Chanyeol X Baekhyun

(other characters will appear later)

Romance, Slice of Life, Age-gap

.

.

Menjadi mahasiswa tingkat akhir dengan segala beban kuliah serta hidup merantau sudah cukup membuat Baekhyun kesulitan setengah mati. Dan kedatangan pekerja kantoran payah nan merepotkan tepat di samping kamar apartemen murahnya sudah bagaikan petaka. Namun, Baekhyun menemukan dirinya tak bisa berhenti terlibat ke dalam hidup pria itu, hingga rasa jengkelnya untuk si pria payah mulai berubah menjadi sesuatu yang lain.

.

.

Warning: Bahasa tidak sesuai kaidah. Serba suka-suka, termasuk detail seperti adanya skripsi untuk kelulusan S-1 di Korea, dan lainnya. But still, hope u enjoy it.

.

.

oOo

.

Begini. Baekhyun rasa selama tiga setengah tahun ia kuliah, ia tidak tergolong mahasiswa yang bodoh-bodoh amat. Paling tidak hanya tiga kali dia pernah mendapat nilai C dari seluruh mata kuliah yang pernah ditempuhnya (itu termasuk bisa dibanggakan, kan?). Kalau dibandingkan dengan teman-temannya pun, dia sudah cukup hebat karena jurusan Hubungan Masyarakat di kampusnya tegolong jurusan top secara nasional.

Tapi, kenapa mendapatkan persetujuan atas judul Tugas Akhir-nya saja susah sekali? Baekhyun yakin dirinya sudah melakukan cukup riset tentang topik yang ia angkat dan menemukan sudut pandang, variabel, dan metodologi yang tepat. Pun sudah ia tanyakan kelayakan judul skripsinya itu pada beberapa orang senior yang baru saja menyelesaikan Tugas Akhir dengan hasil gemilang. Setelah itu semua, masih juga (calon) dosen pembimbingnya menemukan celah mendebat proposal yang Baekhyun ajukan. Rasanya kalau sekali lagi proposal skripsinya belum disetujui juga, Baekhyun bisa menyerah dan memilih pulang kampung saja.

Oke, bercanda. Itu tidak mungkin. Kecuali Baekhyun siap diusir dari rumah tanpa perbekalan apa-apa.

Berkat semua tetek-bengek skripsi itu, Baekhyun terdampar di atas kasur single size lusuh dan berantakannya dengan benak risau gundah-gulana. Sejak tadi yang dilakukannya hanya menatap langit-langit kamar beserta debu-debunya yang sudah lama tidak ia bersihkan karena terlalu malas, menunggu ponselnya berdenting tanda notifikasi masuk, dan.. ah, hanya itu rupanya. Notifikasi yang ia tunggulah yang utama. Barangkali keajaiban terjadi dan sang calon dosen pembimbing membalas surel dengan lampiran proposal dengan judul yang sudah diperbaiki yang baru saja ia kirimkan dengan sebuah persetujuan.

Cetung.

Kalau kau pernah lihat orang terbang, baru saja Baekhyun nyaris melakukannya begitu mendengar bunyi yang ia tunggu. Seketika ia sudah duduk rapi bersila di atas kasur dengan ponsel tergenggam di kedua tangan.

[Tidak buruk. Yang ini boleh. Temui saya di kampus besok bersama hard copy-nya.]

Dengan hidung mengembang, Baekhyun menarik napas dalam-dalam seolah akan menghabiskan seluruh oksigen yang ada di dalam kamar, kemudian—

"YEAAHH!"

Kali ini ia sungguhan terbang. Dan tahu-tahu saja sudah menari di ruang sempit yang tersisa di kamarnya. Mungkin itu tari campuran antara koreografi Sorry Sorry milik Super Junior dan gaya ikan kehabisan napas. Apapun itu, jelas Baekhyun hanya sedang mengekspresikan kegembiraannya.

"Yeah!" Satu kepalan tangan yang dipukulkan ke udara, dan berakhirlah koreografi dadakan karya Byun Baekhyun. Setelah ini, ia bisa melaksanakan janjinya untuk mentraktir dirinya sendiri dengan mie di restoran dekat kampusnya seharga lima porsi kue beras. Tidak masalah, Baekhyun sudah menyiapkan alokasi dana untuk itu dan toh rasanya memang enak sekali.

Meski baru saja melakukan tarian yang bahkan lebih melelahkan dari koreografi Ko Ko Bop milik EXO, Baekhyun membuka pintu kamar dengan riang dan napas plong. Berniat menyapa siapapun yang lewat meski hanya seekor serangga, memberitakan bahwa dirinya sedang sangat sangat bahagia.

Hanya saja begitu pintu kamar sempurna terbuka—

DUG.

Sebuah kardus besar yang entah berisi apa jatuh dari gendongan pemiliknya. Tepat di depan kamarnya. Pria itu jelas kerepotan dengan sisa satu kardus besar yang masih diangkutnya untuk membenahi barangnya yang jatuh. Nasib baik plester perekat kotak itu masih menempel erat sehingga isinya tak berhamburan—meski entah terselamatkan atau tidak.

Baekhyun mengernyit. Senyum bahagianya tersisa cengiran seperempat. Dari dua puluh empat jam, seribu empat ratus empat puluh empat menit, atau delapan puluh enam ribu empat ratus detik dalam sehari, mengapa pria ini harus lewat dan menjatuhkan barangnya saat ini di tengah koridor sempit di depan kamar Baekhyun?

Dan lupakan soal nasib baik tadi, plester perekat dari kotak kardus yang jatuh tahu-tahu terlepas. Sekian banyak barang yang tidak ada korelasinya satu sama lain berhambur keluar. Apa itu? Sendok nasi, jam dinding—hey, apa itu boneka anjing?—botol sabun-entah-apa, lilitan kabel, spons cuci piring yang masih baru, lalu—sungguh, Baekhyun sampai capek sendiri melihat betapa buruknya pria ini mengatur barang dalam kotak.

Ketika mengangkat kepala dari bencana di lantai koridor itu Baekhyun bertemu tatap dengan si pemilik. Pria itu mengerjap. Menampakkan senyum yang separuh aneh separuh menakutkan.

Apakah sebaiknya Baekhyun menutup kembali pintu kamarnya sekarang?

"Bisakah.. kau membantuku?"

Oke. Terlambat.

Karena sejak tadi tidak ada seorang pun yang lewat apalagi datang membantu, bisa Baekhyun simpulkan bahwa hanya ada dirinya yang menyaksikan kejadian ini dan paling memungkinkan untuk menjadi sukarelawan membantu pria itu.

Maka setelah dengan berat hati menunda ekspresi kebahagiaannya, Baekhyun tersenyum setengah hati. Memberi anggukan.

Mata milik pria itu seketika tampak berbinar-binar—nyaris secara harfiah, sebab bentuk mata itu sendiri sudah bulat dan besar sekali. Dengan demikian, berpindah tanganlah kotak di tangan pria itu kepada Baekhyun. Dirapikannya kekacauan dari kotak yang terjatuh. Yang hanya dengan melihatnya, Baekhyun mulai merasakan dorongan besar untuk marah-marah saking asalnya pria itu memasukkan kembali barangnya ke dalam kotak.

"Ke sini," kata pria itu, bermaksud mengarahkan Baekhyun untuk mengikutinya.

Sudah susah payah berusaha menutup pintu kamar dengan sebelah tangan sementara yang lainnya berjuang tetap menggendong kotak yang beratnya minta ampun ini, Baekhyun mengikuti pria itu. Ia sangka akan ke mana pria itu berjalan.

Tahunya, mereka berhenti di depan pintu kamar tepat di samping kamar Baekhyun.

Ha?

Pintu kamar itu sudah terbuka. Beberapa kotak berbagai ukuran sudah tergeletak di dalamnya. Tanpa perlu diberitahu, Baekhyun segera mengerti pria ini baru saja pindah. Ia tahu kamar ini memang kosong sebelumnya.

Baekhyun lagi mengikuti pria itu. Meletakkan kotak yang dibawanya di samping tempat pria itu meletakkan yang satu lagi.

"Terima kasih," katanya begitu mereka kembali berdiri tegap saling berhadapan.

Baekhyun memaksa kedua sudut bibirnya untuk tertarik ke kiri dan ke kanan. Membalas senyum pria itu.

"Ah," Mengibas-ngibaskan telapak tangan ke kain celana, pria itu kemudian mengulurkan tangan. "Aku Park Chanyeol. Terima kasih sudah membantu."

Segera Baekhyun menyambut uluran tangan itu. Tanpa sengaja ia berkeinginan cepat-cepat kembali ke kamar sampai bereaksi secepat ini. "Byun Baekhyun. Senang bisa membantu," ucapnya.

"Aku akan tinggal di sini mulai hari ini. Mohon bantuannya."

Melihat pria itu sedikit membungkuk padanya, Baekhyun segera melakukan hal yang sama. Pria tinggi ini jelas lebih tua darinya, dan tidak sopan sekali Baekhyun bila tidak menghiraukannya.

"Semoga kerasan. Kalau begitu aku kembali ke kamar," senyum Baekhyun, pamit undur diri. Tidak perlu ia menunggu kata 'ya' selesai diucapkan pria itu, segeralah ia melenggang kembali ke kamarnya.

Menguap sudah rasa ingin berselebrasinya. Meski cuma hal kecil, yang barusan itu tak ayal merusak suasana hati Baekhyun. Ia tidak akan menyalahkan pria itu. Mungkin hanya apes saja, baik Baekhyun maupun pria itu.

Sekembalinya ke kamar, Baekhyun kembali tidur-tiduran. Laptop masih menyala di atas meja kecil di lantai.

Selama bermenit-menit tak melakukan apapun, suara-suara mengganggu menemani.

Duk. Duk.

Srash.

Duk. Duk.

Sreett.

Oh astaga!

Baekhyun tahu pindahan itu merepotkan, tapi sungguh, sekali lagi, kenapa sih harus sekarang?

Suara langkah kaki mondar-mandir, plastik yang disingkap, langkah kaki lagi, kemudian bunyi plester dibuka, juga sekian bebunyian yang tidak ada hentinya, terus memenuhi udara.

Baekhyun mulai merengut akibat semua itu. Entah berapa lama—mungkin nyaris tiga jam—suara-suara itu baru hilang. Membuat Baekhyun harus berusaha berlapang dada untuk yang kesekian kalinya hari ini. Kali ini untuk konsekuensi hidup bertetangga.

Ketika akhirnya semua kebisingan itu berakhir, pesan teks Baekhyun terima dari dosen yang kini resmi menjadi pembimbing skripsinya. Isinya, kabar bahwa ada beberapa catatan untuk proposal penelitian Baekhyun yang perlu (sebaiknya segera) diperbaiki. Disusul notifikasi berikutnya yaitu surel dengan lampiran file proposal dengan catatan. Salinan yang harus Baekhyun bawa esok hari adalah versi yang sudah diperbaiki.

Yang artinya, satu malam untuk melakukan perbaikan.

Baekhyun menengadah. Badannya loyo seolah baru saja tersedot tenaganya untuk membaca semua kabar itu. Tapi dua detik berikutnya ia telah duduk tegak kembali. Beralih ke laci nakas di samping kasurnya dan menarik keluar satu-satunya biskuit kemasan yang ia punya, kemudian kembali duduk di depan laptop seperti yang telah ia lakukan sejak pagi. Dan malam sebelumnya. Dan hari sebelumnya.

Baekhyun baru sadar nyaris setiap waktu ia berkutat dengan perangkat ini.

Bersama sebungkus biskuit untuk mengganjal perut, Baekhyun mulai bekerja lagi saat petang nyaris tiba.

.

.

Nyaris saja Baekhyun berhasil jatuh tertidur setelah berjibaku dengan lebih dari sepuluh catatan sang dosen pembimbing—dari hal yang ia sadari memang kurang lengkap sampai yang ia tak mengerti mengapa hal itu harus diberi catatan—yang harus ia revisi, pintu kamarnya diketuk.

Demi Tuhan.

Siapapun itu, berhak mendapatkan ucapan selamat karena telah beruntung disumpahi Baekhyun diam-diam dalam hati (dan percayalah itu bukan hal baik).

Sebab, berani-beraninya orang ini mengganggu Byun Baekhyun yang baru saja akhirnya mendapat hak untuk merasakan permukaan kasur yang nyaman.

Baekhyun kembali duduk dari posisi nyaris berbaringnya. Melenguh pelan memijat dahi hingga pelipis. Setidaknya ia masih belum semurka itu untuk melemparkan laptopnya kepada siapapun yang baru saja mengetuk.

Tiga kali ketukan berikutnya terdengar. Baekhyun menghela napas berusaha berlapang dada bangkit dari dari empuknya kasur.

"Sebentar!"

Tidak apa-apa, barangkali itu bibi samping kamar yang biasa minta bantuan, hibur Baekhyun dalam hati. Kalau memang iya, akan selalu ada dispensasi karena kebaikan hati wanita itu yang sesekali memberikan uang jajan tambahan untuknya—cukup untuk beli seporsi kue beras.

Baekhyun menarik kaitan penahan pintu. Memutar kunci. Mendorongnya terbuka tanpa prasangka.

"Selamat malam," sapa seorang pria tinggi di depan pintu dengan cengiran lebarnya. Baekhyun bahkan belum sempat bereaksi, atau kecewa, atau kembali pada mode ingin murkanya karena lagi-lagi orang ini yang mengganggu, dan pria itu sudah semerta-merta mengatakan maksud kedatangannya. "Apa kau punya kunci inggris?"

.

tbc

.

.

Bakal slow update. Litereli.

Akhirnya saya memberanikan diri buat nulis ini (meski belum rampung perkara skripsi huhu) sejak pertama kali idenya muncul tahun lalu waktu saya daydreaming soal skripsi di semester 5. This is my second time (planning) to write a quiet long fic. I wish I can do better than Blinded. Aamiin.

Thanks for reading. Yang kebetulan mampir dan baca ini jangan lupa feedback-nya yh~

Ah, tho it's a lil bit late, happy birthday chanyeori.