Richard menunaikan janjinya untuk mewakili Aurelia datang pada acara-acara sosial di Yorkshire. Entah sihir apa yang lelaki itu gunakan kepada tuan rumah dan tamu-tamunya, karena semua orang yang hadir di acara tersebut tidak memprotes ketidakhadiran Aurelia di sisinya. Sejak dulu sampai detik ini, Aurelia selalu mengagumi ketangguhan Richard dalam menghadiri banyak acara dalam waktu beruntun. Mungkin, sisi itulah yang membuat lelaki itu sukses menakhodai bisnis keluarga yang telah berusia tiga generasi serta mengokohkan posisi keluarga Jones di dalam lingkaran masyarakat kelas atas.
Pada waktu dimana matahari akan terbangun dari tidurnya 20 menit lagi, suami-istri Jones itu telah terbangun dan berdandan untuk menyambut pagi. Richard dalam balutan setelan jas pagi, sedang duduk sejenak di ruang kaca sembari menikmati teh yang diseduh oleh istrinya. Pada waktu 20 menit lagi, tepat ketika matahari terbit, akan ada kereta gerobak pengantar susu yang tiba di kediaman orangtua Aurelia. Richard akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menumpangi kereta itu agar bisa berangkat ke stasiun menuju London.
Ketika sang kepala keluarga Jones menandaskan tehnya, ekor matanya menangkap sosok istrinya memasuki ruang kaca dengan pakaian rumah yang santai; hanya mengenakan daster dan jubah dalam rumah. Sesuai tata krama yang berlaku, lelaki itu segera bangkit dari kursi untuk menyambut kedatangan sang istri ke ruangan.
Mata biru tajamnya menilai penampilan sang istri pada dini hari ini. Dengan pakaian yang tidak mengikat seluruh tubuh dan begitu nyaman digunakan, ia melihat Aurelia mendekatinya dengan lincah.
Sungguh pemandangan yang melegakan untuk dilihat.
Meski keputusan untuk berpisah rumah amat berat baginya dan anak-anak, jika itu dapat memulihkan kesehatan dan semangatnya Aurelia, maka Richard bertekad untuk tidak menyesalinya.
Lamunan sejenak dari Richard pun membuyar tatkala ia menyadari ada sebuah amplop surat di kedua tangan sang istri. Sebelum lelaki itu menanyakan perihal itu, Aurelia telah mendahuluinya. "Ini suratku untuk anak-anak," jelas Aurelia. Wajahnya yang segar sehabis mandi perlahan mendung. Perubahan itu membuat Richard mengerutkan dahi. Apa yang membuat istrinya begitu sendu pada pagi buta ini?
"Tolong berikan pada mereka. Isinya hanya beberapa hal yang belum sempat kusampaikan secara pribadi kepada anak-anak. Kau bisa membantu membacakan isinya," pinta wanita itu kepada suaminya.
Richard menatap sekilas amplop di kedua tangan istrinya dengan tatapan yang tak terbaca. Begitu lama lelaki itu melakukan itu, membuat hati Aurelia bertanya-tanya mengapa suaminya tak memberikan tanggapan. Tanpa diduga, tangan Richard bergerak untuk merogoh saku dalam jasnya. Lelaki itu mengeluarkan beberapa amplop surat dari sana dan ditunjukkan semuanya ke arah Aurelia.
Nama pengirim surat-surat tersebut membuat mata Aurelia melebar. "Anak-anak menitipkan surat juga?" kejutnya pelan.
Otomatis, suami-istri itu bertukar surat. Richard segera menyimpan surat berharga itu di saku dalam jas. Di sisi yang berbeda, Aurelia masih tak percaya dengan amplop-amplop yang dibawakan Richard untuknya. Ia pun menghitung jumlah amplop tersebut. Ada empat.
Kali ini, giliran Richard yang duluan menjelaskan, "William sudah kembali ke Eton, sehingga dia tidak tahu kalau aku datang kemari. Makanya, tidak ada surat darinya."
"Begitu …"
"Anak-anak begitu heboh ketika mereka tahu aku akan datang ke sini. Grace langsung menahanku untuk tidak buru-buru berangkat supaya mereka ada waktu untuk menulis surat untukmu," lanjut Richard sembari mengenang adegan mengharukan di rumah London sana. Grace yang dewasa sebelum waktunya memobilisasi proses penulisan surat dengan teratur. Gadis kecil itu membimbing Arthur dan Vivian menulis surat atau menyarankan kosakata yang tepat untuk mengekspresikan kerinduan atas ibu mereka. Selain itu, Grace juga membujuk ibu susu Colin agar menggunakan kesempatan bersurat itu untuk mengabarkan tumbuh-kembang bayi itu kepada Aurelia.
Aurelia bisa membayangkan kehebohan yang diciptakan oleh anak-anaknya demi bersurat kepadanya, membuat hatinya bergetar penuh haru. Tak pernah wanita itu membayangkan betapa bahagianya melihat anak-anak masih mengingatnya dan di saat bersamaan juga sedih karena memosisikan anak-anaknya seperti itu. Sebagai seorang ibu, seharusnya Aurelia berada di London untuk menuntun dan mengasihi anak-anak hingga dapat tumbuh dewasa menjadi manusia berbudi pekerti dan berakhlak baik. Akan tetapi, suratan takdir membawa ibu dan anak-anak dalam kondisi berpisah seperti ini.
"Bacalah surat-surat itu dan kau akan tahu kalau mereka memahami keadaanmu," dorong Richard sembari menatap lurus ke arah istrinya.
Aurelia mendekap surat dari anak-anaknya ke depan dada dengan erat. Matanya berkaca-kaca ketika wanita itu berkata, "Terima kasih. Terima kasih banyak atas surat-surat ini." Suara Aurelia bergetar, tetapi ia mampu mengontrolnya agar kembali stabil. Masih terlalu dini baginya untuk menangis. "Katakan pada mereka, kalau balasan dariku akan datang maksimal seminggu dari sekarang," Aurelia melanjutkan dengan mantap.
Richard pun mengangguk, menyanggupi untuk mengabarkan hal itu. Dengan gerakan cepat, ia meraih sepasang sarung tangan putih dan selendang kasmir yang telah disiapkan di atas meja. Mengenakan kedua aksesoris itu mengisyaratkan keberangkatan lelaki itu.
Terdengar dari kejauhan, ada sayup-sayup derap kaki kuda dan putaran roda dari gerobak pengantar susu menyongsong mendekati rumah orangtua Aurelia. Beberapa saat kemudian, dengking kuda yang bekerja pada dini hari mempertegas kedatangannya di halaman rumah. Artinya, Richard dan Aurelia harus segera kembali ke kehidupan masing-masing.
Aurelia menelan ludah. Pagi dan malam yang mereka berdua lalui beberapa hari ini terasa begitu singkat. Suaminya bahkan belum pamit berangkat, tetapi rindu sudah bertumpuk di hatinya. Memang benar kata petuah lama, perpisahan memang membuat insan merindu.
Sepertinya, apa yang di benak Aurelia turut ada di benak Richard karena lelaki itu meraupnya dalam pelukan. Begitu erat hingga wanita itu merasa tenggelam di sana.
"Jaga kesehatanmu, jangan terlalu lama berkebun. Istirahatlah di sini sepuas-puasmu," bisik Richard tepat di samping telinga Aurelia. Wanita itu menganggukan kepalanya.
Sang istri tercinta perlahan memundurkan tubuh, kemudian ia mengangkat kepalanya untuk memandangi cukup lama wajah tampan sang suami yang akan cukup lama takkan ia jumpai. Tangan kanan Aurelia menggapai pipi Richard yang dingin karena udara pagi hari, mengelusnya penuh sayang.
Seberkas kenangan manis pada malam-malam sebelumnya membuat Aurelia tiba-tiba berucap, "Aku berjanji kalau aku takkan mengandung lagi semasa di sini."
Kalimat itu membuat Richard tersentak. Seberkas rona merah menghiasi kedua pipi lelaki itu. Meskipun begitu, ia tak mengucapkan apapun selain, "Kita sudah berhati-hati tentang … hal itu."
"Aku tahu. Karena kau dan aku … sudah memastikannya," balas Aurelia dengan tenang.
Untuk meredakan kecanggungan, Richard akhirnya berdeham beberapa kali. Tingkah itu menerbitkan kekehan dari Aurelia. Suasana hati wanita itu kini seringan bulu angsa yang melayang di udara bebas.
Menyadari sudah saatnya mereka berpisah, Richard pun melepaskan pelukannya. Ia segera mengambil topi dan stik jalannya, mengisyaratkan bahwa lelaki itu siap berangkat. Keduanya pun melangkah keluar menuju halaman rumah, dengan Martha yang membantu membukakan pintu depan. Sejak kapan sang pembantu tua itu sudah siap di sana?
Ketika pasutri itu tiba di hadapan kereta kuda pengangkut susu itu, dalam diam Aurelia menyaksikan proses tawar-menawar antara Richard dan si kusir pengantar susu. Setelah proses itu disepakati, Richard segera menaiki bagian gerobak susu dengan percaya diri, tak memedulikan penampilannya yang kontras dengan ember-ember susu sapi segar yang diperah beberapa jam yang lalu. Aurelia tahu kalau bukan karena keadaan, suaminya takkan sudi menaiki jenis kereta gerobak rakyat seperti itu.
Wanita itu pun melambaikan tangannya, mengucapkan selamat tinggal kepada suaminya yang kini dibawa pergi oleh kereta itu. Dari timur sana, matahari pun perlahan mendaki langit, seakan turut mengantarkan kepergian Richard.
Sejenak, Aurelia tak bergerak di tempatnya, bertekad akan masuk ke rumah saat kereta gerobak itu tinggal seukuran titik debu di ujung jalan sana. Dalam proses menunggu kecil horizon itu, wanita itu teringat bahwa ia tak menanyakan Richard tentang cara menyampaikan surat darinya kepada William.
Aurelia tak perlu memikirkan hal itu berlama-lama karena ia langsung menemukan jalan keluar: Richard pasti tahu bagaimana caranya.
