"... hyun.."
Panggilan samar itu bertabrakan dengan bunyi dentum musik lewat cara yang tidak sedap didengar. Baekhyun yang tengah berdiskusi dengan Profesor Ji di meja kelab malam dengan lampu disko berpendar kedap-kedip langsung terusik.
"Baekhyun.."
Mengganggu saja!
Kali ini tepukan lembut bisa Baekhyun rasakan. Entah memang baru dilakukan atau kesadarannya yang baru mulai cukup untuk kembali mengindra.
Lenguhan keluar dari mulutnya. Seperti dilempar kelambu, suasana kelab dan sosok Profesor Ji mengabur. Terus pudar, sampai berganti ke yang sama sekali berbeda.
Satu tarikan napas panjang. Baekhyun ngulet di luar kendali pikirannya yang bahkan belum sepenuhnya bekerja dengan benar sekarang.
Setelah sesi peregangan singkat dan kuap lebar tak tahu tempat—memang empunya tidak tahu dan belum sadar—Baekhyun mengusap mata. Berusaha menyingkirkan kabut yang serasa mengaburkan pandangannya pascabangun tidur. Gerakan itu lantas terhenti begitu otaknya berhasil memproses bahwa ada kehadiran orang lain di dekatnya dalam kondisi baru bangun begini.
Profesor Ji?
Baekhyun mencoba bangkit. Sayangnya itu malah membuatnya sadar kalau kepalanya terasa begitu berat. Rasanya pengar sekali. Kelebatan soal kelab malam, minuman, bahkan draf penelitiannya dan Profesor Ji, silih-berganti lewat di pikirannya. Sembari itu, dia juga mau tanya, kenapa tadi dia seperti melihat ada Park Chanyeol di kamarnya?
"Ini."
Sekarang mug bergambar jerapah disodorkan ke depan wajahnya. Isinya tampak bening dan tak ada aroma aneh-aneh—oh, air putih. Dengan sedikitnya kesadaran yang Baekhyun punya, begini-begini dia masih punya insting untuk tidak sembarang menerima apa yang disodorkan padanya.
Bersamaan dengan lagak tidak-tahu-harus-apa-selain-menerima-gelas-itu, Baekhyun baru mengedarkan matanya ke sekeliling dengan perasaan yang kian detik kian ciut.
Nah. Kenapa dia terbangun di tempat yang bukan kamarnya?
"Aku tidak punya minuman pereda mabuk atau bahan untuk membuat haejangguk. Maaf hanya memberi air."
Kalimat itu lewat begitu saja di pendengaran Baekhyun tanpa benda-benar ia biarkan mampir ke otak untuk diinterpretasi maksudnya. Satu-satunya yang memenuhi kepala Baekhyun sekarang adalah, "Kenapa kau ada di sini?" yang sialnya sudah lebih dulu keluar dari mulutnya sebelum terhenti oleh akal.
Duh. Baekhyun mau bilang 'kenapa aku ada di sini?', bukannya kalimat itu. Kesadarannya sepertinya belum cukup bagi otaknya untuk menyinkronkan motoriknya. Ini sudah jelas bukan kamarnya. Satu-satunya yang perlu ditanyai kepentingan untuk berada di sini adalah dirinya sendiri.
"Kau mengetuk pintu semalam. Dan kau mabuk. Dan.. yeah, kau tidur di ranjangku."
Akan lebih baik jika kasur ini menelannya sekarang juga. Atau berikan saja Baekhyun kekuatan ajaib untuk menghilang.
"Hah.."
Sebab meski tidak ingat sama sekali soal itu—kepalanya bahkan masih terasa sangat berat sekarang, apa yang kau harapkan?—Baekhyun mulai bisa membayangkan jalan cerita dari hal yang baru saja dikatakan Chanyeol.
Ia mabuk semalam. Dan bukannya tidak mungkin dia benar-benar bertingkah ceroboh nan bodoh seperti masuk ke kamar orang lain..
"Kau.. tidak bercanda.. kan?"
Dilihat dari gerak-geriknya, Park Chanyeol tidak tahu harus merespon bagaimana. Atau lebih tepatnya, dia memilih untuk tidak berusaha meyakinkan Baekhyun lebih jauh karena, ya, begitulah kenyataan yang terjadi. Lagipula meyakinkan orang yang baru saja kena hangover adalah perkara yang tidak mudah.
"Aku harus mulai siap-siap. Kau bisa istirahat dulu kalau mau," senyum Park Chanyeol.
Baekhyun tidak sempat menanggapi saat Chanyeol sudah meninggalkannya. Hell, otaknya masih terlalu lambanuntuk itu. Saat ini yang dilakukannya cuma duduk sambil menggenggam mug jerapah di atas kasur seperti anak bayi, sambil diam-diam memikirkan jalan untuk menyangkal bahwa dirinya baru saja melakukan hal memalukan. Di hadapan seorang tetangga, yang baru saja dikenalnya tak sampai seminggu. Kalau dia sering mengatai Kang Dongho tidak berbudi, maka dirinya adalah salah satu anggota dari kelompok bernama 'tidak tahu malu'.
Mungkin hal terbaik yang seharusnya segera Baekhyun lakukan setelah menenggak air minum di tangannya adalah mencuci gelas dan berpamitan. Juga minta maaf karena sudah merepotkan. Tapi sekali lagi, mungkin kecerdasannya sebagai makhluk berakal turun hingga batas minimum akibat bergelas-gelas alkohol—ditambah lagi hal itu dimilikinya setelah sebuah sesi konsultasi skripsi. Sepertinya otaknya korslet.
Alih-alih pamit untuk kembali ke kamarnya yang tepat ada di sebelah, saat ini—tepatnya sekitar lebih dari lima menit sejak Baekhyun membuka mata, Baekhyun justru berdiri di depan kompor untuk memanaskan makanan. Yang tentu saja, milik Chanyeol. Apa ini? Semuanya terjadi begitu saja hanya dalam beberapa menit.
Pria itu tadi mengaku hanya punya itu di lemari pendinginnya, dan memang berniat menjadikannya sarapan. Baekhyun yang ketika itu masih sedikit buffering, manggut-manggut dan menawarkan diri untuk melakukan apa yang ia lakukan sekarang ini. Tidak peduli jalan saja ia masih belum becus. Beruntung ada dinding yang bisa ia sandari sembari menunggui panci kukus di depannya melakukan tugasnya.
Omong-omong, pria ini boleh juga, menyimpan peralatan begini di unitnya. Sebab, jangankan microwave, teko pemanas air untuk menyeduh mi pun tidak disediakan di apartemen ini. Kepintaran para penghuni diuji dalam hal memenuhi kebutuhan masing-masing dengan fasilitas seadanya.
Setelah yakin memperhitungkan bahwa makanan sudah cukup hangat, Baekhyun mematikan kompor. Saat itu pula Chanyeol menghampiri.
"Biar aku saja," senyumnya. Pria tinggi itu sudah mengenakan stelan kerja minus jas. Ia segera memindahkan isi panci ke piring, hendak membawanya ke meja kecil tak jauh dari ranjang. Tak sampai tiga langkah pria itu beranjak, Baekhyun dibuat melotot sampai ia rasa efek mabuk pada dirinya langsung surut hingga nyaris tak bersisa, ketika Chanyeol nyaris terjerembab akibat tersandung langkahnya sendiri.
"HATI-HATI!"
Kalian pikir Baekhyun sempat berpikir untuk melakukan apa? Tentu saja tidak. Tahu-tahu saja ia sudah menahan pinggang tetangga barunya ini—lebih mirip memeluk erat-erat, sebenarnya—dengan kuda-kuda kokoh di kedua kaki menekuk yang terbuka lebar. Nasib baik tak ada seorang pun yang melihat posenya yang mirip pesumo-hendak-membanting-lawan-dari-belakang ini.
Berkat kuda-kuda Baekhyun yang secara ajaib dilakukannya dengan pengar yang belum hilang dari kepala, Park Chanyeol selamat. Beserta mandu di atas piring (yang salah satunya jatuh ke lantai akibat piring yang sempat miring).
Hela napas terdengar dari pria yang lebih tinggi. Ia jelas-jelas bersyukur tak jadi mencium lantai dan mengacaukan seluruh isi piring beserta piring itu sendiri.
"Terima kasih," kata Chanyeol, segera berdiri dengan lebih baik di atas kedua kakinya sendiri. Bersamaan dengan itu Baekhyun menyudahi aksi heroiknya.
Baekhyun menghela napas lega. Sungguh pagi yang absurd. Setidaknya berkat Park Chanyeol yang hampir jatuh, ia tahu-tahu bisa berjalan dengan baik sekarang. Seolah-olah hanya separuh gelas minuman yang ia tenggak semalam.
Ia lantas mengikuti Chanyeol, duduk berhadapan, dengan sepiring mandu di tengah-tengah.
"Ini." Chanyeol memberikan sumpit untuknya bersama seulas senyum kecil. Ah, Baekhyun rasa bahkan pria ini nyaris tidak pernah tidak tersenyum. Bonus lesung pipi yang tak pernah absen pula mengintip.
"Terima kasih, Chanyeol-ssi."
Tawa kecil terdengar. Chanyeol mulai mengambil sepotong mandu dengan sumpitnya. "Sudah kubilang panggil Chanyeol saja."
Barulah Baekhyun teringat akan kesepakatan itu. Ia mengangguk dan bergumam 'oke'.
Potongan kedua, dan Chanyeol berdiri sembari masih mengunyah.
"Aku harus berangkat. Dihabiskan, ya." Ia berkata dengan mulut separuh penuh. Berlari-lari kecil, Park Chanyeol meraih jasnya di gantungan baju.
"Huh?" Baekhyun menghentikan kunyahannya. Astaga, ini bahkan baru gigitan keduanya. Baekhyun akui, dia memang makan sedikit lebih lambat karena sambil separuh melamun—efek bangun tidur—tapi tidakkah Chanyeol terlalu terburu-buru?
Makanan Baekhyun masih tersimpan di dalam mulut tanpa terkunyah ketika Chanyeol duduk di depan pintu dan mengenakan sepatu. Mengatakan semacam 'aku pergi' padanya, dan benar-benar menghilang di balik pintu.
Apa pria itu serius? Membiarkan orang yang belum lama dikenalnya menghuni apartemennya, dan bersikap seolah-olah mereka ini adalah abang dan adik?
Kalau saja Baekhyun memiliki otak kriminal sedikit saja, malang sekali pria itu.
Setelah garuk-garuk kepala, Baekhyun melanjutkan kunyahannya. Park Chanyeol itu, agak ajaib.
.
.
Baekhyun teringat ia bahkan belum meminta maaf karena telah menginvasi kamar—dan ranjang!—Park Chanyeol yang dalam keadaan mabuk luar biasa Baekhyun kira kamarnya. Betapa merepotkannya dia. Belum lagi ditambah menumpang makan tanpa sikat gigi dan mencuci muka. Sebagai orang terpelajar (yang meski tidak pintar), Baekhyun sadar ia telah bertindak memalukan.
Ia meringis. Nanti saja saat pulang, ia kunjungi pria itu untuk minta maaf sekaligus berterima kasih. Mungkin dengan sedikit makanan juga—semoga saja isi dompetnya masih ada.
"Oh, kukira kau akan menemui Profesor Ji di sini?" tanya Junmyeon, yang dengan segera mengingatkan Baekhyun bahwa dirinya tengah berada di tengah percakapan dengan lelaki itu.
Baekhyun mengibaskan tangannya yang bebas. "Sudah cukup aku bertemu dengannya di mimpi semalam."
Melihat tatapan bertanya-tanya Junmyeon, Baekhyun langsung menambahkan, "Aku mimpi konsultasi dengan Profesor Ji di Hexagon."
Hal itu berbuah dengusan tawa dari Junmyeon. "Mimpi setelah menenggak alkohol memang biasanya lebih sederhana, tidak jauh-jauh dari apa yang kau alami selama seharian sebelumnya," katanya ringan.
"Oh ya? Apakah ada penjelasan untuk itu?"
Mengangguk, Junmyeon enteng menambahkan, "Alkohol membuat fase tidur REM lebih pendek dan otak memilih menayangkan mimpi yang sederhana."
Baekhyun memajukan bibir tanpa berpikir, mengangguk-angguk mendengar penuturan lelaki di sampingnya. Sebenarnya ia rasa ia tidak membutuhkan penjelasan ilmiah yang tidak kompatibel dengan otaknya seperti itu. "Ini jelas-jelas bukan pelajaran kita. Bagaimana kau bisa tahu sampai segitunya?"
Junmyeon mengangkat bahu, "Ilmu psikiatri. Itu cukup mendasar dan sangat populer."
Baekhyun angguk-angguk lagi. Memang tidak perlu diragukan kemampuan Junmyeon menjelaskan segala sesuatu secara ilmiah, tak terkecuali soal mimpinya yang tidak jelas tadi. Dan omong-omong, dia jadi sedikit berkecil hati karena tidak tahu hal yang disebut Junmyeon sebagai cukup mendasar itu. Baekhyun bahkan tidak yakin dia tahu apa itu fase REM. Sepertinya, sih, dia pernah dengar. Mungkin semacam ingin tidur nyenyak tapi tidak jadi karena ada yang mengerem—kalian mengerti maksudnya?
Ah, siapa peduli. Itu bukan urusannya. Tapi yang jelas, Junmyeon mungkin memang terlampau pintar. Kalau saat wisuda nanti Junmyeon tak terpilih sebagai salah satu perwakilan mahasiswa terbaik yang memberikan pidato kelulusan, Baekhyun akan mengajukan protes saat itu juga di hadapan para petinggi kampus di atas panggung. Mengambil alih pekerjaan pembawa acara semerta-merta.
"Jadi, ada perlu apa kau ke sini hari ini kalau bukan untuk bertemu pembimbingmu?" Junmyeon menghentikan monolog tiada henti dalam kepala Baekhyun.
"Hanya mengurus beberapa dokumen sebelum mulai mengumpulkan data," kata Baekhyun. Ia lantas menghela napas lega–kalimat barusan seperti menjadi penghibur sebab itu berarti Baekhyun benar-benar satu langkah lagi menuju kesuksesan. Yah, boleh saja kan Baekhyun menyebut 'merampungkan skripsi' sebagai 'kesuksesan'?
Di saat seperti ini lagi-lagi Baekhyun menyesal tidak mengambil proyek kelulusan lain saja alih-alih karya tulis ilmiah. Memang yang namanya penyesalan itu datangnya selalu belakangan.
"Kalau begitu.. kau mau menemaniku pergi ke suatu tempat?"
Baekhyun menelengkan kepala, "Ke mana?"
Junmyeon membentuk garis lurus di bibirnya, menatap Baekhyun sebelum kembali melanjutkan langkahnya. "Kau akan tahu nanti. Kalau kau tidak keberatan."
Tidak, tidak mungkin Baekhyun keberatan hanya untuk menemani seorang Kim Junmyeon yang sudah begitu berjasa dalam hidupnya. "Tentu saja tidak. Ayo pergi nanti."
Yang lebih tua tampak senang, kemudian merangkulnya kala mereka mulai memasuki bangunan utama gedung universitas.
.
.
Sejujurnya Baekhyun tak menyangka Junmyeon akan mengajaknya ke tempat ini. Bukannya Baekhyun sudah kebanyakan berprasangka, tetapi sungguh Junmyeon belum pernah membahas apa pun yang berkaitan dengan ini, apalagi mengajaknya.
"Ini kakakku."
Sedikit tersentak Baekhyun menoleh pada Junmyeon di sampingnya. Kemudian, kembali lagi ke guci keramik berukirkan sebuah nama yang belum pernah Baekhyun kenali sebelumnya yang ada di balik kaca pada salah satu bilik dari ratusan bilik pada rak di ruangan tersebut. Ada bingkai berisi foto seorang pria di samping guci tersebut.
Ini satu hal yang baru diketahui Baekhyun. Kayak Junmyeon sudah meninggal, dan abunya disemayamkan di rumah duka tak jauh dari kampus mereka. Dan saat ini, Junmyeon memperkenalkannya di hadapan mendiang kakaknya. Setelah Baekhyun memberikan penghormatan singkat, Junmyeon mulai berdoa, dan Baekhyun mengikuti.
"Dia meninggal beberapa tahun lalu karena sakit," kata Junmyeon, mencoba mengambil sedikit tanggung jawab dengan tidak membiarkan orang yang diajaknya kelewat penasaran. Baekhyun menghargai itu. Lagipula, Baekhyun tidak berniat memaksa Junmyeon memberi penjelasan.
Entah apa alasan Junmyeon mengajak Baekhyun ke rumah duka tempat abu mendiang kakaknya disemayamkan. Tapi kalau berkaitan dengan seorang tersayang yang sudah tiada, Baekhyun rasa tidak semua hal harus ditanyakan. Hal seperti ini biasanya memberi sentimen tersendiri bagi yang ditinggalkan. Dan Baekhyun, yang belum mengalaminya, belum tentu mengerti.
Setelah hanyut dalam diam selama beberapa saat, Junmyeon memecah hening, "Tidak ada yang mau kautanyakan?"
Keduanya bersitatap. "Kau ingin aku menanyakan apa?" balas Baekhyun separuh bercanda.
Junmyeon hanya tertawa kecil. Tanpa penjelasan gono-gini, Baekhyun seperti mengerti Junmyeon, dan Junmyeon mensyukuri dan menyukai hal itu. Bahwa Junmyeon tidak sungguh ingin Baekhyun mempertanyakan tindakannya atau bertanya terlalu jauh.
Mereka tak menghabiskan terlalu banyak waktu di sana. Namun, setelah 'menemui' mendiang kakak dari pria di sampingnya, agaknya suasana hati sedikit tergugah. Baekhyun dan Junmyeon secara naluriah berjalan dengan lebih pelan, melintasi ruangan-ruangan lain di rumah duka seolah menghormati setiap insan di sana yang dahulu juga menapaki dunia layaknya mereka saat ini.
"Terima kasih sudah mau kuajak ke sini."
Baekhyun menyipit menatap Junmyeon sedikit lebih lama. "Senyummu tampak sarat arti."
Junmyeon tertawa. Kali ini sedikit lebih geli. Tapi ia tidak menyangkal hal itu.
"Baiklah, akan kujawab. Sama-sama, sunbaenim."
"Yah, aku serius. Kau harus berhenti memanggilku begitu mulai sekarang. Aku mulai tidak menyukainya," kata Junmyeon, yang meski masih dengan cengiran geli, terdengar cukup serius di telinga Baekhyun.
"Hmm, akan kupertimbangkan," kata Baekhyun bersama kilat jahilnya.
Sebelum mencapai pintu keluar, Baekhyun rasa matanya mulai menciptakan halusinasi tidak masuk akal kala matanya tak sengaja melirik salah satu ruangan.
Berbekal keputusan kilat yang ia buat dalam waktu tak sampai setengah menit, Baekhyun menghentikan Junmyeon saat mereka baru saja beberapa langkah keluar dari rumah duka.
"A–aku lupa! Ada.. ada yang harus kulakukan di sekitar sini. Maaf, kau bisa pulang lebih dulu." Baekhyun berujar cepat, berakting senatural mungkin. Nah, ia harap kemampuan aktingnya tidak seburuk itu.
Junmyeon menaikkan alis. Sedikit banyak ia kaget dengan perkataan Baekhyun itu. Mereka bahkan belum betulan keluar dari area rumah duka.
"Oh ya?" Junmyeon baru saja ingin menanyakan urusan apa dan di mana, tapi begitu teringat ia mungkin perlu menghargai privasi lelaki itu sebagaimana Baekhyun melakukannya tadi, ia urung. Jadi dengan mengesampingkan keingintahuan, Junmyeon mengiyakan.
"Aku duluan, kalau begitu."
Baekhyun cepat-cepat mengangguk dan memasang senyum lebarnya. Membalas lambaian tangan Junmyeon sekali, lalu lagi saat pria itu berbalik untuk melambai sekali lagi sambil berisyarat 'hati-hati' kepadanya.
Selepas itu, Baekhyun menyelinap masuk lagi.
Baiklah, tolong jangan tuduh Baekhyun sebagai penguntit atau tetangga yang kelewat kepo–walaupun kelihatannya persis seperti itu. Tidak, Baekhyun cuma mau memastikan matanya tidak benar-benar menciptakan halusinasi tak relevan seperti memunculkan sosok Park Chanyeol di tempat seperti ini saat dia sendiri tidak sama sekali sedang memikirkannya.
Masuk ke ruangan di mana ia melihat sekelebatan tadi, Baekhyun menyembunyikan badan di balik pilar penyangga layaknya penyelinap ulung. Kepada ruh, malaikat, dan seluruh yang tinggal di tempat ini, tolong maafkan perbuatan manusia yang satu ini. Sungguh Baekhyun tidak berniat buruk.
Dan tara, Baekhyun sama sekali tidak berhalusinasi.
Itu benar-benar Chanyeol si tetangga.
Sosok tinggi itu masih di sana. Tampaknya baru selesai berdoa. Ia berdiam cukup lama di depan rak di pojok ruangan itu.
Baekhyun mulai menyesali perbuatannya. Bukankah tidak seharusnya dia melakukan ini? Benar, ia harus segera berhenti. Atau sekalian menyapa Chanyeol juga tidak ada salahnya.
Namun, Park Chanyeol tepat berbalik sebelum Baekhyun melaksanakan apa pun yang ia niatkan. Alih-alih, Baekhyun refleks membenahi persembunyiannya agar tidak ketahuan. Sampai pria itu keluar dan hilang dari pandangan, barulah Baekhyun balik merutuki diri.
"Sial, aku ini ngapain, sih."
Sembari merutuk, Baekhyun membawa kakinya untuk mendekati tempat Chanyeol berdiri lama sebelumnya.
"Kalau tidak salah yang ini..?"
Diamatinya foto wanita paruh baya di rak tersebut.
Tidak salah lagi.
Wajah cantik yang sangat mirip dengan pria itu.
Membungkuk, Baekhyun menyampaikan permohonan maafnya karena sudah bersikap tidak sopan tadi. Ia berdoa sejenak, baru berpamitan dari persemayaman tersebut. Mungkin wanita di foto adalah ibu atau bibinya.
Sudah diputuskan. Baekhyun akan mengaku saja. Dia sudah bersikap sangat sangat tidak sopan. Apa pula yang mendorongnya untuk ingin tahu urusan orang lain seperti ini?
Keluar dari rumah duka, Baekhyun masih bisa melihat punggung Park Chanyeol. Berjalan menuju gerbang. Baekhyun berlari mengejarnya.
"Cha–Chanyeol!"
Mungkin jarak mereka masih terlalu jauh untuk pria itu bisa mendengarnya.
"Chanyeol!" Baru di panggilan kedua, pria itu berhenti dan menoleh. Baekhyun dalam perjalanannya–sepertinya lebih tepat 'perlarian'-nya karena ia sungguhan berlari–sudah bisa menangkap bagaimana kedua mata pria itu membulat dalam kejut.
"Oh?"
Baekhyun sampai dengan sedikit terengah. "Anu.." Harus bilang apa, ya, dia?
Baekhyun juga tidak tahu kenapa, Chanyeol tampak sangat senang.
"Kau ada di sini juga rupanya," katanya. Senyumnya sumringah. Terpapar sinar sore begini, dilihat-lihat Park Chanyeol tampak sedikit berbeda di mata Baekhyun.
"Aku.. maaf, tadi aku melihatmu," mulai Baekhyun. Wah, sungguh pembukaan yang tidak berwibawa—dan tidak jelas.
"O-oke..?"
Baekhyun membuang napas. Ia akan bicara seadanya saja.
"Aku baru saja menemani seseorang di sini dan melihatmu di salah satu ruangan. Aku mengamatimu diam-diam dan menghampiri persemayaman yang kau datangi tadi setelah kau pergi. Begitu. Maaf, aku lancang sekali. Tapi aku sudah memberi salam dan berdoa, sungguh!"
Chanyeol masih tampak kebingungan. Kalimat-kalimat Baekhyun terasa membombardir dirinya terlalu mendadak.
"E-eh, kurasa itu tidak masalah," katanya kemudian. "Lagipula kau sudah mengatakannya padaku sekarang." Ia menambahkan dengan senyumnya yang beranjak kembali seperti sediakala pascakebingungan akibat kemunculan Baekhyun bersama pengakuannya.
Sekali lagi Baekhyun membuang napas. Kali ini lega. "Maaf," katanya lagi, dengan sedikit bungkuk badan.
"Tenang saja," hibur Chanyeol. Sungguh ia tidak menganggap Baekhyun melakukan kesalahan.
"Kau akan pergi lagi?" Baekhyun menyuarakan begitu saja apa yang muncul di kepalanya.
Chanyeol menggeleng. "Aku akan langsung pulang. Aku pulang cepat untuk mampir ke sini."
"Begitu," Baekhyun mengangguk. Ia memulai kembali langkahnya, dengan Chanyeol yang refleks menyamakan.
"Kau juga mau kembali ke apartemen?"
Lagi Baekhyun mengangguk menanggapi pertanyaan Chanyeol. "Tadi aku juga mampir setelah menyelesaikan urusan di kampus. Jadi tidak ada keperluan lagi di luar."
"Oh ya? Kau sedang kuliah, rupanya."
Baekhyun bersedekap. "Aku menargetkan lulus sesegera mungkin," katanya penuh tekad. Sekejap ia segera lesu dan melepas silang tangannya begitu ingat apa yang harus dilewatinya sebelum lulus. "Segera setelah penelitianku selesai."
Chanyeol tertawa. "Kau pasti bisa." Ia mengusak sekilas rambut lelaki yang lebih muda darinya itu.
Karena ia juga pernah mengalami, tentu saja Chanyeol mengerti rasanya harus bersusah-susah sebelum bisa lulus. Tetapi Baekhyun memang tampak lucu dengan tindak tanduknya menjelaskan itu.
Sementara itu, Baekhyun sedikit terhenyak dengan perlakuan Chanyeol. Hey, memangnya mereka sedekat itu?
Namun, hal itu tidak membuat Baekhyun terganggu sama sekali.
"Eh.. bukankah seharusnya kita lewat sini?"
Chanyeol baru sadar kalau mereka nyaris saja belok ke jalan yang berbeda setelah beberapa menit berjalan.
"Oh, aku menemukan jalan ini beberapa hari yang lalu. Lebih dekat ke apartemen kita."
Baekhyun menelengkan kepala. "Benarkah?" Bagaimana bisa penghuni baru lebih mengenal jalan dibanding dirinya?
"Tidak apa-apa kalau kau mau lewat jalan biasa. Kurasa beda jaraknya tidak terlalu jauh."
"Hmm, tidak, tidak. Coba beri tahu aku jalannya." Baekhyun berbelok ke jalan yang tadi hendak diambil Chanyeol.
Meski tidak mengenal jalan yang kini mereka lewati, Baekhyun pikir jalan pintas ini cukup meyakinkan.
Minus fakta bahwa jalanan tersebut sangat sepi, sempit, dan agak kumuh. Ini bukan berarti Baekhyun tidak pernah bersentuhan dengan tempat seperti ini—apartemen tempatnya tinggal saja tergolong payah—tapi, yang ini sepertinya agak mengerikan.
"Apa jalan ini aman?" tanya Baekhyun, tanpa sengaja memelankan suaranya, mulai memasang radar kewaspadaan. Bagaimanapun tidak ada tempat yang sepenuhnya aman di dunia ini.
Chanyeol menggaruk tengkuknya. "Sejauh ini aku belum pernah menemukan hal aneh, tapi–"
KLONTANG!
Keduanya sontak berhenti. Baekhyun sudah memasang kuda-kuda meski tak tahu apa itu benar-benar berguna. Sebuah kaleng raksasa—itu tempat sampah—menggelinding dari tikungan gang.
"Haish!"
"Heeyy, kau berisiik!"
Itu bukan suara mereka. Datangnya dari gang di depan sana yang jaraknya kurang dari dua meter.
"Sudah habiis.."
Gerutuan samar itu terdengar bersamaan dengan bunyi langkah yang diseret. Dua? Tiga orang? Disusul bunyi botol kaca yang jatuh dan berguling di aspal. Belum juga Baekhyun dan Chanyeol sempat bereaksi, dua sosok pria berbadan besar dengan wajah teler sudah muncul di hadapan mereka.
Chanyeol menelan ludah. Baekhyun di sampingnya tak ada beda.
"Wah, hahaha, pas sekali. Hahahaha,"
Baekhyun mendesis. Antara jeri dan jengkel. Dari semua waktu, kenapa yang begini harus terjadi saat mereka lewat? Bukannya apa-apa, orang seperti ini sering kali bertindak tidak terduga.
"Kemari, anak muda, kemari." Entah karena badan yang tinggi besar atau Baekhyun dan Chanyeol yang terlalu lama loading, dua pria tersebut sudah ada tepat di depan batang hidung mereka.
"Beri kami uang.. Kalian punya, kan? Ayo, berikan yang kalian punya."
Baekhyun merasakan tangannya digenggam, bersamaan dengan langkahnya yang terbawa mundur karena Chanyeol yang pasang badan di depannya. Jas pria itu sudah nyaris dirogoh oleh si dua pria asing, sebelum dalam waktu tak sampai dua detik, Chanyeol membisikkan sesuatu seperti 'ayo lari' dan demikianlah Baekhyun ditarik untuk lari-larian di jalan sempit, bergandengan dengan Park Chanyeol tetangga barunya, berkali-kali hampir tersandung karena sulitnya menyamakan panjang langkah dengan orang yang punya kaki lebih panjang.
Sungguh, ada apa, sih, dengan semua ini?
.
tbc
.
.
Lagi kepikiran kalo seandainya ffn beneran tutup usia (setelah berkali-kali dirumorin begitu), saya bakal sedih total karna udah bertahun-tahun terlibat love-hate relationship sama platform ini sebagai pembaca dan juga yg nulis. Hikdsrot.
As always, special thanks to prev chap's reviewer ChanBaek09, KlyJC, SA-SMURF01, BC1221
Waktu saya bilang ini bakal slow update, maksutnya nggak se-slow ini juga sih. Hikdsrot(2).
