note. saya sudah lama ingin menulis tentang ibu maha kuat satu ini. akan saya buat cerita ini dalam ficlet/drabble/flash fic yang bersambung. dan akan saya usahakan cerita ini punya latar waktu yang berurutan. good luck to myself, karena saya belum pernah nulis multichapter yang panjang

note2. saatnya unleash my cinta sedekade dengan ibu aurelia yang maha strong, aku cinta padamu buuuuk


Ketika Aurelia terbangun di pagi hari, ada rasa masa lalu yang sudah lama tak ia rasakan.

Berdirinya Martha di ujung pintu sembari mengucapkan selamat pagi, kamar tidurnya yang tak berubah (karena Aurelia bersikeras untuk tetap tinggal di dalam kamar masa kecilnya), udara di awal hari yang tak sesesak London—itulah yang membuat Aurelia sadar sepenuhnya bahwa ia telah kembali ke rumah orangtuanya.

"Selamat pagi juga, Martha," balas Aurelia dengan lembut. Kedua mata hijaunya mengamati betapa pelannya Martha berjalan mendekati jendela untuk membuka tirai. Tidak segesit dulu. Kain tirai disibakkan oleh sang pelayan, membuka jalan bagi cahaya pagi untuk menguasai seluruh isi kamar.

Terangnya pagi memantulkan refleksi Aurelia pada cermin rias. Dalam tolehan singkat, Aurelia bertemu muka dengan refleksinya. Pada rambut pirang miliknya yang terpangkas pendek, dengan ujung rambutnya terlihat berayun indah nan rapi.

Sesungguhnya, Aurelia masih belum terbiasa memiliki rambut sependek ini. Rambut pirangnya yang panjang telah menemani hari-hari sepanjang usianya. Keputusannya untuk memotong pendek di bawah kuping telinga adalah hasil keimpulsifan belaka. Aurelia hanya ingin berganti suasana, itu saja niatnya.

Tanpa sadar, wanita itu menggoyangkan kepalanya seakan tak percaya beban kepalanya bisa seringan itu.

"Apakah kepala Nona terasa aneh setelah potong rambut kemarin?" tanya Martha khawatir, salah sangka. Panggilan sang pelayan tua itu tidak berubah, seakan Aurelia tak pernah pergi meninggalkan rumah untuk menjadi seorang istri dan ibu.

"Hm? Oh, aku baik-baik saja, Martha. Tenang saja," Aurelia menenangkan pelayan pribadinya yang terlihat pucat. Martha sudah menginjak usia 60 tahun lebih, sudah mendekati usia orangtua Aurelia berpulang kepada Tuhan. Ia tak boleh memupuk kekhawatiran berlebih pada jantung Martha yang sudah sangat rapuh.

Untuk mengusir rasa tersebut, Aurelia langsung turun dari ranjangnya. Dengan penuh semangat ia membereskan tempat tidur seadanya dan segera menyiapkan baju ganti. Sikap Aurelia tersebut nyatanya tidak banyak membantu menguatkan jantung pelayannya. Martha hampir pingsan karena nona kecilnya melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang wanita terhormat.

"My lady, Apa yang Anda lakukan?! Itu tugas saya, seharusnya saya yang melakukan itu semua…" suara Martha melemah tatkala melihat sang nona—bukan Nyonya Besar Jones—bersikap seperti itu. Tiba-tiba saja, Aurelia mendekati Martha yang seputih kapas, kedua tangannya menyentuh pundak sang pelayan.

"Martha, apa kau lihat diriku yang sekarang? Rambutku, wajahku, seluruh diriku?" ucap Aurelia sedikit mendesak, memaksa Martha untuk fokus pada pertanyaan yang diajukan. Kedua mata sang pelayan terpaku pada wajah nona kecilnya yang tak lagi 'kecil', penuh dengan gurat kebijaksanaan yang belum pernah sang pelayan lihat. Lalu, berpindah ke arah rambut pirang berpotongan bob pendek, dan berakhir dengan memindai sang nona kecil dari ujung kepala ke ujung rambut.

Nona Aurelia-nya tak lagi seorang nona kecil. Ia telah tumbuh dewasa menjadi seorang nyonya besar sejati.

Air mata tiba-tiba menggenang di sudut mata Martha, terharu karena gadis kecil yang diasuhnya sejak belia berdiri di hadapannya dengan aura matang yang tertempa oleh kehidupan pernikahan. Kehidupan yang sulit dan tak seharusnya dihadapi oleh wanita seperti Aurelia, karena nona kecilnya amat menderita setelah menikah dengan new money seperti suaminya itu—

Sebelum Aurelia sempat mengekspresikan rasa kejutnya, Martha memotong sembari terisak-isak. "Maafkan saya, my lady. Saya… saya hanya bersedih karena Nona langsung ditinggalkan begitu saja di sini. Suami Nona sangat kejam! Langsung meninggalkan Nona begitu saja setelah membantu angkut koper—kejam sekali lelaki itu!"

Aurelia hanya bisa menyunggingkan senyum tipis ke arah Martha. Sang maid tua sungguh keras kepala. Menolak untuk mengubah panggilannya kepada Aurelia, serta tetap tak merestui sepenuhnya pernikahan Aurelia dengan Richard Jones. Meskipun begitu, wanita tersebut memahami sikap tersebut berlandaskan rasa sayang yang amat kuat dari hati Martha.

Sudah sedewasa ini, tapi Martha masih mengkhawatirkan Aurelia seakan ia tak pernah pergi meninggalkan rumah ini.

"Richard bergegas pergi karena ia harus kembali ke London untuk menenangkan anak-anak," jelas Aurelia dengan tenang. "Anak-anakku … jelas sangat sedih karena ibu mereka pergi jauh, tak tahu kapan bisa kembali. Mereka jelas membutuhkan ayah mereka," lanjutnya. Terbayang di benaknya ekspresi sedih tertahan pada paras William dan Grace. Hidung merah dan mulut mengerucut cemberut milik Arthur. Rengekan pedih Vivian kecil yang masih menginginkan sang ibu untuk memeluknya.

Tiba-tiba saja, daerah dada milik Aurelia terasa bengkak dan penuh. Colin. Bukannya saat ini adalah jadwalnya untuk menyusui Colin? Bayi termungilnya itu tertidur nyenyak di pelukan ibu susunya saat sang wanita meninggalkan London.

Mungkin Colin akan melupakannya, Aurelia Jones, sebagai ibu yang melahirkannya. Tentu saja karena bayi itu hanya merasakan air susu miliknya dalam waktu singkat.

Ketenangan Aurelia pun retak.

Pemikiran bahwa Colin hidup jauh darinya, akan tumbuh besar tanpa dirinya, barangkali akan menganggap wanita lain sebagai ibunya—membuat sang nyonya besar Jones terpaksa menahan isakan. Jantungnya sesak akan rasa asing yang tak disangkanya.

Wajah damai Colin yang amat belia, terbenam di balik lapisan selimut musim semi yang hangat. Tidak menyadari kepergian sang ibu sama sekali.

Merahnya wajah Vivian, yang tak berhenti meronta dan menarik ujung gaun Aurelia dengan putus asa. Hampir berlari mengejar kereta kuda sang ibu yang meninggalkannya.

Arthur, dengan parasnya yang sangat mirip dengan Richard, belajar menjadi kakak dengan mencengkram kedua lengan atas Vivian untuk mencegah anak gadis itu mengejar kereta kuda sang ibu.

Tatapan Grace mengikuti jalannya kereta kuda dengan bibir bergetar. Merasa kehilangan pada saat dirinya membutuhkan sang ibu untuk mendampinginya menjadi seorang wanita dewasa dalam waktu dekat.

William yang mematung, menipiskan bibir, dan menyembunyikan kepalan erat di belakang tubuh. Raut mukanya begitu keras, seperti seorang pemimpin yang mendapat tanggung jawab tak terduga. Sungguh tak sesuai dengan usianya yang baru menginjak 14 tahun.

Kenangan akan wajah kelima anaknya menghujam kuat pada kotak memori Aurelia. Menghukumnya seiring mengecilnya siluet kelima anak-anaknya tatkala kereta kuda mengantarkan wanita itu semakin jauh dari mereka.

Martha melangkah mendekati Aurelia, mengulurkan kedua tangan, hendak mendekapi sang nyonya. Akan tetapi, Aurelia mencegahnya memangkas jarak, masih ingin tenggelam dalam nestapanya.

Martha serasa dipaku di tempat, wajah keriputnya terlihat memprotes tak terima.

Aurelia adalah istri dari pengusaha ambisius yang tak berhenti mendaki tangga masyarakat kelas atas. Sebagai istri Richard Jones, sikap seorang pendamping yang halus, santun, dan menuruti segala tuntutan kelompok masyarakat ini adalah citra ideal seorang wanita terhormat. Terutama wanita terhormat yang menjadi anggota baru dari dunia glamor aristokrasi Inggris.

Karena wanita ini harus menyamakan langkah dengan suaminya, mau tak mau membuat Aurelia terbiasa menelan lara hatinya sendiri.

"My lady," tak menghiraukan perintah Aurelia, Martha bersikeras maju untuk merengkuh. Memberikan Aurelia tubuh hangat yang dapat dipeluknya. Sang pelayan tua memang hanya pernah pergi ke London dalam hitungan jari. Namun, ia tahu pasti kalau London membuat Aurelia tak dapat leluasa menjadi dirinya sendiri.

Dalam lingkaran pelukan yang nyaman dan penuh penerimaan, Aurelia menumpahkan seluruh kesedihannya dalam sedu sedan. Wajahnya terbenam pada bahu renta pelayan setianya, yang menemaninya bahkan dalam kondisi menyedihkan ini.

.

.

.

.

[Richard, William, Grace, Arthur, Vivian, Colin—maaf, maaf, maaf]

.

.

.

setelah kembali ke rumah ayah & ibu

emma © kaoru mori

saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini