Martha merasa jantungnya hampir copot ketika mendengar pintu depan rumah dibuka dengan suara yang sangat keras hingga terdengar di kamar tidur utama. Rambut pirang panjang extension yang sedang disisirnya amat lembut jadi terjatuh karena refleks kaget Martha. Memekik pelan karena bekas rambut asli nona kecilnya yang berharga lepas dari genggamannya, Martha segera merendahkan tubuh untuk mengambil extension itu dari lantai. Dengan usianya yang telah lebih dari setengah abad, tentu saja gerakannya tak bisa segesit dulu.
Buktinya, ketika tubuh sang pelayan tua menegak kembali, Martha tak sempat berbuat lebih karena sumber dari terbukanya pintu depan rumah, Aurelia, telah kembali dari sesi jalan pagi dengan keceriaan yang ganjil. Aurelia berjalan lincah mendekatinya dengan ujung gaun yang penuh dengan bekas gesekan dengan tanah dan permukaan rok sutra yang kusutnya bukan main.
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Martha hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengomel, "Astaga, my lady. Nona ini sudah tua, sudah beranak lima, tapi tingkahnya masih seperti bocah kelebihan energi. Kesurupan apa Nona di jalan sampai berbuat begini?"
Omelan dari pelayannya ditanggapi Aurelia dengan kekehan. "Aku bukan kesurupan, Martha. Tapi aku terinspirasi!" Aurelia mengumumkan dengan penuh semangat. Martha yang tak paham dengan sumber inspirasi nona kecilnya hanya bisa mengangguk pelan dengan tatapan penuh tanya. Beruntung, Aurelia langsung berbaik hati untuk menjelaskan lebih lanjut, "Tadi, aku melihat rombongan pelayan berbondong-bondong menuju puri tua yang ada di puncak bukit itu. Sepertinya puri tersebut akan berpenghuni lagi."
Aurelia yang sedari tadi berdiri di dekat pintu masuk kamar tidurnya kini berjalan pelan menuju standing mirror-nya. Memahami maksud dari perpindahan tersebut, Martha langsung membereskan pekerjaannya menyisir rambut extension nonanya dan segera membantu Aurelia untuk berganti baju.
Dengan gerakan hati-hati, Martha melepaskan lapis demi lapis gaun pagi yang digunakan Aurelia untuk jalan pagi. Tak lupa, sang pelayan tua itu menanggapi pengumuman dari nona kecilnya, "Saya dengar dari pengantar sayur segar langganan kita kalau puri tersebut akhirnya dibeli oleh keluarga dari Prussia."
"Prussia? Jauh sekali asalnya," komentar Aurelia sambil membiarkan pakaiannya dilucuti hingga hanya mengenakan dalaman kamisol dan korset. Untuk lapisan luar gaunnya, wanita itu selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk bongkar-pasangnya. Akan tetapi, untuk melepaskan korset tentunya ia bisa melakukannya sendiri.
"Katanya karena iklim dagang Prussia yang tidak lagi bersahabat," lanjut Martha yang kini sibuk mencarikan daster dan setelan jubah rumah di lemari pakaian. "Sesuatu tentang konflik dengan kanselir baru Kekaisaran Jerman, entahlah. Saya tak tahu bedanya Prussia dengan Kekaisaran Jerman, jadi jangan tanya terus pada saya," tutupnya.
Aurelia menangkap kata kunci yang menarik, "Iklim dagang katamu? Apakah keluarga Prussia ini keluarga pedagang?"
"Katanya begitu," jawab Martha lagi sembari menyerahkan daster berbahan katun kepada Aurelia. Pelayan tua itu juga membawa jubah rumah di tangannya, tetapi ia akan menyerahkan itu kepada nona kecilnya bila sang nona telah selesai mengenakan dasternya. Sembari mengawasi nonanya berpakaian, Martha mencoba menggali hubungan antara informasi yang baru saja ia sampaikan dengan informasi terbaru dari nona kecilnya. "Apa hubungannya dengan inspirasi Nona?" tanyanya pelan.
"Oh, yang tadi?" Aurelia mengancingkan seluruh daster rumahnya hingga kancing terakhir. Wanita berambut pirang itu mengulurkan tangannya, memberi gestur agar Martha menyerahkan jubahnya. Setelah Aurelia menerima jubah itu dan mengenakannya, ketika wanita itu mulai menyimpulkan kedua tali jubah, ia pun menerangkan maksudnya, "Aku terinspirasi untuk merenovasi ruang tamu untuk dijadikan galeri rumah. Untuk menerima tamu, kurasa bisa kulakukan di ruang kaca saja."
Kalimat itu membuat Martha membeku di tempat. Beruntung, pelayan tua itu berhasil menguasai dirinya dengan cepat. "Menerima tamu, my lady? Tamu keluarga ini… tamu asing dari Prussia?" konfirmasi ulang Martha.
Aurelia mengangguk mantap.
Sikap tersebut membuat kepala Martha mulai pusing. "Bukankah Anda kemari—pulang kemari—untuk istirahat total? Tanpa gangguan siapapun? Tapi sekarang Nona berpikir untuk menyambut tamu asing dari antah-berantah? Apa kata Tuan Besar nanti?" berondong Martha tak habis pikir.
Mendengar kalimat beruntun dari pelayan tuanya yang setia membuat Aurelia meringis, "Aku tahu, aku tahu. Hanya saja … bagaimana cara menjelaskannya? Aku punya firasat bagus tentang keluarga Prussia ini."
"Firasat bagus seperti apa yang Nona maksud?" soal Martha dengan nada lelah. Pelayan tua ini butuh penjelasan lebih dari sang nona kecil sebelum bisa memutuskan untuk membiarkannya atau melarangnya. Ia bertanggungjawab penuh pada jiwa dan raga Nona Aurelia. Jika tidak, Tuan Besar Richard akan murka, dan orangtua Nona Aurelia akan bangkit untuk menyeret Martha menemani mereka di liang lahat.
Pertanyaan dari Martha membuat Aurelia terdiam sejenak. Ia menyusun jawaban di dalam kepalanya dengan runtut. Baru setelahnya, ia mengungkapkan itu semua.
"Karena aku mendengar percakapan dari para pelayan dari keluarga itu. Mereka begitu bersemangat membahas bersih-bersih besar isi puri itu. Kalau tidak salah, itu karena nyonya besar mereka menjanjikan imbalan yang cukup besar jika mereka berhasil membersihkan puri itu sebelum keluarga itu tiba di sini," papar Aurelia. Kemudian, ia pun melanjutkan, "Kurasa, kebaikan nyonya besar keluarga dari Prussia ini layak dihargai dengan sambutan dari tetangga mereka."
Sesungguhnya, Martha bisa saja membiarkan Aurelia berkehendak sesuka hati. Sang pelayan tua bisa melakukan itu karena Martha tahu betapa keras kepalanya Aurelia untuk mengikuti kata hatinya. Ia telah mendampingi nonanya sejak masih belia, sehingga sudah mahfum dengan polah tingkah Aurelia. Hanya saja, ia butuh sedikit kejelasan lebih terkait ini.
"Tetangga? Bukankah rumah ini berjarak dua pucuk bukit dengan puri tua itu? Butuh kereta kuda untuk memangkas jarak antara rumah ini dengan puri tua itu, Nona," Martha mengingatkan.
"Kurasa jarak dua pucuk bukit itu bukan masalah," Aurelia mengibaskan tangannya, menepis kekhawatiran Martha yang berlebih. Melihat sikap sang nona yang sudah bertekad untuk melaksanakan niatnya, akhirnya Martha memutuskan untuk menyerah.
"Kalau begitu, akan saya siapkan alat tulis untuk persuratan Nona. Mohon tunggu sebentar," pamit Martha untuk membantu melaksanakan niatan Aurelia. Ia segera beranjak dari ruang tidur menuju ruang kerja tua yang dahulu digunakan ayahanda Nona Aurelia. Dalam perjalanan, sang pelayan hanya bisa menggelengkan kepala. Bisa meledak kepala tuanya kalau terus-menerus berhadapan dengan nona kecilnya yang meletup-letup penuh semangat seperti itu.
