Bumble Trouble 05
by
acyanokouji
Summary: Usia segini memang sedang gencar-gencarnya merasa kesepian. Darah muda yang haus perhatian. Sana-sini mencari kenalan. Kalau pada akhirnya hanya akan dilupakan, mengapa malah memulai sentuhan?
"Hi, boleh kenalan?"
"Tolol. Kau masih percaya aplikasi kencan begitu?"
"Kenapa tidak menerima orang yang sudah jelas ada di depan matamu?"
.
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Warning: OOC, typo(s), crack couple(s), plot hole(s)!
.
.
.
"Aku ke toilet dulu."
Hinata pamit ke toilet saat ia dan Sai sudah keluar dari restoran. Setibanya di dalam toilet perempuan, Hinata memasuki bilik toilet dan keluar setelah tiga menit. Lalu, ia menaruh tasnya di atas wastafel. Mencuci tangan, Hinata memerhatikan penampilannya di depan cermin.
"Apa memang seketat itu?"
Hinata menyentuh dadanya sendiri, teringat dengan pandangan dan obrolan Sai saat pertama kali bertemu dengannya lagi. "Seingatku ia tidak lagi bertumbuh sejak tingkat dua." Gumam Hinata.
"Ekhem."
Sebuah dehaman terdengar dari sisi kiri. Saat Hinata menoleh, terlihat seorang wanita pirang yang menatap sinis ke arahnya. Wanita pirang itu menutup wajah bayi yang ada dalam gendongannya. Seolah tersadar, Hinata segera menarik tangannya yang tanpa sadar meremas dirinya sendiri.
Hinata menunduk, membetulkan letak kacamatanya. Meski samar, ia bisa mendengar gumaman tak suka dari si wanita pirang. Mencoba mengalihkan diri, Hinata membuka tas dan mengambil gawainya. Ada pesan baru dari aplikasi kuning. Jelas Hinata senang. Meskipun saat dibuka pesan itu tak sesuai dengan ekspektasinya.
"Hai Hinata. Bagaimana kabarmu?"
Dari Sasuke. Hinata bahkan baru sadar jika ia sudah lama tidak berkomunikasi dengan pria itu. Seketika ingatannya membawa kembali pada makan malam di sebuah restoran eropa. "Baik. Bagaimana denganmu, Sasuke-san?"
Setelah membalas pesan, Hinata segera keluar toilet, untuk melihat Sai yang menunggunya sambil bersandar di dekat lorong masuk ke arah toilet.
"Hinata, bagaimana kau akan pulang?" tanya Sai setelah mereka kembali berjalan. "Kau tidak akan menginap di rumah temanmu lagi, 'kan?" sorot matanya usil menaruh curiga. Sudah pasti Sai tahu Hinata hanya beralibi di pertemuan sebelumnya.
"Mungkin naik taksi."
"Bagus. Aku akan mengantarmu kalau kau mau."
Apanya yang bagus?
"Tidak baik membiarkan perempuan cantik sepertimu pergi sendirian, padahal aku bisa mengantarmu. Ya, 'kan?"
"Aku tidak ingin me–"
"Aku sama sekali tidak kerepotan." Sai memotong ucapan Hinata. "Jadi, kau mau, 'kan?"
Tak mampu menolak, Hinata akhirnya ikut Sai menaiki fortuner hitam. Sepanjang jalan Sai banyak bicara, lagi. Membahas banyak hal seputar pencapaiannya bisa membeli mobil sendiri setelah bekerja tiga tahun. Bukannya apa, Hinata hanya merasa semestinya pria kaya sejati tidak perlu memamerkan hartanya, seperti pria yang melintasi pikirannya.
"Di sini?" Hinata mengangguk pada Sai yang menepi di pinggir jalan depan gang. "Aku akan turun." Hinata bersiap melepaskan sabuk pengaman. "Hinata," tapi sebuah panggilan menahannya tepat usai melepas sabuk pengaman.
"Terima kasih sudah masih mau bertemu denganku. Kau tidak banyak bicara sebelumnya jadi kukira kau tidak nyaman. Sifatku agak berbeda dengan penampilanku, ya?"
Memang
"Sedikit?" Hinata tertawa canggung dengan mengangkat tangannya singkat. Sai menanggapi dengan senyuman khas-nya. "Oh, terima kasih juga sudah membiarkan mobilku dinaiki perempuan cantik sepertimu." Kata Sai sambil mengerling.
Hinata kembali tertawa canggung. "Aku akan turun sekarang. Terima kasih atas tumpangannya."
Hinata pamit. Ia masih melambaikan perpisahan dengan tawa pada Sai. Hingga mobil fortuner hitam itu menghilang, Hinata baru masuk ke dalam gang untuk mengistirahatkan diri.
Bruk
"Lelah sekali." Hinata menggeliat singkat di atas ranjang. Setelah tiga detik melamun, ia membuka gawainya untuk melihat aplikasi kuning.
"Sudah lama kita tidak bertemu. Jika kau mau, apa kau bisa bertemu besok, Hinata?"
Hinata terdiam setelah membaca pesan yang masuk. Ia menimbang-nimbang, haruskah kembali bertemu orang lain besok? Atau haruskah Hinata bertanya lebih jauh dulu? Baru saja akan membalas pesan, sebuah pesan lain masuk. Membuat Hinata goyah.
"hi hinata. kau free besok? bisa menemaniku?"
Tanpa pikir panjang, Hinata membalas cepat. "Maaf, Sasuke-san. Aku tidak bisa bertemu besok. Jika kau tidak keberatan, bagaimana jika selasa malam seperti sebelumnya?"
.
.
Dan sesuai dugaan, Hinata memilih untuk menemani Gaara di minggu siang. Entah kemana dan kenapa, melihatnya di dalam mobil jip merahnya saja sudah membuat Hinata berdebar. Artinya dia tidak marah kan? sambil terus bertanya dalam hati.
"Kita akan ke mana?"
Kali ini Hinata menyuarakan suara hatinya. Sedikit jengah dengan Gaara yang belum bicara apapun sejak ia memasuki mobil. Melirik sebentar, iris jade menemukan amethyst yang tengah menatapnya. "Belanja bulanan."
"Oh." Hinata tiba-tiba merasa canggung sendiri. "Bagaimana kabarmu?" Hinata berbasa-basi. Mencoba mencairkan suasana meskipun hanya mendapatkan jawaban singkat berupa kata, "Baik."
"Oh." Hinata kembali mengatakan hal yang sama sembari menatap jendela samping, membuag wajah untuk menghindari kecanggungan. Dengan gusar ia menggigit bibirnya sendiri. Berdoa agar suasana menjadi lebih cair.
Krukkk~
Sebuah suara terdengar dari perut Hinata, memecah keheningan di dalam mobil. Si merah dan si indigo saling bertatapan karena terkejut. Apalagi Hinata yang baru ingat jika ia belum memakan apa-apa hari ini.
"Hahaha... Maafkan aku." Hinata tertawa canggung sambil menggaruk belakang leher. Sedikit samar karena tertutupi suaranya sendiri, Hinata bisa mendengar suara kekehan kecil dari samping. "Mau makan dulu? Ada restoran Jepang yang enak sekitar sini."
Sepertinya doa Hinata terkabul. Meskipun sedikit malu, syukurnya suasana antara ia dan Gaara lebih cair sejak pria merah itu mengajaknya makan. Seolah tidak terjadi apa-apa, mereka asik bicara sampai malam di restoran. Pukul delapan malam, satu jam lagi supermarket akan tutup sehingga Gaara putuskan untuk membeli yang penting-penting saja.
"Kenapa membeli banyak susu protein?" tanya Hinata. diliriknya troli belanja yang dipenuhi kaleng susu lebih dari setengahnya.
"Apa aku belum bilang jika aku akan belanja bulanan untuk anggota Tiger?"
"Be– apa?! Kau tidak bilang apa-apa soal belanja untuk anggota Tiger."
"Oh ya? Sepertinya aku lupa." Gaara mengangkat bahu dan alisnya, kembali berjalan sambil mendorong troli. Hinata terkejut sendiri. Bagaimana bisa Gaara melupakan informasi yang sangat penting? Padahal mereka sama-sama tahu hobi masing-masing.
"Kenapa kau yang belanja?" Hinata mengikuti Gaara dari belakang. "Bukankah kau hanya sponsor mereka?"
"Tiger akan ada pertandingan di Kyoto minggu depan. Kebetulan mereka akan menginap di wisma milik keluargaku. Jadi, sekalian saja aku yang belanja kata manajer-nya."
"Manajer Tiger? Asuma-sensei?" Gaara mengangguk. "Aku tidak tahu kau ternyata sedekat itu dengan tim baseball Tiger."
Sepanjang sisa belanja dihabiskan oleh Hinata yang banyak bertanya soal kedekatan Gaara dengan atlet Tiger. Lebih jauh tentang keterlibatan Gaara di industri olahraga baseball. Ngakunya sih Gaara masih baru bergabung dengan dunia olahraga. Tapi Hinata curiga, jangan-jangan Gaara juga mantan atau seseorang yang pernah bermimpi menjadi atlet baseball.
"Oh, makanan kucing!"
Hinata berbelok seorang diri saat matanya menangkap rak berisi deretan makanan kucing. Dengan berbinar, matanya menangkap takjub satu per satu produk di etalase. "Oh, ada merk ini juga!"
Hinata mengambil salah satu kemasan berwarna biru. "Susah sekali menemukan varian ini secara langsung. Mungkin aku akan membelikannya kapan-kapan untuk Kiba." Gumamnya.
Awalnya Hinata merasa biasa saja, tetapi tiba-tiba ia merasakan aura yang salah. "A-apa aku belum bilang?" Hinata menaruh kemasan kembali ke atas rak. "Aku punya satu kucing di rumah. Kebetulan dulu kuberi nama Kiba." Hinata berbalik dengan canggung. Dilihatnya Gaara yang berwajah datar. Tanpa basa-basi, Gaara mendorong troli menuju kasir. "Ayo bayar."
.
.
Ciri khas awal bulan dan toko yang hampir tutup, Hinata dan Gaara antre agak lama. Tidak seperti sebelumnya, Gaara diam saja meskipun sadar Hinata berkali-kali mencuri pandang padanya.
"Maaf. Karena terlalu lama di restoran, kita jadi antre lama."
Hinata tidak tahu mengapa ia minta maaf. Padahal kalau dipikir, jam berapa pun sepertinya supermarket akan tetap penuh di awal bulan begini. Ditambah dengan balasan singkat berupa dehaman dari Gaara, membuat Hinata merasa tidak enak sendiri.
BUG
Gaara menutup pintu mobil agak kasar. Saat keluar supermarket, lelaki jade itu berjalan lurus ke ujung parkiran tempat mobilnya berada. Hinata memang sempat merasa tak enak hati karena tak ikut bantu membawa kantung belanja. Apalagi dengan sedikit tidak sopan malah masuk mobil lebih dulu. Tapi, apa yang bisa Hinata perbuat di kondisi canggung ini?
Terhitung sudah tiga puluh detik sejak Gaara masuk di kursi pengemudi. Pria itu tak kunjung menyalakan mesin mobilnya. Hinata pikir Gaara melupakan sesuatu atau apa, ia mulai menoleh takut-takut.
"Apa kau marah?"
"Tidak."
Gaara menjawab cepat tanpa menoleh. Sudah jelas marah kalau begitu, kan? Tapi Hinata jadi bingung sendiri tentang apa yang membuat Gaara kesal. Padahal ia pikir semuanya sudah kembali baik-baik saja.
"Kau... cemburu?" Hinata bertanya ragu-ragu. Dalam hati ia takut kegeeran, tapi itu jawaban tercepat dalam otaknya.
Pertanyaan Hinata sukses membuat Gaara menengok. Kini mereka berdua bertatapan. Remang-remang di malam hari, Hinata bahkan kesulitan melihat alis tipis Gaara yang tertutupi kegelapan.
"Menurutmu?" iris jade itu menatap dingin. "Bagaimana tidak? Tentu saja aku cemburu." Suara decakan agak kencang terdengar. "Kau sedang pergi denganku tapi malah menyebut nama lelaki lain."
"Tapi itu memang nama kucingku."
"Yang KEBETULAN bernama sama seperti nama mantanmu?"
"I-itu..." lidah Hinata serasa kelu untuk menjelaskan. Ia merasa tersudut. Menurutnya itu hanya sebuah nama. Tapi entah mengapa, Hinata merasa lebih takut mengecewakan pria yang belum lama dikenalnya ini.
"Padahal aku sudah mulai melupakan kejadian kemarin. Oke, dia mantan pacarmu. Tapi kenapa dia membuka kafe kucing karena teringat padamu?"
"Aku tidak tahu." Hinata balik membalas cepat. Ia bahkan sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengan Kiba mantannya. Bagaimana ia bisa tahu? "Lagipula, kenapa?" Hinata membuang napas kasar. "Kenapa kau begitu?"
"Apa masih tidak jelas?" Gaara menatap tak suka pada Hinata yang diam saja. "Aku menyukaimu."
Hinata tersentak. Gaara biacara dengan tegas dan penuh tekanan. Sedikit menganga selama beberapa saat, Hinata menutup mulutnya. "Bagaimana bisa?"
Gaara semakin dibuat heran. Ia tidak suka dengan Hinata yang terlihat kebingungan. Mereka berkenalan di aplikasi kencan. Sudah jelas mereka akan saling menyukai, kan?
"Sekarang aku balas bertanya, apa kau menyukaiku?"
Pertanyaan Gaara sukses membuat Hinata menahan napas selama beberapa detik. Ia tidak menyangka momen ini akan tiba dengan cepat dan dengan suasana yang begini. Beberapa kali menghindari pandangan, Hinata masih terdiam cukup lama. "Kau tidak tertarik padaku?" sementara Gaara mendesak untuk mendapatkan jawaban.
"Tentu saja aku tertarik. Hanya saja... ini... terlalu cepat?" Hinata bicara ragu, sedikit banyak ia meminta persetujuan. Meminta validasi dari sebuah kebimbangan.
"Kalau begitu buktikan."
"Buktikan apa?"
"Cium aku jika kau tertarik padaku."
