"Semua orang akan mengira jika bintang yang membedaki langit malam adalah benda yang bisa berkelip abadi selamanya. Tapi tidak, mereka hanya menyala sekali, lalu jatuh dan menjadi serpihan yang menyeraki lantai galaksi. Beberapa berhasil menembus lapisan langit dan menyentuh bumi, yang lainnya habis begitu saja termakan perjalanan panjang."
Tittle : Keep The Faith
Rated : T
Genre : Family/Hurt/Comfort
Disclaimer : Hero Jaejoong milik dirinya sendiri namun butiran kristal yang menyimpan cuplikan-cuplikan mengenai masa lalunya dan kini terawetkan oleh waktu yang menyebarkan jejak digital di mana-mana adalah milik penikmatnya, penulis salah satunya. Seluruh alur dalam cerita ini murni hanya karangan atau fiksi penggemar, dan penulis hanya membuat untuk kesenangan belaka tanpa menghasilkan profit apapun. Please Enjoy!
Keep The Faith By (Si) MusangAlbino
Kim Jaejoong mengerti benar konsekuensi keputusannya mencoretkan tanda tangan kali ini. Meski tulisan rapat yang berbaris rapi di atas secarik kertas di hadapannya terlihat begitu polos dan tanpa dosa, namun dia jelas mengambil langkah yang akan membuat marah dan kecewa semua orang, bahkan mungkin dunia.
Tidak peduli jika itu adalah satu-satunya jalan paling benar yang bisa di ambilnya.
"Kau masih ragu?" Tanya laki-laki paruh baya di depannya.
"Apa hanya ini satu-satunya jalan?" suara Jaejoong seolah terperangkap dalam lorong gelap asing, begitu suram.
"Komite memutuskan untuk menurunkan standar demi mempertahankan pasar, dan semua agensi yang ikut menjadi anggota setuju, kau sendiri tahu betapa sulit menembus pangsa luar, katakanlah TVXQ sudah berhasil membuka jalan itu, biarkan adik-adikmu di bisnis ini juga menikmati udara Amerika dan Eropa."
Sementara laki-laki paruh baya itu menyeruput kopi di hadapannya, Jaejoong justru mengeratkan kepalan tangannya di atas meja, mencengkeram alat tulis bersaput emas yang bukan miliknya. Berusaha meremukkannya sekali jadi jika saja bisa.
"Kenapa aku? Kenapa kami?" tanyanya sekali lagi, pertanyaan itu terus berputar-putar di dalam kepala, satu-satunya hal yang bisa dia cerna dari semua kekacauan mendadak ini.
"Karena kalian adalah yang paling bersinar di antara semuanya, dan kau pusat dari semua cahaya itu. Aku tidak yakin bisa membujuk Yunho, darahnya terlalu cepat memanas untuk sekedar di ajak berbicara dan anggota lain terlalu sentimental untuk bisa memahami ini."
Musim dingin baru akan berakhir beberapa hari lagi, udara Korea Selatan masih di bungkus sensasi sejuk namun tak lagi menggigit seperti beberapa pekan lalu.
Meski faktanya jika ini puncak musim dingin sekalipun, tak ada jenis cuaca yang bisa membekukan keinginan seorang Jaejoong untuk menangis, berteriak, atau melakukan apa pun yang bisa membuatnya yakin jika sesuatu di hadapannya memang impian belaka.
"Hanya untuk bahan pertimbanganmu saja, TVXQ tidak sendirian, nantinya agensi lain juga akan melakukannya kepada anak asuh mereka, dengan perlahan tentunya, tidak ada keputusan kasar yang akan memancing kecurigaan pasar, dan percayalah agensi kita telah memikirkan cara paling baik untuk hal ini, karena di masa mendatang kau mungkin akan tercengang dengan cara bengis agensi lain dalam melakukannya."
Beberapa waktu lalu dunia seorang Kim Jaejoong masih berjalan sempurna seperti biasanya, dia bertengkar dengan Changmin, berbaikan, memasak, latihan, namun kini, seolah tangan raksasa telah mencomotnya begitu saja dan mencemplungkan Jaejoong ke dimensi lain yang sama sekali tak di kenalinya.
Dua butir air mata berhasil lolos dari retina laki-laki berparas menawan tersebut. Jatuh meniti kulit sehalus pualam tepat ketika lawan bicaranya tengah mengalihkan pandangan pada layar ponsel miliknya.
"Aku harus berbicara dulu pada anggota lain." Ujar Jaejoong mencoba bernegosiasi, Yunho selalu bisa mengeluarkannya dari masalah tentang grup, dan dia tidak ingin melukai hati anggota lainnya dengan tidak mengikut sertakan pendapat mereka.
"Sayangnya kau tidak bisa, jika anggota lain sampai tahu alasan sebenarnya maka kemungkinan besar akan terjadi perlawanan yang tidak di inginkan. Kau harus melakukannya sendirian."
Brengsek! Umpat Jaejoong di dalam hati. Seketika mengalihkan pandangan pada jalanan lengang dan awan-awan, pada objek apa pun selain sosok di depannya yang senyum miringnya mengundang api dalam darah Jaejoong semakin menyala.
"Kau akan di beri waktu dua bulan, carilah alasan yang tidak akan kau sesali kedepannya, karena nantinya kau tidak hanya berurusan dengan pihak agensi saja, tapi juga Komite Dewan."
Dua bulan katanya. Mimpi apa sih dia semalam, sampai harus di hampiri oleh fakta seburuk ini, di siang hari yang cerah pula. Seolah cuaca tengah mengejek takdir gelap yang menimpa seorang Kim Jaejoong.
"Jika aku tidak mau, apa yang akan terjadi?"
"Kau tidak ingin mengetahuinya, ini cara terbaik, percayalah. Kekuatan yang tengah kalian lawan sama sekali tidak sebanding dengan kekuatan mana pun."
Jaejoong seketika muak dengan semua ancaman itu, dia benci di intimidasi. Kekuatannya mungkin tidak bisa mengimbangi, tapi bagaimana dengan kekuatan lima orang yang bersatu? Tidakkah itu cukup untuk menekan balik... apa pun yang tengah mereka lawan?
Jemari lentik Jaejoong mengangsurkan lembar kertas perjanjian pengunduran diri. Jika dia masih memiliki dua bulan untuk melakukannya, maka dia akan memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mempersiapkan perpisahan yang tak diinginkannya. Bahkan meski semenit pun tak akan dia sia-siakan.
Meski awalnya hampir terlihat enggan, namun akhirnya laki-laki paruh baya di depannya menarik kembali lembar putih miliknya. Perjanjian itu berpulang ke dalam map tanpa bertanda tangan.
"Pikirkan tentang dunia baru yang lebih terang, tentang kemanusiaan. Kau akan menolong mereka yang tengah terseok meniti tangga mimpi. Kau akan membantu orang lain mencicipi kesuksesan yang tengah kalian rasakan sekarang."
Jaejoong melirik sekali lagi pada laki-laki di depannya, bertanya-tanya sendiri apakah dia sosok sama yang selama ini selalu memberi suntikan energi pada dirinya dan juga anggota lain. Sosok sama yang menuntun mereka pada puncak yang tengah mereka duduki sekarang.
Namun mata itu jelas berbeda, ada kilat keserakahan yang memancar sekilas di sana. Mungkin saja hanya efek dari pantulan sinar mentari di siang hari, batin Jaejoong meyakinkan.
Merasa jika dirinya telah memasuki sebuah jebakan, dan tak yakin bisa menahan luapan emosinya lebih lama lagi, Jaejoong memutuskan bangkit dari duduknya dan merangsek menuju pintu keluar tanpa menghiraukan orang lain yang di temuinya di depan ruangan. Dia bahkan tidak berpamitan.
Jaejoong merasa kacau, lebih dari sekedar itu, dia yakin dirinya tengah remuk oleh pemikiran-pemikiran.
Berapa sih tepatnya, satu, dua, tiga, dan tangisan Jaejoong pecah pada hitungan setelah enam. Secara keseluruhan dia sudah mengikat dirinya pada sebuah hubungan lebih dari sekedar rekan tim tapi juga keluarga selama tujuh tahun. Tujuh tahun!
Baginya TVXQ sudah seperti rumah, yang harus dia jaga dan rawat bersama anggota lain. Mungkin benar jika eksistensi mereka memiliki skala terang paling menyala di antara grup lain dalam agensi, atau mungkin di luar agensi juga.
Tapi kenapa lantas hal itu di jadikan alasan? Dia hanya ingin menjadi matahari yang menyinari siang dan menyingkir untuk beristirahat ketika malam menjelang. Dia tidak ingin menjadi lilin yang membakar, namun kenapa harus grup mereka yang di padamkan?
Bagaimana dia akan menjelaskan ini kepada anggota lain nanti? Bagaimana dia menangani kekecewaan para penggemar yang sudah begitu loyal? bisakah dia menatap wajah mereka semua dan mengatakan yang sebenarnya?
Dari mana dia harus mulai berbicara? Apakah dari soal pasar, dari soal keputusan Komite, dari soal kemanusiaan? Atau apa?
Dia bersyukur bisa terperangkap dalam kesunyian bilik toilet umum siang itu. Tidak banyak orang yang menggunakannya selama beberapa waktu, meski satu atau dua orang datang, mereka mengabaikan suara isak tersembunyi milik Jaejoong.
Ketika dering telepon di sakunya berbunyi, Jaejoong sudah selesai dengan tangisan dalam miliknya. Berusaha menghilangkan lebam di area matanya yang memerah dengan sapuan air dingin.
Dari Changmin. Merasa tidak yakin untuk berbicara, dia hanya membiarkan panggilan itu terus berlanjut beberapa kali hingga akhirnya benda persegi itu kembali hening.
"Hyung, kau di mana, cepat kembali ke asrama, di sini terjadi kekacauan!"
Bajingan kecil satu itu! Batin Jaejoong sembari tersenyum, bertahun-tahun hidup bersama orang lain membuatnya hafal benar dengan perangai dan tingkah laku mereka.
Dan kekacauan yang baru saja di jelaskan oleh anggota termuda dalam grupnya tersebut tak lain dan tak bukan hanyalah trik murahan untuk memancing seorang Jaejoong pulang ketika dirinya tengah berada dalam sebuah urusan di luar.
"Aku menyimpan makanan di dapur dalam kotak biru laci tertinggi baris kedua dari kanan."
Gawai di tangannya baru saja memasuki mode redup ketika layarnya kembali menyala dan jemari lentik itu kembali menari di atas papan ketiknya.
"Ya! Shim Changmin! Lain kali belajar membuat masakan sendiri! Kau tidak bisa terus menggangguku saat tengah kelaparan!"
Senyum itu memudar dan menghilang dalam sekejap, benaknya segera dipenuhi oleh kekalutan, memikirkan apa yang akan terjadi dengan para anggota ketika dirinya tidak lagi ada untuk mengurusi keperluan mereka.
Sejujurnya ini sangat konyol, menempatkan diri sebagai orang yang akan berperan sebagai 'Ibu' dalam sekelompok orang dewasa yang ke semuanya ber gender sama.
Tapi dia jelas tidak bisa menahan diri pada kemungkinan adanya kasus kelaparan karena persoalan menu makan dan kelayakan hidup ketika dirinya sendiri sangat-sangat menyukai berkutat dengan menu-menu dan kebersihan.
Meski tidak resmi, dia di dapuk oleh anggota lain sebagai anggota yang akan mengisi peran 'Ibu' dalam kondisi mereka.
Dan kebiasaannya mengurusi makanan menular juga akhirnya pada hal-hal lain, seringnya Jaejoong mendapati diri sendiri kalap pada tingkat kecerewetan berlebih ketika menyangkut kebersihan tempat tinggal, kebiasaan-kebiasaan remeh namun buruk para anggota, dan yang terakhir dan tidak bisa di hindari lagi, dia secara keseluruhan mencurahkan kasih sayang dalam setiap adukan masakan dan setiap omelannya.
Yang mana itu terasa kurang baik sekarang. Harusnya dia berperan sekedarnya saja di sana.
Yunho tidak harus bergantung pada dirinya tentang semua keputusan-keputusan dalam hidupnya, termasuk pemilihan warna kaus kaki, atau warna topi apa yang harus dia kenakan hari itu.
Yoochun tidak harus mengikat emosi berlebih pada dirinya, sehingga ketika dirinya tengah merindukan orang tua yang telah tiada, atau ketika komentar jahat di media sosial mulai mengganggu konsentrasi dan suasana hatinya, bukan Jaejoong yang akan di jejali oleh curhat-curhat panjang yang seringnya memakan waktu produktif miliknya.
Junsu lebih buruk lagi, laki-laki bersuara melengking itu bahkan tidak tahan jika harus keluar asrama tanpa dirinya, meski hanya sekedar turun ke bawah untuk membeli persediaan camilan, dia selalu berkata jika Jaejoong sudah seperti pengawal pribadinya. Dan dia secara otomatis merasa aman jika mereka berjalan bersama. Meski menurut Jaejoong itu pemikiran yang aneh, tapi toh dia tidak menghindar atau sejenisnya.
Dan Changmin, Jaejoong tidak memiliki saudara laki-laki dalam keluarganya, namun dia berani menjamin jika dia punya, maka seseorang seperti Changmin lah yang akan di temuinya atau di pilihnya.
Jaejoong terikat sempurna secara emosional dengan ke empat anggota lain. Dan kini dia di paksa untuk mulai menghadirkan bayangan-bayangan mengenai hari-hari ke depan tanpa mereka. Hatinya benar-benar terasa teriris, dan senyum menawan di wajahnya seolah berubah menjadi ringisan pilu yang akan menjadi permanen mulai dari sekarang.
"Kau di mana?"
Dering ponselnya terdengar lagi, tepat ketika Jaejoong tengah mematung di depan pintu lift, menunggu kotak berjalan itu membuka. Kali ini dari Yunho.
"Di gedung Komite. Kenapa?"
"Bisa tolong sekalian mampir supermarket? Odol habis,"
Jaejoong menghela nafas sebentar. Pintu lift terbuka, mengeluarkan dua sosok berdasi dari dalamnya. Melirik sekilas kepada Jaejoong yang wajahnya tertutupi masker, namun segera berlalu dan mengabaikannya.
"Ya, ada lagi?"
"Ganti rasa ya, aku sedang kepingin yang Peppermint."
"Tapi Changmin tidak suka,"
"Ya ampun, belikan saja anak itu yang biasa, tapi aku benar-benar bosan rasa strawberry."
"Oke."
Jaejoong akhirnya berada di jalanan, berdiri sebentar di sana dan memandang gedung menjulang yang baru saja di masukinya. Lalu pandangannya beralih pada langit yang menampakkan arak-arakan awan kelabu. Matahari sedang berada di puncak kepala, harusnya dia sekarang sedang bergelung di atas kasur, mengistirahatkan badan mengingat adanya jadwal ketat yang harusnya akan dia lalui dari sore hingga pagi.
Namun seolah siraman sinar mentari tidak bisa menyentuhnya kini. Ada mendung yang terus bergayut di antara kelopak matanya. Kepedihan dan kebimbangannya yang tidak bisa dia bagi dengan siapa-siapa. Dan dia bergidik pada aliran dingin yang di hantarkan oleh degub jantungnya. Membuat tubuhnya seolah kebas seketika. Namun yakin jika hal tersebut tak ada hubungannya dengan cuaca.
Berpikir jalan menuju asrama tak akan pernah terjangkau meski kendaraan yang di tumpanginya bergerak nyata. Dia mulai meragukan tentang cara alam bekerja. Menjadi sangsi pada keteguhan yang selama ini dipegangnya.
Prinsip-prinsipnya tentang kebenaran dan keadilan. Seolah goyah tertimpa udara musim dingin yang menipis.
Langkahnya tidak berbelok pada koridor kedua ketika seharusnya dia melakukannya. Supermarket masih dua toko di depan setelah belokan menuju lift yang akan membawanya menuju ke asrama.
Selesai dengan karton berisi barang belanjaan, Jaejoong segera bergegas pulang tanpa meninjau kembali suasana hatinya. Dia mungkin akan berpikir lagi dan merisaukannya, tapi itu nanti, ketika dia berada jauh dari jangkauan para anggota lain.
Berada dekat mereka tak akan membantu dirinya berpikir jernih dan netral, dia jelas akan berpihak pada mereka, pada TVXQ, pada rumahnya, pada keluarganya. Tak ada kompromi apa pun untuk itu.
Tapi jika pilihannya adalah sesuatu yang lebih buruk untuk keberlangsungan hubungan TVXQ secara personal maupun kebutuhan umum, mau tidak mau Jaejoong harus mencurahkan atensi sepenuhnya.
Bisa jadi sekaranglah dia harus mengetes kalimat bijak ciptaannya sendiri. Bahwa terkadang sesuatu yang di sebut rumah bukan tentang bangunan, tapi ikatan.
"Hyung, kau membereskan kardus game yang baru kubeli kemarin tidak? Tombol stiknya kurang bekerja, aku perlu melihat nomor resi untuk komplain." Suara Junsu menyambut kepulangan Jaejoong. Dirinya bahkan belum selesai melepas sepatu, tapi dia sudah di cecar pertanyaan dari laki-laki yang tengah hilir mudik di dalam ruangan, membuka laci-laci dan membalik bantal-bantal.
"Aku tidak tahu, kan sudah kubilang letakkan barang milik pribadi di kamarmu sendiri."
"Aku lupa, kemarin rasanya kuletakkan di bawah meja, tapi sekarang tidak ada."
Jaejoong meletakkan begitu saja barang belanjaannya di atas konter dapur, beralih pada ruang penyimpanan gelas dan mengambil air untuk dirinya sendiri sebelum matanya ikut jelalatan mencari.
Ketika dirinya tengah ikut memindai laci-laci ruangan, Changmin keluar dari kamarnya dengan senyum terlalu lebar terpasang di wajah. Ada dua kemungkinan jika Changmin sudah beraut seperti itu, antara dia melakukan kesalahan, atau dia merencanakan kenakalan. Yang mana itu artinya sama saja, yakni kemarahan semua orang.
Dan benar saja, omelan Junsu meledak begitu saja bahkan sebelum Jaejoong bertanya atau Changmin mengakuinya.
"Ya! Kau pasti yang melakukannya! Mana kardus itu!" teriakan Junsu memenuhi ruangan, sementara yang lebih muda masih setia dengan mimik mengerikan miliknya.
"Aku kan tidak tahu kalau itu milikmu, Hyung." lengkung di bibirnya semakin melebar, rautnya benar-benar jauh dari rasa bersalah dan dosa.
"Ya! Kau kan yang menerima paket itu, tidak mungkin sampai tidak tahu itu milikku! Kemarin aku membukanya di depanmu, kan!"
Jaejoong melempar dirinya sendiri di atas sofa, memijit pangkal hidungnya dengan mata terpejam. Suasana hatinya tidak mungkin lebih buruk sekarang, tidak dengan pertengkaran dan teriakan-teriakan yang secara konstan memenuhi indra pendengarannya.
"Kau selalu seperti itu! Dulu kau juga merobek paketku tanpa ijin! Lalu kau mematahkan stik gameku yang lama!" Junsu merangsek sisi sofa kosong di sebelah Jaejoong, menaikkan kedua kakinya dengan sentakan tajam.
"Aku kan' sudah meminta maaf, Hyung."
"Tapi kau melakukannya lagi, dan lagi!" Junsu hampir menangis pada teriakannya yang terakhir.
"Kau selalu menuduhku, Hyung!"
"Changmin..." panggil Jaejoong pelan, namun pandangannya tepat tertuju pada retina si anggota terjangkung itu.
"Iya deh, maaf Hyung, kemarin aku memakai kardus itu untuk wadah kulit kuaci, kukira itu sampah jadi kubuang saja sekalian." raut wajah Changmin hampir menunjukkan penyesalan, meski sudut mulutnya jelas berkedut ketika Junsu mulai merepet lagi dan meluapkan kemarahan di sela-sela anak tangisnya yang mulai turun.
"Lihat Hyung! Jangan beri tiang listrik itu makan seminggu! Sebulan kalau perlu!" Junsu meringkuk di ujung sofa. Matanya memerah dan nadanya menggelap oleh amarah.
"Kan' aku tidak sengaja, Hyung..."
"Kau selalu sengaja!"
"Tidak, aku kan'..."
"Shim Changmin..." potong Jaejoong lagi, pertengkaran ini tidak akan berakhir dengan cepat, dan dia benar-benar butuh istirahat. Di mana sih' Yunho sekarang, dia kan tukang lerai, bisa-bisanya dia tidak mendengar pertengkaran sekeras ini, ratap Jaejoong dalam hati.
"Iya deh, aku minta maaf lagi.."
Junsu masih mendelik garang pada permintaan maaf Changmin, akan kembali melempar argumen kalau saja pandangannya tidak beradu tatap dengan sorot membujuk milik Jaejoong dan kemudian menyerah di sana.
Demi Neptunus! mereka sudah cukup usia untuk menghindari pertengkaran-pertengkaran seperti itu seharusnya. Tapi jalan menuju itu seolah terbuka dan tak pernah terputus, berulang setiap hari, setiap kesempatan, di mana pun berada kalau saja bisa.
Changmin berbalik menuju kamarnya dan sebentar saja keluar dengan membawa stik game lalu mengangsurkan benda tersebut kepada Junsu.
"Kau bisa menggunakan punyaku, Hyung."
Junsu menolak cara Changmin untuk berbaikan. Tetap menekuk wajahnya dalam posisi jelek dan terus meringkuk di tempatnya.
"Ayo terima, sebelum Yunho Hyung tahu dan kita berdua tidak akan selamat." Rajuk Changmin dengan raut kekanakan.
Mau tidak mau Jaejoong tertawa pada usaha Changmin. Begitu pula dengan Junsu pada akhirnya ketika tangannya mengulur untuk menerima barang tersebut.
"Jangan lupa bayar lima ribu Won per jamnya, Hyung!" Changmin menunjukkan seringai dan berlari begitu saja ke dalam kamar setelah berteriak, sebelum membanting pintu yang membuat Jaejoong yakin Junsu membatalkan penerimaan maafnya.
Selalu seperti itu, hari-hari berlalu seperti di ruangan taman kanak-kanak, atau bahkan lebih buruk dari itu. Mereka lima orang dewasa yang senang sekali berteriak untuk semua percakapan tanpa membutuhkan alasan.
Changmin selalu menjadi yang tertuduh sekaligus dalang dan akar dari semua kekacauan. Junsu akan selalu meladeni, begitu juga Yoochun, meski yang terakhir lebih bisa legowo kadang-kadang. Yunho seperti hakim, sosok menjulangnya berhasil mengimbangi kekuatan Changmin. Meski sering juga menjadi objek kejahilan, namun suara dalamnya terbukti efektif membuat si tiang listrik mengkeret.
Sedangkan untuk Jaejoong sendiri. Jangan bertanya, jika ada peran kucing dan tikus dalam TVXQ, maka mereka berdualah yang paling pantas memerankan. Jaejoong sendiri bukannya tidak berusaha untuk mengalah, namun terkadang sikap Changmin di luar batas yang bisa di toleransi, lagi pula dia merasa jika terkadang bagus ketika dua laki-laki dewasa terlibat adu otot, satu, dua pukulan mereka tidak lebih dari sekedar ungkapan kasih sayang.
Pihak agensi selalu menerapkan standar, garis—garis yang harus mereka lalui dan batas-batas yang tak bisa mereka lewati. Termasuk mencakup bagaimana mereka harus memiliki gambaran, harus berperilaku bahkan berbicara.
Semuanya tertulis di atas kertas, hitam di atas putih. Awalnya Jaejoong merasa risih, seolah menjalani kehidupan orang lain, meminjam anggota tubuh seorang Kim Jaejoong dan bergerak sebagai identitas baru milik Hero TVXQ.
Tapi kemudian dia memahami bahwa tuntutan itu tak akan bisa di elakkan ketika menjadi seorang idola, dan tujuh tahun sudah lebih dari cukup untuk membuatnya terbiasa.
Seolah dirinya menyimpan tombol pengganti mode, kapan harus bertindak sebagai Hero Jaejoong yang dingin, misterius, menyimpan teka-teki, sekaligus melelehkan dalam satu waktu, dan kapan dia harus bertindak sebagai dirinya sendiri yang peduli, impulsif dan berisik.
Hanya kepada sisa anggota grupnya lah dia bisa menunjukkan sisi seorang Jaejoong yang sebenarnya. Dia membagi semuanya kepada mereka, tanpa celah, tanpa pertimbangan. Meski awalnya mungkin dengan terpaksa karena tak ada cara lain untuk meningkatkan kuantitas grup mereka selain membangun kedekatan yang berarti di antara para anggota.
Dan dia benar-benar berusaha. Menjadikan sosok-sosok yang mulanya tak di kenal itu sebagai bagian dari keluarga. Mengetahui kepribadian mereka, menilik keinginannya, menyelaraskan kebiasaannya.
Meski sedikit tak lazim, tapi Jaejoong menempuh jalur personal untuk mengikat TVXQ dan meniti tangga dengan mengenakan simpul yang dibuat dari ikatan tersebut, bersama-sama berencana membawa nama TVXQ terbang tinggi, berkibar di sekitaran awan, menembusi semua lapisan dinding, hingga seluruh mata dunia tertuju padanya, pada grup mereka.
Mereka berhasil tentu saja, panji para Dewa benar-benar terbit dari Timur, nama yang di sematkan kepada mereka bekerja sesuai yang di harapkan.
Bahkan lebih dari sekedar itu, nama TVXQ berkibar di dan dari segala penjuru. Di teriakkan oleh ribuan penggemar dan di mahkotai lewat puja-puji hingga tangga itu perlahan mencapai batas tertingginya.
Langit yang tak bisa lagi menahan beban oleh kegemilangan mereka, naungan yang semula melindungi perlahan menunjukkan sisi gelapnya.
Mendung dan kilat yang semula tersembunyi mulai berani menari lewat celah di antara kaki-kaki mereka. Membelit langkah dan menelusup ke persendian terdalam, dengan perlahan meruntuhkan kekokohannya dari celah tak terduga. Meretakkan permata bernama TVXQ lewat jalur personal.
Bukan dunia yang menjegal langkah mereka, bukan pula pasar atau standar penggemar. Perjalanan mereka di paksa hentikan oleh kekuatan yang telah memberi mereka peluang untuk bersinar. Ironis sekali bukan.
Dan Jaejoong lah yang mendapat peran sebagai kunci dari segala akar masalah itu. Semua keputusannya akan berpengaruh terhadap kehidupan orang lain, rekan tim yang sudah menjadi keluarganya.
Meski hari-hari berlalu namun kabut itu tak pernah pergi dari seorang Kim Jaejoong, tersembunyi di belakang tawa dan sorot redupnya.
Terkadang dia berangan untuk memberi tahu anggota lain tentang apa yang telah terjadi padanya dan apa tepatnya yang akan menimpa hubungan mereka. Dalam kesempatan lain dia tergelitik untuk mengetahui resiko besar apa yang akan mendatangi mereka jika dia tetap kukuh pada hasratnya untuk mempertahankan TVXQ.
Namun segala kemungkinan buruk tentang para anggota bahkan dari yang terkecil sekalipun selalu membuatnya bergidik ngeri. Dia tidak akan sanggup menerima apa pun jika hal buruk terjadi pada mereka, terlebih jika itu adalah akibat dari keputusannya.
Seolah ikatan itu berharga lebih mahal dari apa pun, dari pencapaiannya, dari mahkotanya, dari impiannya. Dan Jaejoong sanggup menyerahkan hidupnya sekalipun untuk melindungi mereka.
Andai saja raganya sekuat tekadnya. Hasrat-hasrat memancar seperti radar yang terus menjangkau kekuatan di sekelilingnya, mengikatkan diri pada mereka, hingga kesempatan untuk merasa kalah, lemah dan tak berdaya itu tak lagi ada. Andai saja.
Dan dia hanya di beri waktu dua bulan untuk mempersiapkan ledakan itu! Perpisahan yang tak pernah di duganya! Yang mana seperempat dari hitungan itu sudah terpakai oleh Jaejoong untuk memberontak, memaksa, defensif dan tak terima.
"Menurutmu ke mana bintang-bintang itu bersembunyi saat siang hari?" Tanya Jaejoong suatu hari yang lalu selepas tengah malam ketika dirinya sedang duduk berdua saja dengan rekan satu kamarnya. Menikmati satu, dua gelas alkohol di balkon asrama setelah merampungkan hari-hari panjang tur untuk promosi album terbaru mereka.
"Mereka pulang tentu saja, ke mana lagi memangnya." Ungkap Yunho tanpa benar-benar memerhatikan ucapannya. Matanya memerah oleh minuman di tangan, kesadarannya jelas mulai menipis.
"Bintang memiliki rumah?" tanya Jaejoong lagi.
"Pastinya! Semesta ini rumahnya! Langit itu hanya panggungnya untuk bersinar sementara, sisa waktunya akan dia habiskan untuk berlarian di antara planet-planet, bersembunyi di lubang hitam dan pelukan matahari, melarikan diri dari kejaran debu panas Nebula."
Jaejoong tersenyum. Gelas keduanya sama sekali belum tersentuh kendati botol-botol di hadapannya sudah pasti kosong. Sejatinya dia menyukai perpaduan minuman dan kesendirian. Tapi sejak hari 'itu' dia mulai membutuhkan keberadaan eksistensi lain untuk menopang kewarasannya.
Dia butuh berbicara, juga telinga. Dan juga cairan pemicu penghilang kesadaran. Meski harus mengeluarkan uang lebih, dia melakukannya, Yunho yang mabuk akan lebih membantu ketimbang Yunho dengan kesadaran penuh.
"Kalian rumahku, tapi aku akan menghancurkannya. Bagaimana bisa?"
"Ya Jaejoong! Bahkan kadang rumah pun hancur dengan sendirinya! Kadang tsunami datang, kadang banjir juga..." Yunho bangkit berdiri dari duduknya, dengan langkah serampangan menghampiri besi pembatas balkon dan tiba-tiba saja merentangkan tangannya, seolah hendak terbang atau terjun.
"...atau gempa bumi! Ya Jaejoong! Kau merasakannya!? Hah? Bumi ini bergetar, lihat rumah itu berjalan dan jalanan meleleh..." badan Yunho terayun ke depan dan ke belakang, lalu ke sembarang arah, dia benar-benar mabuk dan meracau. Alkohol sudah mengambil alih kesadarannya penuh-penuh.
Sementara itu Jaejoong meringis ngilu pada sayatan tak terlihat di dalam hatinya. Esok, dia akan menjadi penyebab keruntuhan teman-temannya, dia akan menjadi pemicu bagi tangis mereka.
Darah dan peluh yang selama ini tercurah bersama akan ter nodai oleh satu goresan pena. Jaejoong akan di kutuk oleh dunia karena menghancurkan keluarganya sendiri.
Dia yang selalu di elu-elukan sebagai idola berwajah malaikat akan beralih nama menjadi iblis pembetot nyawa. Dia akan di caci para pembenci yang terus memunculkan spekulasi. Dan lama-lama hal tersebut akan membakar penggemarnya. Lalu dia akan kehilangan penggemar juga.
Padahal Jaejoong paham benar dirinya tak akan berarti apa-apa tanpa penggemarnya. Jalan mana pun yang akan dipilihnya nanti, semua menuju ke neraka pribadi seorang Kim Jaejoong.
Dia hancur bahkan sebelum keputusan itu di tentukan. Kepada malam-malam pekat yang menghantarkan siulan beku dari udara pagi. Dia berbisik sendirian, melalui isak dalam, melewati jerit tertahan. Jika saja anggota lain melihat lebih jeli, mata Jaejoong tak pernah menyambut pergantian hari tanpa sembab tebal yang selalu coba dia sembunyikan.
Dia berusaha untuk tidak terpengaruh terhadap pola-pola remuk yang di ciptakan kepalanya. Tapi tahapnya hanya bisa sampai pada mengelabui raga saja. Hero Jaejoong masih tersenyum dengan cara yang sama, namun di dalam sana sebuah racun hadir dan mulai menggerogoti pertahanan tubuhnya. Racun itu terbentuk oleh pemikiran-pemikiran yang tak sanggup keluar.
Puncaknya ketika Jaejoong jatuh pingsan saat tengah menjalani proses pengambilan gambar untuk sebuah majalah. Saat itu minggu kedua pertengahan tahun. Tenggat waktu untuk memutuskan masih tersisa satu bulan. Namun raganya sudah tak bisa lagi bertahan.
"Dia mengalami banyak dehidrasi, dan juga penyakit lambung, mungkinkah dia makan secara sembarangan akhir-akhir ini?" tanya seorang dokter yang memeriksa.
Yunho berdiri mematung di belakang si dokter, ekspresinya teraduk oleh begitu banyak campuran emosi. Changmin bersimpuh di samping kasur Jaejoong dengan mata basah, sementara Yoochun dan Junsu mengawasi dari belakangnya. Masing-masing mencoba memikirkan hari-hari ke belakang mereka.
Proses pengambilan gambar terhenti sementara sampai waktu yang belum bisa di tentukan, Yunho bersikukuh tak ada anggota lain yang melanjutkan sampai Jaejoong pulih kembali.
Ketika Jaejoong akhirnya siuman, dia di kejutkan oleh perasaan sentimental tak terbendung karena melihat semua anggota berkumpul di kamarnya. Saat itu sudah sangat larut malam, terlihat dari betapa sepinya suara yang tertangkap dari jalanan.
Yunho duduk di lantai bersandar pada tembok di sudut dekat pintu keluar, memangku bantal sofa sementara matanya terpejam dan mulutnya terbuka, khas sekali posisi dia.
Yoochun bertelungkup badan dengan beralaskan selimut tepat di lantai samping tempat tidur Jaejoong, dengkurnya terdengar samar-samar.
Junsu meringkuk di bawah kaki Yoochun, memeluk badan gitar dengan pipi berkilau oleh air liur.
Sementara itu Changmin mendapat posisi paling nyaman di antara semuanya, dia melintang di atas kasur single Yunho. Posturnya yang jenjang memenuhi badan kasur.
Dan Jaejoong bersimbah air mata setelahnya, menyadari betapa dia sangat tersentuh oleh perhatian semua anggota. Plastik-plastik berisi butiran obat berjajar di atas meja perkakas, juga alat pemanas ruangan, semangkuk bubur utuh dan mangkuk-mangkuk bekas makan yang di tumpuk begitu saja di sana.
Andai saja bisa dia ingin memeluk mereka satu persatu bahkan Junsu yang wajahnya bersimbah air liur sekalipun. Membisikkan ucapan terima kasih tak terhingga karena sudah bersedia merawatnya.
Ketika rasa haus muncul ke permukaan, sinyal lemah mulai di kirim oleh badan Jaejoong, dia benar-benar merasa sakit sekarang. Demamnya tinggi dan dia kesulitan ketika harus menggerakkan anggota badan.
Satu-satunya jalan hanyalah membangunkan orang lain, dan Yoochun adalah yang terdekat yang bisa di jangkaunya.
"Kau sudah sadar Hyung," suara parau dan mata merah Yoochun membuat rasa bersalah Jaejoong muncul, dia harusnya lebih berusaha untuk mengambil air minum sendiri tanpa perlu membangunkannya.
"Humm.. aku haus, tolong,"
Tangan Yoochun segera menjangkau minuman di atas meja perkakas, membantu Jaejoong duduk dan membukakan tutup kemasannya.
Dia menghabiskan hampir separuh botol seukuran satu liter, seolah dirinya baru saja di paksa untuk menggusur gunung atau semacamnya, lelah yang sama sekali baru dan tak terduga.
Ketika Jaejoong berusaha memindahkan bantal di kakinya dan secara tidak sengaja menjatuhkan remote televisi ke atas badan Junsu, dia terbangun dengan raut kaget dan waspada. Sekali lagi alasan bertambah untuk rasa bersalah Kim Jaejoong.
Yoochun segera membangunkan anggota lain yang masih terlelap dan memberitahu jika Jaejoong sudah siuman. Rasa tersentuh Jaejoong makin membuncah ketika Changmin yang bangun dengan terhuyung mendadak menubruk Jaejoong dan membelitnya dalam pelukan dan isakan.
"Jangan sakit Hyung, tolong jangan sakit, mereka hanya memberiku makanan sisa catering seharian tadi...mereka kejam sekali." Mata Changmin meski berlinang air masih memandang ngeri pada para Hyungnya yang segera membalas dengan pelototan.
"Kau merasa baikan?" tanya Yunho kemudian. Tangannya memindai panas di dahi Jaejoong lalu berpindah pada bagian tengkuknya, mencari celah di antara desakan badan Changmin.
"Ya! Kau demam! Kau minggir dulu Shim Changmin! Junsu ambilkan kompres, Yoochun normalkan alat pemanas ruangan!" semuanya bertindak sesuai dengan perintah, bahkan meski dalam kondisi baru bangun Yunho masih tetap bisa siaga dan menjalankan posisi leader nya.
Changmin kembali menangis di atas kasur Yunho. Melayangkan pandangan memelas pada Jaejoong yang tatapannya mulai tak terfokus akibat demam.
Otaknya tengah membeku untuk bisa bereaksi dan sesaat kemudian dia hanya ingat tangan-tangan yang secara bergantian mengganti kain kompres, menjejalkan obat dan sedotan minuman, membenarkan selimut atau sekedar menyisihkan poni rambut. Malam itu berlalu sangat panjang dan lama, setidaknya begitulah yang di rasa oleh Jaejoong.
Baru pada tengah hari ketika jalanan sedang di bakar oleh sengatan matahari Jaejoong bisa benar-benar merasa 'lebih baik'. Demamnya turun, kepalanya masih sedikit berputar, tapi dia sudah bisa fokus terhadap pembicaraan.
Rupanya semua anggota tetap terjaga selama sisa malam itu, kantung di bawah mata mereka yang menjelaskan dan mulut-mulut yang tak henti-hentinya menguap.
"Maaf sudah merepotkan kalian." Bisik Jaejoong lirih, tatapannya menunduk, beradu pandang dengan mangkuk bubur di pangkuan. Yoochun yang memasak, dan sisa anggota terpaksa ikut sarapan dengan makanan lembek tersebut karena rupanya dia membuatnya terlalu banyak.
"Apa yang kau katakan, Hyung, kita kan keluarga jadi tidak ada istilah merepotkan." Sembur Junsu di sela-sela suapan buburnya. Dia bersikeras untuk menyuapi Jaejoong, tapi permintaannya di tolak.
"Fokus saja dengan kesehatanmu dan beristirahat yang banyak, Hyung," ujar Yoochun.
"Yunho Hyung tadi sempat bertengkar dengan manajer karena dia menolak meninggalkanmu hanya dengan salah satu anggota." Celetukan Changmin sontak mendapat pandangan mengancam dari yang lain. Yunho bahkan memalingkan wajah pada atap dan tembok kosong di belakangnya. Seolah tidak ingin membuat Jaejoong semakin merasa bersalah.
Sisa hari itu di habiskan oleh anggota TVXQ untuk beristirahat dan menyegarkan badan. Karena manajer mendesak untuk melanjutkan sesi pemotretan keesokan harinya, terkecuali Jaejoong yang diberi waktu lebih lama untuk pemulihan.
Jika ada momen untuk bersiap perihal perpisahan, maka itulah waktu yang tepat bagi Jaejoong untuk memikirkannya matang-matang. Selama beberapa hari dia akan di tinggal sendirian di asrama, memungkinkannya menengok kembali tentang keputusan apa yang harus dia ambil dan juga mengenai alasan-alasan
Ketika dirinya secara tak sengaja menemukan album foto lawas TVXQ yang di bundel rapi, hadiah dari penggemar yang terlupakan di antara laci-laci, Jaejoong mendapati masa lalunya terikat di sana.
Melihat kembali perjuangan dan jerih payah mereka, hasrat dan impian menyala, apinya membakar lembar demi lembar hari-hari panas mereka.
Semangat masa muda yang senantiasa menyertai setiap embusan nafas, mengaliri urat-urat nadi, menjelujur dari ujung jemari hingga pucuk syaraf terjauh manusia.
Jaejoong tidak mempersiapkan dirinya sejauh ini untuk remuk oleh kekuatan yang bukan miliknya. Dia memperjuangkan impiannya sebagai seorang bintang dengan banyak pertaruhan.
Haruskah dia berpasrah untuk sekali ini? Ke mana perginya derap kaki menggebu yang tak pernah lelah melampaui setiap pencapaian tertingginya?
Lewat pemikiran tersebut maka Jaejoong memutuskan akan berusaha, mencoba setidaknya. Mendorong seluruh keberuntungan dalam hidupnya untuk mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Mahkota kebanggaannya. Keluarganya yang berharga.
Dan petang itu dia pergi menuju tempat yang kemarin lusa menunjukkan padanya seperti apa rupa uap api neraka. Sekali lagi menemui salah satu petinggi dari Komite Dewan sekaligus petinggi dalam agensinya yang telah menyodorinya surat pengunduran diri.
Dan tak membuang-buang waktu untuk menikmati semburat oranye yang terpampang cantik di sepanjang hamparan langit Korea. Dia sedang tidak ingin terdistraksi oleh keindahan-keindahan. Atau hatinya akan melemah pada tekad dan mulai kembali mencemaskan banyak hal.
"Aku sudah memperingatkanmu bahwa kekuatan yang hendak kau lawan sama sekali tidak ada bandingannya dengan kekuatan mana pun."
Jaejoong di sodori penolakan. Tapi dia tidak berhenti mendorong tekad apinya.
"Aku tidak sendirian.."
"Begitu pula mereka.."
Hening, suara jarum jam yang berputar entah kenapa begitu terasa mengganggu. Si laki-laki berkulit seputih susu itu menggeser kakinya sendiri pada ketukan lantai samar. Dia gugup tentu saja, memikirkan kiranya celah apalagi yang dia punya.
"Apa konsekuensinya jika aku menolak?"
"Kau tidak ingin mengetahuinya, sudah kubilang.."
"Katakan saja, apa harus mempertaruhkan nyawa?" Jaejoong bergidik ngeri pada pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya sendiri. Dia tidak mengantisipasi itu, namun jauh di dalam sana itulah yang menjadi ketakutan terbesarnya.
"Pertaruhan nyawa hanya konsekuensi cadangan, lebih menarik bagi mereka melihat keputusasaan dan musnahnya harapan. Dan ingatlah keputusan Komite sudah begitu jelas, korbankan satu dan sisanya selamat atau lebur saja semuanya."
Kartu terakhir akhirnya keluar. Jaejoong sudah berhenti sekarang. Nadinya melemah oleh matinya tekad dan hasrat. Jika ada dua pilihan antara mati sendiri atau ikut membawa serta rekan grupnya masuk ke liang lahat selagi mereka masih bernyawa, bahkan gagak yang tak memiliki belas kasih dan rasa setia kawan pun pasti akan memilih opsi kedua.
Jaejoong mengeluarkan tawa ngeri sepanjang sisa jalan pulang. Memilih untuk mengabaikan alat transportasi dan menghukum diri sendiri dengan membuat jempol kakinya melecet oleh jarak dan tungkai jenjangnya yang terancam patah.
Surat itu telah berpulang ke dalam laci dengan memeluk paraf Jaejoong yang meliuk manis di atas materai. Dia tidak mungkin tidak melakukannya, abai pada peringatan bahaya akan masa depan anggota lain. Sementara dirinya masih bisa mengusahakan hal terbaik meski terakhir untuk mereka. Walaupun dirinya harus hancur, padam dan menghilang.
Keputusan itu sudah final, tertanda hari itu dia sudah bukan lagi anggota grup idol bernama TVXQ, sisa waktu satu bulannya tak lain hanyalah rentang untuknya berkemas, mempersiapkan alasan dan berpamitan.
Tak ada air mata yang keluar, kendati goresan yang dia rasa luar biasa sakitnya. Peluh itu meluncur turun tanpa bercampur dengan air asin dari retina. Jaejoong kehilangan kemampuannya untuk memahami kompleksitas rasa perihnya.
Dia kecewa, terluka, marah, hancur, sedih dan yang paling dominan adalah kebas yang perlahan mulai menjalar. Ingin rasanya dia berteriak jika tak mengingat toko-toko masih buka dan hal itu hanya akan memancing perhatian. Atensi berlebih yang tidak dia perlukan.
Butuh waktu sampai tengah malam untuk tiba di asrama, Kakinya yang sekurus wortel berteriak ngeri pada beban langkah yang baru saja di laluinya.
Tapi hari itu dia memilih untuk membalikkan badan kendati pintu menuju asramanya hanya tinggal beberapa langkah saja. Jaejoong memilih untuk pulang kepada rumah pertamanya, kepada orang tuanya.
"Aku merindukan Ibuku, jadi aku pulang. Akan kembali sampai batas waktu pulihku habis. Katakan pada Changmin untuk tidak terlalu sering makan junk food ."
Pesan itu terkirim, kepada seseorang yang bertugas mengepalai TVXQ, rekan satu kamarnya yang begitu kokoh dan mengayomi.
"Kau sudah merasa baikan kalau begitu?"
Balasan di terima Jaejoong hanya selang beberapa menit setelahnya.
"Mungkin, atau akan merasa baikan ketika pulang. Tidak apa-apa, kan'?"
Taksi yang membawa Jaejoong melaju kencang di jalanan aspal yang kian melengang.
"Kirimkan salamku dan yang lain pada keluargamu, dan cepatlah kembali atau aku akan sekarat menangani mereka sendirian."
Jaejoong tersenyum canggung, merapatkan erat-erat sweater wol berwarna khasmir miliknya dan membiarkan si supir berbahagia dengan nyanyian tunggalnya. Dialah yang tengah sekarat sekarang.
Melempar pandangan pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dan berbaris rapat di sepanjang jalan. Lamat-lamat menyadari satu hal, bahwa dia akan menghilang dari jajaran poster raksasa yang terpajang di tempat-tempat umum.
Wajahnya akan menghilang dari spanduk-spanduk yang melambai di bahu jalan. Lima akan menjadi empat, empat akan melanjutkan keajaiban, TVXQ akan tetap berkibar dan menghiasi langit hingga berpuluh-puluh tahun kedepan.
Langit hanya akan membiarkan satu bintangnya terjatuh, penggemar akan merelakan momen berserakannya seorang bintang bernama Kim Jaejoong dengan banyak tangisan, tapi Jaejoong hanyalah satu keping dari sebuah kesempurnaan. Kepergiaannya tidak akan mengubah banyak, TVXQ lah yang penggemar inginkan. Begitu yang coba Jaejoong jejalkan pada benaknya.
Orang tuanya menyambut kaget kepulangan Jaejoong, bukan hanya karena putra mereka berpulang tanpa tas perlengkapan atau semacamnya, tapi juga ketiadaan anggota lain yang biasa mengantar dan selalu mampir untuk sekedar bersalaman.
Tapi Jaejoong sedang tidak ingin membicarakan keganjilan itu. Benaknya sedang di penuhi oleh kalimat-kalimat penghiburan diri.
"Kau baik-baik saja, nak?" Bahkan Ibunya pun bisa merasakan sesuatu.
"Hmm..aku hanya merindukan Ibu dan pulang terburu-buru sampai tidak membawa barang apapun." Dirinya tengah meringkuk di pangkuan sang Ibu. Suaranya hampir tergetar oleh adanya desakan air mata.
"Kau tidak bertengkar dengan adik-adikmu?" Ibu Jaejoong selalu menggunakan kata tunggal 'adik' ketika tengah membicarakan Yunho dan yang lainnya.
"Tidak, mereka kirim salam dan meminta maaf tidak bisa ikut datang karena ada jadwal tambahan." Jaejoong tidak sepenuhnya berbohong, tidak mungkin dia mengakui kepada Ibunya yang sudah lanjut usia bahwa dirinya tengah melarikan diri dari mereka.
Keponakan Jaejoong senang dengan kepulangan si superstar kali ini, karena biasanya Jaejoong hanya mampir sebentar atau menginap semalam lalu kembali pergi.
Ini sudah hari kedua Jaejoong ada di sana. Mengubur diri dalam kehangatan yang di tawarkan saudara-saudaranya. Dia berkebun, membantu Ayahnya memanen kentang dan daun seledri pada pagi hari lalu melanjutkan dengan balap sepeda bersama iparnya.
Dia tertawa, beban di pundaknya berhasil menyingkir untuk sementara. Namun saat hari berakhir dan dia akan melewatkan malam terakhir di sana bersama keluarga besarnya, Jaejoong merasakan pukulan itu lagi. Hatinya kembali berdenyut oleh hantaman tak terlihat.
"Aku akan sering pulang mulai dari sekarang.." Janji Jaejoong kepada Ibunya ketika dirinya tengah mematut diri di depan cermin. Memasang masker dengan tepat, sesempurna mungkin menyembunyikan identitasnya.
"Tidak perlu, kami mengerti kau sangat sibuk. Berbahagialah di mana pun kau berada, dan berikan kebahagiaan juga untuk orang-orang di sekitarmu."
Jaejoong berhenti merampungkan tarikan risleting pada jaket. Menatap sendu pada pantulan Ibunya di balik punggung. Lalu berbalik arah dan memberinya pelukan. Bukan jenis pelukan yang biasa Jaejoong berikan. Seolah dia tengah mencuri keteguhan hati milik Ibunya. Sesuatu yang sangat dia butuhkan.
Saat mobil iparnya membelah padang rumput dan pesawahan dengan batang padi menguning, Jaejoong membiarkan ledakan tawa beberapa keponakannya yang ikut mengantar kepulangan Jaejoong mengiringi hingga mobil perlahan memasuki jalan-jalan tol yang panjang dan memasuki wilayah kota.
Begitu sampai di asrama, Jaejoong di sambut oleh kesunyian. Hanya ada Yunho di sana, rupanya Yoochun, Changmin dan Junsu tengah pergi bersama manajer untuk makan di luar. Merayakan berakhirnya pencapaian album terbaru mereka.
Si laki-laki berwajah sempurna itu memutuskan untuk mandi, berpikir jika sabun aroma terapi akan banyak membantu dirinya bersiap. Ada tanggung jawab yang terkulum di antara bibir cerinya, menunggu saat yang tepat untuk termuntahkan, penjelasannya soal pengunduran diri.
"Kau tahu, dua hari lagi kita akan pergi ke Malaysia. Aku selalu tertarik dengan Negara itu," Ungkap Yunho saat dirinya tengah menikmati makan malam di depan televisi.
Si leader sengaja melewatkan pergi untuk makan di luar bersama yang lain karena tidak mau saat Jaejoong pulang yang di temuinya justru kekosongan.
Sebagai gantinya Jaejoong memasak istimewa untuk mereka berdua, atau lebih tepatnya membuat menu dari semua bahan tersisa yang ada di kulkas.
"Dua hari! Wow! Satu hari sebelumnya kita bebas, dan aku ingin pergi jalan-jalan kalau bisa, akan ku bujuk manajer supaya kita diizinkan."
Jaejoong hanya meringis di sela-sela kunyahannya. Dia bahkan tidak yakin jika jadwal ke sana yang dimaksudkan akan mengikut sertakan dirinya. Dia merasa gamang dengan keberadaannya sendiri.
"Hei, kau mendengarkan aku?" tanya Yunho akhirnya ketika menyadari lawan bicaranya hanya terus terdiam.
"Ya, aku akan menanyakan manajer mengenai beberapa hal terlebih dahulu untuk memastikan."
"Apa maksudmu menanyakan beberapa hal, dan apa tepatnya yang ingin kau pastikan?" Yunho menyadari kejanggalan, jelas dari nada suaranya.
Jaejoong tertunduk dan menggigit bibirnya sendiri untuk menahan tangisan yang sudah berada di pelupuk mata. Perasaannya meluap pada pemantik tak terlihat. Dan untuk sesaat dia merasa mual.
"Kim Jaejoong...lihat aku!" Yunho berbicara pada nada leader nya, ada setitik kewibawaan di sana. Saat iris mereka di paksa bertemu oleh tangan kekar Yunho, Jaejoong tahu dia sudah kalah.
Menjelaskan bahwa dia harusnya merahasiakan itu, namun dia tak kuasa dan tak sekuat itu juga untuk menanggung semuanya sendirian. Sebelum Jaejoong benar-benar sampai pada pembicaraan inti, Yunho menghentikan, berkata jika anggota lain lebih dari berhak untuk mengetahui kebenarannya juga.
Mendapati adanya air mata yang merebak dan keseriusan di wajah Jaejoong, tanpa menunggu lagi Yunho merogoh ponsel dari saku jaket yang tersampir di sandaran sofa dan dalam waktu kurang dari setengah jam sisa anggota lain sudah sampai asrama dengan wajah dipenuhi tanda tanya.
"Ada apa, Hyung?"
"Kapan kau pulang, Hyung?"
"Aku membungkus makanan untukmu,"
Ketiganya berbicara hampir dalam waktu bersamaan.
"Duduklah, Jaejoong punya sesuatu untuk kita." Yunho melempar bola panas itu pada laki-laki di sampingnya yang pandangannya nanar tertuju ke motif abstrak bantal sofa yang ada di pangkuan.
Jaejoong memulai dari hari 'itu'. Mengulang pembicaraan petinggi Komite, dan berhenti sejenak saat Changmin bertanya apakah petinggi yang dimaksud oleh Jaejoong adalah orang sama yang dulu mengangsurkan piala saat TVXQ meledak lewat single pertama mereka. Dan Jaejoong mengiyakan.
Junsu bahkan bertanya apa hubungan Komite Dewan dengan agensi mereka. Di sini Yunho yang mengambil alih menjelaskan.
Bahwa sebenarnya hampir semua agensi musik di Korea bernaung di bawah payung sama yang menamai diri mereka Komite Dewan Musik Korea Selatan. Beraliansi dengan Dewan Musik di berbagai Negara lain dan membuat pasar sendiri yang jangkauannya tak terbatas. Tangan-tangan raksasa yang terjulur dari seluruh penjuru dunia. Menggapai dan merengkuh pasar dalam genggaman, kehendak mereka menjadi pondasi, keinginan mereka adalah kepastian. Agensi-agensi yang menolak untuk berada di bawah kendali mereka tidak akan memiliki peluang untuk berkembang dan mengepakkan sayap.
Komite Dewan sendiri adalah wadah kuno yang beregenerasi secara elastis sesuai perkembangan jaman. Berdiri di luar jangkauan Pemerintahan dan media. Mereka eksklusif dan tak tersentuh. Kebanyakan dari petinggi mereka hadir dari kalangan berpengaruh tak terduga yang memiliki minat sama, pebisnis-pebisnis turunan yang melihat peluang dari licinnya jalur musik untuk menghasilkan uang. Kekuatan mereka besar dan tak terkira, ada alasan kenapa bahkan Pemerintahan sendiri tak bisa menjangkau mereka. Singkatnya merekalah tuas yang menggerakkan roda permusikan dunia ini.
Semua anggota TVXQ selain Yunho terperangah dengan pengetahuan leader mereka. Kekuatan seperti itu hampir mustahil untuk bisa di cerna oleh otak mereka, tapi keseriusan dalam suara Yunho membuat mereka percaya. Kengerian itu datang seperti teror yang merayap dari sudut tergelap.
Junsu bahkan membekap mulutnya sendiri, mencoba menelan lagi isakannya yang sudah naik ke kerongkongan.
"Lanjutkan Jaejoong.." perintah Yunho, mengabaikan reaksi dari para anggota.
Jaejoong mulai lagi, menata kalimatnya sedemikian rupa, tentang pemikiran-pemikirannya dan usahanya untuk bernegosiasi. Berharap dia tidak menanggung konsekuensi yang tidak perlu untuk keterbukaannya kali ini. Yunho mengumpat pada setiap akhir penjelasan yang di ungkapkan Jaejoong.
Dan saat visual grup itu selesai, ledakan itu pun terjadi. Changmin dengan tenaga besarnya menjungkir balikkan meja yang membuat semua benda di atasnya berserakan. Mangkuk-mangkuk pecah dan juga vas tempat pensil.
Telinga mereka berdengung oleh emosi yang begitu besar, darah menggelegak di bawah kulit dan udara di dalam ruangan mendadak di selimuti atmosfir yang membakar kendati di luar matahari tengah bersinar cerah.
Changmin berteriak-teriak kalap pada beberapa kalimat kasar yang belum pernah Jaejoong dengar. Dan Yoochun mencoba merangsek keluar dengan alasan ingin menemui pihak agensi namun segera di tahan oleh kesiagaan Yunho dan Jaejoong.
Semua anggota menangis pada kemungkinan akhir tragis grup mereka. Mimpi-mimpi yang di rajut bersama harapan. Mempertanyakan keadilan dan hati nurani. Melihat fakta jika selama ini mereka tak lebih dari sebuah produk, kemasan yang dapat sesuka hati di tarik edarkan.
Meski semua kecewa awalnya karena selama ini Jaejoong memilih menanggung beban sebesar itu sendirian. Namun kemudian lebih marah lagi pada adanya ancaman-ancaman.
"BRENGSEK..!!" Umpat Yunho sekali lagi, Changmin meninju berkali-kali tembok di belakangnya. Junsu tergugu di punggung Jaejoong dan Yoochun terduduk lemas di lantai dengan tatapan kosong seolah dia baru saja mengalami perampokan dari barangnya yang paling berharga.
"Bagaimana bisa? Kenapa harus TVXQ?" Ratap Junsu nelangsa.
Isakan itu terus berlanjut, memiliki nadanya sendiri kadang-kadang. Air mengalir seperti bah di tengah musim yang kerontang.
Jaejoong tidak pernah tahu jika momen menangis bisa seenak itu. Maka dia tidak lagi menahan. Ikut melebur bersama yang lain. Namun bukannya bebannya berkurang karena sudah bisa berbagi, luka di hatinya justru membengkak pada fakta bahwa dia tidak tahan melihat momen remuknya orang-orang yang dia sayangi.
Perjuangan-perjuangan mereka, darah dan waktu, impian dan hasrat, Cassiopeia bahkan sudah menjadi nyawa kedua mereka. Bagaimana bisa TVXQ akan mencampakkannya begitu saja?
Jika saja Jaejoong tahu rasanya akan sesakit itu dia pasti akan memilih untuk bertahan, membawa beban dan rahasia itu sendirian sampai ke liang lahat jika perlu. Kenapa dia begitu lengah dengan sedikit bujukan dari Yunho? Sampai akhirnya menumpahkan semuanya tanpa sisa. Ini sama sekali bukan sesuatu yang telah di rencanakannya.
Serpihan kaca bertebaran menyeraki karpet. Badai yang terasa seperti kutukan. Kekacauan yang membumi hanguskan dan tak pernah ter bayangkan oleh siapa pun akan mendatangi asrama mereka. Bahkan dalam mimpi tergelap kala bintang-bintang enggan turun sekalipun.
Bayangan memanjang terbentuk di lantai dari sosok yang tengah berdiri di depan jendela besar yang menghadap jalanan. Teriluminasi oleh sinar matahari senja.
Yunho sudah berkali-kali meninjukan kepalan tangan dan bahkan kepalanya pada tembok kosong, darah menetes-netes dari jemari dan juga pelipisnya, namun memilih abai. Merasa frustasi sendiri dengan bebannya sebagai seorang leader. Wajah-wajah menggelap oleh amarah, dan sudut mata yang terkopyok oleh banyak perasaan terluka.
Yunho membuat pengakuan jika selama ini dia tidak sebuta itu. Radar pemimpinnya benar-benar bekerja dan menyadari sesuatu. Dia bertanya-tanya sendiri mengenai kepergian Jaejoong ke gedung Komite Dewan beberapa kali, padahal biasanya yang pergi kesana hanyalah pihak agensi tanpa perlu melibatkan anak asuh juga.
Lalu dia juga mengakui menyimpan praduganya mengenai beberapa kemungkinan, bahkan dia tidak absen dari makan bersama di luar hari itu tanpa alasan.
Udara terselimuti oleh emosi yang kelam. Jika saja air mata memiliki aroma dan warna niscaya ruangan itu telah terpenuhi oleh bau pekat dan tumpahan warna dimana-mana.
Dua jam berlalu namun amarah mereka belum teredam atau amarah Yunho dan yang lain lebih tepatnya, karena fase menolak dan memberontak milik Jaejoong sudah terlewati beberapa minggu yang lalu.
"Kalian tetap bisa melanjutkan TVXQ, pihak Komite bilang..."
"Apa yang kau katakan Hyung! Kita akan bertahan! Tidak ada yang akan kemana-mana!" Belum selesai Jaejoong berbicara, Changmin sudah memotong dengan teriakan.
"Kalian harus mempertimbangkan masa depan dan penggemar juga!" Balas Jaejoong.
Jika masih ada pilihan untuk tidak mengikut sertakan anggota lain, maka Jaejoong akan berusaha, meski itu usaha terakhirnya. Dan menyelamatkan mereka dari potensi jatuh, meledak dan hilang adalah satu-satunya jalan.
"Kau pikir kau ini siapa sampai bisa mengatur hidupku, Hyung!" Yoochun kembali menangis pada balasan Changmin berikutnya.
"Yunho... bantu aku! katakan pada mereka jika mengorbankan satu orang saja cukup!" Jaejoong setengah berlari ke arah Yunho, menurutnya suara leader akan lebih di dengar dalam situasi seperti ini.
"Aku akan menemui pihak Komite dan membunuh orang yang telah mengambil tanda tanganmu!" Changmin baru saja hendak keluar ruangan, saat suara Yunho yang dalam akhirnya terdengar.
"Shim Changmin! Jangan berani keluar!" Perintah Yunho dengan nada mengancam.
Memutuskan untuk mendinginkan kepala dan mencari jalan keluar, Yunho memerintahkan mereka semua untuk duduk dan berkumpul. Karena satu-satunya tempat yang tak tersentuh kekacauan hanyalah tempat tidur, maka kelimanya naik kesana dan duduk berdesakan.
Jaejoong meraih kotak perlengkapan kesehatan saat menyeberangi ruangan. Mengambil bagian tubuh anggota lain yang terluka.
Changmin meringis kala Jaejoong membersihkan lukanya dengan obat tetes berwarna kuning pekat. Lalu berpindah pada Yunho yang berusaha menolak bantuan Jaejoong mengelap darah mengering di sekitar wajahnya. Bersikukuh untuk tak peduli pada luka nyata, namun Jaejoong lebih keras kepala.
Yoochun dan Junsu tidak terluka, tapi mata keduanya bengkak, dan wajah mereka sangat berantakan.
"Kalian sudah dengar sendiri kalau kekuatan mereka tidak terukur, satu-satunya jalan hanyalah menyelamatkan nama TVXQ..."
"Dan membiarkanmu hancur sendirian, Hyung? Jangan harap!" Yoochun menampilkan seringai di wajahnya. Seolah sosok polos itu sudah kehabisan waktu untuk berwajah baik hati.
"Kenapa harus TVXQ! Kenapa bukan grup lain saja yang di bubarkan!"
Hening, tak ada yang menjawab. Yunho melepaskan kepalan tangannya setelah beberapa lama. Mengambil telapak Changmin yang duduk di sebelahnya. Lalu menggenggamnya erat, memberikan remasan di sana, seolah sedang menyalurkan tekad dan kekuatan.
Langit menggelap oleh ketiadaan sinar matahari, rembulan turun dan bertengger di antara bintang-bintang. Sesekali tertutupi awan gelap yang merangkak mendekat.
"Jaejoong mungkin benar, ada TVXQ dan penggemar yang harus di pertimbangkan."
"Tapi Hyung!"
"Dengarkan aku, kita tidak bisa melawan ini, jalan yang tersisa hanyalah melakukan negosiasi dengan pihak agensi, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin bisa di selamatkan." Kemarahan Yunho sudah mulai menyingkir, meski rasa terluka itu masih bertahan di wajahnya.
"Atau kita bisa menabrak petinggi Komite itu diam-diam saat berada di jalanan!" Changmin masih berusaha menyuntikkan pendapat kejamnya.
"Menembaknya kalau perlu! aku punya kontak seseorang yang bisa menghubungkan kita dengan penjual pistol asli.!" Kali ini Junsu yang menyahuti dengan nada berapi-api.
"Dan penggemar akan terluka dua kali, yang pertama karena kepergianku, lalu yang kedua karena sisa anggotanya justru harus mendekam di penjara karena tindak kejahatan terencana!" Jaejoong tertawa pada perkataannya sendiri. Berusaha menyuntikan logika.
"Alasan apa yang akan kau berikan pada media?"
"Aku mempertimbangkan tentang ketidak beresan agensi soal pembayaran artisnya. Kurasa mereka juga harus ikut andil dalam kejatuhanku kali ini."
"Tapi isu itu sangat berbahaya, Hyung. Kau akan mendapat masalah kedepannya."
Jaejoong bukannya tidak mempertimbangkan efek tersebut. Tapi jika dia harus menderita karena sebuah ketidak adilan, setidaknya dia harus menegakkan satu keadilan lain sebagai kompensasinya.
Dan isu mengenai pembayaran itu memang bukan bualan. Selama ini mereka selalu mempertanyakan tentang ketimpangan pendapatan. Merasa jika mereka seharusnya bisa mendapatkan lebih dengan kualitas dan semeledak apa nama mereka sekarang.
Tapi isu-isu tersebut terlalu tabu untuk di angkat ke daratan. Dan mereka selalu merasa jika nilai ikatan antar anggota masih lebih mahal ketimbang harga untuk keringat mereka sendiri.
Jika nama TVXQ adalah sebuah mahkota, maka keberadaan anggota lain adalah pedang dan perisainya, sedangkan penggemar adalah jubah kebesaran yang harus di kenakan. Seseorang yang di sebut raja tak bisa hidup dan berdiri begitu saja tanpa ketiganya.
"Kau tetap percaya jika kita tetaplah satu ikatan walaupun harus bersimpangan jalan? Walaupun berbeda agensi juga?" Tanya Yunho dengan nada serius.
"Hyung..."
"Tidak, dengarkan aku dulu...jika keparat-keparat itu bisa memandang kita sebagai properti yang bisa di pindah tangankan sesuka hati, kita juga bisa melakukan hal yang sama pada mereka."
Yoochun sudah ingin menyela lagi, namun tangan Yunho mengisyaratkan untuk tetap diam.
"Dengar, kalian semua lebih berharga dari apapun yang kumiliki, dan kalian sudah menjadi bagian dari keluargaku, adik-adikku, meski tak ada darah yang mengesahkan itu, tapi hatiku sudah terpaut bersama kalian. TVXQ dan agensi ini adalah cangkang yang menyelubungi persaudaraan kita..."
"...bahkan meski kita berganti nama dan berpindah agensi, ikatan kita berlima lah yang terpenting, dan ikatan ini tidak akan mudah terputus begitu saja. Karena hubungan ini di buat oleh hati dan di kokohkan melalui kepercayaan..."
"...Jika Jaejoong saja rela menyerahkan impiannya hancur demi melindungi kita agar tetap bisa bersinar, maka aku juga bisa kehilangan penggemar, kehilangan mahkota, bahkan nama TVXQ demi kalian..."
"Yunho..." Mata Jaejoong merebak lagi, begitu tersentuh dengan kalimat-kalimat panjang yang di sampaikan teman sekamarnya itu. Changmin bahkan sudah mulai mengelap ingus yang keluar dari hidungnya.
"Aku akan menemani Jaejoong terbakar dalam api ini kalau begitu. Aku tidak peduli lagi dengan nama besar dan segalanya, kalian membuatku membuka mata bahwa ada yang lebih hangat dari pada sanjungan-sanjungan dan pakaian mahal, yakni persaudaraan."
Jaejoong menatap Junsu dengan pandangan tidak percaya. Menggelengkan kepala sungguh-sungguh menyuarakan penolakan.
""Aku akan menemani kalian juga, jika jalanan di luar sana lebih keras dari pada di dalam sini, maka itu artinya kita membutuhkan kaki tambahan."
"Yoochun...jangan..."
"Kau tidak bisa mengatur hidupku, Hyung. Kau pikir hanya kau saja yang bisa berkorban!"
"Hyung..." Rengekan Changmin mendapat tatapan keras dari semua anggota.
"Tinggallah bersama Yunho, Shim Changmin.. jaga Hyung mu dan TVXQ. Jika Tuhan itu memang ada, dia tidak akan diam saja membiarkan ketidak adilan bekerja sesempurna yang mereka inginkan. Tidak akan.." Suara Jaejoong berapi-api setelah mendapat begitu banyak suntikan kekuatan dan pengakuan kasih sayang.
"Jika memang itu yang kalian inginkan. Meski sangat berat aku akan merelakan. Dengan begitu luka dalam ini kita bagi sama rata. Sisanya biarkan tangan Tuhan yang bekerja."
"Bagaimana dengan penggemar?"
"Ini adalah saat yang tepat untuk menguji kesetiaan mereka. Jika mereka percaya pada TVXQ, mereka juga akan percaya jika keputusan ini tidak hanya membunuh mereka tapi membunuh TVXQ juga. Memikirkan penggemar akan terluka saja sudah membuat luka ini semakin menyakitkanku. Tapi aku tidak berharap banyak untuk itu, bagaimana pun penggemar pergi dan tumbuh, datang dan menetap. Aku hanya berharap beberapa tetap tinggal untuk mendukung bagaimanapun kondisi kita nanti.
Kunang-kunang tak pernah berhasil mencapai wilayah perkotaan, udara di sana tak pernah cocok untuk hewa mungil itu.
Namun malam itu, seolah keajaiban tengah terjadi, atau memang murni ada kunang-kunang yang hidup dan menempati wilayah taman di belakang gedung tempat TVXQ bernaung, karena beberapa ekor dari mereka benar-benar terlihat menghiasi suramnya langit malam.
Berenang-renang di antara udara malam yang sejuk. Terperangkap dalam bingkai jendela asrama yang lebar. Di dalamnya, lima sosok dewasa tengah saling berangkulan dan tertawa dan berurai air mata.
Tak lagi peduli dengan kekacauan yang ada di luar pintu, atau kekacauan yang akan terjadi pada dunia musik Korea Selatan dua minggu kedepan.
Laki-laki selalu di ikat oleh lidah mereka, kata-kata yang muncul keluar tak pernah bisa berkeliaran begitu saja tanpa pembuktian.
Dan meski Jaejoong mengutuk tentang mimpi buruk yang membelah TVXQ menjadi dua haluan. Memecah penggemar yang menangis dan berteriak geram sembari melemparkan argumen-argumen yang di landasi oleh ketidak puasan mereka terhadap tindakan sang idola.
Kim Jaejoong tak pernah berhenti untuk melangkah, seperti kata Yoochun, jalanan di luar akan lebih keras dari jalannya sekarang, tapi dia tidak lagi sendirian.
Sebagaimana dua anggota lain yang di tinggalkan.
Sebagaimana dua anggota yang memilih menemani jejaknya.
Tak pernah ada yang sendirian.
Mereka saling menguatkan dalam keyakinan.
Bahwa berlima adalah ikatan yang harus mereka jaga, lebih dari apa pun. Persaudaraan itu seperti sebuah keajaiban. Dan meski butuh tantangan untuk tetap percaya pada keajaiban, toh keajaiban memang nyata adanya. Menghampiri mereka yang selalu percaya.
Selesai.
