Chapter 10 and the second part of One Last Kiss is here! Enjoy, (non existent) readers~
Way to Love You
Rated: T
Disclaimer: Bleach and its characters respectfully belong to Tite Kubo, not me. Otherwise I wouldn't be here writing Bleach fanfics, would I?
Warning: Possible OOC, FLUFF OVERLOAD
"Orihime-chaaan! Menantukuuu~~" Isshin Kurosaki berlari, memberikan pelukan ke Orihime yang lalu merah padam. "Orihime-chan, dua minggu tanpa kehadiranmu membuat rumah kami menjadi suram... matahari tidak bersinar..."
Orihime tertawa, membalas pelukan Isshin, lalu melepaskannya. Ia bertukar pandang dengan Ichigo, yang ditafsirkannya bahwa ayahnya tidak tahu tentang berakhirnya hubungan mereka. "Maaf, Kurosaki-san, saudaraku dari Amerika pindah ke Jepang dan aku membantu mereka mengurus kepindahannya minggu lalu!"
"Orihime-chan, sudah berbulan-bulan aku bilang! Bukan Kurosaki-san! Panggil ayahmu ini papa Isshin! Papa Isshin!" seru Isshin mengacungkan jempolnya sambil merangkul Orihime, yang berdiri malu.
"Pa... papa Isshin," ujar Orihime ragu-ragu. Mata Isshin membulat dramatis berkaca-kaca.
Sebelum Isshin bisa menjawab, Ichigo memutar matanya dan memotongnya, "Orihime diganggu siswi-siswi di sekolah tadi. Apa kau bisa mengecek ada memar atau luka di badannya, oyaji?"
Chapter 10: One Last Kiss II
Ichigo dan Orihime kembali berjalan bersama dalam diam. Setelah Isshin memeriksa Orihime dan menemukan satu luka memar di perut, ia memberikan salep dan obat pereda nyeri, lalu memeluk Orihime sambil menangis dan mengutuk siswi-siswi yang melakukan ini kepadanya. Ichigo bersikeras untuk mengantar Orihime pulang, yang mau tidak mau diterima (dengan sukacita) oleh gadis itu. Mengucapkan selamat tinggal ke Isshin, Karin, dan Yuzu (yang sebenarnya memaksa mereka untuk makan malam di rumah), mereka beranjak ke apartemen Orihime.
Begitu Orihime membuka kunci apartemennya dan masuk ke dalamnya, Ichigo masih berdiri di depan pintu, terlihat ragu. Ia memandang Orihime dengan sayu, namun gadis itu tersenyum dan menarik pergelangan tangan Ichigo lembut, "Ayo, Kurosaki-kun, di luar semakin dingin. Silahkan duduk, aku akan membuat makan malam yang normal, hehe."
Menyiapkan bahan-bahan makanan dari kulkas, Orihime mengamati Ichigo yang duduk di kursi meja makannya. Lelaki berambut oranye itu melihat ke sekeliling ruangan apartemen Orihime, dan saat pendangan mata mereka bertemu, ia tersenyum canggung, lalu menunduk dan mengambil buku pelajaran di tasnya. Orihime beranjak ke kamar tidurnya dan berganti baju. Setelah menyajikan teh ocha hangat di meja makan dan memutuskan untuk tidak mengganggu Ichigo yang sedang belajar, Orihime mulai memasak. Di sisi lain, pikirannya masih bertanya-tanya tentang apa yang ingin disampaikan Ichigo.
Makan malam sudah hampir siap disajikan ketika tiba-tiba Ichigo berdiri dan menuju ke konter dapur dimana Orihime sedang memasak, dan mengamatinya. Orihime merasakan pandangan Ichigo di belakangnya, berbalik melihat mata light brown lelaki yang sangat disukainya.
"Aku ingin jujur tentang... kita, Orihime."
"Tentang kita? Maksudnya, tentang kenapa Kurosaki-kun tidak ingin berpacaran denganku lagi?" jawab Orihime datar, mencoba sebisa mungkin agar intonasinya tidak terdengar sedih atau marah.
Ichigo mengangguk, "Bisakah kau... tidak memanggilku Kurosaki? Seperti... biasa?"
Permintaan Ichigo tidak mengagetkan Orihime, yang sudah sedari tadi menyadari Ichigo tidak lagi memakai nama keluarganya untuk memanggilnya—dan kembali memanggil Orihime dengan nama kecilnya. Gelembung kebahagiaan muncul di dalam hatinya, dan ia menjawab Ichigo dengan senyuman yang paling lebar, "Tentu saja, Ichigo-kun."
Senyum Ichigo merekah mendengar namanya kembali mengalir dari bibir gadis di depannya. Melihat ke Orihime yang kembali berkutat di depan kompor, lelaki itu kembali ke meja makan. Ia bertanya, "Aromanya enak, apa menu kita malam ini?"
Orihime merona, dan dia bersyukur sedang memunggungi Ichigo yang tidak dapat melihat warna di wajahnya. Ichigo-kun menanyakan pertanyaan itu seperti sudah berkeluarga denganku dan bertanya menu untuk makan malam hari ini, pikirnya, rona merah di wajahnya semakin intens. Orihime mulai memainkan skenario-skenario di pikirannya tentang married life dengan Ichigo.
"Orihime...?"
Gadis yang dipanggil tersentak kaget, terbuyarkan dari lamunannya. Ia menengok ke arah Ichigo yang sedari tadi masih menunggu jawabannya, namun senyum tipis tersungging di wajahnya, mengerti bahwa Orihime sedang melamun. "Ichigo-kun sangat menyukai oyakodon buatanku, kan? Dan karena suhu sudah semakin dingin, aku juga masak sup miso untuk menghangatkan badan... apakah cukup, Ichigo-kun? Sebentar lagi sudah selesai~" timpal Orihime riang.
(a.n: Oyakodon adalah masakan Jepang; ayam, bawang bombay, dan bahan-bahan lainnya dicampur dengan campuran kuah miso dan telur, lalu disajikan di atas nasi.)
Wajah Ichigo bersinar ketika mendengar Orihime memasak oyakodon. Terlepas dari preferensi makanannya yang aneh, Orihime adalah juru masak yang cukup handal ketika dia memilih untuk memasak makanan yang kombinasi bahan-bahannya dapat diterima sebagian besar orang. Salah satu menu favorit Ichigo yang biasa dimasak oleh Orihime adalah oyakodon. Meskipun cara pembuatannya cukup sederhana, Ichigo selalu merasa oyakodon buatan Orihime adalah yang terenak dan sangat mirip dengan buatan mendiang ibunya. Dengan kata lain, menikmati oyakodon buatan Orihime membuatnya bahagia.
"Ekstra telur? Estra shichimi?" tanyanya bersemangat. Orihime menggangguk, mengacungkan jempolnya, lalu kembali memasak.
Beberapa menit kemudian, oyakodon dan sup miso untuk makan malam mereka sudah siap disajikan, dan Ichigo membantu Orihime membawa semuanya ke meja makan. Baru menyadari bahwa mereka berdua sangat lapar setelah kejadian-kejadian tadi, kedua remaja itu mulai makan dengan lahap. Ichigo menahan diri untuk tidak tertawa geli melihat Orihime menambah oyakodon-nya dengan wasabi sebanyak mungkin.
"Ngomong-ngomong, anak kecil siswa baru itu, benar-benar kerabatmu?" Ichigo memulai pembicaraan ringan sambil menikmati oyakodon buatan Orihime.
Orihime mengangguk, "Iya, Ichigo kun! Apa kau ingat sepupu Sora-nii yang aku panggil bibi karena jauh lebih tua?"
Mata Ichigo berkelana selama beberapa detik, mencoba mengingat-ingat. "Sepupu yang tinggal di Amerika? Walimu?"
"Benar, hehe. Seperti yang aku bilang ke Kurosaki-san tadi, mereka pindah dari Amerika ke Jepang. Toshiro adalah anak Bibi Rangiku dan Paman Gin," ia menjelaskan ke Ichigo, yang mengangguk mengerti. Mereka melanjutkan makan malam mereka.
Setelah beberapa puluh menit menghabiskan makanan mereka (dan Ichigo yang meminta tambah satu porsi oyakodon lagi, diringi dengan tawa Orihime), piring dan mangkuk yang disajikan di meja sudah kosong. Orihime menaruh sisa sup miso di kulkas untuk sarapan esok pagi, sementara Ichigo mencuci piring dan peralatan masak yang tadi dipakai. Ini seperti rutinitasku dengan Ichigo setiap dia datang ke apartemenku saat kami masih bersama, batin Orihime bahagia. Apakah Ichigo-kun mengubah pikirannya?
Setelah itu, Ichigo dan Orihime duduk bersebelahan di sofa apartemennya dengan sepiring puding cokelat tersaji di depan mereka, namun belum ada yang menyentuhnya. Orihime mengamati Ichigo yang mulai terlihat kebingungan, seperti sedang mencari kata-kata.
"Ichigo-kun? Jadi, ingin menyampaikan apa?"
"Orihime... uh..." pandangan Ichigo kini terfokus ke puding cokelat di pangkuannya. "Maaf... aku memutuskanmu secara sepihak."
Orihime merasakan gelembung harapan yang sejak tadi melambung semakin besar mulai mengecil kembali. Setelah semua yang mereka lalui sejak siang tadi, dan cara Ichigo memperlakukannya, ternyata dia tetap menganggap hubungan mereka sudah berakhir. "K-kita setuju satu sama lain, kan, Ichigo-kun! Tidak sepihak, kok."
Melihat ekspresi Orihime yang berubah menjadi lebih gelap, Ichigo menarik napas, berusaha membentuk kalimat yang ada di pikirannya, "Aku sudah pernah cerita padamu kalau aku ingin masuk Osaka University Medical School saat kita lulus nanti, kan, Orihime?"
"Hmm? Biar aku ingat-ingat, sepertinya Ichigo-kun sudah memberitahuku lima ratus kali," canda Orihime, lebih berusaha menghibur dirinya. "Osaka U Med School mempunyai Rumah Sakit Kanker dan Pusat Studi Kanker terbaik di Jepang, Orihime!" Ia berusaha menirukan Ichigo, dengan kerutan di alisnya dan ekspresi serius dari pria berambut oranye itu.
Ichigo tertawa, tangannya meraih ke arah Orihime dan mengacak rambutnya lembut. "Betul sekali. Tentang itu... ayahku bilang, bahwa dengan Yuzu dan Karin, jika aku diterima di Osaka U Med School, dia tidak bisa menyokong semua tuition-nya."
"Apakah karena biaya kuliahnya mahal sekali, Ichigo-kun?"
"Mahal yang tidak masuk akal sama sekali, Orihime. Bayangkan, delapan ratus ribu yen untuk satu semester!" jawab Ichigo, tidak bisa menyembunyikan rasa frustasi di kalimatnya. "Karena itu, aku harus mendapatkan beasiswa full-ride atau partial. Dan dari rekam jejak lulusan tahun-tahun sebelumnya, penerima beasiswa itu harus lulus Sentā Shiken dan Niji Shiken—tentu saja—yang aku cukup percaya diri nantinya, dan harus ada di paling tidak rata-rata dua besar dari seluruh angkatan sampai kelulusan, dimana aku sekarang tidak."
"..."
"Jadi, aku rasa aku harus mengesampingkan hal-hal pribadi dan fokus, karena... itu adalah tujuan terbesar dalam hidupku..." suara Ichigo mengecil, kehilangan kosa kata yang dapat diungkapkannya.
Hening.
Orihime mengamati lelaki di sampingnya yang kini menunduk melihat puding cokelat di depannya dan mulai makan sesendok demi sesendok dari puding itu dan menghabiskannya. Entah karena masih lapar atau hanya menyibukkan diri dari keheningan yang mereka berdua ciptakan, atau karena memang menyukainya. Ia tahu bahwa cokelat adalah salah satu makanan kesukaan Ichigo, seperti lelaki itu menyukai oyakodon buatannya. Setelah melihat Ichigo saat makan malam mereka tadi, Orihime menyimpulkan dengan memberi Ichigo makanan yang dia sukai dapat membuat lelaki itu lebih rileks dan mudah untuk membuka dirinya.
"Ibumu... meninggal karena kanker dan kau tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama, Ichigo-kun."
Mata light brown Ichigo membesar, sedikit kaget karena Orihime dapat mengetahui persis apa yang akan—ingin—dikatakannya. Ia menaruh sendok pudingnya di piring, menaruhnya di atas meja dan memandang mata indah kelabu yang sungguh disukainya. Meskipun tidak disadari lelaki itu, Orihime tahu maksud Ichigo; menjadi seorang dokter—dokter onkologi, lebih tepatnya—adalah tujuan hidup Ichigo yang terbesar.
"B-benar. Entahlah, it's just—setelah beberapa waktu memikirkannya, berpacaran adalah salah satu dari banyak distraksi yang ingin aku hindari untuk saat ini. Bukan berarti kau mengganggu konsentrasiku, Orihime—tapi rasanya—jalan kita masih panjang dan sepertinya berpacaran bukan hal yang... ideal untuk dilakukan saat SMA—menurutku," terbata-bata, Ichigo mencoba merangkai kalimat demi kalimat yang sudah berminggu-minggu tertahan di dalam dirinya.
"Aku—aku pikir meninggalkanmu dengan tiba-tiba dan sepihak b-bisa membuat rasa bersalah dan determinasiku lebih besar dari perasaanku—tapi sepertinya aku gagal total."
Ia memandang Orihime lekat-lekat, yang kini ekspresinya bercampur antara senang, sedih, dan bingung. Ia merasakan mata kelabu Orihime menatap dalam ke matanya, mencoba mencari maksud dari perkataan lelaki itu. Menarik napas panjang, ia kembali mencoba untuk mengutarakan pikirannya dalam kata-kata. Satu hal yang jarang dapat dilakukannya; salah satu kelemahan terbesarnya.
"Perasaanku kepadamu masih sangat kuat. Saat... Tatsuki, d-dan... saat melihat fotomu dengan si Biru Senin kemarin terasa... sangat menyakitkan. Aku mendengar teman-teman di kelas menggodamu dengannya sejak minggu lalu, dan seiring dengan berjalannya hari, semakin sulit untuk membendung... itu. Aku mendatangi apartemenmu sejak hari Senin, namun baru berani mengetuk pintumu hari ini dan yang aku temukan hanya Jekjek dengan muka menyebalkannya yang berkata kau belum pulang. Aku lupa hari ini adalah jadwal piketmu."
Membendung... kecemburuan? Ichigo-kun cemburu? Memendam perasaan? Memendam apa? Gelombang kehangatan menjalar ke sekujur tubuh Orihime. Gelembung harapan yang tadi mengecil dan hampir menghilang, kini kembali membesar, lebih besar dari sebelumnya. Gadis itu memakan sesuap puding cokelatnya dan berusaha bersikap tenang meskipun setiap sel dalam tubuhnya sedang menari-nari bahagia, "Menyakitkan, Ichigo-kun? Bahkan lebih menyakitkan dari pukulan Tatsuki-chan beberapa hari lalu?"
"Uh, itu tersakit kedua setelah debut majalah dindingmu dengan Jekjek," mereka berdua tertawa. Orihime menyelesaikan pudingnya, lalu menaruh piringnya di meja seperti Ichigo. Ia sedang akan meraih remote televisi di meja ketika Ichigo menaruh tangannya di atas tangan Orihime, mengelusnya pelan. Gadis itu menoleh, sedikit merona.
Ichigo memandang Orihime, ragu-ragu dengan apa yang akan dikatakannya, "Orihime... tidur di pangkuanmu... seperti dulu?"
Permintaan tiba-tiba lelaki di depannya sedikit tidak disangka Orihime, namun senyum kembali merekah di wajahnya, "Tentu saja, Ichigo-kun. Sebentar." Gadis itu melepaskan tangan Ichigo dan bergeser ke ujung sofa, sementara Ichigo meluruskan badannya di sofa dan menaruh kepalanya di pangkuan Orihime. Ichigo dapat mencium aroma rambut Orihime yang terurai di dekat wajahnya, aroma manis peachy vanilla yang khas; salah satu dari banyak hal yang ia sukai dari gadis itu. Ia menghirupnya, menikmati aroma itu sampai kepalanya terasa lebih ringan.
Orihime mulai perlahan mengelus rambut oranye Ichigo, yang meskipun terlihat berantakan dan tidak teratur—sangat lembut. Ia merasakan pria itu yang tadinya sedikit tegang, perlahan mulai rileks dan menutup matanya. Sambil terus merasakan tangan halus Orihime mengelus rambutnya, pikiran Ichigo mendarat di saat pertama kali mereka berada dalam posisi ini.
Flashback
"Aku tidak mengerti kenapa kita harus menghapalkan klasifikasi jamur!" Ichigo berseru frustasi di meja makan Orihime, menarik rambutnya. Di depannya, buku biologi dan rangkuman yang telah dibuatnya tergeletak sedih bersama makanan kecil. "Siapa yang peduli kalau bakteri untuk membuat wine punya nama se-sulit Saccharomyces cereviseae!"
Gadis berambut auburn di sisi lain meja tertawa, "Nama latin dan klasifikasi memang paling menyebalkan. Sekarang, Saccharomyces cerevisae termasuk dalam jenis jamur apa, Ichigo-kun?"
"Uh..." mata coklat Ichigo berputar-putar, menandakan lelaki itu sedang berusaha mengingat. "Zygomycota."
Orihime diam, memandang Ichigo dengan tatapan bercanda.
"Shit. Salah, kan? Ascomycota, ya, Orihime?"
"Iya, ascomycota," Orihime terkikik ketika Ichigo mengerang putus asa dan menaruh kepalanya kasar di atas meja.
"Sepertinya aku menyerah untuk ujian besok. Aku benci klasifikasi makhluk hidup," erang Ichigo sembari terus melekatkan dahinya di meja, mengacak rambutnya yang sudah berantakan karena jambakannya tadi.
Orihime terdiam, mengamati lelaki di depannya, "Ichigo-kun, dulu Sora-nii punya cara ketika aku sedang mengalami kesulitan belajar atau menghapal."
Sedikit mengangkat kepalanya dari atas meja, Ichigo memandang Orihime, "Huh? Bagaimana?"
Orihime berdiri, menuju ke arah sofa. Ia mengisyaratkan Ichigo untuk mengikutinya, "Bawa buku dan rangkumanmu, Ichigo-kun."
Lelaki itu sedikit kaget, namun berdiri dan berjalan ke sofa ragu-ragu. Setelah dia duduk di sofa, Orihime bergeser ke ujung sofa dan menepuk pahanya, menatap Ichigo. Wajah gadis itu sedikit memerah, dan Ichigo hanya bisa duduk dengan kaku di sisi lain sofa, bingung dengan isyarat Orihime. Meskipun merasakan wajahnya perlahan mulai semakin panas, dengan intonasi yang tenang gadis itu mulai berbicara.
"Ichigo-kun, letakkan kepalamu di sini," ia menepuk pahanya.
Hening.
"T-tidak apa-apa?" lelaki itu terbata, wajahnya kini sama merahnya. Melihat anggukan Orihime, ia perlahan mulai berbaring di sofa dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan Orihime ragu-ragu. Seperti dugaannya, pangkuan kekasihnya sangat lembut, dan dia dapat menghirup aroma shampoo Orihime. Dia berusaha untuk mengabaikannya, namun matanya mengkhianatinya: dada Orihime berada kurang dari tiga puluh sentimeter dari hidungnya, dan dia dapat merasakan wajahnya yang sudah panas bertambah semakin panas, semburat merah muda di wajah dan lehernya kini berubah menjadi merah gelap. Jantungnya yang sudah berdetak kencang kini berdetak semakin tidak karuan.
Kalau para anak laki-laki di sekolah tahu, aku bisa mati dihajar mereka, pikir Ichigo.
Berusaha menjauhkan pikirannya dari aset kekasihnya, Ichigo menutup matanya dan fokus ke aroma peachy vanilla shampoo Orihime. Beberapa saat kemudian, ia merasakan tangan Orihime mengelus rambutnya pelan, membuat bulu kuduknya berdiri.
Aku mengelus rambut Ichigo-kun! Ichigo-kun tidur di pangkuanku! Seru Orihime histeris dalam hati, mencoba untuk tidak ikut berteriak secara fisik. Warna merah kini menjalar tidak hanya di pipinya, namun di seluruh wajahnya. Mengingatkan dirinya mengapa dia meminta Ichigo berada dalam posisi itu, Orihime mencoba menenangkan diri dan mulai menjelaskan.
"Jika aku memiliki materi yang cukup sulit, Sora-nii menyuruhku untuk berbaring di pangkuannya," kata Orihime dengan suara yang sedikit bergetar, sambil terus mengelus rambut Ichigo. "Da lalu menyuruhku membaca materinya sebanyak tiga kali, sambil mengelus kepalaku. Setelah itu, Sora-nii akan menanyakan materinya dan aku menjawabnya sambil menutup mataku. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan ini setiap hari..."
Ichigo terdiam, membuka matanya dan bertemu iris kelabu Orihime. Ia tahu jika membicarakan kakak Orihime yang telah meninggal bagi Orihime sama sulitnya seperti dirinya membicarakan mendiang ibunya; mereka kehilangan keduanya di umur yang masih belia. Ichigo masih memiliki ayah dan adik-adiknya, tetapi Orihime tidak memiliki dan mengenal siapapun kecuali sepupunya yang tinggal di Amerika. Namun Orihime menceritakan bahkan mempraktekkan salah satu memori yang dimilikinya tentang kakaknya kepada Ichigo, dan lelaki itu merasakan gelombang kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya. Dia percaya kepadaku, pikirnya.
"Nah, aku juga akan membaca materi kita untuk besok, dan Ichigo-kun juga membacanya. Setelah itu, kita tanya jawab, bagaimana?" ucap Orihime riang, sambil terus mengelus rambut Ichigo. Kekasihnya tersenyum, merilekskan badannya di sofa dan mengambil buku yang terletak di perutnya.
"Terima kasih, Orihime."
End of Flashback
"... karena keluarga Bibi Rangiku sempat menginap disini selama hampir satu minggu, Ichigo-kun," Ichigo tersentak, membuka matanya, kembali dari kilas baliknya dan menemukan Orihime sedang berbicara kepadanya. Ia memandang Orihime yang balik memandangnya, tangannya berhenti mengelus rambutnya.
"... maaf?"
Gadis di atasnya tertawa, tangannya kembali mengelus rambut Ichigo yang wajahnya terlihat sedikit kebingungan, "Sepertinya Ichigo-kun tadi ketiduran, ya? Aku tadi meminta maaf kalau apartemenku sedikit berantakan tapi terasa lebih lapang karena keluarga Bibi Rangiku sempat menginap disini selama hampir satu minggu."
Ichigo mengedip beberapa kali, "Oh, mereka sempat tinggal disini?"
Orihime mengangguk, "Iya, mereka belum mendapatkan rumah yang pas dan memutuskan untuk menginap disini sampai hari Minggu kemarin pindah ke rumah baru. Sejak hari Senin, aku juga pulang bersama Shiro-chan kesana... dan baru pulang di malam hari, jadi aku belum sempat berberes. Maaf ya, Ichigo-kun."
"Aku tidak merasa berantakan. Apa kau lupa kamarku?" canda Ichigo, diiringi tawa Orihime. "Aku membuat keputusan yang tepat tidak mengetuk pintu apartemenmu sebelum hari ini, berarti."
Tangan Ichigo meraih jemari Orihime yang sedang bermain di rambutnya, mengelusnya lembut. Orihime merona, menutup matanya dan merasakan sentuhan Ichigo di tangannya.
"Orihime, kau belum pernah memberitahuku rencanamu saat kita lulus nanti," ujar Ichigo lembut, membuat Orihime membuka matanya perlahan. Gadis itu terdiam, menatap iris light brown Ichigo yang memancarkan kehangatan. Ia menarik napas, melepaskan pandangannya dari Ichigo dan menerawang. Tangan mantan kekasihnya kini beralih dari jemarinya ke rambutnya yang terurai, memainkan helai auburn-nya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, dan Orihime membuka mulutnya, "Sora-nii berumur delapan belas tahun saat membawaku pergi dari rumah. Dia pergi dari Tokyo, kota asal kami, kesini; takut mereka akan menemukan kami dan melakukan hal-hal yang lebih buruk."
Lelaki di pangkuannya mengangguk kecil, "Iya. Maaf..."
Orihime tersenyum tipis, "Kenapa minta maaf, Ichigo-kun? Saat itu, Sora-nii baru saja lulus SMA dan ingin melanjutkan studinya ke bangku kuliah, namun melepaskannya karena menurutnya hidup berdua denganku sambil belajar di universitas dan bekerja tidak akan mungkin dilakukan. Jadi, dia memakai semua uang yang sudah dikumpulkannya diam-diam sejak berumur tiga belas tahun untuk pergi kesini denganku dan mencari pekerjaan."
Tangan Ichigo berhenti memainkan helai rambut Orihime, kini menatap wajah gadis di atasnya dengan sendu. Masih dengan pandangan menerawang, Orihime melanjutkan. "Dulu Sora-nii pernah bercerita padaku bahwa dia ingin menjadi seorang kensatsu-kan*. Dia juga sudah lolos Sentā Shiken di Tokyo U; namun karena harus membesarkanku dan bekerja, Sora-nii tidak mengambil kesempatan itu. Sejak Sora-nii sudah tidak ada lagi di dunia ini... aku rasa aku ingin melanjutkan mimpinya dan pergi ke universitas yang dia lepaskan... demi aku."
(*Kensatsu-kan: prosecutor; jaksa)
Mata Ichigo terpaku melihat Orihime setelah mendengarkan ceritanya. Sama seperti hari dimana ia memutuskan untuk menyatakan perasaan kepada gadis di atasnya, lelaki itu terpana dengan kecantikannya. Bahkan di balik wajah sedih dan penuh kerinduan Orihime saat bercertia tentang kakaknya seperti ini, wajahnya tetap memesona. Kulit ivory-nya masih terlihat lembut dan bersinar. Rambut auburn-nya masih berkilau; dengan aroma yang sangat disukai Ichigo. Iris kelabunya yag menatap sedih masih berbinar memantulkan cahaya dengan indah.
Orihime and her selflessness, again, pikir Ichigo. Bahkan dalam menentukan masa depannya, Orihime selalu mementingkan orang lain di atas dirinya sendiri. Sangat mudah untuk melihat mengapa Orihime memiliki begitu banyak pengagum laki-laki dan perempuan—dan Ichigo merasa beruntung karena gadis itu bersama dengannya, bukan dengan orang lain.
"Apakah kau benar-benar ingin? Atau hanya karena mendiang kakakmu?" tanya Ichigo hati-hati.
Orihime kembali menatap Ichigo, yang tidak menyangka mata gadis itu sudah kembali berbinar, "Eh, karena Sora-nii tidak bisa menjadi kensatsu-kan, dia sering menonton acara televisi dan film bertema hukum dan kriminal, jadi aku juga menikmatinya! Mungkin karena itu aku juga secara tidak sadar memiliki tujuan yang sama, Ichigo kun?"
"Oh, iya juga. Aku dulu kaget karena tidak banyak anak perempuan yang suka menonton NCIS, dan tiba-tiba kau bilang acara televisi kesukaanmu selain acara komedi adalah NCIS," jawab Ichigo, tertawa. "Jadi? Faculty of Law Tokyo U?"
Orihime terdiam, matanya kembali menerawang. Menghela napas panjang, gadis itu mulai berbicara, "Aku tidak yakin, Ichigo-kun. Bibi Rangiku dan Paman Gin adalah waliku, dan mereka memegang uang warisan, ganti rugi, dan uang asuransi dari Sora-nii yang tiap bulan diberikan secukupnya kepadaku untuk sewa apartemen dan biaya hidup... dan akan diberikan seluruhnya ketika aku berumur delapan belas tahun jika masih bersisa. Aku tidak yakin... meskipun nantinya aku akan memiliki cukup uang, namun sepertinya tidak cukup untuk biaya kuliah."
"..."
"Dan aku tidak cukup pintar untuk mencari beasiswa full-ride seperti Ichigo-kun."
Ichigo mengedip tidak percaya, merasakan wajahnya memanas karena kesedihan setelah mendengar cerita mantan kekasihnya. Dia bangkit dari pangkuan Orihime dan menatap iris kelabu gadis itu dan berkata dengan nada pelan tapi pasti, "Kau menempati peringkat empat dari seluruh angkatan semester lalu. Tidak cukup pintar? Aku akui aku bodoh membawa peringkat sebagai alasan kita untuk tidak bersama lagi, tapi aku juga tidak akan ada di posisi saat ini kalau bukan karena bantuanmu, Orihime."
Dia menarik kaki Orihime ke atas sofa, meluruskan kaki gadis itu di antara pangkuannya sehingga Orihime kini duduk menyamping menghadap Ichigo. Tangan lelaki berambut oranye itu mengenggam kedua bahu Orihime, memandang iris kelabunya lekat-lekat. Mencoba mengabaikan detak jantungnya yang tidak karuan karena jarak keduanya yang semakin berbahaya, Ichigo berkata, "Kita akan cari bersama program beasiswa untuk jurusan yang kau inginkan, dan kau harus tetap mengikuti Sentā Shiken dan Niji Shiken nanti, apapun yang terjadi. Setuju? Jika memang itu adalah mimpimu, dan dengan itu kau juga bisa turut menghormati mendiang Sora Inoue... perjuangkan, Orihime."
Di bawah tatapan intens manik mata light brown Ichigo yang selalu disukainya, Orihime terdiam. Entah karena jarak mereka yang terlalu dekat, atau karena tangan besar Ichigo menggengam erat bahunya yang membuatnya merasa aman, atau karena jantungnya yang berdebar mengalirkan darah lebih cepat ke wajahnya—membuat warna wajahnya menjadi merah padam.
Atau karena semua yang dikatakan Ichigo membuatnya ingin meneteskan airmata bahagia.
Ichigo-kun menyuruhku untuk terus berjuang...
"Orihime..." ucap Ichigo lirih, kebingungan karena tidak mendapatkan respon apapun dari gadis di depannya.
Orihime tersenyum, mengangguk. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya, "Terima kasih, Ichigo-kun, terima kasih... sudah percaya kepadaku."
"Aku percaya kepadamu, karena Orihime Inoue adalah seorang gadis yang sangat kuat. Aku... hanya tidak ingin memperkeruh keadaan ke depannya dan hanya ingin kita fokus terhadap satu tujuan besar di dalam hidup kita masing-masing. Dan setelah itu," tangan Ichigo beralih dari kedua bahu Orihime, menggengam kedua tangan gadis itu lembut. "Aku bisa kembali ke tujuan besar lainnya, go back where I belong."
"Ichigo-kun," gadis itu menatap Ichigo, tidak dapat berkata-kata dengan mata berbinar. "'Go back where I belong'... maksudnya, denganku?"
Lelaki itu mengangguk, tersenyum malu, namun genggaman tangannya di tangan Orihime menguat. "Tapi tidak sekarang. Aku ingin kita bisa mengembangkan diri masing-masing, dan kau... bisa melebarkan sayapmu lebih jauh dan lebih tinggi tanpa ada yang menahanmu. Tanpa aku yang menahanmu."
"..."
"Jika nantinya kau menemukan orang lain yang kau rasa lebih berhak memiliki hatimu, atau tetap memilihku, I'd still be happy for you either way, and I'm sorry."
Perasaannya campur aduk mendengar kalimat terakhir Ichigo. Ia melepaskan satu tangannya dan mengelus pipi Ichigo lembut, "Ichigo-kun, tidak apa-apa, tidak ada yang harus dimaafkan. Terima kasih telah memberitahuku semuanya, menjelaskan alasan kenapa kau menjadi seperti orang lain sejak beberapa minggu yang lalu dan tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita."
Ichigo menutup matanya, merasakan kehangatan tangan mungil Orihime di wajahnya. Ia kemudian membuka matanya, bertemu dengan iris kelabu Orihime yang masih menatapnya lembut. Sama seperti sejak pertama kali mereka bertemu, mata kelabu indah itu menyimpai berbagai emosi; kesedihan, kebahagiaan, sedikit amarah; namun tetap berbinar indah, membuat Ichigo selalu merasakan perasaan baru saat menatap mata Orihime. Satu tatapan, lelaki itu menemukan dirinya jatuh lagi dan lagi.
"Aku menyayangimu, Orihime," tanpa disadarinya, Ichigo berkata lirih. Orihime sedikit tersentak mendengar mantan kekasihnya yang tidak pernah secara verbal menyatakan perasaannya, namun kemudian tersenyum dengan mata berkaca-kaca, tidak dapat menahan kebahagiaannya. Ichigo, melihat Orihime menangis, bergetar panik dan meraih wajah gadis itu, menghapus air mata di bawah matanya dan pipinya. Namun Orihime hanya menatapnya dengan senyum yang paling lebar yang penah dilihatnya.
"Ichigo-kun... bodoh. Aku juga menyayangimu," jawab Orihime sedikit terisak. Ichigo tertawa canggung, menarik Orihime untuk bersandar di bahunya dan mengelus punggungnya. Dari bahunya, gadis itu melanjutkan, "Jangan bersikap seperti orang asing, ya, Ichigo-kun. Tetap menjadi Ichigo Kurosaki yang... aku kenal."
Kini mengelus rambut Orihime pelan, Ichigo mengangguk, "Tentu saja. Bersikap seperti itu... membunuhku. Tidak lagi. Dan datanglah makan malam ke rumahku satu-dua minggu sekali, boleh? Untuk Yuzu dan Karin... yah, dan oyaji."
Tertawa kecil, Orihime mengangguk, "Tentu saja. Tapi tidak bisa setiap minggu, karena aku juga berjanji akan menghabiskan setiap akhir minggu di rumah Bibi Rangiku. Tidak apa-apa, Ichigo-kun?"
Gadis itu mendongak dari bahu Ichigo, namun lelaki itu tidak menjawab. Mereka terdiam, berpandang-pandangan; kelabu dan cokelat bertemu. Menunduk, semakin menutup jarak antara kedua wajah mereka, Ichigo mengalihkan pandangannya ke bibir Orihime. Tangannya kini menangkupkan wajah mungil Orihime, ibu jarinya membelai pipi gadis itu perlahan. Dalam jarak ini, Ichigo mengamati banyak hal yang baru disadarinya; iris kelabu Orihime yang ternyata memiliki sedikit semburat cokelat di tengahnya, freckles yang terlihat samar namun menambah pesona wajahnya yang merona, dan bibirnya berwarna merah muda, sedikit basah terkena air matanya. Ichigo mengusap air mata dari bibir gadis itu. Rona merah naik ke kedua wajah mereka, namun keduanya tidak mengalihkan pandangan.
Perlahan, Ichigo berbisik, "Orihime... one last kiss? Sebelum kita berpisah?"
Di antara detak jantungnya yang kini berdentum tidak karuan sampai ke telinganya, Orihime dapat merasakan wajahnya semakin panas, dan tidak berani memikirkan betapa merahnya kedua pipinya saat ini. Yang ia lihat hanyalah hangatnya kedua mata Ichigo yang memandangnya dalam, dan bisikannya yang terdengar jelas seperti lelaki itu meneriakkannya di telinganya. Tidak menjawab, Orihime perlahan menutup kedua matanya dan sedikit membuka kedua bibirnya, memberikan persetujuannya dalam diam.
Ichigo tersenyum, semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Orihime dan turut menutup matanya. Bibir mereka bertemu, dan untuk beberapa saat, diam merasakan kehangatan dan kelembutan satu sama lainnya. Perlahan, Ichigo memiringkan kepalanya, mengecup bibir Orihime lembut. Orihime membalas kecupan itu perlahan, tangannya menggenggam kemeja Ichigo erat, sedikit memelintirnya. Ia dapat merasakan Ichigo tersenyum, dan ikut tersenyum. Setelah beberapa saat, mereka menarik wajah dari satu sama lain dan berpandangan tanpa kata. Ciuman itu singkat, manis, dan suci.
Ciuman pertama mereka.
Ciuman terakhir mereka.
Untuk saat ini.
Ichigo kembali menarik Orihime ke bahunya dan Orihime bersandar tenang di dada lelaki itu.
"Good luck, Mr. Oncologist," kata Orihime pelan, memainkan jemarinya di dada Ichigo.
Tertawa, Ichigo menjawab, "Good luck juga, Nona Jaksa."
Orihime mengangguk, masih menikmati kehangatan pelukan Ichigo, "Terima kasih untuk hari ini, untuk membelaku dari gadis-gadis itu... dan... terima kasih untuk semuanya, Ichigo-kun.
"Apapun yang terjadi, jangan lupakan aku, ya, Orihime."
"Iya, Ichigo-kun! Kita kan satu kelas, tentu saja aku tidak akan melupakanmu."
"... iya juga."
CHAPTER 10 IS DONEEEEE! To be goddamn honest, this chapter is the hardest to write. I don't know if I portray their feelings quite clearly, but I hope you can enjoy reading it~ and the kissing scene is not hot because: 1. They are underage, DUH. 2. It was supposed to be a chaste kiss, a pure feeling one; not defined by lust. But I am sorry if I don't deliver it good enough... I guess not *sujud*
For those who are reading this, I'm not sure if there's any though; this story is BOTH IchiHime and GrimmHime! Who will end up with her eventually? That's for me to know and for you to find out! ;)
See you next chapter!
