Bumble Trouble 16
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s), LEMON!
.
.
.
"Hey," Sasuke mendekat, duduk di kursi luar, di samping Hinata. Sore setelah mendapat kabar dari adiknya, Hinata pulang ke Hyougo diantar Sasuke. Ketika pulang, Hinata menemukan kuburan Kiba, kucingnya, yang tak sengaja mati tertabrak truk pengangkut hewan ternak. "Kau tidak papa?"
Sambil terisak, Hinata menoleh. "Tentu saja tidak." Ia memandang selembar foto yang ada di tangannya. Foto itu menampilkan potret seorang perempuan yang menggendong anak kucing berusia satu bulan.
"Sepertinya Kiba tahu akan aku buang. Makanya dia pergi tanpa berpamitan denganku dulu."
"Hey, no. Ini bukan salahmu, Hinata." Sasuke merapat, menyentuh bahu Hinata. "Kau juga tidak akan membuangnya. Kau hanya akan mengembalikan Kiba pada pemilik awalnya, 'kan?" Sasuke mengangguk, berusaha meyakinkan. "Jangan menyalahkan dirimu, oke?"
Hinata masih menatap sambil terisak. Agak lama sampai ia akhirnya menganggukkan kepala. "Kau bahkan tetap cantik meskipun sedang menangis." Hinata mendengus. Bisa-bisanya Sasuke menggodanya saat ia sedang menangis begini.
"Kau lihat di ujung sana?" Hinata menunjuk dengan jarinya. "Itu adalah kabin hewan ternak. Saat kecil aku sering bermain di sana. Dulu aku punya sapi favorit. Namanya Charlie. Tapi ketika ia sudah dewasa, aku tidak bisa mencegah dia disembelih untuk dijual. Sejak saat itu, aku yakin jika di dunia ini tidak ada yang abadi. Kini Kiba pun pergi."
Hinata kembali memandang foto di tangannya. Mengingat bagaimana perasaannya ketika pertama kali Kiba diberikan padanya. Bagaimana dua tahun setengah ia mengurus Kiba di flat sendirian, sebelum menitipkannya di Hyougo setelah ia dan Kiba, yang manusia, putus hubungan.
"Yah, di dunia ini memang tidak ada yang abadi. Makanya kita hanya bisa menikmati setiap momen yang masih bisa terjadi."
"Kau bisa menikmati rasa sedihmu, Hinata." Sasuke mengulurkan tangan, mengusap jejak-jejak air mata di wajah Hinata. "Tapi minggu depan, bisa kau berbahagia denganku?"
Hinata mengernyit. Tak lama, Sasuke mengeluarkan sesuatu dari belakang tubuhnya. "Kado atas selesainya studimu." Terlihat sebuah kotak berwarna biru terang. Tak. Hinata membuka kotak itu dan menemukan beberapa benda di dalamnya.
"Visa? Dan tiket pesawat?" Hinata bertanya sembari mengeluarkan barang dari dalam kotak. "Apa maksudnya?" tanya Hinata ketika hanya mendapatkan dehaman dari Sasuke.
"Bacalah isi tiketnya."
"Tiket atas namaku dari bandara Tokyo ke... bandara Paris?!" Hinata memekik membacanya, sedang Sasuke hanya mengangguk. "Untuk apa?"
Sasuke memutar bola matanya. "Tentu saja untukmu, Hinata," katanya. "Minggu depan aku ada perjalanan bisnis ke Paris lagi. Sebelumnya kau bilang, kau sangat tertarik belajar memasak makanan manis. Jadi, kupikir aku bisa mengajakmu untuk berlibur dan belajar memasak makanan manis ala eropa di sana."
"Kita tidak akan tinggal bersama kalau kau khawatir. Aku membawa sekretarisku. Kau bisa tidur dengannya. Dan juga... ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu."
"Dan kau merencanakannya tanpa berdiskusi denganku dulu?"
Sasuke tertegun. Sepertinya ia telah salah langkah, atau memilih waktu yang salah. "Oh, no!" Sasuke menghela napas. "Maafkan aku, Hinata. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin memberikan kejutan."
"Dan aku terkejut!" Hinata memang bilang begitu. Tapi wajahnya datar. Dengan wajah yang berpaling, membuat Sasuke merasa tidak enak. "Lagipula orang tuaku belum tentu mengizinkan. Aku sudah di rumah dan sebelumnya aku memang berencana akan di rumah sampai acara kelulusanku semester depan."
"Orang tuamu sudah setuju." Hinata menoleh dengan cepat. "Aku tidak mungkin menculikmu tanpa izin orang tuamu, 'kan? So, yah, aku sudah menghubungi mereka duluan."
Hinata merasa dongkol. Ia pikir hubungannya dengan Sasuke akan baik-baik saja. Tetapi ternyata sikap Sasuke kali ini membuatnya merasa tak dihargai juga. Bahkan saat mereka sudah naik pesawat menuju Paris pun, Hinata menghindari Sasuke dan berbincang dengan sekretarisnya yang bernama Hanako.
Namun perasaan dongkolnya tidak bertahan lama. Begitu Hinata menikmati pemandangan indah di Paris dan mengikuti kelas memasak di hari kedua, rasa-rasanya Hinata akan sangat menyesal jika tidak pernah ke sini.
"Hanako-san pasti juga akan merasakan hal yang sama!" Hinata bercerita dengan semangat saat makan malam di restoran hotel. "Auranya sangat luar biasa! Dia blasteran Jepang dan Eropa. Hasil masakannya..." prok prok prok. "Delicieux!" katanya setelah bertepuk tangan.
"'Apa manis bibirmu semanis kue masakanmu, sensei?' Astaga! Bahkan seseorang ada yang sampai bicara begitu!"
Hinata terus bercerita pada Hanako, mengabaikan Sasuke yang padahal sama-sama makan malam dengannya. "Ah, guru memasakku juga ternyata aslinya kurang menyukai makanan manis sepertimu, Sasuke. Tapi ia senang membuat orang lain bahagia karena makanannya."
Apa yang bisa Sasuke lakukan selain berdecak sebal? Ia senang melihat Hinata bahagia. Tapi kalau kebahagiaan Hinata berasal dari laki-laki lain sih, Sasuke juga tidak bisa tidak kesal.
"Hahahaha. Hinata-san bersemangat sekali." Hanako tertawa canggung. Ia bisa mengerti dari raut wajah atasannya yang kurang mengenakkan. "Si-siapa nama guru memasaknya?" Hanako berusaha mencairkan suasana. Tapi sepertinya ia salah langkah. Begitu Sasuke mendengar nama Taro Kabakura, wajahnya semakin terlihat masam. Seperti mempertimbangkan untuk membatalkan kelas memasak Hinata.
"Selamat beristirahat, Tuan Sasuke."
"Hinata." Sasuke menahan lengan Hinata yang hendak mengikuti Hanako ke dalam kamar. "Aku akan masuk duluan. Pintu kamarnya tidak aku kunci, Hinata-san."
Setelah Hanako masuk ke dalam kamarnya lebih dulu, Sasuke menarik Hinata ke dekat tembok di koridor. "Ada apa, Sasuke?"
"Kau sudah tidak marah padaku?" Hinata tersenyum lembut. "Tidak. Aku malah berterima kasih karena kau memintaku pergi, Sasuke." Hinata meraih satu tangan Sasuke, menggenggamnya pelan. Dalam hati Sasuke berdecak. Pasti karena kelas memasak.
"Kalau begitu, aku mau minta ciuman sebelum tidur." Hinata mengernyit. "Hah?! Apa?!" Ia melepaskan genggamannya pada tangan Sasuke.
"Kenapa? Bukankah kau sudah tidak marah? Kurasa aku juga perlu dapat hadiah karena memberimu kelas memasak bersama sensei yang manis." Sasuke menarik Hinata dalam pelukan. Tangannya melingkari pinggang perempuannya. "Sasuke, apa yang kau lakukan?! Kau gila?!"
Hinata meronta pelan dalam pelukan Sasuke. "Bagaimana kalau ada yang melihat?!"
Sasuke hanya terdiam, memandang Hinata lekat-lekat. Lalu, ia menghela napas dan mengendurkan pelukannya. Cup. Secara cepat, tiba-tiba Hinata mengecup bibirnya dan melepaskan diri setelahnya. Bahkan Sasuke sampai membelalak karenanya.
"Lain kali, jangan memintanya di tempat terbuka!"
Itulah yang Hinata katakan sebelum masuk ke dalam kamar Hanako. Menutup pintunya dengan semburat merah di pipi. Ia tidak sadar akan perlakuannya. Sasuke masih mematung di koridor. Berarti kalau di tempat tertutup boleh, ya?
.
.
Hinata menganga. Ia tidak menyangka dengan hal yang disaksikannya. Malam ini ia pergi ke bar hotel bersama Sasuke. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria menunggu di salah satu meja bar. "Hinata?" Sasuke yang berdiri di sampingnya memanggil. Tapi Hinata masih terdiam. Bahkan sampai Sasuke sudah lebih dulu beranjak.
"Yo, Sasu!" pria yang menunggu itu bangkit. Begitu Sasuke menghampirinya, ia memberikan sapaan ala tongkrongannya. "Bisa-bisanya kau membuatku menunggu. Mestinya kau yang menunggu, 'kan?"
"Tsk." Sasuke berdecak. "Tidak ada aturannya kau harus selalu ditunggu kan, Shika?"
Shikamaru mengedikkan bahu. Saat itulah Sasuke tersadar. "Hinata, kemarilah," panggilnya. "Shika, ini Hinata. Sorry tadi Hinata ada kelas memasak." Masih setengah sadar, Hinata berjalan dan berdiri di samping Sasuke. "Dan ini, Shikamaru," Sasuke menoleh pada Hinata sebentar. "Dia teman angkatanku saat SMA."
"Halo, Hinata-san." Shikamaru menyapa yang membuat Hinata kembali tertegun sampai-sampai ia menahan napasnya. "Hey, are you okay?" Sasuke menyentuh bahu Hinata, menyadarkannya.
"Aku..." Hinata mengambil napas dengan rakus. "Apa ini benar kau, Shikamaru-san?" Shikamaru dan Sasuke berpandangan, bingung. "Apa kau Shikamaru Nara? Atlet baseball?"
Shikamaru terkekeh pelan. "Ya. Jika tidak ada orang lain yang bernama, berwajah, dan berprofesi sama denganku?" satu alisnya terangkat. "So, bisa kita bicara sambil duduk?" Shikamaru menatap Sasuke. "Aku ingin banyak duduk selain saat latihan dan pertandingan."
Sasuke menuntun Hinata, mengajaknya duduk berseberangan dengan Shikamaru. Tak lama, seorang pelayan datang dan mencatat pesanan mereka dalam bahasa inggris. "Gin, tonik, dan... wine?" Shikamaru bertanya pada Sasuke, meminta persetujuan berupa anggukan dari sang bungsu Uchiha.
Si pelayan mencatat pesanan Shikamaru dan Sasuke. Minuman dan makanan. "Baik. Untuk tiga orang kan, Tuan?"
"Dua." Sasuke memotong dengan cepat. "Hinata, kau ingin minum apa?"
"Aku akan ikut minum seperti kalian." Sasuke mengernyit. "Kau yakin?" tanyanya. Hinata mengangguk dengan mantap. Ia dengan senang tersenyum sembari memandangi Shikamaru. "Baiklah. Gelas untuk tiga orang, please," kata Sasuke. Setelahnya pelayan pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Jadi kau juga berlibur di Paris, Sasu?" tanya Shikamaru. Yang ditanya mendegus pelan. "Jangan samakan aku denganmu. Tentu saja aku di sini untuk urusan bisnis." Shikamaru berdecih. "Bisnis dengan perempuan?" godanya. "Ini Hinata. Dia penggemarmu yang aku ceritakan." Ucapan Sasuke membuatnya menaikkan sebelah alis.
"Halo, Shikamaru-san." Akhirnya Hinata menyapa dengan benar. "Namaku Hinata Hyuuga. Aku penggemarmu sejak SMA, saat kau debut bersama tim Tiger. Aku juga mendatangi acara jumpa penggemar Ravens beberapa bulan lalu."
Mata Shikamaru memicing. Berusaha mengingat-ingat. "Ah! Hinata?!" seru Shikamaru. "Kimchi girl?" Hinata mengangguk sambil tersenyum. "Ah, ya, ya. Aku ingat." Shikamaru ikut manggut-manggut. "Terima kasih telah menjadi penggemarku, Hinata-san. Juga terima kasih atas kimchi yang kau berikan sebelumnya. Aku membaginya dengan anggota lain. Mereka menyukainya, apalagi Eren."
Tentu saja Hinata merasa sangat senang. Bagaimana tidak? Ia tidak menyangka bisa makan malam bersama sang idola secara kasual. Belum lagi hadiahnya dipuji. "Yah, meskipun menurutku kimchi masakanmu agak sedikit manis."
DUK. Sasuke menyenggol kaki Shikamaru dari samping. "Tapi aku tetap senang. Terima kasih telah mendukung kami, Hinata-san." Shikamaru segera memperbaiki ucapannya.
"Sejak debutku, ya?" tanya Shikamaru retoris. "Berarti sekitar delapan... sembilan tahun lalu?" anggukan dilihat. "Dan kau masih SMA?!" kejutnya. "Waw! Kau muda sekali." Barulah Shikamaru memerhatikan tubuh Hinata lebih detil. "Oh. Sasu, dia yang –kau"
DUK. Lagi. Sasuke menyenggol kaki Shikamaru dengan sengaja. "Well, kita hentikan acara jumpa penggemar ini. Ingat aku juga di sini," kata Sasuke. Ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Dan untunglah saat itu pelayan datang, menata pesanan mereka.
"Jadi, Hinata," syurrr. Shikamaru menuangkan wine di gelas Hinata. "Sudah berapa lama kau berpacaran dengan Sasuke?"
"Uhuk!" Sasuke yang sedang meminum campuran gin dan tonik tersedak tiba-tiba. Hinata yang ada di sampingnya menoleh khawatir. Namun, Sasuke mengatakan jika ia baik-baik saja.
"Aku dan Sasuke tidak pacaran... atau belum, mungkin?" Hinata berkata canggung sembari mengambil gelas yang terisi wine. Mengangkatnya sebentar ke arah Shikamaru, Hinata meneguk isi gelas tersebut. "Kami sedang berusaha saling mengenal."
"Oh ya? Sudah sejauh mana kalian saling mengenal?"
Trak. Sasuke menaruh gelasnya dengan sedikit kesal. "Shika, bisa kau cari pembahasan yang lain?" pintanya. "Obrolan ini terlalu privat."
"Oh ya? Kukira ini cara untuk mengenal." Shikamaru bicara dengan enteng. "Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman, Hinata-san." Hinata menimpali dengan tawa canggung, berkata tidak apa-apa sembari meminum beberapa teguk lagi.
"Ah, baiklah." Shikamaru terlihat baru selesai berpikir. "Sebagai permintaan maafku pada kalian berdua, aku akan memberikan tiket gratis untuk pertandinganku bulan depan."
"Sungguh?" Hinata buru-buru mengelap bibirnya.
"Ya. Kau pasti tahu, 'kan? Bulan depan di Fukuoka. Akan ada pertandingan santai antara Ravens dan Tiger. Aku akan memberi kalian kursi yang terbaik." Hinata senang bukan main. Ia tidak sabar menantikan Shikamaru Nara dan Chouji Akimichi dalam satu pertandingan lagi. Malam itu mereka melanjutkan makan dan bincang santai. Lalu, makan malam mereka selesai begitu seorang wanita berambut coklat pendek memanggil Shikamaru.
Klik. Sasuke baru akan membuka pintu kamar hotelnya begitu merasakaan sesuatu. Ketika menoleh, ia bisa melihat Hinata yang bersandar di tembok sambil memandanginya. "Kau tidak membawa kunci kamarmu?" tanya Sasuke. Ia berbalik pada perempuannya.
"Kau ingin aku masuk ke kamarku?" Sasuke mengernyit. Sudah lewat tengah malam. Tentu saja mereka harus beristirahat. "Hanako-san pasti sudah tidur. Aku takut mengganggunya."
"Kau tidak mau membawaku ke kamarmu saja, Sa-su-ke?"
Wajahnya sedikit memerah. Ia terus-terusan tersenyum diselingi kekehan kecil. Sasuke yakin ia tidak salah menilai tempo lalu. Itu adalah pemandangan Hinata yang mabuk.
"Apa kau..." Hinata mengangkat satu kakinya bersandar pada tembok. Membuat sisi dressnya terangkat. Terlebih belahan dress yang kebetulan ada di sebelah kanan, membuat pemandangan itu terlihat erotis bagi Sasuke. "Tidak merindukanku?"
Tuk. Tuk. Sasuke berjalan mendekati Hinata. Berdiri tepat di depan perempuan yang berusaha menggodanya itu. Jarak mereka bergitu dekat sampai-sampai Hinata harus mendongakkan kepalanya. "Jangan menggodaku, Hinata." Sasuke berkata sambil berusaha mengatur napasnya. "Aku tidak tahu sejauh mana bisa menahan diriku padamu."
Sasuke menjauh setelah mengatakannya. Ia masuk ke dalam kamarnya tanpa mengunci pintu. Sengaja. Tentu saja Sasuke juga berusaha memancing Hinata. Bam. Pintu kamar Sasuke tertutup dan terkunci secara otomatis setelah beberapa saat. Sasuke berbalik, ia tersenyum menang.
"Oke. Kelinci sudah masuk perangkapmu." Hinata bersandar di pintu Sasuke. "Sekarang, bukankah waktunya sang Serigala yang beraksi?"
Pelan-pelan Hinata menarik kedua tangannya ke belakang punggungnya. Dengan sengaja membusungkan dadanya dengan punggung yang bersandar. Settt. Buk. Sasuke melepas rompi jasnya dan menaruhnya di atas kursi sebelum berjalan mendekati Hinata.
"Kubilang," Sasuke menumpukan satu tangannya di samping kepala Hinata. "Jangan menggodaku, Hinata."
"Hmph?!"
Sasuke mencium Hinata lebih dulu. Ia mencumbunya dengan tidak sabaran. Entah karena pengaruh alkohol atau apa. Ciuman mereka begitu menggebu. "Sasuhn–" Hinata mendesah tertahan. Badannya terhimpit antara pintu dan badan Sasuke. Helaan napas terdengar setiap sentuhan yang dirasakannya. Sasuke menyentuh sisi kanan tubuhnya terus-terusan.
Pipi, rahang, leher, bahu, lengan, perut, dan kakinya yang terekspos. Sasuke membelai-belainya dengan semangat. "Ahn!" Begitu Sasuke menaikkan sebelah kakinya, tubuh mereka bergesekan. Saling melempar pandang, kali ini mereka tidak yakin bisa menahan satu sama lain.
.
.
.
.
Kepala Hinata terasa pusing. Di acara pesta ulang tahun kecil-kecilan itu, ia merasa mual padahal belum lama tiba. Tangannya terkepal. Ia merasa sesak melihat orang-orang berkumpul di halaman belakang kediaman Uchiha. Bukan, bukan itu. Hinata merasa ia sepertinya siap saja bertemu keluarga Sasuke. Yang tidak ia siapkan, adalah melihat tiga orang yang dikenalnya di pesta ulang tahun Koichi. Gaara Sabaku, Sai Shimura, Kakashi Hatake. Bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari Uchiha?
Versi lengkap momen SasuHina di Paris tersedia di KaryaKarsa, ya!
Selamat membaca, khusus dewasa! ;)
