Setelah menyantap menu makan malam sederhana buatan Martha, Aurelia bersikeras untuk membantu membereskan sisa makan dan peralatan makan yang kotor. Dengan sikap santai, Aurelia berjalan ke dapur, mengiringi Martha yang mulai terbiasa dibantu oleh sang nona.

Beberapa saat yang lalu, Aurelia berhasil meyakinkan pelayannya bahwa ia akan bahu-membahu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Minimal, untuk urusan membereskan dirinya sendiri, Aurelia sanggup melakukannya. Meski ia tinggal di London sebagai nyonya besar dengan sepasukan pelayan, yang melayani semua kebutuhannya hingga wanita itu tak perlu bangkit dari tempatnya duduk, Aurelia tak pernah melupakan asal-usulnya sebagai gadis bangsawan yang pernah hidup sederhana.

Ketika kedua wanita itu tiba di dapur, mereka bersama-sama mencuci piring hingga bersih, lalu mengelapnya hingga jejak airnya tak lagi tertinggal di sana. Dengan keringnya alat makan terakhir di tangan Aurelia, dengan sigap Martha langsung mengambil alih pekerjaan menata alat makan bersih ke dalam lemari alat makan.

"Saya sudah menyiapkan air panas untuk mandi malam Anda. Untuk pekerjaan ini, Anda bisa serahkan kepada saya," Martha memunggungi Aurelia untuk memasukkan piring-piring yang sudah bersih dan kering ke lemari piring, mengisyaratkan Aurelia agar sang nona menyudahi urusan dapur. Aurelia hanya tersenyum tipis, memahami isyarat tersebut dan segera meninggalkan dapur.

Rumah yang diisi oleh dua wanita ini terasa begitu sepi. Suara angin lembut dari padang rumput Haworth menemani perjalanan singkat Aurelia ke kamar mandi membersihkan diri. Setibanya di sana, Aurelia menyapu pandang pada perabotan yang ada di kamar mandi.

Hal yang ia syukuri pada usianya saat ini adalah teknologi kamar mandi saat ini lebih canggih ketimbang pada masa mudanya dulu. Ia tak bisa membayangkan dirinya atau Martha pada usia mereka sekarang harus mengangkut berember-ember air panas dan menyeret bak mandi tembaga demi berendam kurang lebih sejam. Daripada membiarkan Martha bekerja fisik seberat itu, wanita itu lebih baik berendam di danau dekat perbatasan lahan propertinya.

Memasukkan tubuhnya yang lelah setelah menjalani hari ke dalam bak mandi, Aurelia berendam di sana sambil memikirkan tumpukan surat yang ditaruh Martha di atas meja ruang kaca. Surat-surat undangan berkunjung ke rumah tetangga, pesta makan malam di rumah kepala pendeta Gereja Haworth, pesta dansa di rumah walikota Yorkshire; semua itu ditumpuk di samping koran yang terlihat licin dan bertanggalkan kemarin.

Aurelia teringat dengan sorotan berkaca-kaca yang Martha berikan kepadanya tatkala menyerahkan itu semua pagi tadi. Seakan hendak mengatakan bahwa sang nona tak bisa beristirahat tenang di kampung halamannya sendiri.

Air hangat bercampur sabun dan ekstrak bunga mawar membasahi seluruh tubuhnya, memberikan jalan bagi pikiran Aurelia untuk menelaah situasi tersebut. Bisa jadi, mereka semua yang mengundangnya tak mengetahui maksud kedatangannya kemari. Orang-orang itu bukanlah bagian dari lingkaran pergaulan ibukota. Mana mungkin mereka tahu tentang reputasi Aurelia Jones yang sering sakit-sakitan hingga hampir tidak pernah menerima undangan sosial di London?

Selain itu, orang-orang itu jelas mengundang Aurelia karena mereka ingin menghormati kedatangannya di Haworth. Sudah menjadi tradisi di daerah pedesaan bahwa pejabat lokal mengundang orang ternama yang berada di desa tersebut untuk makan malam. Hal tersebut merupakan silaturahmi sekaligus simbol penerimaan warga desa atas kedatangan orang ternama itu. Di mata Aurelia, dirinya mungkin hanyalah Aurelia yang sedang pulang kampung di rumah orangtuanya. Akan tetapi, di mata masyarakat desa Haworth, bahkan oleh masyarakat Yorkshire, dirinya adalah Nyonya Richard Jones; istri Tuan Richard Jones, sang pengusaha ekspor-impor nomor satu di Inggris, yang tiba dari London untuk berkediaman di daerah pelosok seperti Yorkshire.

Wanita itu memejamkan kedua matanya yang sangat indah, memikirkan begitu dalam situasi tersebut hingga tanpa sadar ada kerutan di dahinya.

Aku hanya ingin istirahat.

Aurelia merapalkan kalimat itu di dalam hati berkali-kali, sekaligus merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya memikirkan kalimat sekanak-kanak itu. Bagaimana bisa? Masyarakat Yorkshire jelas melihatnya sebagai wanita terhormat yang harus dihormati keberadaannya. Apalagi, bersuamikan seorang pengusaha yang menanamkan investasi signifikan untuk kemajuan Yorkshire, membuat mereka seakan hendak menyembah di bawah kakinya. Dengan perhormatan sedalam itu, akan sangat kurang ajar bila ia menolak undangan mereka.

Hanya saja, apakah mereka bisa menghormati keinginannya untuk istirahat dengan tenang?

Merasakan kepalanya mulai pusing karena terlalu lama berendam, dengan terpaksa Aurelia menyudahi sesi berendamnya. Dengan tubuh yang terseka kering dan terbalut jubah mandi, ia membuka drainer bak mandi, menatap surutnya air bekas rendaman dengan tatapan kosong, lalu meninggalkan kamar mandi dengan kepala yang masih kalut.

Kekalutan yang berjalin semrawut di dalam kepala mendadak terurai saat Aurelia memasuki kamar tidurnya. Karena di sana, Richard sedang duduk di atas ranjang, menantinya.

Napasnya seakan dicabut dari tubuhnya. Sudah berapa lama Aurelia tidak melihat suaminya secara langsung? Matanya langsung menelusuri seluruh diri Richard dari pucuk kepala hingga ujung kaki, masih tak percaya bahwa suaminya ada di Haworth. Di rumah orangtuanya. Di kamar tidurnya.

"Sudah selesai mandi?" Richard membuka percakapan, suaranya yang berat terdengar dingin. Tetapi, pengalaman mengajarkan Aurelia bahwa ada kandungan lain di dalam suara itu.

Wanita itu mengangguk sembali memberikan senyum lembut. Kedua mata hijaunya berpendar sangat indah hingga orang yang melihatnya bisa menyamakan pendarnya dengan kilau zamrud.

"Selamat datang, Suamiku. Kapan kau tiba di sini?" Aurelia melangkah mendekati ranjang, kemudian duduk di samping suaminya. Dari dekat, ia bisa melihat warna biru di mata Richard yang khas dengan jelas.

"Saat kau masuk ke kamar mandi. Martha membukakan pintu dan langsung memanduku kemari. Katanya, kau selalu tidur setelah mandi malam," ucap Richard dengan tatapan sangat lekat. Aurelia tahu arti tatapan itu, karena terakhir kali ia ditatap seperti itu adalah pada malam kepulangan Richard dari India setelah berbulan-bulan melaut bersama William.

"Martha benar," Aurelia mengangguk. Ujung rambut pendeknya berayun lembut mengikuti gerakan kepalanya. "Akhir-akhir ini, aku selalu tidur setelah mandi malam. Seperti kata dokter, aku harus menata pola tidurku supaya cepat sembuh," lanjutnya.

Tangan kanan Richard meraih salah satu ujung rambut Aurelia yang basah, menyentuhnya dengan sangat hati-hati. Saat suaminya melakukan itu, wanita itu mempelajari ekspresi suaminya. Pernikahan lebih dari sepuluh tahun, memiliki lima anak bersama-sama, mengajarkan Aurelia untuk memahami makna di balik gurat wajah suaminya.

Tiba-tiba, Aurelia mendapat ide. Pandangan dari mata hijau zamrudnya pun ia pindahkan ke arah puncak kepala Richard. Dengan tatapan penuh minat, ia memutuskan untuk menatap rambut pirang sang suami yang disisir ke belakang. Helaian anak rambut yang dahulu Richard biarkan tergantung di dekat wajahnya kini terkurung sepenuhnya oleh pomade. Sungguh penampilan terserius yang pernah Aurelia lihat darinya.

Seakan baru menyadari ke mana tatapan istrinya berlabuh, Richard pun mengusap kepalanya, "Ada yang salah dengan rambutku?" telisik Richard pada sang istri.

Hati Aurelia terhibur geli. Suara wanita itu menjawab dengan merdu, "Tidak. Aku hanya berpikir kalau rambutmu juga sama-sama berubah. Disisir semuanya ke belakang."

Komentar itu membuat Richard menipiskan bibir. Ekspresinya tetap datar saat ia menanggapi, "Sudah bukan masanya aku berpenampilan seperti itu. Nanti anak-anak akan melihatku sebagai ayah yang konyol. Sudah setua ini masih tidak bisa menyisir rambut dengan benar."

Ketika Aurelia merasakan tangan Richard terlepas dari ujung rambutnya, kini gilirannya untuk menyentuh rambut sang suami. Dengan gerakan seringan bulu, Aurelia menyelipkan jari-jarinya ke dalam rambut yang tersisir, lalu dalam sekali tarikan memberantakkan sisiran tersebut. Helaian yang terlepas dari tatanan tersebut langsung menggantung di dahi Richard, dengan gaya jatuh yang hampir sama pada masa lalu.

Gerakan usil tersebut hanya dilirik sekilas oleh Richard. Lirikan itu begitu intens; bila dilihat oleh orang lain dapat mengundang intimidasi. Akan tetapi, Aurelia hanya tertawa kecil melihatnya. Hal ini mengingatkannya pada suatu waktu tempo dulu ketika ia menarik kedua pipi Richard agar memancing lelaki itu tersenyum. Suaminya bersikukuh untuk tidak tersenyum, tetapi mata birunya berkilauan dengan intensitas yang amat kuat.

Sangat khas Richard dan sangat menggemaskan. Membuatnya ingin mencium suaminya saat itu juga.

Tepat saat keinginan itu terbit di hati, di saat yang sama tangan Richard mencengkeram lembut pergelangan tangan Aurelia yang dipakainya untuk mengacak-acak rambut. Lelaki itu menurunkan tangan istrinya, menaruhnya di pangkuan. Dengan sorot mata yang kini kembali lurus ke mata Aurelia, Richard kembali membuka suara. "Martha menceritakan padaku tentang undangan-undangan yang kau terima. Untuk itu, aku saja yang datang memenuhi undangan mereka."

Aurelia hanya bisa mengedipkan mata beberapa kali. Simpul rumit yang ia pikir mati di benaknya kini terurai bebas semudah itu dengan tarikan suaminya. Hal itu terjadi begitu cepat hingga wanita itu kehilangan kata-kata.

"Kau kemari untuk beristirahat total, bukan untuk mengunjungi siapa-siapa. Akan kutegaskan itu pada mereka," jelas Richard dengan sungguh-sungguh.

Rasanya ingin Aurelia meminta Martha untuk datang ke kamarnya, melihat langsung bagaimana Richard memperlakukannya saat ini. Mungkin, suami-istri ini berpisah secara fisik, tetapi Richard masih mempedulikan keadaannya, membantu menyelesaikan masalahnya. Masih mencintainya.

Bagaimana bisa ia seberuntung ini, memiliki lelaki seperti Richard Jones sebagai suaminya?

Aurelia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi wanita itu merasa bahwa itu takkan cukup untuk mengekspresikan rasa syukur. Maka, dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian, ia pun melingkarkan kedua lengannya ke leher Richard, mengundang lelaki itu untuk berpelukan dalam satu malam.


note. di buku scribbles mori-sensei, ada sketsa mama aurelia narik pipinya papa richard yang bikin saya menjerit kayak orang gila. kok bisa ya ortunya william seunyu itu? pantesan bisa beranak sebanyak itu /dikeplak