"Apakah Nona ingat dengan tuan pengantar susu langganan kita? Tuan tersebut kini digantikan oleh putranya. Kata anak itu, asam urat ayahnya sedang kumat, sehingga untuk sementara tugas mengantar susu akan digantikan oleh dia," cerita Martha sambil membantu mengancingkan bagian belakang gaun Aurelia. Dengan perhatian, Aurelia menyimak sembari mencermati penampilannya di hadapan cermin berdiri. Terpantul di sana, wanita mengenakan gaun jalan-jalan yang modis dan sesuai dengan statusnya. Penampilannya yang klasik membuat rambut pendeknya mencolok.
"Titipkan salamku kepada ayah anak itu kalau kau bertemu anak itu," gumam Aurelia sambil menatap bayangan sendiri di depan cermin.
Martha menganggukkan kepalanya setelah menerima titipan itu. Setelahnya, kedua mata Martha yang cermat menangkap arah pandangan nona kecilnya dan bertanya, "Apakah Nona ingin saya tata rambutnya?"
Mendengar pertanyaan itu, Aurelia dan Martha sama-sama melirik sebuah kotak kayu khusus yang berada di samping cermin berdiri. Di dalamnya, terdapat bekas potongan rambut panjang milik Aurelia. Helaian rambut pirang yang tebal dan kuat itu amat disayang oleh Martha sehingga sang pelayan tua tidak tega untuk membuangnya setelah rambut nona kecilnya dipangkas pendek. Atas desakan Martha, sisa rambut panjang itu disimpan di dalam kotak khusus agar dapat digunakan ulang sebagai extension.
"Tidak usah. Begini saja sudah cukup," jawab Aurelia sembari menggerakkan kepalanya sedikit. Ujung rambut pendeknya berayun mengikuti gerakan kepala. Dari belakang tubuhnya, Martha segera meraih topi berpergian yang telah didesain untuk mengikuti bentuk rambut terbaru nona kecilnya. Dengan patuh, sang pelayan tua itu menyerahkan topi itu.
Aurelia menerima topi yang disodorkan, kemudian mengenakannya. Topi itu hampir berhasil melengkapi penampilannya.
Masih butuh satu hal lagi.
Kedua wanita itu segera keluar dari kamar tidur utama. Ketika mereka melintasi ruang keluarga, tanaman hijau yang rimbun dan sehabis disiram menguarkan harum segar bercampur tanah basah. Harum khas yang dicintai Aurelia.
Kemudian, mereka berjalan menuju ke lorong menuju pintu depan. Sesungguhnya, di dekat lorong itu terdapat ruang tamu kecil, tetapi Aurelia yang tak berniat menjadikan rumahnya sebagai tempat bersosialisasi akan merombak ruang tamu tersebut menjadi ruangan yang berbeda.
Untuk mewujudkan itu, mau tidak mau Aurelia harus kembali ke London.
Ketika kedua wanita itu telah tiba di pintu depan, Martha segera mengambil payung untuk sang nona. Pelayan itu mencari payung apa yang serasi dengan penampilan Aurelia hari ini: gaun ungu violet dengan jaket yang serasi. Setelah mencari beberapa saat, ia menemukan payung ungu gelap. Puas dengan hasil temuannya, Martha langsung menyerahkan payung itu kepada Aurelia yang telah menanti.
Martha langsung bergegas membukakan pintu, mempersilakan Aurelia untuk pergi berjalan kaki. Anehnya, wanita itu tak kunjung keluar.
Mata hijau Aurelia berkilau terang saat wanita itu tiba-tiba menghadap lurus ke arah Martha. "Tumben tidak mencerewetiku perkara jalan kaki di luar tanpa pendamping," katanya ringan.
"Saya mendapat instruksi dari Tuan Besar agar Nona bisa jalan-jalan sendirian kapanpun Nona inginkan," jawab Martha dengan ekspresi masam. Terlihat sekali pelayan tersebut tidak menyukai pengaturan terapi gaya hidup untuk nona kecilnya. "Meskipun begitu, saya akan berganti pakaian dengan cepat agar saya bisa mendamping Anda. Mohon tunggu—"
"Tidak perlu, Martha. Lebih baik aku jalan-jalan sendiri saja. Tolong bantu sisirkan rambut extension-ku, ya."
Tanpa menunggu jawaban, Aurelia langsung melangkah keluar dari rumah. Ia berjalan begitu cepat, begitu antusias menapaki jalan yang terbentang di hadapannya. Beruntung beberapa hari ini daerah Haworth tidak hujan, sehingga saat ini tanah di jalan tidak basah dan berlumpur. Martha takkan kerepotan mencuci ujung gaunnya nanti.
Sebelum Aurelia berangkat ke Haworth, dokter yang merawat Aurelia di London menginstruksi wanita itu untuk berolahraga di alam bebas tiga kali seminggu. Olahraga yang dimaksud tentu saja adalah jalan kaki di alam bebas. Instruksi tersebut merupakan hal yang dinantikan secara antusias oleh Aurelia karena selama ia tinggal di London wanita itu tak dapat melakukannya. Kegiatan itu sebelumnya sering Aurelia lakukan ketika ia masih gadis. Namun, setelah ia menikah dan pindah ke London, bisa dibilang Aurelia hampir tak pernah melakukannya lagi.
Aurelia tak nyaman berjalan-jalan di London. Ia merasa diawasi setiap saat di sana. Apakah itu efek dari jumlah manusia di sana yang sangat banyak? Atau karena di sana seluruh tindak-tanduknya diawasi oleh lingkaran sosialnya yang kritis dengan perilaku di luar norma kesopanan dan kehormatan ningrat? Karena berjalan kaki sendirian merupakan salah satu kegiatan tidak sopan dan tidak terhormat di London.
Satu-satunya tempat dimana Aurelia bisa berjalan-jalan leluasa adalah di Crystal Palace. Tentu saja ia tidak datang sendirian ke sana; selalu ada Richard dan anak-anak di sekelilingnya. Akan tetapi, meski di tengah keramaian, Crystal Palace selalu menjadi tempat dimana Aurelia bisa menjadi dirinya sendiri. Aurelia bisa berjalan-jalan santai sembari menikmati segala pameran tanaman yang indah, eksotik, dan menggugah panca inderanya. Suatu pengalaman yang indah, tak terlupakan.
Berjalan-jalan di area hijau pedesaan dekat rumahnya, entah mengapa, mampu menggugah perasaan yang serupa pada hati Aurelia. Padahal, dedaunan dan pohon-pohon yang mengawal di samping kanan dan kiri wanita itu adalah dedaunan dan pohon yang menemaninya sejak ia lahir. Bagaimana bisa tanaman hijau jenis apapun, spesies apapun, menyihirnya seperti itu? Bagaimana bisa dengan melihatnya dan berada di dekatnya membuat Aurelia serasa berada di rumah?
Wanita itu berjalan cukup jauh hingga bisa dibilang hampir melewati perbatasan lahan properti keluarganya. Anggota tubuh bawahnya yang dipakai berjalan mulai terasa pedas di area paha, menandakan bahwa Aurelia harus berhenti sejenak. Ia pun turuti kehendak tubuhnya dengan menepi ke suatu buk dari batu bata berlapis semen pada tepi pertigaan. Dengan gerakan elegan, Aurelia duduk di atasnya sembari meluruskan kaki. Tiba-tiba saja, ia merasakan dorongan di hati untuk melihat kondisi alas kakinya.
Berhati-hati supaya tidak terlalu tinggi tarikannya, Aurelia menarik gaunnya ke atas. Terlihat dengan jelas kondisi sol sepatu bot kulitnya dipenuhi tanah kering. Tidak ada jejak rusak di sana. Melihat kondisi sepatunya yang baik-baik saja, wanita itu menghembuskan napas lega.
Tiba-tiba saja, telinga Aurelia mendengar suara derap kereta kuda mendekat. Refleks, wanita itu langsung merapikan diri dan menegakkan tubuh sembari mencari sumber suara. Saat ini ia berada di ujung pertigaan, tepatnya di seberang tusuk sate. Maka dari itu, ia mengarahkan tubuhnya ke samping, berfirasat kalau akan ada kereta kuda yang mendekat.
Dengking kuda, derap kakinya yang khas, serta tarikan beban di belakangnya mulai terdengar semakin keras; menandakan keberadaannya begitu dekat. Apakah ada tamu?
Hati Aurelia perlahan menjadi dingin. Genggamannya pada gagang payung tanpa sadar mengerat kencang.
Sambil menipiskan bibir, dengan impulsif Aurelia langsung memutar balik tubuh, hendak pulang ke rumahnya. Jika benar kereta kuda itu membawa tamu untuknya, maka sebaiknya ia segera bergegas pulang. Mungkin kereta kuda tersebut akan berpas-pasan dengannya yang masih di jalan, membuat kemungkinan adanya percakapan antara dirinya dan penumpang kereta kuda. Astaga, sungguh interaksi yang tidak diharapkan!
Namun, itu semua masih kemungkinan. Bagaimana kalau kereta kuda itu hanya melintas saja?
Kedua pemikiran itu membuat Aurelia berhenti di tempat, nyaris tak menghiraukan posisi kereta kuda misterius yang telah sekian meter dari posisinya.
Rupanya, yang menjadi kenyataan adalah kemungkinan kedua. Bahkan, bisa dibilang di luar dugaan karena kereta itu tidak membawa orang, tetapi membawa furnitur! Ada sofa mewah, lemari, kursi-kursi tunggal yang biasa menghiasi ruang tamu. Untuk menjaga furnitur-furnitur itu aman, ada beberapa pemuda yang duduk di sisi furnitur itu. Mereka terlihat seperti footmen muda.
Footmen?
Sebelum pemikiran tersebut menemukan jawabannya, ada kereta kuda kedua yang mengekori kereta kuda pertama. Kali ini, isinya ada beberapa pemuda dan wanita muda yang rupawan. Dari kereta kuda, Aurelia mendengar percakapan riang dengan logat bahasa Inggris yang asing (Jerman, apakah ia tak salah dengar?) bercampur dengan dialek Yorkshire pedesaan. Berdasarkan pengalaman sebagai nyonya besar, Aurelia menduga kalau mereka semua adalah tim pelayan yang bekerja pada rumah mewah kelas atas.
Apa ada yang sedang pindah rumah?
Mengikuti arah kedua kereta itu berjalan, hanya ada satu hal yang terpikirkan oleh Aurelia. Mansion besar yang dijual oleh seorang bangsawan lokal yang bangkrut itu akhirnya dibeli oleh pemilik baru. Dan rombongan yang baru saja melintas di hadapannya adalah orang-orang yang dikirim untuk membersihkan mansion yang telah lama kosong itu.
Artinya, akan ada warga baru yang datang ke Haworth. Dan entah mengapa, Aurelia berfirasat kalau ia akan menyambut tamu ini di kediamannya. Wanita itu tahu kalau firasat itu begitu ironis karena melawan keinginannya untuk menyepi di tempat terpencil seperti Haworth. Akan tetapi, ia seperti diberi keyakinan kalau Aurelia takkan keberatan menerima tamu baru ini.
Keyakinan itu membuat Aurelia berjalan pulang dengan mantap. Ruang tamu di rumah harus segera dirombak. Untuk melakukannya, ia harus segera pesan tiket kereta ke London.
