Bumble Trouble 03
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!
.
.
.
'Hyuuga, bagaimana perkembangan bab empat skripsimu?'
Hinata mematung selama beberapa saat. Dengan susah payah menelan air yang sudah terlanjur masuk di dalam mulutnya. Hinata menurunkan gelas, fokus pada gawainya. Mulutnya sedikit terbuka saking terkejutnya. "Astaga!" satu kata akhirnya keluar dari mulutnya. "Pak Kakashi menghubungiku!"
Trak. Hinata menjatuhkan gawainya ke atas meja. Sementara itu, ia gelisah. Kakinya bergelatuk, bibirnya digigit gusar. Menutup mata selama beberapa saat, Hinata kembali meraih gawainya.
"Selamat sore, Pak. Mohon maaf saya belum bisa mengirimkan hasil analisis. Akan saya selesaikan dan kirimkan segera, Pak." Baru saja Hinata menghela napas lega, pesan baru diterimanya. 'Bisa selesaikan minggu depan? Sudah hampir ujian akhir semester. Jadwal saya akan padat'
"Tuh, kan..." Hinata cemberut. Sudah dua tahun, jelas Hinata tahu jika ia hanya punya satu jawaban. "Baik, Pak. Akan saya kirimkan segera."
"HAHAHAHA. Akhirnya kau dihubungi lagi oleh pembimbingmu, ya?"
Gelak tawa terdengar dari Toneri yang mampir saat malam hari. Lelaki itu membuka kulkas dan mengambil wadah berisi jus jeruk. Lalu, ia menarik kursi dan duduk di meja makan. "Syukurlah Pak Kakashi masih mengingatmu. Kalau aku dulu mana mungkin dihubungi Pak Jiraiya." Ia berkata santai sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas.
"Tapi tetap saja, aku kaget." Hinata menghela napas di meja makan. Di sampingnya terlihat Toneri yang tengah meneguk jus jeruk. "Aku harus apa, Toneri?"
"Apa lagi?" pria Otsusuki itu menaruh gelas yang kosong. "Tentu saja mengerjakan seperti yang diminta Pak Kakashi." Tak. Toneri menyentil lengan Hinata, membuat perempuan itu menoleh sinis.
Krittt. Sudah yakin Hinata akan menghela napas atau protes lagi, Toneri bangkit berdiri. "Sekarang, ambil laptopmu dan mulai menulislah." Toneri menarik Hinata untuk ikut berdiri. "Aku akan membeli makan malam dan beberapa camilan. Mau menitip sesuatu?"
"Nasi goreng di perempatan!" Hinata berkata antusias. "Baiklah." Toneri bersiap mengambil jaketnya yang tergantung. "Oh, tolong belikan aku camilan yang biasa juga!" pinta Hinata.
"Boleh saja. Tapi saat aku kembali kau harus sudah menulis minimal satu paragraf." Toneri mengancam. "Cih!" meskipun berdecih sebal pada Toneri yang pergi, Hinata tetap mengambil dan membuka laptopnya. Mulai menulis karya yang tertunda.
Hampir setengah jam, Toneri akhirnya kembali. Saat tiba, ia bisa melihat Hinata yang sedang berpikir keras di sudut sofa. Di dekat perempuan itu ada laptop yang masih menyala. Diam-diam Toneri tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
"Serius sekali kau." Toneri menggantung jaket dan menaruh kantung belanja di atas meja makan. "Sudah mulai menulis?" Toneri mendekati Hinata, ia melirik laptop yang menyala. "Kau bilang satu paragraf, 'kan?" Hinata duduk lebih santai. "Aku menulis satu halaman."
"Wah!" alis Toneri terangkat. "Serius?" tanyanya tak percaya. Mendengar decakan sebal, Toneri mulai tertawa kecil. "Keren. Keren." Pujinya. "Baiklah, kalau begitu kau bisa istirahat dulu."
"Ayo makan malam. Sekalian berdiskusi jika ada yang kau bingungkan."
Seperti ucapannya, sepanjang makan malam Toneri mendengarkan Hinata yang membicarakan kesulitannya dalam menulis skripsi. Meskipun tak menggeluti bidang akademik, setidaknya Toneri sudah lulus tahun lalu. Sedikitnya pria itu memberi tips bagi Hinata. Berkatnya, malam itu Hinata bisa melanjutkan tulisannya hingga mencapai satu setengah halaman.
.
.
Esoknya di hari kamis, Hinata izin agar tak masuk kerja. Ia sudah bertekad untuk melanjutkan tulisan setidaknya hingga sepuluh halaman. Ting. Sebuah pesan masuk saat Hinata menyelesaikan halaman ketujuh di sore hari.
'kau pulang kerja jam berapa hari ini hinata?'
Dari Gaara. Hinata memberi jeda pada laptop dan segera membalas. "Aku tidak pergi bekerja hari ini."
'kenapa? kau sakit?'
"Kau khawatir?" hampir saja Hinata membalas begitu. Walaupun sangat ingin, Hinata segera menghapus dan mengetik ulang. "Aku harus mengejar deadline untuk skripsiku."
'oh kau sudah mulai melanjutkannya?' Hinata memutar bola matanya. Sepertinya semua orang takjub dengan kegiatannya saat ini. 'baguslah. semangat hinata'
"Terima kasih."
Pukul enam sore, Hinata memberi waktu untuk beristirahat pada dirinya sendiri. Ia mandi dan sedikit bersih-bersih. Menyiapkan sisa camilan semalam, Hinata sudah siap membuka laptopnya lagi. Ting –sebelum sebuah pesan kembali menghalau konsentrasinya.
'bisa kau keluar sebentar? aku di depan flatmu'
"Hah?! Sekarang?" Hinata terkejut tapi tubuhnya refleks bangun dan mengambil hoodie dari dalam lemari untuk menutupi tanktop-nya. Tanpa membalas Gaara, ia segera turun keluar flat. Tentu saja. Di pertemuan kedua mereka Hinata memberitahu gedung tempatnya tinggal. Jangan tanya kenapa, sudah jelas Hinata percaya pada si pria merah, 'kan?
Tuk tuk. Hinata mengetuk jendela mobil sport Gaara. Bukannya menurunkan jendela, Gaara malah keluar dari mobil. "Ada apa tiba-tiba datang, Gaara?" tanya Hinata. "Aku ada sesuatu. Tunggu sebentar." Gaara berjalan menuju kursi penumpang. Ia membuka pintu dan mengambil sebuah kantung belanja besar.
"Ini." Gaara menyerahkan kantung belanja besar itu pada Hinata. "Ini apa?" Hinata bertanya sambil melihat sekilas isinya. Camilan, minuman energi, mie instan, dan sedikit bagian dari bungkus coklat. "Untukmu. Sepertinya kau perlu tenaga mengerjakan tugas akhirmu."
Hinata mendongak, menatap Gaara. Pria itu menaikkan sedikit sudut bibirnya yang mampu membuat Hinata berkata dalam hati, ya Tuhan... "Kau tidak suka?" senyuman Gaara berganti kerutan tipis di dahi karena Hinata tak kunjung bereaksi.
"Tidak, aku suka. Tapi, bukankah ini..." Hinata melihat kantung belanja yang penuh dalam pelukannya. "...terlalu banyak?" Hinata berkata tak yakin.
"Aku tidak tahu apa yang kau suka. Jadi, kubelikan yang kubisa."
"Oh." Manis sekali...
"Aku tidak ingin ganggu. Semangat melanjutkan skripsimu." Gaara menyentuh bahu Hinata. Membelainya beberapa kali sebelum kembali tersenyum dan berpamitan. Usai melihat mobil merah itu menghilang di belokan, Hinata berjalan kembali ke flat dengan sedikit terpogoh-pogoh. Saat memasuki flat, ia mulai menata makanan yang telah Gaara berikan padanya. Tanpa melunturkan senyuman yang entah bagaimana dan sejak kapan, ada di wajahnya.
.
.
Hari jumat, Hinata tidak bisa kembali mengambil cuti. Tapi, Ino mengizinkannya masuk setengah waktu. Jadi, sepanjang sisa hari kerjanya minggu ini ia hanya akan masuk bekerja mulai pukul sepuluh pagi hingga pukul satu siang. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa jika atasanmu adalah sahabatmu sendiri yang sangat mendukungmu agar segera lulus kuliah.
Ting. Cepat-cepat Hinata mengambil gawainya di samping laptop, seperti menunggu pesan dari seseorang. 'Hai Hinata. Sudah lama kita tidak bertemu. Mau bertemu lagi besok malam seperti sebelumnya?' pesan dari Sai, pria yang ditemuinya Sabtu lalu.
Wajah Hinata berubah netral. Ia membalas tanpa ekspresi. "Maaf, tidak bisa. Aku sibuk sampai minggu depan." Baru akan mematikan suara notifikasi gawainya, pesan lain masuk. 'skripsimu sudah selesai hinata? mau bertemu?'
"Siapa orang yang bisa menyelesaikan skripsi dalam satu hari, Gaara?" Hinata berkata sendiri. Anehnya, ia senang meskipun agak tersinggung.
"Tentu saja belum. Sepertinya aku akan sibuk dalam beberapa hari."
'sampai kapan?'
"Selasa. Rabu aku harus sudah mengirimkan draft pada dosenku."
'oh ya? sayang sekali. padahal aku ingin mengajakmu menonton latihan tiger'
"Apa?!" Hinata berteriak sendiri. "Yang benar? Kapan?"
'weekend ini'
"Ah..." Hinata menghela napas panjang. "Aku ingin sekali. Tapi tidak bisa."
'mungkin lain kali. semangat menulis skripsimu'
"Menyebalkan sekali. Tadi ada yang menyerobot antrian." Beginilah jika kau memiliki hubungan persahabatan yang cukup lama. Temanmu akan datang ke tempat tinggalmu dan bertingkah seperti di rumah sendiri. "Nih, katsu yang kau mau."
Toneri kembali datang ke tempat Hinata malam sabtu ini. Pria itu menaruh makan malam yang dibelinya saat akan mampir. "Sudah berapa halaman?" tanya Toneri. Ia memerhatikan Hinata yang tengah sibuk membuka gawainya di depan laptop yang terbuka. "Dua belas." Hinata menjawab singkat. Toneri mengerutkan dahi sedikit sebelum pergi menuju kulkas.
"Tumben sekali kau punya banyak stok makanan." Toneri membuka kulkas Hinata dan menemukan berbagai camilan memenuhinya. Suara dehaman samar terdengar. Usai menemukan jus jeruk, Toneri membawanya ke meja makan seperti kemarin.
Gyurrrr. Toneri menuangkan jus jeruk ke dalam gelas tanpa mengalihkan pandangan dari Hinata. Terlihat perempuan itu senyum-senyum sendiri disertai gawainya yang terus berdering. Saat gelasnya penuh, Toneri menurunkan wadah jus jeruk. "Oke, saatnya fokus menulis lagi, Hinata."
Hening. Tak ada tanggapan, bahkan hanya sekadar dehaman. Hinata fokus menggerakkan jarinya di atas layar gawai. "Hinata? Hinata?" Toneri berdecak sebal. "Oy, Hinata!"
"Hah? Apa?" akhirnya Hinata menoleh, menatap bingung pada Toneri yang berwajah sebal.
"Ayo tulis skripsimu."
"Iya nanti."
"Ck." Toneri kembali berdecak melihat Hinata yang masih fokus pada gawainya. "Ayo makan. Aku tidak ingin diomeli ibumu saat pulang."
"Kenapa malah ibuku?"
"Karena aku diminta untuk menjagamu."
"Apa sih?" Hinata memutar bola mata. Toneri mengedikkan bahu dan mulai membuka bungkusan makanan yang dibelinya. "Ayo cuci tanganmu, Hinata." Tak ingin terus diomeli, Hinata pun mengalah. "Iya, iya." Ia menaruh gawainya di atas meja dan pergi untuk mencuci tangan.
Ting. Gawai Hinata kembali berdering saat perempuan itu pergi. Sekilas tapi jelas, Toneri melirik dan membaca pesan yang masuk melalui bar notifikasi. 'Sayang sekali. Kalau begitu semangat untuk seminggu kedepan ya cantik'
.
.
Akhir pekannya terasa lebih berat. Hinata masuk kerja tanpa semangat. Pikirannya sibuk memikirkan laptopnya yang ditinggal di flat. Saat akan bersiap pulang pun, ia semakin tak bergairah. Ting. Beberapa pesan masuk. Sebuah foto diikuti tulisan di bawahnya. 'latihannya sudah dimulai'
"Oh, ia benar menghadiri latihan Tiger?" Hinata berkata sendiri dengan antusias. Sambil membereskan barang bawaannya, sibuk membalas pesan Gaara minggu siang ini.
"Wah, pasti seru sekali. Akamichi Chouji juga ada?"
'tentu saja. dia pitcher pertama'
"Aku sangat ingin melihatnya."
Gaara mengirimkan foto lagi. Kali ini zoom in pada sosok bernama Akamichi Chouji yang tengah berada di lapangan. Terlihat pria agak gempal yang tengah meregangkan tubuhnya. 'mereka baru mulai pemanasan'
Ting. Pesan lain masuk saat Hinata sedang membalas pesan dari Gaara. 'Hi Hinata. Bagaimana kabarmu?'
"Sasuke?" Hinata membaca nama pengirim pesan. "Oh, restoran eropa." Ia mengingat-ingat kembali pria yang match dengannya. "Baik. Bagaimana denganmu, Sasuke-san?" Sudah yakin hanya basa-basi. Hinata menanggapi seadanya. Sepanjang perjalanan kembali ke flat untuk meneruskan skripsinya, Hinata membalas pesan Gaara dan Sasuke bergantian.
Bruk. Hinata merebahkan diri di sofa. Niatnya beristirahat sebentar sambil tetap membalas pesan-pesan yang diterimanya.
'omong-omong bagaimana perkembangan skripsimu? sudah akan selesai?'
"Mungkin delapan puluh persen."
'kau libur hari rabu?'
"Ya, kenapa?"
'aku ingin mengajakmu pergi'
"Kemana?"
'ke suatu tempat. kau pasti suka' belum sempat membalas, Gaara sudah lebih dulu mengiriminya pesan baru. 'aku akan menghubungimu hari rabu. semangat menyelesaikan skripsimu'
.
.
Akhirnya hari rabu tiba. Bab empat skripsi Hinata usai juga. Bermodal nekat dan pasrah, pagi-pagi Hinata sudah menyiapkan mentalnya. Di depan laptop, ia menghubungi sang pembimbing. Mengirimkan berkas dan pesan penghubung. Setelahnya Hinata tak ingin ambil pusing. Ia akan bersiap pergi 'berkencan' siang ini.
"Jadi, ini tempat yang kau maksud?" Hinata melirik Gaara yang ada di sampingnya. "Ya, kau suka?" senyuman kecil muncul di wajah perempuan indigo. "Kupikir kau akan mengajakku ke restoran india kakakmu lagi saat kita pergi ke arah Edogawa. Ternyata ke sini."
Sambil bergandengan, Hinata dan Gaara memasuki kafe kucing yang berada tak jauh di deretan pertokoan restoran india minggu lalu. Begitu masuk, Hinata sudah terlihat bersemangat melihat kucing-kucing yang memenuhi ruangan. Sedikit menarik Gaara, ia membawanya duduk di meja terdekat dari pintu masuk.
"Kau sangat suka kucing, ya?" komentar Gaara mengalihkan perhatian Hinata yang sedang bermain kucing. Usai memesan, Hinata seakan sedikit lupa pada kehadiran pria merah itu. "Ya, lumayan." Hinata menjawab sambil terus membelai kucing oranye yang ada di pangkuannya.
"Kau tidak suka kucing?" sudah agak lama, Hinata baru menyadari Gaara yang terlihat menghindari kontak fisik dengan hewan menggemaskan itu. Sekilas ia teringat ingatan minggu lalu. Bagaimana Gaara memberi jarak dan rasa tak nyaman ketika Hinata berkontak dengan kucing putih yang ditemuinya.
"Hanya sedikit trauma."
"Hah?" Hinata menurunkan kucing oranye dari pangkuannya. "Bagaimana bisa trauma sedikit? Ingin pindah tempat saja?" tawarnya.
"Tidak usah. Lagian kita sudah pesan."
"Tapi kau tidak nyaman, 'kan?"
"Tidak papa. Aku senang melihatmu bahagia." Nah, kan... "Hanya saja aku berharap mereka tidak mendekatiku."
"Jadi, kenapa kau bisa sangat suka kucing?"
Siang itu Hinata menikmati makan siangnya tanpa memikirkan beban revisi skripsi. Sejenak saja, ia ingin tenggelam dalam waktunya bersama Gaara. Kembali bercerita seperti biasa. Tentang Hinata dan kucing, atau tentang kesibukan Gaara minggu lalu. Tidak jauh dari baseball.
"Ingin nonton di bioskop malam ini?"
"Ada tontonan baru?" Hinata menyeruput matcha latte yag dipesannya. "Marvel?" Hinata mengedikkan bahu. "Aku tidak terlalu mengikuti tapi boleh saja."
"Baiklah, aku akan pergi ke toilet dulu. Lalu kita pergi."
Gaara berdiri, pergi menuju toilet di ujung ruangan. Meninggalkan Hinata yang melihat-lihat kafe. Hampir semua meja terisi, melihat kucing-kucing bermain memang menyenangkan.
Klinting. Bel pintu masuk berbunyi. Tak merasa tertarik, Hinata fokus ke depannya. "Hinata?" tapi tiba-tiba seseorang memanggilnya dari kanan. "Ini benar kau, 'kan?" begitu menoleh, Hinata seperti menyesalinya.
"Kiba?" seorang pria berambut coklat mendekat. Tato di wajahnya terangkat karena senyuman. "Ternyata benar, minggu lalu aku melihatmu di sini."
Bingung dan canggung. Hinata putuskan untuk berdiri. Sudah lama tak bersua, Hinata hanya bisa tersenyum kikuk. Sekilas, ia bisa melihat Kiba yang menenteng jas putih. "Kau... sedang apa di sini?"
"Aku?" Kiba menunjuk diri. "Mengontrol kafe." Hinata menanggapi seadanya. "Kafe ini milikku. Aku membukanya tak lama setelah lulus."
Tidak ada yang bertanya, kan?
"Kau sendiri?" Kiba balas bertanya. "Dengan siapa kau ke sini?"
"Oh, itu. Aku dengan..." Hinata berpikir sebentar, mencari jawaban yang pas. "...teman?"
"Siapa?" Gaara muncul dari toilet. Hinata sedikit tersentak. Kenapa harus bertemu Kiba saat ia sedang bersama dengan Gaara?
"Itu temanmu, Hinata?" Kiba melirik Hinata sebentar. Lalu, ia memerhatikan penampilan Gaara. Mereka sempat bertukar pandangan. Naluri laki-lakinya berkata ada yang tak benar. Tapi, kemudian ia akhirnya mengulurkan tangan. "Perkenalkan, aku Inuzuka Kiba, mantan pacar Hinata."
Terima kasih atas review-nya!
Guest: Sudah update, ya. Terima kasih sudah mampir. Selamat membaca.
Dukungan yang diberikan seperti review dan like sangat berarti!
