Pemandangan di luar jendela berganti-ganti bagaikan presentasi lukisan dengan banyak ragam tema. Tema pertama, calon penumpang yang mondar-mandir di peron stasiun. Tema kedua, barisan pemukiman yang rapat dan padat di pinggir rel kereta api. Tema ketiga, perbukitan lapang dengan gerombolan domba mencari rumput. Tiga tema ini akan berotasi bagaikan roda kereta api yang dikayuh dengan tenaga batu bara, mengantri gilirannya tampil kembali di hadapan penumpang kereta api.

Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah arah destinasi: ke selatan negeri, ke arah ibukota.

Sudut mata Aurelia melihat gerakan seorang butler mendekatinya untuk menaruh nampan berisi tea set perak di meja samping. Sang nyonya besar dan Martha mengucapkan terima kasih kepada sang butler pada saat bersamaan. Setelahnya, Aurelia kembali mengalihkan perhatian ke arah jendela gerbong keretanya.

Nuansa gerbong kereta itu sangat sepi. Hanya ada dua penumpang di dalamnya, yakni Aurelia dan Martha saja. Suasana tersebut dapat dibangun karena saat ini gerbong kereta yang digunakan adalah gerbong kereta milik keluarga Jones, yang hanya dapat dinaiki oleh anggota keluarga Jones saja. Kekayaan yang dipupuk oleh keluarga ini sejak abad ke-18 membuat mereka mampu memiliki gerbong kereta khusus mereka saja, berikut juga dengan tim staf yang bertugas melayani keperluan para penumpang eksklusif ini selama perjalanan. Fasilitas ini termasuk langka di kalangan kelas atas; hanya keluarga kerajaan dan segelintir keluarga bangsawan yang melek keuangan yang mampu memiliki gerbong kereta khusus seperti yang dimiliki keluarga Jones.

Ketika Aurelia menyampaikan kehendaknya untuk kembali ke London pada Richard, suaminya mengirim balasan kalau ia tidak bisa menjemputnya sendiri di Yorkshire. Sebagai gantinya, Richard mengirimkan kereta dengan gerbong milik keluarga dan sepasukan staf yang telah diinstruksi untuk menjemput Aurelia. Bahkan, wanita itu tak perlu repot-repot mencari kereta kuda yang akan mengantarnya ke Stasiun Haworth karena kereta kuda plus staf penjemput yang diutus suaminya sudah siap menanti di halaman rumah untuk menjemput Aurelia dan Martha.

Ketika Aurelia hendak mendaki ke dalam kereta kuda, ia bisa melihat kalau kereta kuda yang akan dikendarainya sama persis dengan landau yang menjadi kereta kuda utamanya di London. Skala kenyamanan yang diberikan landau akan membuat perjalanan maha singkat Aurelia dari rumahnya menuju stasiun terjamin nyaman.

"Tuan Besar menitipkan surat ini untuk Nyonya," butler yang bertugas untuk menjemput Aurelia menyerahkan amplop berisi surat kepada sang penerima surat. Sang butler langsung kembali kepada sikap sempurna di samping pintu landau setelah menyerahkan surat tersebut. Mata Aurelia sedikit melebar tatkala membaca namanya sendiri yang ditulis dengan huruf bersambung khas suaminya.

"Terima kasih banyak," ucap Aurelia kepada sang butler, kedua mata hijaunya berkilauan bagaikan zamrud. Pasti berat bagi butler ini mengemban amanah seserius ini. Tugas sebagai kurir surat pribadi majikan adalah salah satu tugas krusial dalam karir seorang pelayan. Jika seorang pelayan mendapat tugas mengirimkan surat pribadi majikannya, itu artinya pelayan tersebut telah dipercaya oleh majikannya untuk menjadi wadah pertukaran informasi pribadi majikannya dan terbukti mampu menjaga rahasia majikannya.

Jika butler itu merasa tugasnya berat, ia tak menunjukkan hal itu. Sang butler itu hanya mengulas senyum profesional ke arah nyonya besar, membalas ucapan Aurelia dengan sopan sambil meminta nyonya besarnya dengan halus agar bergegas.

Beberapa saat kemudian, setelah Aurelia tiba di Stasiun Haworth dengan selamat dan menaiki gerbong kereta milik keluarganya, wanita itu baru sempat membuka isi surat dari Richard. Sembari membaca baris demi baris aksara yang tertulis di sana, Aurelia sempat membatin dalam hati kalau guncangan di dalam gerbong nyaris tidak terasa sehingga ia mampu membaca surat tanpa gangguan.

Yang terbatin di hatinya berhasil merebut perhatian Aurelia. Wanita itu mengangkat kepalanya dari lembar surat, lalu menoleh kanan-kiri ke sekelilingnya. Kedua matanya menyisir isi gerbong itu, mencari sesuatu yang tak dapat ia deskripsikan dengan kata-kata tapi dapat ia rasakan.

Butler yang tadi bertugas menjemput nyonya besar dan mengantarkan tea set terpantik rasa ingin tahunya karena ia melihat gerakan kepala nyonya besarnya yang tidak biasa. Ia segera berdiri dari posnya dan menghampiri Aurelia. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanya sang butler dengan santun.

Sang nyonya besar terlihat kaget melihat sang butler mendekat. Wanita itu hanya berdiri diam, menatap butler yang perhatian itu dengan tatapan kosong; refleksi dari kekagetan dan kebingungan. Aurelia tak menyangka kalau sikapnya tersebut akan dicermati oleh sang butler. Beruntung, sebelum kecanggungan terbit di antara keduanya, Martha yang sedari tadi diam memperhatikan nona kecilnya bertingkah ganjil memutuskan untuk membantu menerjemahkan maksud Aurelia kepada sang butler.

"Sepertinya Nyonya Besar penasaran dengan dekorasi gerbong ini. Aku sendiri tak pernah menaiki gerbong semewah ini," Martha membuka percakapan. Pita suaranya yang sudah dimakan usia terdengar serak dan diseret, membuat pelayan tua itu harus berbicara dengan lantang. Akibatnya, siapapun yang tidak terbiasa mendengar Martha bersuara akan merasa seperti dihantam badai vokal.

Butler malang itu berusaha sebaik-baiknya untuk terlihat tidak terpengaruh oleh suara Martha yang sangat keras. "Ah, jadi begini," mulai butler itu sampai menelan ludah, "Tuan Besar merenovasi gerbong ini agar bisa digunakan untuk pulang-pergi antara London dan Yorkshire secara rutin. Selain itu, gerbong ini juga dilapisi oleh peredam tambahan supaya Tuan Besar dapat bekerja di dalam gerbong tanpa gangguan."

"Pantas saja," Aurelia sepertinya puas setelah mendengarkan penjelasan dari sang butler. Kemudian, wanita itu menatap lurus ke arah mata butler itu. "Terima kasih atas penjelasannya, Stevens."

Kini, giliran butler bernama Stevens itu yang terlihat kaget. "Nyonya … tahu nama saya?" Stevens muda terperangah.

"Tentu saja aku tahu. Wajahmu seperti Stevens kami kalau dia masih remaja dan tidak berkumis," kekeh Aurelia. Memperhatikan bagaimana wajah Stevens muda ini merona, Aurelia pun mengajukan pertanyaan, "Apakah kau putranya?"

"Ya, Nyonya. Betul sekali."

"Baiklah, Stevens,"Aurelia memastikan kembali, "Kau sungguh tidak apa-apa kalau kupanggil dengan nama Stevens seperti ayahmu?"

Stevens muda itu menyeringai, "Sangat tidak apa-apa, Nyonya."

Aurelia menganggukkan kepala, menandakan berakhirnya percakapan. Stevens muda ini sepertinya mewarisi kepekaan ayahnya karena ia langsung kembali ke posnya. Tidak terlalu jauh agar bisa dipanggil dengan cepat, tidak terlalu dekat agar tidak berisiko menganggu privasi sang nyonya besar.

Martha sibuk menuangkan teh untuk dirinya sendiri saat Aurelia kembali duduk di kursinya. Teh hitam yang sudah dituang ke dalam cangkir kini diubah warnanya menjadi lebih terang oleh susu. Setelahnya, ia tidak menambahkan apapun lagi. Itu semua karena Martha menguping penjelasan dokternya nona kecil tentang efek samping konsumsi gula.

Sang pelayan tua itu menyeruput tehnya, tidak merepotkan diri menunggu asap yang mengepul dari teh mereda. Nyaris seketika, Martha meringis dan berdecak di saat bersamaan. Suara dari maid tua itu menarik perhatian Aurelia. "Kenapa, Martha? Tehnya terlalu panas?" tanyanya penuh perhatian.

Cangkir dan cawan diletakkan cukup keras di atas meja. Suaranya mengisi ruang gerbong yang minim penumpang itu dengan sangat nyaring. "Teh Yorkshire lebih enak daripada teh ini. Saya menyesal tidak membawa kotak teh saya sendiri dari rumah. Apakah semua orang di London minum teh ini, Nona? Kalau benar, saya sungguh menyesal karena lidah mereka tak pernah merasakan teh Yorkshire yang sangat enak," gerutu Martha berapi-api.

Ulasan Martha terkait teh terbaik yang disajikan kepadanya ditanggapi geli oleh Aurelia, "Itu karena orang-orang London lebih suka blended yang ringan, Martha. Selain itu, jenis air yang dipakai untuk menyeduh juga berbeda dengan air sumur kita, sehingga hasil seduhannya berbeda."

Martha mengerucutkan bibir, tidak peduli kalau sikapnya itu berpotensi menambah kerutan di wajahnya. "Kalau begitu, seharusnya saya juga bawa air sumur kita untuk perjalanan. Entah bagaimana nasibku nanti di London tanpa teh yang nikmat. Semoga saya tidak meninggal di tengah jalan," harap Martha dengan dramatis.

Perkataan Martha yang begitu suram hanya bisa dibalas oleh senyum kecut oleh Aurelia.

"Amin, Martha. Karena aku masih sangat membutuhkanmu," gumam Aurelia sembari menyeduh tehnya sendiri, sengaja mengabaikan ulasan buruk Martha tentang teh itu. Daun teh yang digunakan untuk minuman kedua wanita ini salah satu produk unggulan dari bisnis keluarga, sengaja ditujukan untuk konsumen yang menyukai seduhan tidak kental. Jika Martha tahu kalau teh yang ia cacati itu bisa tersesap olehnya karena pengaruh Richard, Aurelia khawatir opini Martha yang sudah rendah tentang Richard akan semakin anjlok.

Sesuai dugaannya, teh yang susah payah disiapkan oleh staf suaminya terasa ringan dan seimbang. Bagi lidah Martha yang lebih menyukai seduhan yang kuat dan kental, tentu saja gaya seduhan ini seperti teh hasil pengenceran empat kali. Tetapi bagi Aurelia, seduhan ini mengingatkannya kepada Richard dan anak-anak.

Membayangkan pertemuannya dengan anak-anak setelah sekian lama tidak berjumpa membuat wanita ini menandaskan tehnya tanpa sadar. Aurelia mencoba untuk menghapus bayangan itu meski hatinya memprotes. Anak-anak adalah dunianya, selayaknya dunia yang telah dipersiapkan untuk seorang istri dan ibu. Namun, Aurelia tidak hanya seorang istri dan ibu belaka. Ia juga seorang wanita dengan identitasnya dan kehendaknya yang independen dari dua hal itu.

Aurelia harus fokus pada tujuannya ke London kali ini, yakni membeli dekorasi oriental yang akan digunakan untuk merombak ruang tamu menjadi ruang pameran. Alasannya karena ruang tamu yang ada di rumah orangtuanya terlalu kecil dan area pencahayaan dari jendela ruang tamu kalah luas dengan ruang kaca yang ada di tengah bangunan rumah. Di dalam tas serutnya, Aurelia telah menyusun daftar keinginan berisi dekorasi dan hiasan apa saja yang menarik hatinya dari katalog chinoiserie dan japonaise yang dikirim suaminya dari Paris. Rencananya, Aurelia akan mengunci permanen jendela ruang tamu, menutupi keberadaannya dengan ornamen oriental yang akan ia beli, dan menyulap ruangan itu menjadi tempat dimana ia bisa memamerkan koleksi barang orientalnya.

Ia begitu bersemangat melakukan ini karena wanita itu tidak punya kesempatan untuk memamerkan koleksinya di London.

Setelah belanja furnitur dan dekorasi rumah, mungkin ia akan menyempatkan waktu untuk mengunjungi Crystal Palace lagi. Barangkali ada display tambahan di sana yang belum pernah ia tonton. Dari isi surat yang dikirimkan oleh William beberapa waktu yang lalu, ada beberapa pameran botani baru yang rutin diselenggarakan di sana. Mengenang bagaimana semangatnya putra sulungnya menceritakan pameran tersebut pada surat tersebut membuat Aurelia penasaran dan ingin melihatnya sendiri.

Sembari mengunjungi Crystal Palace, mungkin ia bisa mengajak putra dan putrinya ke sana. Pasti suasananya akan meriah dan menyenangkan. Aurelia bisa membayangkan William akan keluyuran sendiri untuk menonton pameran mesin pabrik, Grace mendampingi di samping sang ibu sambil menggandeng tangan Vivian, Arthur akan sibuk mengikuti kakak-kakaknya sembari membawa buku bacaannya, dan Colin tertidur lelap di dalam kereta bayi.

Setelah berbulan-bulan meninggalkan anak-anak, Aurelia menjalani hari sembari memelihara rindunya kepada mereka. Saling berkabar lewat surat tak mampu menyurutkan rasa rindu bercampur penasaran dan khawatirnya pada mereka. Memang tidak ada yang dapat menggantikan pelukan hangat hingga ia bisa mencium pucuk kepala dan aroma kanak-kanak yang mulai pudar dari tubuh William dan Grace tetapi masih pekat dari Arthur, Vivian, dan Colin.

Kedua tangannya meremas surat yang masih digenggamnya. Hanya membeli dekorasi dan mengunjungi anak-anak, itu saja fokusnya saat ini di London.