Bokuto Kotaro X Ogasawara Sachiko
Takane No Hana
Chapter 5
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sudah berapa lama?
Otaknya berpikir lambat, menghitung jumlah bulan atau bahkan tahun, dimana terakhir ia melihat wajah tidur dalam damai, nafas pelan yang teratur, harmoni dengan tarikan nafasnya sendiri.
Bokuto berbaring menyamping di sebelah wanita yang baru sekitar satu bulan terakhir dikenalnya. Kepalanya menumpu pada telapak tangan, menyamankan diri.
Mungkin sekitar sepuluh menit lalu, Bokuto terbangun dari tidurnya yang tidak terlalu lelap, dalam keadaan pegal karena sofa yang ditempatinya tidak cukup untuk tubuhnya yang tinggi dan besar. Terakhir ia cek ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul 7.55 pagi.
Kamar hotel yang mereka sewa untuk malam itu memang memiliki jendela, namun minim sinar matahari meski gordennya dibuka, terhalang oleh gedung di sebelahnya.
Bokuto bermaksud membangunkan Sachiko yang masih tenggelam dalam mimpinya. Sampai tiga kali ia berbisik nama wanita itu di telinganya, supaya dia tidak bangun dengan terkejut. Responnya hampir nihil.
Sachiko hanya bergerak sedikit, menghadap ke arah Bokuto tanpa membuka kelopak mata, menggumamkan 'mengantuk' dalam igauannya.
Entah mimpi apa yang tengah Sachiko jalani, membuatnya meraih leher Bokuto yang membungkuk dari sisi tempat tidur, setengah menariknya untuk berbaring. Mencari hangat dari suhu tubuh Bokuto, mungkin.
Bagian depan mantel handuk Bokuto ia remas lemah, meski tetap membuatnya terbuka dan memperlihatkan kulit dada Bokuto, sedang sisi wajah Sachiko menikmati kehangatan dari sana.
Tak adil, ketika Bokuto melancarkan serangan, justru Sachiko memasang tinggi benteng pertahanannya. Tapi saat pertahanan Bokuto menguat, justru wanita itu yang berusaha melemahkan.
Saat seperti ini, logikanya harus lebih diutamakan. Berulang kali ia berucap dalam hati, bahwa rasa hormatnya pada Sachiko lebih besar. Ia adalah wanita yang harus dijaga.
Tapi boleh kan, Bokuto menikmati keindahan dan ketenangan dari wajah Sachiko yang tengah terlelap, polos, tanpa ada penjagaan?
Bokuto melepas tumpuan pada tangannya, merentangkan lengan. Ia meraih sisi kepala Sachiko dan berusaha sehati - hati mungkin mengangkatnya sebentar, mengganti bantalan kepala dengan lengannya yang kekar.
Sachiko bereaksi sedikit, menarik nafas dalam lalu menghembuskan kembali pelan. Bokuto membeku untuk beberapa detik, menunggu respon lanjutan. Tak ada. Membuatnya menghela nafas lega.
Nyatanya, Sachiko membenamkan tubuhnya lebih dekat pada torso Bokuto, yang refleks dijawab Bokuto dengan melingkarkan lengan pada punggung Sachiko dan membawanya dalam rangkuman.
Meski Bokuto yakin mereka menggunakan sampo yang sama tadi malam, ada harum lembut yang samar tercium dari helaian rambut Sachiko.
Ia menyukai aromanya.
.
.
.
.
.
.
Hangat.
Dan rasanya nyaman sekali.
Apa ini?
Seperti…
Penyadaran membuatnya membuka kelopak mata. Dadanya mendadak berdegup. Sachiko panik.
Tangkapan mata hanya bisa mendapati warna gelap kain. Sisi wajahnya merasakan tekstur kulit dan kain yang menggelitik.
Sachiko menggerak sedikit leher, mencoba mencari pandangan lebih luas.
Bokuto Kotaro.
Refleks, tangannya mendorong dada yang keras itu. Meski hanya bisa menggerakkan sedikit, setidaknya tubuh Sachiko lebih bebas.
Bokuto yang tengah terlelap langsung dipaksa sadar.
Ia dipertemukan oleh sosok Sachiko yang sudah terduduk. Kedua tangannya mengepal di dada, raut panik dan kebingungan tergambar jelas dari wajahnya yang masih sekilas menampakan rona bekas tidur.
"Hei," bisik Bokuto, suaranya masih sedikit serak, "kenapa?"
Sachiko tak segera menjawab pertanyaan Bokuto. Hampir tak mampu menemukan kata - kata. Betapa bingung dan kecewanya dia.
Tak menghiraukan pertanyaan Bokuto, Sachiko bangkit dari tempat tidur. Sempat goyah sekilas, kepalanya nyeri. Meski begitu, ia berusaha abaikan. Ia harus segera keluar dari sini.
Melihat gelagat Sachiko yang panik, Bokuto segera mengikuti langkah Sachiko yang tengah menghampiri lemari tempat pakaian mereka tergantung. Ia meraih lengan Sachiko, menghentikan kegiatan apapun yang hendak wanita itu lakukan.
"Dengar," jelas Bokuto, menstabilkan nada suara agar tak membuat Sachiko lebih panik, "tak terjadi apa - apa tadi malam. Kita tidur terpisah."
Sachiko berusaha melepaskan eratan Bokuto pada lengannya. Tidak sakit, tapi membuat Sachiko tak nyaman, "Lepas." gumam Sachiko, berusaha tak terdengar kacau.
Bokuto tak mengikuti permintaan Sachiko, justru semakin berusaha menyakinkan. Ia menyentuh kedua sisi lengan Sachiko, setengah memaksa agar wanita itu menghadap padanya, "Tadi aku hanya berniat membangunkanmu, tapi kau yang menarikku duluan." akunya.
Kedua telapak tangan Sachiko berusaha mendorong dada Bokuto, apapun ia lakukan untuk bisa lepas. Ia ketakutan sekarang.
"LEPASKAN AKU!"
Teriakan Sachiko menyadarkan Bokuto. Apa yang ia lakukan justru bukan menenangkan, malah membuatnya semakin panik hingga ketakutan.
Segera ia melepas genggaman pada bahu Sachiko. Berharap sentuhan tadi tak menyakitinya.
Bokuto kesulitan menemukan kata - kata. Apalagi ketika kedua iris hitam kebiruan wanita itu mulai terlihat berkaca, sekilas kemarahan masih tersirat.
"Sudah cukup," sendu Sachiko, "tolong jangan ganggu aku lagi."
Permintaan itu seperti perintah di telinga Bokuto. Tak bisa ditawar apalagi dibantah.
Ia hanya memperhatikan dalam diam, selagi Sachiko dengan segera mengganti pakaian dan berkemas, tanpa menoleh sekalipun pada Bokuto, meninggalkannya di ruang yang sampai berapa menit lalu menjadi sarang untuk mereka berdua.
Sepeninggal Sachiko, Bokuto hanya terduduk di atas tempat tidur, mereka ulang adegan dalam kepalanya. Mencari setiap poin kesalahan yang dinikmati, namun fatal akibatnya.
Aaah…
Seperti ini perihnya ditolak.
.
.
.
.
.
.
Kuroo memperhatikan pemandangan yang sudah cukup lama tak terlihat. Dulu, setiap kali latihan gabungan, ia hampir pasti melihat tingkah Bokuto yang suasana hatinya mudah berubah, dari optimis dan tak bisa diam ke murung dan depresi. Sayangnya, semakin mereka berumur, Bokuto mulai berkurang menampilkan kelakuannya yang mirip bocah dan menjadi sasaran ejekan Kuroo.
Bukan hanya Kuroo yang memperhatikan dalam diam, empat pria lain yang ikut serta bersamanya juga nampak terpaku dan belum bisa berkata - kata melihat Bokuto yang terlihat tak bersemangat sejak ia tiba di kafe.
Tak tega melihat senior sekaligus mantan pelatihnya lesu, Hinata menepuk bahu kekar Bokuto yang bersandar pada meja, "Bersemangatlah, Bokuto - san," hibur Hinata, "aku yakin akan ada wanita lain yang lebih baik."
Bokuto mendadak menengadahkan kepala, melirik tajam pada Hinata, "Tahu darimana kau?" ketusnya.
Hinata mengeluarkan peluh yang tak tampak di kening, "Kuroo - san yang cerita."
Pelaku yang sejak tadi memperhatikannya langsung mengalihkan pandangan, mendadak tertarik pada pemandangan yang terbentang dari balik kaca kafe.
Terushima menyesap cafe latte panasnya, ikut bersimpati atas kejadian yang dialami Bokuto, meski merasa semua terjadi dirinya sendiri, "Lebih tepatnya," opininya, "akan ada wanita yang mau menerima cara pendekatan Bokuto yang agresif."
Opini Terushima membuat Bokuto mendengus, "Makanya, sudah kubilang tak ada pilihan lain, daripada sakit karena basah dan kedinginan," alibinya, "lagipula dia duluan yang mulai, biarpun tak sadar."
"Mulai apa?"
Pengakuan terselip baru didengar Kuroo. Bokuto hanya bercerita garis luarnya saja, soal tak sengaja meneduh di love hotel, yang sebenarnya agak konyol dan naif kalau Bokuto bilang tak terjadi apa - apa kecuali sempat tertidur di kasur yang sama.
Bokuto bergumam tanpa kata, sebelum mengalihkan pandangan.
"Dia mabuk," bisiknya, hampir tak terdengar, "sulit untuk menahan diri."
"Oke, cukup sampai di situ." Sawamura yang dari tadi hanya memperhatikan, langsung membangun jalan buntu untuk kelanjutan cerita Bokuto, yang disayangkan oleh Hinata.
"Eeh, kenapa? Aku mau dengar, senpai." protesnya.
Terushima terkekeh, "Betul, oto - san. Anakmu sudah dewasa, biarkan dia banyak belajar." ledeknya.
Sawamura mengacak rambut terang Hinata, "Sudah usia segini, mana mungkin dia tak mengerti," timpalnya, "jangan banyak dengar cerita yang memancing rasa penasaranmu, Hinata."
Anggota paling muda di antara mereka sumringah, "Aku punya Hitoka kalau penasaran-"
Belum sempat Hinata menyelesaikan kalimat, Sawamura memberikan penekanan pada tangannya yang masih bertengger di kepala Hinata. Memaksanya untuk menunduk.
"Ini yang kumaksud," peringatnya, "jangan sampai aku dengar kau berbuat aneh - aneh pada Yachi. Atau siapa pun."
Hinata meringis, "Aah, senpai," tukasnya memprotes, "aku bukan anak kecil. Kenapa Bokuto - san boleh, aku tidak?"
Seperti seorang ayah yang berdebat dengan anak pemberontak, Sawamura tak mau kalah, "Kau tidak akan sanggup menjalani kehidupan dengan pikiran mengenai seks setiap hari, Hinata." ucapnya tanpa merasa bersalah, malah disengaja.
Terushima tertawa lepas, berpihak pada Sawamura, "Ayahmu benar, Shoyo. Kehidupan yang keras."
Persetujuannya justru direspon dengan lemparan tatapan mengejek dari Sawamura, "Belajar dari pengalaman, hmm Terushima?"
Kali ini, giliran Kuroo dan Bokuto yang puas menertawakan. Sedangkan Hinata masih terbingung dengan timpal menimpal para senpai.
Kuroo menghembuskan nafas, "Yah, ditambah Oikawa, kita memang kumpulan pria brengsek," aku Kuroo, yang tak mendapat sanggahan dari siapapun, "kecuali kaptenmu, Hinata. Dia pria yang patut dicontoh."
"Oke, sekarang kita masuk ke pembahasan utama. Mengenai proyek."
Sisa pembicaraan mereka masuk ke ranah yang lebih serius. Tak ada lagi topik yang menyinggung hubungan aneh Bokuto atau hal yang berbau kehidupan seksual mereka.
Kebutuhan Bokuto atas distraksi semakin bertambah semenjak mengenal Ogasawara Sachiko.
.
.
.
.
.
.
Sachiko berjalan melintasi lorong berkarpet biru tua. Melewati beberapa ruangan dengan pintu oak yang memperlihatkan sedikit aktivitas di dalamnya melalui kaca pada tubuh pintu. Tengah pekan di siang hari begini memang sewajarnya para pegawai sibuk dengan tugasnya masing - masing.
Hari ini ia meminta izin administrasi kampus untuk selesai bekerja lebih awal. Untungnya dia tidak memiliki deadline atau jadwal mengajar di hari yang bertepatan dengan janji makan siang bersama para tetua dari keluarga Kashiwagi.
Entah apa yang membuat mereka memutuskan untuk mengundang jamuan makan siang mendadak di tengah minggu yang sibuk.
Langkah Sachiko terhenti kala pemandu yang tak lain adalah sekretaris dari Kashiwagi Suguru berakhir di depan dua buah daun pintu di ujung lorong. Ia mengetuk pintu sebanyak tiga kali, sebelum terdengar respon dari dalam ruangan yang menyuruh mereka masuk.
Sang sekretaris membukakan pintu untuk Sachiko, menginformasikan kepada penghuni di dalam ruangan akan kedatangannya, lalu menunduk dan mempersilakan Sachiko mengambil langkah ke dalam.
Ruangan seluas lima puluh empat meter persegi itu didominasi warna krem, hitam dan coklat. Minimalis dengan aksen elegan yang kental. Perabotannya didominasi kayu oak dan kulit. Pencahayaan yang diperoleh dari jendela penuh kaca menambah estetika ruangan kerja yang hanya digunakan oleh satu orang.
Pelaksana direktur utama. Kashiwagi Suguru.
Ia bangkit dari duduknya di kursi kerja berbahan kulit di tengah ruangan, membelakangi jendela. Satu pria lain yang tengah terduduk di kursi tamu nampak tak menggubris kehadiran Sachiko, tenggelam dalam aktivitas pemeriksaan entah dokumen apa di atas meja.
"Selamat siang, Sa - chan," sapa Suguru, raut wajahnya terlihat lebih tegang dari biasa, "terima kasih sudah bersedia datang. Lima belas menit lagi aku selesai, tolong duduk dulu."
Sachiko mengangguk sekali, beranjak mendekati meja tamu di tengah ruangan. Memberi sapa tanpa suara pada pria yang sudah lebih dulu duduk di sana.
Meski ketiganya berada di ruang yang sama, tak ada yang berniat saling mengganggu, disibukan dengan pikiran masing - masing.
Keheningan dipecah oleh pemuda berpakaian rapi yang tampaknya lebih muda dibandingkaan Sachiko.
"Suguru - san," panggilanya, mengalihkan perhatian Suguru dari tumpukan dokumen yang tengah ia tandatangani, "ini sudah oke semua, akan kubawa ke pengacara."
Suguru mengangguk, "Kabari aku secepatnya jika sudah ada surat balasan."
"Baik." responnya singkat, sebelum merapikan dokumen yang tadi ia review, lalu mengemasnya dalam satu tas, membungkuk sekali pada Suguru dan berlaku yang sama ke arah Sachiko. Meninggalkan keduanya yang kembali larut dalam keheningan.
.
.
.
.
.
.
Rumah utama keluarga Kashiwagi berlokasi di pinggir kota, nyaris tak terdengar kebisingan dari lingkungan sekitar yang didominasi bukit. Mungkin juga tak terdengar suara selain alam karena luas halamannya sendiri hampir 2 hektare. Jika rumah keluarga Sachiko sebesar mansion, maka rumah keluarga Kashiwagi adalah istana.
Meskipun rumah utama, hanya kakek dan nenek Suguru beserta pengurus rumah yang tinggal di sana. Orangtua Suguru tinggal di kediaman lain tak jauh dari rumah utama, sedangkan Suguru tinggal sendiri di pusat kota.
Dua hari lalu, Suguru menghubungi Sachiko untuk memberitahu undangan makan siang bersama keluarga Kashiwagi. Agak aneh, karena kali ini cukup mendadak. Biasanya mereka memberitahu minimal satu minggu sebelumnya.
Sachiko memberi sapa kepada keluarga Kashiwagi satu persatu, mulai dari tetua Kashiwagi, ibu dan kakak Suguru, serta dua paman Suguru dari sisi ayah.
Kakek sekaligus kepala keluarga Kashiwagi memposisikan diri duduk di tengah, sedangkan Sachiko sendiri duduk di antara Suguru dan kakaknya.
"Langsung pada intinya," ucap kakek Suguru, setelah selesai dengan perbincangan formal yang berulang, "melihat kondisi Wataru yang semakin menurun, kurasa ada baiknya kita segera menetapkan tanggal pernikahan Suguru. Sekaligus mengumumkan secara sah masuknya Sachiko - san dalam keluarga Kashiwagi."
Sachiko tak mengeluarkan perubahan raut wajah, meski ia cukup terkejut dengan kalimat tetua Kashiwagi.
Memang betul, Sachiko sudah mengetahui kabar mengenai kesehatan ayah Suguru yang semakin menurun. Terakhir kali Sachiko mengunjunginya di rumah sakit, pria lima puluh tahunan yang biasanya terlihat enerjik, hanya sanggup mengucapkan beberapa kalimat dengan nafas yang tersengal.
Namun Sachiko belum mendengar apa pun dari keluarganya mengenai ini. Keluarga Sachiko sendiri nampaknya belum mengetahui mengenai pertemuan hari ini jika Sachiko tidak memberitahukan pada ibunya setelah mendapat undangan dari Suguru. Ibu Sachiko mengira ini akan menjadi undangan makan siang biasa.
Suguru sendiri menyadari ada yang tidak beres dengan ketetapan yang mendadak ini, dia belum diberitahukan apa - apa, "Mohon maaf, oji - sama, tapi kurasa keluarga Sachiko belum mengetahui mengenai rencana ini? Karena saya sendiri belum diberitahukan."
Tetua Kashiwagi menyandarkan punggungnya pada tubuh kursi, "Aku sengaja memanggil Sachiko - san lebih dulu, karena ingin mendengar pendapatnya," jelasnya, "apakah ia bersedia untuk mengikuti tanggal yang kami tentukan atau ada hal yang perlu dipertimbangkan kembali. Mengingat situasi Wataru dan kejelasan mengenai keturunan Kashiwagi berikutnya."
Pandangan mata yang tertuju padanya tak membuat Sachiko terlihat gentar. Komposisi tubuh dan raut wajahnya sudah terlatih untuk hanya menunjukan ekspresi yang minim. Tenang, tanpa mengintimidasi ataupun terlihat terpojok.
"Jawaban saya akan tetap sama seperti sebelumnya," jelas Sachiko, senyum tipis hadir di wajah, menunjukan rasa hormat, "selain dengan persetujuan keluarga Ogasawara, saya juga perlu menyesuaikan dengan pekerjaan yang tengah saya jalani. Jadi, untuk kepastian tanggal akan saya diskusikan kembali dengan keluarga. Mohon kesediaan dari keluarga Kashiwagi untuk menunggu."
Paman Suguru yang dari tadi hanya memperhatikan, ikut membuka suara, "Tapi kami sudah menunggu cukup lama," akunya, "bisakah dipertimbangkan untuk lebih cepat berdiskusi? Kalian tidak semakin muda dan entah berapa lama lagi ayah Suguru mampu bertahan."
"Noboru." jeda tetua Kashiwagi, memberi peringatan bahwa percakapan ini bukan untuknya.
"Kashiwagi akan menunggu sampai Sachiko - san siap," imbuhnya, "mungkin dalam waktu dekat ini aku akan bertemu dengan keluarga Ogasawara."
.
.
.
.
.
.
Rutinitas yang berulang sepertinya akan menjadi gambaran untuk kehidupan mereka berdua kelak. Tanpa ada orang di sekeliling, mereka kembali menjadi orang asing.
Di usia kanak - kanak, semua terasa lebih mudah. Sachiko yang manis selalu mengikuti kemanapun Suguru berjalan ketika mereka bertemu pada acara atau perjamuan yang diadakan keluarga Sachiko maupum Suguru. Sejak kecil, Suguru menganggap Sachiko sebagai adik yang cantik dan menggemaskan dengan segudang keahlian. Penilaian itu berlaku juga untuk Suguru di mata Sachiko.
Sachiko mulai menjaga jarak ketika usianya menginjak tiga belas tahun, ketika orangtuanya memanggil untuk obrolan serius. Saat itulah ia tahu bahwa ayah Sachiko dan Suguru berniat untuk menjodohkan mereka.
Sachiko memang menyayangi Suguru, tapi ia tak lebih dari sosok kakak yang bisa diandalkan. Sulit membayangkan dirinya berdiri di samping Suguru dengan status sebagai istri.
Apalagi Suguru sendiri tidak terlihat seperti akan menolak, meskipun Sachiko tahu Suguru sama - sama tidak menyukai ide kedua orang tua mereka. Mereka tak bisa menolak tanpa alasan yang konkrit. Melawan tradisi keluarga, katanya.
Apalagi, dengan kondisi Suguru. Dan masa lalu Sachiko.
"Terima kasih, Sa - chan," mulai Suguru, tanpa mengalihkan pandangan dari balik jendela mobil yang melaju, "kau bersedia datang hari ini."
Sachiko hanya terdiam.
Seperti dia punya pilihan lain saja, pikirnya miris.
"Soal yang tadi," lanjutnya ragu, "sesuai dengan perjanjian awal kita. Aku tak akan melarangmu untuk berhubungan dengan orang lain meski kita menikah secara sah."
Ucapannya kini mendapat perhatian Sachiko, mulai tak nyaman dengan arah pembicaraannya.
"Aku akan mengakui anakmu kelak sebagai keturunan Kashiwagi. Ini cukup menjadi rahasia kita."
Dia mulai lagi.
Sachiko tersenyum tumpul, "Sebelumnya aku minta maaf jika terdengar kasar, Suguru - san," gumamnya, "kau memposisikan aku seolah aku ini hewan ternak."
Kali ini Suguru mendapat perhatian dari Sachiko, ia menoleh dengan raut yang sama dinginnya dengan Sachiko, "Apa maksudmu?"
Tawa melecehkan keluar samar dari bibir Sachiko, "Seharusnya aku yang tanya begitu," jawabnya, "turunkan aku di sini. Sudah cukup untuk hari ini."
Entah sejak kapan mereka saling menanam perasaan tak hormat satu sama lain.
Ironisnya, itu bukan disebabkan oleh Sachiko ataupun Suguru sendiri.
Tradisi yang mengikat. Seolah mereka burung dalam sangkar yang tak bisa terbang dengan bebas.
.
.
.
.
.
.
Berapa puluh lembar tiket yang ia dapat. Berapa jumlah uang yang ia keluarkan. Berapa lama waktu yang ia habiskan di tempat itu tanpa benar - benar mempedulikan apa yang ditampilkan. Ia tak peduli, selama pikiran kacaunya bisa ditenangkan di tempat yang sudah dikenalnya selama dua belas tahun.
Sachiko bahkan sampai hafal tiap deret bangunan yang ada di sebelahnya. Mana yang gedung lama atau sudah direnovasi. Begitu pula dengan gedung itu sendiri. Ia tahu siapa saja aktor yang sudah pensiun dari sana, mana yang aktor baru. Berapa jumlah deret bangku di sana. Sachiko seperti menua bersama dengan gedung teater.
Selagi aktor di atas panggung berlaga, lagi - lagi Sachiko gagal menangkap apa yang diucapkan, apa isi pertunjukannya. Ia hanya terpaku pada pikiran yang tak habis memenuhi kepala.
Soal perjodohannya dengan Suguru yang semakin dekat. Pekerjaan yang akan dibatasi kebebasannya karena status sebagai istri Kashiwagi membuatnya harus lebih sering berada di samping Suguru. Permintaan para tetua untuk memiliki keturunan yang nantinya akan melanjutkan silsilah keluarga.
Dirinya sendiri yang masih berharap pada kenangan masa lalu.
Rumor buruk mengenai dirinya atas kejadian itu yang justru masih ia jaga hingga kini.
Terlalu banyak.
Sachiko menutup kelopak mata. Berusaha mengatur nafas sebagai upayanya untuk menenangkan diri.
Sekelilingnya perlahan terasa sunyi.
Akhir - akhir ini Sachiko tidak mendapat kesunyian seperti ini setiap kali dia mampir ke teater.
Oh iya.
Kalau diingat, sudah dua bulan ini ritmenya sedikit mengalami perubahan.
Sejak kehadiran Bokuto Kotaro.
Pria asing yang entah kenapa selalu muncul di hadapannya.
Sejak kejadian terakhir mereka bertemu, pesan singkat yang kadang ia terima akhirnya sama sekali berhenti. Sepertinya Bokuto mendengar permintaan Sachiko untuk berhenti mengganggunya.
Sehari setelah kemarahan Sachiko ditumpahkan pada Bokuto, ia berusaha mengingat ulang apa yang terjadi antara mereka berdua malam itu.
Ia ingat sekali sempat meminum bir yang ada di atas meja, sisanya samar.
Kalau dipikir lagi, kemarahan Sachiko lebih tepat ditujukan untuk dirinya sendiri. Bokuto hanya mengikuti kekonyolan Sachiko yang tengah mabuk.
Raut wajah Bokuto yang menyiratkan kepanikan di pagi hari itu, saat Sachiko buru - buru berkemas, menunjukan kejujuran. Memang kalau dilihat dari sudut pandang Bokuto, tak ada yang terjadi atas dasar kehendaknya. Semua murni kecerobohan Sachiko.
Menghela nafas pelan, Sachiko merasa menyesal. Tapi toh dia juga tidak bisa berbuat apa - apa, sudah terlanjur ditumpahkan amarah pada Bokuto yang salah alamat.
Dia pasti sudah kapok menemui Sachiko sekarang.
Tapi…
Jemarinya bergerak menyentuh garis bibir. Mengingat sensasi yang meski samar, tak bisa dilupakan.
Sisi wajahnya terasa menghangat.
.
.
.
.
.
.
Sachiko ingat Bokuto pernah bilang di akhir pekan, ia biasa mengisi dengan memberi pelatihan voli. Beberapa minggu lalu pun Sachiko juga sempat bertemu dengannya.
Di lapangan sisi jalan sungai.
Sekelompok pemuda berseragam tengah memusatkan fokus pada latihan yang mereka jalani pagi itu. Baru pukul sepuluh pagi, tapi terlihat dari gerak gerik dan raut wajah mereka sudah melakukan olahraga sejak beberapa jam lalu.
Dari atas jalan, Sachiko memindai orang - orang yang ada di lapangan bawah, tepat di sisi sungai. Selain perkumpulan pemuda itu, ada juga grup lain yang melakukan kegiatan berbeda. Keluarga yang sedang piknik pun memposisikan diri sedikit lebih jauh dari mereka.
Di satu titik, Sachiko menemukan sosok yang dicarinya. Ternyata benar, dia ada di sana hari itu.
Sachiko berjalan menuruni gundukan tanah berumput yang menjadi pemisah antara jalan perumahan dan sisi sungai, mendekati perkumpulan pemuda berseragam dengaan tubuh yang tinggi - tinggi, namun memilih untuk tetap di sisi lapangan saja dan duduk di bangku besi yang ada di sana. Bangku yang sama dengan yang didudukinya berapa minggu lalu.
Bokuto yang berada di tengah lapangan, fokus memberikan pengarahan dengan praktek, nampaknya tak menyadari kedatangan Sachiko. Dia tampak penuh energi, suaranya lantang. Meski sudah musim dingin, Bokuto mengenakan kaos lengan pendek yang terlihat meninggalkan jejak keringat dan dipadankan dengan celana olahraga panjang.
Selesai memberikan pengarahan, Bokuto beranjak menjauhi tengah lapangan, membiarkan sekumpulan pemuda mengambil alih dan mulai berlatih tanding.
Bokuto baru menyadari kehadiran Sachiko setelah berbalik. Dia tak tampak terkejut, setengah berlari menuju sisi lapangan, karena latih tanding sudah dimulai.
Meski Sachiko mengetahui bahwa Bokuto menyadari kedatangannya, Bokuto tak berkata atau sekedar memberi sapa pada Sachiko. Ia memilih untuk berdiri di sisi lapangan, tak jauh dari bangku yang Sachiko tempati. Meletakkan kedua tangannya di pinggang, berkonsentrasi pada pengawasan latihan.
Bohong kalau dibilang Sachiko tidak merasa canggung, tapi dia maklum. Sudah sewajarnya Bokuto marah atas kejadian yang lalu, dimana ia menjadi pelampiasan amarah Sachiko yang padahal bukan kesalahannya.
Sachiko tidak mau mengganggu Bokuto yang tengah bekerja. Sesungguhnya dengan ia datang ke sini saja sudah termasuk mengganggu, tapi Sachiko tidak tahu kemana harus mencari Bokuto. Mengirimkan pesan menjadi pilihan yang tak masuk hitungan.
Konyol sekali, ia meminta Bokuto untuk berhenti mengganggu, sekarang malah posisi berbalik.
Sejak kapan Sachiko menjadi wanita yang menjilat ludahnya sendiri?
.
.
.
.
.
.
Pukul 11.30 siang, latihan berakhir. Bokuto kini tengah memberikan review dan pengarahan terakhir sebelum tim bubar. Sama seperti yang kemarin.
Selama berlangsung latihan, Bokuto tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Sachiko. Sempat memberikan botol air mineral baru yang diambil dari ranselnya untuk Sachiko, tapi ia tidak berkata apa - apa.
Selesai membubarkan tim, Bokuto kembali ke sisi lapangan. Akhirnya menempatkan diri duduk di sebelah Sachiko, sembari menyeka keringat dengan handuk kecil yang ia bawa. Ia menghabiskan sisa air mineral dari botolnya sendiri.
"Jadi," mulainya, kata pertama yang keluar setelah perang dingin, "ada perlu apa?"
Sachiko hanya melirik sekilas pada Bokuto, sebelum beralih memusatkan pandangan pada lapangan di hadapannya.
"Aku ingat kejadian kemarin, semuanya karena kecerobohanku," sesal Sachiko, langsung pada sasaran, "dan tak seharusnya aku marah pada Kotaro - san."
"Aku minta maaf."
Penyesalan Sachiko terdengar jelas di telinga Bokuto.
Sejujurnya Sachiko tidak perlu minta maaf, karena Bokuto sendiri mengambil kesempatan dari kejadian lalu. Sejak tadi ia memilih untuk tidak berbicara bukan karena marah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Tiba - tiba saja Sachiko muncul, ketika Bokuto sudah meninggalkan pikiran mengenai dirinya.
Dalam hatinya, bukan main Bokuto merasa senang.
Rindunya terjawab hari ini.
"Aku juga minta maaf," balas Bokuto, "sudah mengganggumu sejak hari pertama kita bertemu. Sampai membuatmu tak nyaman."
Sachiko menggeleng.
"Tidak," bantahnya halus, "Kotaro - san sudah banyak membantuku."
"Terima kasih."
Bokuto berdeham sekali, membersihkan tenggorokan yang tak terasa gatal.
Ia bangkit dari bangku, berdiri di hadapan Sachiko, "Aku terima permintaan maafmu," ucapnya seraya tersenyum lebih ramah, "nah, sebagai gantinya, hari ini aku akan mengajakmu kencan."
Sachiko mengerjap sekali.
"Bagaimana?" tanya balik Sachiko.
Bokuto menyeringai, "Sebagai tanda kita sudah baikan, temani aku ke beberapa tempat hari ini."
Antusias Bokuto yang belum pernah Sachiko temui pada orang lain membuatnya seolah tersihir. Sulit bagi Sachiko untuk menolak apa yang Bokuto inginkan.
Tersenyum simpul, Sachiko menuruti kemauan Bokuto, "Baiklah."
.
.
.
.
.
.
Meski dikatakan kencan, sebagian besar hanya Sachiko menemani kegiatan lanjutan Bokuto di hari itu saja. Mampir ke workshop tempat Bokuto bekerja untuk mengambil helm cadangan yang disimpan di loker. Sempat bertemu dengan rekan kerja Bokuto yang tengah lembur. Bokuto mengenalkan Sachiko pada beberapa rekannya, yang ia sebut sebagai 'ojo - sama' nya.
Mereka berlanjut ke toko olahraga, Bokuto perlu beberapa peralatan kecil untuk latihan otot seperti hand grip dan barbel. Bokuto yang terlihat akrab dengan pemilik toko ternyata pelanggan setia sejak Bokuto masih SMA. Di salah satu sudut toko, terpajang foto dan potongan artikel Bokuto yang mengenakan seragam tim voli luar negeri, dimana ia sempat tergabung di dalamnya.
Setelahnya, mereka mengunjungi toko perlengkapan motor, dimana Bokuto bersikeras untuk menghadiahkan Sachiko helm yang sesuai untuk ukuran kepalanya. Helm yang Bokuto punya terlalu besar untuk dikenakan Sachiko. Setelah beberapa perdebatan dan pertimbangan, Sachiko mengambil helm berwarna ungu muda. Bokuto tak berhenti tersenyum begitu mereka keluar dari toko.
Sisa waktu dihabiskan dengan menelusuri toko buku atas permintaan Sachiko. Kebetulan ia membutuhkan lembar partitur baru. Sachiko mereferensikan beberapa buku dan novel yang menjadi favoritnya, meski Bokuto merespon tanpa antusias. Buku apapun tak pernah bisa menjadi item yang disukai Bokuto sejak dulu.
Bokuto mengantar Sachiko sampai di depan gedung apartemen tepat pukul setengah delapan malam, setelah keduanya makan malam di restoran sushi langganan Bokuto.
"Lain kali kita pergi, jangan lupa bawa helm barumu." peringat Bokuto, mengetukan jemari pada helm yang Sachiko peluk.
Sachiko mengangguk, "Terima kasih untuk hari ini," rangkumnya, "juga untuk helmnya."
Giliran Bokuto yang mengangguk, "Kalau begitu aku pamit dulu," ucap Bokuto, mesin motornya kembali dinyalakan,"selamat malam, Sachiko."
Seolah malam tak berakhir, Bokuto dihujani dengan hadiah ketika sampai di apartemennya sendiri.
Sebuah pesan dari Sachiko, yang perdana dimulai darinya.
Ia hanya mengirimkan foto helm ungu muda, disimpan rapi di atas meja, dengan dituliskan pesan, 'Terima kasih untuk helm yang cantik.'
Aah, kau juga cantik. Terlalu cantik.
.
.
.
.
.
.
Sudah satu minggu lebih berlalu sejak 'kencan' mereka. Kini Bokuto mulai lebih sering mengirimkan pesan, yang selalu mendapat balasan dari Sachiko.
Beberapa kali ia juga mengirimkan foto apa yang sedang dikerjakannya hari itu, menu makan siang dan beberapa foto random seperti matahari terbenam dan anjing kecil liar yang ia temukan di pinggir jalan.
Ada satu malam, ketika Sachiko sudah bersiap untuk tidur, Bokuto menghubunginya melalui telepon. Hal yang baru pertama dilakukan sejak mereka saling mengenal.
Ingin dengar suara Sachiko, katanya.
Pengakuan yang membuatnya menggumamkan tawa. Ada saja kelakuan pria itu yang membuatnya tergelitik.
Dan harus diakui, Sachiko pun mulai merasakan hal yang sama dengan pengakuan Bokuto.
Mungkin karena auranya yang positif dan tidak mudah ditebak, Sachiko rindu akan kehadirannya.
Sachiko mulai mengingat bagaimana wajah tertawanya, suara yang dalam dan berat namun sesekali melengking. Bagaimana ia memberikan kalimat - kalimat lelucon yang sukses menimbulkan tawa dan pikirannya yang kadang absurd. Juga tubuh hangatnya yang siap melindungi Sachiko dari apa pun.
Ada keinginan untuk terus bertemu dengannya.
Sachiko memeriksa ponsel yang diletakan di atas meja kerjanya, hilang minat untuk fokus pada partitur yang tengah dipelajari sejak satu jam lalu.
Terakhir Bokuto mengirimkan pesan pukul 7.20, isinya mengatakan dia sudah selesai bekerja dan akan langsung pulang setelah makan malam.
Ini sudah pukul 9.15, seharusnya dia sudah sampai apartemen.
Sachiko kini berubah menjadi tidak sabaran.
Tanpa pikir panjang, jemarinya langsung mencari nama Bokuto dalam daftar kontak. Ia menyentuh layar untuk melakukan panggilan.
Lima dering panggilan terdengar, sebelum terjawab oleh si pemilik ponsel yang dipanggil.
"Hei," dari seberang jalur, Sachiko bisa membayangkan wajah riang Bokuto, "belum tidur?"
Suara Bokuto sukses memberikan efek tenang dalam dada Sachiko, disusul dengan sensasi menggeliat yang terasa dari atas perut, "Kotaro - san sudah pulang?" tanya balik Sachiko, tanpa disadari suaranya seperti menggumam.
"Hmm?" Bokuto menjawab ragu, seperti menerka apa yang barusan dikatakan Sachiko, "Sudah, aku baru selesai mandi. Suaramu kecil sekali."
Sachiko menyentuh lehernya, bertanya dalam hati mengapa suara seakan canggung untuk keluar. Ia bangkit dari meja kerja, menuju jendela di ruang tengah, berusaha meringankan perasaan yang tak tentu, "Bagaimana pekerjaan hari ini?" volume suara ia naikan sedikit, berharap akan terdengar lebih jelas.
Ada sedikit jeda dari ujung sana, seperti suara gemerisik. "Seperti biasa, ada saja 'pasien' baru. Kuroo juga mampir tadi untuk cek mesin mobilnya." sekali lagi, ada jeda di ujung sana, sepertinya Bokuto sedang melakukan beberapa aktivitas selagi menjawab telepon Sachiko, "Ah, Kuroo temanku sejak SMA. Kapan - kapan kukenalkan."
Sachiko bergumam sekali, membiarkan suara Bokuto yang mendominasi meski ia duluan yang duluan menelpon.
"Mungkin minggu ini aku tak sempat datang melatih, banyak deadline."
Lagi, Sachiko hanya mengeluarkan gema dari pita suaranya.
"Sabtu malam ini, Kuroo dan yang lain akan kumpul lagi, membahas lanjutan proyeknya." Bokuto masih menikmati percakapan tunggalnya, secara alami saja menginformasikan Sachiko mengenai apa yang ada di kepala. Seakan Sachiko buku pengingat pribadi. Walaupun, Bokuto tak bermaksud begitu, hanya ingin bilang saja, seperti ada urgensi untuk memberitahu apa yang dilakukannya, kemana ia pergi, siapa saja yang ia temui.
Ada rasa ingin mengajak Sachiko masuk ke dunianya. Ingin membawa Sachiko kemana pun pikiran dan tubuhnya berada.
Di satu titik, bahan bahasan Bokuto sudah rampung, baru menyadari yang di seberang sana sejak tadi tidak mengeluarkan kata - kata, "Sachiko?"
"Ya?"
Bokuto menyunggingkan senyum tumpul, "Kukira kamu tertidur," jawabnya, setengah berbisik, "besok berangkat jam berapa?"
Ia memejamkan kelopak mata, menyamankan diri duduk di lantai berkarpet, kepalanya disandarkan pada jendela kaca selebar ruangan. Lampu - lampu yang berkelip terbentang di hadapannya. Tinggal di lantai yang tinggi memang keputusan tepat.
"Jam delapan." ia berbisik lagi, meski suaranya lebih jelas sekarang.
Kali ini giliran Bokuto yang bergumam, "Kuantar ya?"
Sachiko tersenyum tipis, "Nanti Kotaro - san terlambat."
Hembusan nafasnya samar terdengar dari perantara ponsel, seolah tak ada jarak di antara keduanya. Ia terasa ada di sini, berbicara padanya secara langsung.
"Tak apa." sahutnya. Selama Bokuto bisa melihat wajahnya, terlambat berapa menit atau jam tak menjadi masalah, biar ia tanggung resiko.
Keheningan darinya Bokuto anggap sebagai persetujuan. Ia mencatat dalam kepala untuk mengubah rute sebelum berangkat kerja besok.
Tak saling bertukar kata untuk beberapa saat, meski keduanya belum berniat mengakhiri panggilan. Seperti ini saja lebih lama lagi.
"Tadi malam," suaranya terdengar mengalun, sepertinya Sachiko mulai mengantuk, "aku mimpi."
Bokuto bergumam sekali, "Mimpi apa?"
Ia memeluk kedua lutut dan menumpukan kepala di atasnya, "Bermain perahu di danau dekat rumah oba - sama," ingatnya, yang lebih mirip kenangan daripada sebuah mimpi, "ada Kotaro - san yang masih kecil juga di sana. Berdiri di sisi sungai."
Terdengar suara tawa yang teredam dari Bokuto, membuatnya ikut mengembangkan senyum, "Serius."
"Hmm," sahut Bokuto, "memangnya kau tahu seperti apa aku waktu kecil?"
"Seperti apa?"
Tawanya kini terdengar lebih lepas, "Mungkin tak jauh beda dengan yang ada di mimpimu," ia menimpali, setengah bercanda, "beruntung sekali Bokuto kecil bisa sampai di mimpi Sachiko."
Sachiko mengumamkan tawa, "Begitu ya?" bisiknya. Matanya mulai terasa berat.
"Hmm," suara Bokuto terdengar seperti nyanyian pengantar tidur sekarang, "maukah kau memimpikan Bokuto besar malam ini?"
Sachiko mencerna pertanyaannya sebentar, "Mungkin," suaranya semakin pelan, lagi - lagi nyaris tak terdengar, "hanya jika aku tak lupa bagaimana wajahmu."
Bokuto terkekeh, "Masa lupa?"
Sachiko menggumamkan 'ya'.
Ia berpikir sebentar, menimbang pikiran yang tiba - tiba muncul. Agak tak etis, namun tak bisa ditahan.
"Kalau aku ke sana sekarang, akankah kau ingat wajahku?"
Sebelum otak bisa menahan mulutnya berucap, Bokuto melontarkan pertanyaan yang membuatnya menyesal. Terulang lagi, sifatnya yang agresif dan tak sabaran.
Siap - siap saja Sachiko menutup pintu hatinya lagi.
Bokuto tak segera mendapat jawaban, hampir yakin penolakan akan kembali diterima.
"Mungkin."
Sachiko tak perlu berkata apa - apa lagi, Bokuto segera mengambil jaket dan kunci motornya. Bersiap melewati udara malam yang dingin, namun menyenangkan untuk dilewati.
.
.
.
.
.
.
Tak sampai lima belas menit, Bokuto sudah sampai di gedung apartemen Sachiko. Lantai delapan, nomor 806. Sepuluh detik setelah ia membunyikan bel, pintu depan ruangan dibuka oleh pemiliknya, terlihat natural dalam balutan terusan panjang dan cardigan, membuat Bokuto tak kuasa untuk menahan diri untuk membawanya dalam pelukan, yang tanpa disangka mendapat sambutan baik.
"Kamu tak sedang mabuk, kan?" bisiknya di antara helaian rambut Sachiko, terasa dingin dan halus, kedua lengan melingkari pinggang ramping, membawanya mendekat tanpa menyakiti. Hanya berbagi kehangatan dan keamanan.
Sachiko menggeleng, keningnya bertemu dengan celah leher Bokuto, ikut menyamankan diri ke dalam jaket yang melapisi dada bidangnya, senyum tipis menghiasi wajah, "Selamat malam, Kotaro - san."
Bokuto terkekeh sekali, menyentuh bibir pada sisi kepala Sachiko, sekilas aroma harum yang disukainya tercium, membuatnya betah menetapkan ujung hidung di sana.
"Selamat malam, Sachiko."
Bokuto tidak terasa seperti orang asing sekarang.
Dia terasa seperti rumah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
Withlove,
Dinda308
