Bumble Trouble 04

by

acyanokouji


Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?

"Hi, boleh kenalan?"

"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"

"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"

.

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!

.

.

.

"Perkenalkan, aku Inuzuka Kiba, mantan pacar Hinata."

Kalimat itu keluar begitu saja dari Kiba yang dengan sengaja agak menaikkan tangan sebelahnya, menunjukkan jas putih yang ditentengnya. Uluran tangan dan senyuman di wajahnya tak mendapatkan reaksi apa-apa dari Gaara. Pria merah itu hanya menatapnya lekat dari atas sampai bawah.

"Gaara." Akhirnya Gaara membuka mulutnya. "Teman Hinata?" belum sempat Gaara memperkenalkan diri dengan lengkap, Kiba dengan cepat menarik tangannya dan kembali bicara. "I see..."

"Apa kau ingin memesan sesuatu, Hinata?" Kiba kembali beralih pada Hinata. "Kau bisa menikmati kopi sambil bermain dengan kucing di sini." Pria coklat itu tersenyum lembut, seolah menawarkan minum bersama pada wanita di hadapannya.

"Tentu saja, ini 'kan kafe kucing." Sebuah bisikan terdengar dari sisi Hinata.

"Hm? Kau bicara sesuatu, Tuan Gaara?" Kiba menoleh pada Gaara yang menatap dingin padanya. "Tidak. Hinata sudah selesai di sini. Kami akan pergi. Ayo, Hinata."

Tanpa bicara lagi, Gaara meraih Hinata dan menariknya untuk segera pergi. Perempuan indigo itu sedikit terkejut. Ia cepat-cepat mengambil tasnya yang masih di atas meja.

"Hinata." Panggilan dari Kiba menghentikan Hinata sebentar, otomatis membuat Gaara ikut berhenti dan menoleh. "Semoga kau suka dengan kafe kucing yang kupersembahkan untukmu ini."

Hinata tersentak sesaat. Mata bulatnya bisa melihat senyuman sayu yang Kiba berikan. Hampir terhanyut dengan suasana, tarikan di tangannya menyadarkan Hinata. Perempuan itu kembali berjalan saat Gaara membawanya pergi ke luar kafe hingga membunyikan lonceng pintu.

Gaara merajuk. Hinata bisa jelas melihatnya meskipun pria itu berusaha menutupi. Sepanjang jalan menuju bioskop, lelaki merah itu menanggapinya agak acuh tak acuh. Bingung dan canggung. Hinata menerka jika Gaara bersikap cemburu padanya. Tapi, apakah ia berhak merasa demikian di hubungan mereka yang sangat awal ini?

"Maaf kau harus bertemu dengan Kiba. Aku tidak tahu jika ia membuka kafe kucing." Hinata menjelaskan sebelum film diputar di dalam bioskop. Agak takut dengan reaksi Gaara, pria di sampingnya itu melirik. Lalu, ia meraih tangan Hinata dan menggenggamnya di antara popcorn jagung. "Tidak papa. Kita nikmati saja film-nya, ya?"

Gaara tersenyum tipis. Meski di dalam iris jadenya seolah ada sesuatu yang tak tergapai, Hinata hanya bisa mengiyakan untuk sekarang. Sepanjang tayangan film, Gaara tak melepaskan genggamannya. Bahkan, lelaki itu sesekali mengelus pelan punggung tangan Hinata. Atau merapatkan kedua bahu mereka. Hal itu membuat Hinata kesulitan memakan popcorn jagung yang dinantinya. Namun, sedikit banyak Hinata merasa lega. Lagi-lagi Gaara bersikap manis padanya –setidaknya itu yang ia pikirkan.

Iya, benar. Itu yang Hinata pikirkan saat pergi berkencan rabu lalu. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja. Tapi, sepertinya ada yang berubah. Pesan Gaara menjadi lebih singkat dan berjarak.

"Apa menurutmu aku berbuat salah?" Hinata bertanya di sela kegiatannya menata pakaian.

"Kau? Kau salah apa?" Ino yang membantunya menanggapi. "Salah karena pergi ke kafe kucing dan tidak sengaja bertemu dengan mantanmu?" Ino mengarahkan pakaian yang dipegangnya pada Hinata. "Atau salah karena menjadi alasan mantanmu membuka kafe kucing?"

"Nonsense." Ino bicara tanpa memberikan Hinata waktu untuk menanggapi. "Kalau kau merasa tidak enak pada lelaki baru yang kau ceritakan, hentikan. Toh dia masih tetap menanggapi pesanmu."

"Tapi caranya membalasku agak berbeda."

"Mungkin dia hanya sibuk." Ino mengedikkan bahu. "Tapi..."

"Oh, Hinata, berhenti. Ini baru hari jumat dan kau tahu apa?" Ino memegang kedua bahu Hinata. "Kau ada janji bertemu dosen pembimbingmu sore ini." Katanya mengingatkan. "Jadi, bisa kita tunda dulu cerita gundahmu setelah bimbinganmu selesai? Sungguh, aku bukan memaksa tapi aku lebih ingin kau segera menyelesaikan studimu ketimbang memikirkan hal yang kurang penting."

Perempuan Yamanaka itu mengomel. Sebagai sahabat jelas Ino ingin yang terbaik untuk Hinata. Jadi, saat minggu lalu Hinata bertekad untuk menyelesaikan analisis skripsinya, Ino ikut senang dan bersemangat. Ia pun ikut gusar dengan penilaian sang dosen.

"Tahan dulu. Aku yakin lelaki bernama Gaara itu baik-baik saja. So, selesaikan urusanmu yang terdekat dulu."

.

.

Tahan dulu. Tenang. Hadapi satu per satu.

Hinata terus merapal dalam hati selama perjalanan menuju kampus. Sepertinya Ino benar. Begitu memasuki gedung perkuliahan, seketika ia lupa dengan Gaara dan insiden rabu lalu. Tiba-tiba kepalanya dipenuhi imajinasi tentang reaksi dosen pembimbing.

Knock Knock

"Permisi, aku ingin bertemu Pak Kakashi." Hinata mengetuk pintu yang terbuka di depan ruang dosen. Bagian depannya ada admin yang berjaga. "Oh, Kak Hinata?" pemuda berambut coklat berdiri. "Sebentar ya, Kak, aku akan mengabari Pak Kakashi dulu."

Adik tingkat Hinata berdiri. Lelaki itu berjalan menuju pintu di ujung ruangan. Terlihat mengetuk dan membuka pintu kayu sedikit, si pemuda kembali setelah berbincang singkat dari celah pintu.

"Pak Kakashi menyuruhmu segera masuk, Kak." Kata si adik tingkat setelah kembali ke pintu utama. "Terima kasih, Konohamaru." Hinata tersenyum singkat pada Konohamaru yang kembali ke meja kerjanya.

Setibanya di depan pintu ruangan Kakashi, Hinata menghembuskan napas. Mengetuk pintu pelan, Hinata membuka pintu dan masuk setelah mendegar sahutan pelan. "Hinata? Silakan duduk." Kakashi yang berada di depan meja kerjanya menjulurkan tangan pada kursi seberang. Usai menutup pintu, Hinata berjalan dan duduk di kursi yang telah disediakan.

Hinata duduk dengan gusar. Kakinya rapat dengan kedua tangan bertaut di atas pahanya. "Bagaimana kabarmu, Hinata?" tanya Kakashi. "Baik, Pak." Hinata menanggapi dengan senyuman meskipun kakinya sedikit bergetar.

"Baiklah. Saya akan buka file skripsimu dulu."

Kakashi meraih kacamata bacanya yang terletak di atas meja. Pria itu mengotak-atik laptop kerjanya, menggerakkan mouse. Membaca selama beberapa saat. "Oke." Kakashi melepaskan mouse, membalikkan laptop untuk menghadap Hinata.

"Saya sudah menandai bagian-bagian yang masih saya bingungkan dan bisa diperbaiki." Kakashi menggulirkan tampilan layar, membuat Hinata bisa melihat beberapa kata yang berwarna. "Pada bagian pembahasan ini, mengapa bisa ada statement jika program yang berjalan tidak berhasil?"

Hinata sedikit mendongak pada Kakashi dari tatapannya pada layar laptop. Pria itu menunggunya menjawab. Dengan singkat Hinata menelan ludah. "Karena dari hasil wawancara bersama masyarakat tidak ada manfaat yang dirasakan, Pak?" Hinata menjawab ragu-ragu.

"Itu 'kan dari satu sudut pandang. Coba kau elaborasi lagi dengan data visi-misi atau tujuan awal program. Baru tambahkan hasil wawancara yang didapatkan."

Oh... Hinata mengangguk-angguk. "Baik, Pak."

"Lalu, di bagian ini..." Kakashi lanjut menerangkan komentarnya. Ia memberikan arahan pada Hinata. Sepanjang sesi, perempuan itu hanya mengiyakan karena merasa tercerahkan. Ternyata tidak semenakutkan itu. Hinata merasa otaknya seperti kembali bekerja.

"Jadi, bisa kau perbaiki tulisanmu sampai jumat depan?"

"Bisa, Pak."

"Oke. Kalau begitu bimbingan kita selesai." Hinata mengangguk. Ia bersiap untuk pamitan. "Jika ada yang ingin kau tanya atau diskusikan, hubungi saya, Hinata."

"Baik, Pak."

"Kalau kau butuh, kita juga bisa berdiskusi di luar. Work From Cafe kalau kata anak zaman sekarang." Hinata bergeming selama beberapa saat. Sedikit terkejut dan bingung musti bereaksi apa. "Hahaha Bapak bisa saja." Akhirnya Hinata menanggapi dengan tertawa kikuk.

"Saya serius. Jangan ragu menghubungi saya kalau kau butuh, Hinata."

"Hehe iya, Pak." Hinata hanya mengiyakan dengan cepat. Merasa canggung, ia buru-buru berpamitan agar bisa segera keluar ruangan. "Candaannya aneh sekali." Hinata berbisik pelan setelah keluar ruangan Kakashi. Perempuan itu bergidik sendiri mengingat kejadian tadi. Lalu, ia menggeleng pelan. Mencoba berpikir positif mungkin dosennya hanya berbasa-basi.

Saat akan keluar ruang utama, Hinata berpamitan singkat pada Konohamaru, adik tingkatnya yang magang sebagai admin fakultas.

"Kak Hinata." Panggilan Konohamaru menghentikan Hinata. saat berbalik, Hinata bisa melihat Konohamaru yang bangkit dan mendekatinya. "Ini. Ada titipan dari Pak Kakashi untuk Kakak." Konohamaru menyerahkan sebuah buku baru agak tebal.

"Kamus Bahasa Indonesia?" Hinata mengeryit bingung. "Untuk apa?"

Konohamaru ikut mengedikkan bahu bingung. "Agar Kakak mempelajari Bahasa Indonesia sesuai dengan EYD?" Konohamaru menelengkan kepalanya sedikit. Hinata tak bisa berkata-kata. Ia bingung sangat. Berbalik ke ruang kerja dosennya dan bertanya bukanlah pilihan untuknya. Jadi, Hinata hanya menerima kamus yang diberikan dan segera pergi. Akan coba ia pikirkan nanti. Atau mungkin ia tanyakan di bimbingan selanjutnya.

.

.

"HAHAHAHA." Suara gelak tawa memenuhi flat Hinata. "Kau mendapatkan kamus bahasa dari dosen pembimbingmu?" Toneri memastikan cerita yang Hinata lontarkan. "Mungkin itu sindiran karena tata bahasa yang kau gunakan masih berantakan, Hinata!"

"Berisik!" Hinata berdecak sebal. Ia mengaduk susu yang dibuatnya dengan asal. Lalu, ia berjalan menuju sofa dan duduk di samping Toneri. "Mungkin dia hanya memberikan sebagai referensi?"

"Referensi karena tulisanmu masih kacau?" ejek Toneri. Hinata menggulirkan bola mata, sudah malas menanggapi. Ia fokus meminum susu sambil memainkan gawainya.

'Hai Hinata. Apa kau sudah tidak sibuk?'

Sai? Hinata membatin. Ia membalas dengan gumaman dalam hati. "Lumayan. Kenapa?"

'Mau bertemu besok malam?'

Hinata terdiam selama beberapa saat, menimbang-nimbang. Toneri yang di sampingnya melirik bingung. "Kenapa kau diam saja?" Hinata menanggapi dengan dehaman. Tangannya yang satu mengetik balasan untuk Sai. "Boleh. Akan bertemu di mana?"

Dan seperti janji kemarin malam, Hinata pergi ke mall di Saitama. Menunggu di depan titik temu. Di depan toko gadget Hinata berdiri sendirian. Entah mengapa ia merasa diperhatikan. Jadi, Hinata menunduk karena salah tingkah sendiri. Menatap ujung sepatunya yang disatukan, Hinata berdoa agar 'teman kencan'-nya segera tiba.

"Hinata?"

Hinata mendogak saat namanya dipanggil. Di balik kacamata, Hinata bisa melihat Sai yang mendekatinya. "Oh, Kau sudah datang, Sai?" tanyanya. Mungkin Sai tidak dengar, pria itu hanya terus memandangi Hinata. Si perempuan bingung. Untungnya setelah beberapa detik Sai seolah tersadar sendiri. "Oh, maaf. Kita langsung ke pepper lunch saja?" ajak Sai.

"Sudah lama menunggu?" Sai bertanya sepanjang perjalanan mereka.

"Tidak terlalu."

"Padahal aku sudah menawarimu untuk dijemput, loh." Raut wajah Sai sedikit cemberut dengan tatapan usil. "Sayang sekali wanita cantik sepertimu belum pernah naik mobilku."

"Hahaha tidak papa, aku tidak ingin merepotkan." Hinata tertawa canggung.

Setibanya di restoran, Hinata dan Sai duduk di meja ujung dekat kaca. Mereka duduk berhadapan di meja dengan kapasitas empat orang. Merasa lebih santai, Hinata menaruh tasnya di kursi sebelahnya. Ketika selesai menyamankan duduknya, Hinata masih menemukan Sai yang menatapnya dengan senyuman tipis, seperti pertemuan sebelumnya.

"Kau terlihat berbeda." Ujar Sai. "Maksudku, kau terlihat cantik. Penampilanmu hari ini sangat kasual tapi memberikan aura yang berbeda."

"Rambut yang diikat naik ala ekor kuda, kacamata, kaos biru ketat, dan hotpants." Sai mengabsen satu per satu outfit Hinata dengan bola mata hitamnya. "Tidak mungkin para pria di mall tidak memerhatikanmu."

Hinata masih diam. Agak bingung dengan perkataan Sai yang sangat detil memerhatikan. Apakah itu pujian? Atau haruskah Hinata merutuki pilihan bajunya yang agak ketat?

"Tapi serius, kau sangat cantik. Aku senang kau masih mau bertemu denganku." Sedikit tapi Hinata bisa merasakan ketulusan dari senyuman Sai barusan. "Terima kasih." Hinata balas tersenyum, kali ini sedikit lebih santai.

"Astaga! Aku bahkan lupa menanyakan kabarmu saking terpukaunya!" Sai menepuk jidat sendiri. "Bagaimana dengan kesibukanmu minggu lalu? Apakah sudah kau selesaikan?" Hinata mengangguk singkat dan mengiyakan. "Kalau boleh tahu, memangnya apa yang kau kerjakan?"

"Aku mulai melanjutkan tugas akhirku. Minggu lalu dosenku kembali menghubungiku untuk meminta progres dari tulisanku. Karena sudah lumayan terbengkalai, aku putuskan untuk segera menyelesaikannya. Yah, meskipun masih banyak perbaikannya sih..." Hinata menghela napas singkat sebelum kembali melanjutkan. "Tapi untungnya dosen dan teman-temanku sangat suportif. Mungkin memang sudah waktunya aku kembali produktif."

Selesai bicara, Hinata menemukan Sai yang memerhatikannya lekat-lekat. Dengan satu tangan memangku dagu, lelaki itu masih diam dengan senyumannya yang khas.

"Kau tahu..." Sai bergerak maju, kali ini menumpukan kedua tangannya di atas meja. "Ternyata kau bisa banyak omong juga, ya." Kekehan terdengar dari mulutnya. "Lucu. Aku bisa membayangkan versi mini dirimu."

"Maksudnya?"

"Anak. Kau bercerita seperti anak kecil, tapi di saat yang sama aku penasaran dengan rupa anakmu di masa depan."

Hinata mengernyit bingung. Ia bisa menerima pujian aneh dari Sai. Tapi, tiba-tiba membicarakan anak? Sepertinya Hinata masih belum terbiasa dengan sikap random pria di hadapannya.

"Kau tahu? Kemarin rekan kerjaku malah ada yang membawa anak balitanya ke kantor. Tentu saja yang lain dan atasanku pada heboh. Wah, para nasabah hampir saja terganggu."

Oh... Karena itu...

"Tapi, aku malah senang. Aku suka anak kecil. Bagaimana menurutmu? Apakah aku sudah cocok menggendong anak kecil?" tanya Sai bersemangat.

"Em..." Hinata menimbang-nimbang. Harus menilai pria yang baru dua kali ditemuinya. Diam-diam Hinata berharap ada yang mengalihkan pembicaraan mereka. "Mungkin? Menurutku itu tergantung kesiapan mental setiap orang?"

"Benar sekali!" Sai menjentikkan jari. "Atasanku pun berkata hal yang sama pada rekan kerjaku. Katanya, jika belum siap punya anak sambi bekerja, resign saja." Sai menghela napas lesu di sela ceritanya. Di seberang Hinata sudah mulai cuek, menguatkan diri sendiri untuk beberapa waktu ke depan.

"Kalau kau sendiri, apa kau sudah siap menjadi seorang istri?"

"Eh?" Hinata terkejut. Entah ia yang kurang memerhatikan atau apa, obrolan mereka tiba-tiba melompat jauh. "Aku..." Hinata sedikit menggigit bibir dalamnya. Untunglah matanya menangkap sesuatu, dengan sigap Hinata merapikan duduknya.

"Permisi, pesanan nomor 73."

Pelayan akhirnya tiba mengantarkan pesanan Hinata dan Sai. Sedikit menyita perhatian dan waktu Sai, pelayan berbincang sebentar sambil menata makanan. Setelah selesai, Hinata kira ia bisa lolos, nyatanya Sai masih terlihat menunggu jawaban darinya. Dengan berat hati, Hinata harus melanjutkan topik obrolan.

"Tentu saja belum. Seperti yang kau tahu, fokusku sekarang adalah menyelesaikan studiku. Jadi, bisa kita makan malam sekarang?" ajak Hinata mengalihkan pembicaraan.

Bisa terlihat raut kecewa dari Sai. Pria itu menyetujui dengan lemas. Tapi, saat tak sengaja matanya menangkap pria berkacamata hitam yang melintas di luar restoran, Sai mulai bercerita pengalaman bekerjanya lagi. Tentang ia yang membantu nasabah berkebutuhan khusus. Lagi, Hinata mendengarkan setengah ikhlas. Makan dengan sedikit gusar. Berharap gawainya yang ada di dalam tas bergetar, menunggu pesan dari seseorang.


Terima kasih atas dukungannya!

Kurosaki Mikasa: Makasih semangatnya, ya. Makasih juga udah berkenan mampir dan meninggalkan jejak! ^^

Semoga akan tetap tertarik untuk menunggu kelanjutan kisahnya, ya!