, tempat tinggal, seluruhnya tak bersisa.

"Fernando Go hanya memanfaatkan Youngae dan niatnya tidak pernah lebih besar dari itu. Setelah mendapat informasi yang dibutuhkan, dia membuang Youngae dan bayinya. Akhir dari hubungan mereka membuat Youngae berusaha menghilangkan jejak Haru. Dia meninggalkan bayi itu di sebuah panti asuhan di desa Albinen."

Sinting. Kepala Chanyeol terasa berat untuk menerima semua informasi. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Lalu bagaimana dengan Yoonjung? Dia mengetahuinya?" Tanya Jinyoung. Dia mencoba menyusun seluruh potongan puzzle satu per satu.

"Sehari setelah penyerangan Buckmoth, Yoonjung mendatangiku. Dia mengira Buckmoth telah berhasil membunuh ayahnya. Dia berkata akan membalas dendam, jadi aku membiarkan dia melakukan rencana bodohnya. Yang tak dia tahu, Fernando masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat."

"Jadi itu yang membuat Yoonjung datang ke keluarga kita? Dia sengaja datang membawa Haru ke mansion untuk membalaskan dendam?" Jinyoung mengernyit.

"Ya."

Chanyeol tertawa kecil. Dia mendongakan kepala seraya meremas rambutnya. Tawa itu semakin membesar membuat orang-orang membisu takut. Chanyeol hanya merasa bahwa semua ini terasa seperti dongeng konyol. Ia berada di bawah permainan Buckmoth selama ini.

Sepersekian detik ekspresinya berubah dingin. "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

Dia berdiri dengan penuh amarah menghampiri Jaemyung lalu mencengkeram kerah baju pria tua tersebut. "Kau bahkan memiliki dokumen asli Haru sementara semua informasi yang kucari selama ini tidak pernah menemukan sedikitpun jejak selain dia hanya anak panti asuhan biasa. Kau sengaja memperlakukanku seperti ini?! Bicara, Berengsek!"

Cetakan urat terlihat jelas di leher pria tersebut yang memerah. Hatinya tercabik-cabik dengan cara paling menyakitkan. Dia sangat mencintai Ibu.

"Apa kau pikir semua ini lelucon!? Kau menyembunyikannya bertahun-tahun! Kau membiarkanku bersikap seperti orang bodoh selama itu! Apa kau tahu berapa banyak rasa sakit yang kualami?! Kenapa kau tidak mengatakan apapun?!"

"Karena kau sangat mencintai ibumu."

Mereka terdiam. Deru napas masih memburu. Tatapan Jaemyung kali ini tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakit. Dia juga terluka.

"Alasanku menyembunyikan semuanya karena aku tahu kau dan Jinyoung sangat mencintainya. Aku membesarkan kalian dengan kekerasan sementara dia membesarkan kalian dengan cinta dan kasih sayang."

"Jadi bagaimana aku bisa merusak sosok Ibu di mata kalian...?"

Jinyoung mengusap kasar wajahnya dengan perasaan campur aduk. Matanya berkaca-kaca. Jaemyung benar. Wanita itu merawat Chanyeol dan dirinya dengan sangat baik. Tentu mereka punya cinta yang besar kepada wanita itu. Terlebih lagi Chanyeol.

Cengkeraman itu terlepas. Chanyeol merasa semua kemarahan berkumpul memberi rasa panas di seluruh tubuhnya dengan meluap-luap.

Karena bagaimana cara Chanyeol melampiaskannya? Sosok sang ibu sudah tiada. Dia tidak punya kesempatan untuk menanyakan alasan wanita itu. Dia tidak punya kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya. Dia tidak punya kesempatan untuk menunjukan kemarahannya pada sang ibu.

Matanya memanas memandang kembali layar di mana foto Jackson semasa bayi berada di sana. Rahang mengeras kuat dan buku jari memutih oleh kepalan tangan.

Dia merasa jijik.

"Aku akan membunuhnya." Geram Chanyeol.

Semua mata membulat mendengar ucapan itu. Mereka tahu seberapa gila seorang Park Chanyeol ketika dia marah. Ini bukan perkara sepele. Ini adalah sebuah pengkhianatan yang menodai sumpah Buckmoth.

Seharusnya Jackson mati hari itu.

Seharusnya Chanyeol tidak pernah menyelamatkannya.

Seharusnya... tidak pernah ada kasih sayang.

Pria itu merogoh saku jas salah satu anggota Buckmoth di sana dan mengambil pistol Glock 26 tanpa ragu. Tidak ada yang lebih mengejutkan dari trauma yang selama ini meliputi pria itu menghilang dalam hitungan detik. Kemarahan mendominasi perasaannya.

Chanyeol mengambil langkah lebar keluar dari ruang eksekutif.

"Apa dia benar-benar akan membunuh Jackson?" Jinyoung berdiri.

"Tidak ada yang bisa menghalanginya. Seperti tiga tahun lalu, tidak akan ada." Jaemyung bergeming di tempat.

Ingatan Jinyoung berputar. Tiga tahun lalu semua orang yang berusaha menghalangi Chanyeol berakhir mengenaskan. Dia mengalami sendiri bagaimana Chanyeol melesatkan tiga tembakan pada dirinya saat mencoba menyelamatkan sang ibunda. Dia nyaris mati.

"Maaf, Tuan, apabila saya menyela pembicaraan. Namun meski harus kehilangan nyawa, saya akan berusaha melindungi Tuan Muda Jackson." Kyungsoo menatap kedua atasannya dengan raut wajah mantap.

Meski Kyungsoo tak punya banyak waktu bersama dengan sang tuan muda dan hanya memperhatikan dari kejauhan, dia tahu betapa berartinya Jackson bagi Chanyeol.

"Menurutmu Jackson pantas diselamatkan?" Tanya Jaemyung datar.

"Saya adalah bawahan Tuan Chanyeol. Semua yang saya lakukan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk Tuan Chanyeol seorang." Kyungsoo menundukan pandangan dengan rasa hormat.

"Saya menyaksikannya setiap hari bagaimana Tuan Chanyeol dan pasangannya sangat menyayangi Tuan Muda Jackson. Saya tidak ingin kebahagiaan itu terenggut. Setidaknya, saya tetap berusaha untuk menjaga kebahagiaan Tuan Chanyeol berada pada tempatnya. Saya ingin Tuan Chanyeol bahagia."

Kesetiaan itu perlu diakui. Jaemyung bisa memahaminya.

"Aku mengizinkanmu."

Kyungsoo membungkukan badan. "Terima kasih, Tuan." Setelah itu, Kyungsoo langsung mengambil langkah seribu menyusul kepergian Chanyeol.

Jinyoung menggeram kesal. Dia tak bisa tinggal diam saja. "Aku akan pergi mencarinya." Dia tidak ingin lagi ada korban berjatuhan di mansion ini.

"Kami akan ikut serta mencari keberadaan Tuan Muda Jackson." Serentak para tim Alpha membubarkan diri untuk berpencar ke setiap penjuru.

Mungkin mereka tidak bisa menghentikan Park Chanyeol, namun mereka bisa menyembunyikan sosok Jackson dari kemurkaan pria itu.

ㅡ《•••》ㅡ

Tak berhenti mengagumi bagaimana senyuman Jackson mampu mengalahkan cahaya benda di langit. Suara tawanya yang memenuhi pendengaran tak ingin berhenti Baekhyun nikmati. Dia menyukai perasaan ini.

Baekhyun terkekeh gemas melihat Jackson melompat-lompat seperti anak kelinci di sepanjang mereka berjalan. Anak itu sangat aktif.

"Apa Daddy masih lama berbicara dengan Kakek?" Tanya Jackson.

"Kenapa? Apa Jack sudah bosan?"

Dia mengangguk kecil.

Baekhyun memutar otak. "Bagaimana jika makan es krim sembari menunggu Daddy?"

"Mau!" Anak itu bersorak senang.

"Baiklah, kita pergi makan es krim!"

Keduanya saling bergandeng tangan menelusuri jalan setapak yang memisahkan antara rumah dan beberapa bangunan inti di markas tersebut. Kini mereka berjalan kembali ke dalam rumah.

"Oh? Itu Daddy!" Jackson menunjuk penuh semangat. Dia berlari lebih dulu meninggalkan Baekhyun di belakang.

Lelaki cantik itu tersenyum manis melihat pemandangan di hadapannya. Dia sangat bahagia melihat bagaimana Jackson dan Chanyeol kini tak berjarak seperti dulu. Mereka bisa saling berinteraksi dengan bebas. Jackson bisa menunjukan seluruh cintanya kepada sang ayah.

"Baekhyun! Hentikan Park Chanyeol!"

Samar-samar Baekhyun bisa mendengar teriakan orang-orang di belakang tubuh Chanyeol yang berusaha memberitahunya sesuatu. Baekhyun mengernyit bingung di setiap langkah kakinya yang bergerak maju.

"Tuan Chanyeol, kami mohon berhenti!"

Bola mata Baekhyun melihat sebuah pistol berada di genggaman Chanyeol. Apa pria itu telah bebas dari traumanya? Namun matanya dibuat membelalak terkejut ketika dia melihat Chanyeol menarik pelocok pistol lalu mengarahkannya pada Jackson.

Jantung terasa akan lepas dari tempatnya. Baekhyun refleks berlari sekencang yang ia bisa. Ada apa dengan pria itu?

"Chanyeol!"

Langkah kaki mungil Jackson berhenti ketika jarak mereka hampir dekat. "Daddy...?" Dia memandang Chanyeol dengan wajah polos kebingungan.

Otot leher Chanyeol menegang saat dia menatap rendah pada anak laki-laki itu. Chanyeol benar-benar muak. "Seharusnya aku tidak mengasihanimu." Dia berbicara dengan penuh kebencian.

Mata Jackson mengerjap. "Daddy, apa Jack telah berbuat salah...?" Pertanyaan itu keluar saat dia melihat tatapan yang Chanyeol layangkan.

Sebelum Chanyeol kembali mengeluarkan kata-kata jahat yang menyakiti hati, Baekhyun telah berdiri tegap di hadapan Chanyeol menghalangi pandangannya terhadap Jackson. Napasnya terengah, dia menatap Chanyeol tak percaya.

"Apa yang ingin kau lakukan, Chanyeol?"

Pria itu menatap Baekhyun dengan tajam. "Menyingkir." Desisnya.

"Tidak. Katakan padaku, apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku akan menghabisinya di sini."

Sesak memenuhi dada Baekhyun. Dia tidak percaya dengan pendengarannya.

"Apa kau gila? Apa yang terjadi padamu?!"

"Menyingkir, Byun Baekhyun." Chanyeol menggertakan giginya.

"Tidak. Kau tidak boleh menyakiti Jackson." Baekhyun menatapnya penuh keberanian.

Semua orang menyaksikan dari kejauhan bagaimana Chanyeol kini mengangkat pistolnya dan menempelkannya tepat ke dahi Baekhyun. Pria itu telah hilang akal sepenuhnya. Bukan tak mungkin dia akan mengulangi kisah yang sama seperti tiga tahun lalu. Dia bisa membunuh siapapun tanpa hati.

"Park Chanyeol, kau sudah gila! Dia Byun Baekhyun!" Di belakang sana, Jinyoung merasakan kepanikan yang luar biasa. Ini mengingatkannya kembali pada sang ibu.

"Membantah ucapanku sama dengan berkhianat. Aku bisa membunuhmu, Byun Baekhyun."

"Kau bukan Chanyeol yang kukenal." Baekhyun menggeleng pelan. Pandangannya sedikit memudar oleh genangan air mata.

"Kubilang menyingkir."

"Tidak. Jika kau ingin membunuh Jackson, kau harus membunuhku terlebih dulu."

Air mata itu jatuh membasahi pipi Baekhyun. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan sikap Chanyeol saat ini. Dia takut. Dia sedih. Dia kecewa. Ini bukan Chanyeolnya.

Cengkeraman pada pistol mengerat kuat. Dia mengeraskan rahangnya dengan tatapan mata lurus menatap pada sang kekasih. Dia tidak pernah ragu saat membunuh seseorang. Chanyeol bukan orang yang punya belas kasih seluas samudera. Dia hanya pria temperamental yang selalu menyelesaikan segalanya dengan kekerasan.

Dia selalu membutuhkan pelampiasan.

DORR!

"Park Chanyeol!" Jinyoung berteriak kencang.

"Aarghh!" Chanyeol mengerang, mengeluarkan semua kemarahan yang menghimpit dada saat dia membanting pistol itu ke tanah.

Baekhyun masih berdiri di sana, menatapnya dengan penuh air mata saat Chanyeol melesatkan tembak ke arah lain. Dengan semua perasaan yang Chanyeol punya, dia tidak akan pernah bisa melukai Baekhyun. Tidak mungkin.

Pria itu berbalik pergi.

"Hahh...Akkhh!"

Suara jeritan membuat Baekhyun menoleh.

Jackson menutup telinganya kuat-kuat dengan tangis kencang penuh rasa sakit yang memekakan telinga. Dia terlihat kesulitan bernapas. Tubuhnya terjatuh ke tanah dan dia tak berhenti menjerit.

"J-Jack? A-Ada apa...?" Baekhyun mendekat dengan panik. "Hei, Jack! Lihat aku!"

Jinyoung lantas berlari mendekat bersama para anggota Buckmoth lain.

"Biarkan Jackson menjadi urusanku. Kejar, Chanyeol. Dia lebih membutuhkanmu." Ucap Jinyoung pada Baekhyun.

Mata Baekhyun bergetar hebat. Tubuhnya lemas. Dia tidak tahu apa yang membuat situasi menjadi sekacau ini.

"Pergi, Baekhyun!"

Perintah itu membuat Baekhyun tak memiliki pilihan lain selain mengejar langkah Chanyeol yang mulai menghilang dari pandangan. Dia menelusuri lorong demi lorong untuk menemukan tempat persembunyian pria itu.

Sebuah suara berisik terdengar pada satu ruangan yang tertutup rapat. Tanpa ragu, Baekhyun segera membuka pintu. Kini yang memenuhi pandangannya adalah betapa hancurnya ruangan tersebut oleh pecahan barang di mana-mana. Suasana yang begitu khas dengan kepribadian Chanyeol membuat Baekhyun menyadari bahwa ruangan itu adalah kamar Chanyeol.

Perlahan dia berjalan mendekat.

"Chanyeol..."

Pria itu bersandar pada meja. Tak ada yang berubah dari sorot mata penuh luka. Napasnya masih memburu dan ia punya semua kebencian di dalam iris mata yang terpancar.

Chanyeol melirik Baekhyun. "Jackson adalah adikku."

Napas tercekat oleh rasa terkejut pada fakta yang Chanyeol bagikan. Baekhyun mencoba mencari kebohongan di balik bola mata itu namun tak ditemukan.

"Kau tahu, semuanya benar-benar sampah. Semua perasaan ini sangat konyol." Chanyeol mengepal kuat tangannya. Pandangannya berkabut. "Dia adalah wanita yang paling kucintai di dunia. Dia adalah satu-satunya wanita yang ingin kujaga sebaik mungkin melebihi nyawaku sendiri. Dia Ibuku. Tapi bagaimana bisa dia berkhianat kepadaku? Bagaimana bisa dia menginjak-injak kesetiaan Buckmoth?"

"Dia membuatku menanggung penyiksaan tentang rasa bersalah yang tak pernah bisa kutebus, namun bagaimana bisa kini dia menjadi sosok yang paling pantas untuk mati?"

Chanyeol tersenyum pahit. Dia benar-benar membenci seorang pengkhianat. Kejahatan yang paling kejam melebihi pembunuhan adalah pengkhianatan dari orang yang paling kau kasihi. Rasa sakit itu tidak ada obatnya.

Baekhyun terisak melihat kondisi pria itu. Chanyeol sangat kacau. Dia tidak menangis penuh raungan, melainkan terdiam dengan wajah pucat pasi menahan semua sakit di dalam dada. Pria itu tidak pernah diajarkan menangis, hingga satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah melampiaskan kemarahannya dengan cara apapun.

Dia kesepian.

Lelaki berperawakan mungil itu mendekati Chanyeol lalu memeluknya tanpa aba-aba. Chanyeol sedikit tersentak, mulai kembali pada kewarasannya yang sempat hilang.

Baekhyun menangis di dada pria itu.

Raut wajah Chanyeol lantas berubah. Dia teringat perlakuannya kepada Baekhyun beberapa saat lalu. Dia hampir melakukan kesalahan fatal. "Maaf. Maafkan aku, Baekhyun. Aku hampir melukaimu. Maaf." Pria itu memeluk tubuh Baekhyun dengan erat. Dia sangat menyesal.

"Kenapa kau menangis? Apa kau terluka? Apa aku melukaimu tanpa sengaja?"

Baekhyun menggeleng pelan lalu menjauhkan diri mereka. Dia menatap Chanyeol dengan perasaan bercampur aduk.

Jemarinya menyentuh dada pria itu dengan air mata bercucuran.

"Aku akan membalut lukamu, Chanyeol. Aku akan memperbaikimu. Aku akan menangkal semua mimpi buruk untukmu. Aku akan menghadang apapun yang menyakitimu jadi jangan menyimpannya seorang diri. Kau bisa membaginya denganku. Aku memiliki banyak cinta untuk kubagi denganmu."

Kata-kata itu terdengar manis menghibur telinga. Perasaannya melembut, menerima semua afeksi yang Baekhyun berikan kepadanya. Lelaki itu mungkin tidak pernah menyadari betapa besar perasaan Chanyeol untuknya.

Wajah cantik itu dibanjiri air mata. "Aku sakit melihatmu terluka. Aku mengutuknya."

Mereka telah berbagi jiwa, hingga seluruh sakit dan senang akan menjadi perasaan keduanya.

Jemari pria itu mengusap lembut jejak air mata. "Kau tidak harus melindungiku. Bahkan kau tidak harus mengkhawatirkanku."

"Aku tidak melindungi seorang mafia. Aku tidak juga melindungi pria angkuh yang keras kepala. Aku melindungi kekasihku."

Ucapan itu menarik sudut bibir Chanyeol untuk tersenyum. Tatapannya meneduh.

Jemari besar Chanyeol melingkupi tengkuk Baekhyun. Dia memberikan sebuah ciuman lembut yang tak menuntut. Lumatan yang bergerak hati-hati tanpa ingin menyakiti. Hanya ungkapan tentang perasaan murni yang dia miliki.

Pria itu menyatukan dahi mereka dan berbisik pelan. "Aku akan memperlakukanmu dengan baik. Lebih baik. Jadi jangan pernah tinggalkan aku, Baekhyun."

Mungkin terdengar seperti permohonan atau ancaman, apapun itu Chanyeol hanya menginginkan Baekhyun tetap di sisinya.

Chanyeol bisa mengabulkan seluruh permintaan Baekhyun. Dia bisa menciptakan dunia hanya untuk mereka berdua, asal Baekhyun selalu bersamanya. Karena tidak ada tempat di manapun untuk Chanyeol pulang jika itu bukan Baekhyun. Rumahnya.

"Aku bisa kehilangan segalanya tapi tidak denganmu. Aku tidak bisa kehilanganmu. Kau adalah pengecualian."

Baekhyun mengangguk.

Pemahaman mereka tentang cinta sangatlah dangkal, tak akan bisa menafsirkannya dalam sebuah kalimat puitis. Namun mereka berada di sini mencoba merajut sendiri benang cinta yang mereka punya menjadi sesuatu yang menyatukan Park Chanyeol dan Byun Baekhyun.

.

.

.

.


{ To Be Continued }


Belum pada bosen kaann? Hehe

Happy Chanbaek Day!