Sudah saatnya mengatakan selamat tinggal pada rutinitas yang normal.

Mengatur napas sembari sebelah tangannya bertumpu ke lutut, di kepala Baekhyun berseliweran macam-macam gerutuan. Mengutuk pemabuk yang secara terlalu kebetulan berpapasan dengannya dan Chanyeol, mempertanyakan esensi melewati jalan pintas kalau akhirnya mereka harus kembali ke jalan yang biasa, serta perutnya yang tahu-tahu keroncongan dalam kondisi ngos-ngosan seperti ini.

"Huh.. yang benar saja.." keluh Baekhyun, masih bersama napasnya yang satu-satu.

"Kurasa aku tidak akan lewat situ lagi." Chanyeol juga masih ngos-ngosan. Masih beberapa ratus meter untuk mereka sampai di apartemen, tapi ia sudah merasa ingin selonjoran di sini saja.

"Tidak akan pernah," tukas Baekhyun. Gila saja. Baekhyun tahu satu dari dua orang tadi sudah berniat memecahkan botol yang baru saja diambilnya kembali pasca sempat mereka buang. Tampak jelas sekali. Baekhyun juga yakin Chanyeol menyadarinya hingga pria itu langsung mengajaknya kabur. Belum lagi kemungkinan bahwa tidak hanya ada dua yang seperti itu di sekitar sana. Setidaknya dari kejadian tadi, Baekhyun tahu di antara ia dan Chanyeol tidak ada yang bisa andalkan untuk membela diri dalam keadaan terpojok oleh bahaya.

"Astaga, maafkan aku karena membuatmu berada dalam bahaya." Chanyeol menyeka keringat di dahi sembari berkata demikian, menoleh pada Baekhyun di sampingnya saat mereka melanjutkan perjalanan. Omong-omong, disebut 'perjalanan' begini, makin terasa pula betapa jalan pulang mereka terasa jauh lebih panjang akibat 'salah jalan' tadi. Ini juga gara-gara jarak rumah duka terlalu dekat kalau mereka mau naik bus, dan memang agak jauh kalau jalan kaki. Insiden tadi cuma bikin tambah capek saja.

Baekhyun lagi-lagi menghela napas. Tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun. "Apa boleh buat."

Sekejap saja setelah Baekhyun berkata demikian, perutnya bunyi lagi. Ia menelan ludah.

Chanyeol menoleh lagi. Alisnya terangkat. "Sudah lapar, ya? Benar juga, aku juga belum punya apa-apa untuk makan malam nanti."

Bagi Baekhyun kalimat itu sama saja seperti: Kau sudah lapar? Padahal belum waktunya makan malam, lho!

Oke, itu cuma pikirannya yang main hakim sendiri. Ia tahu bukan itu maksudnya.

"Kita mampir beli makanan saja. Kau mau makan bersama lagi?"

Hah?!

Baekhyun hampir saja menganggap ajakan itu layaknya sesuatu yang bisa disalahartikan sampai dia ingat bagaimana tadi pagi ia duduk berhadapan dengan pria ini sambil mengunyah mandu dalam kondisi belum cuci muka dan sikat gigi.

"M–makan malam.. ya.. boleh, deh." Respon yang jelek sekali.

Tangan Baekhyun hendak terangkat menggaruk pelipis akibat mati gaya. Dia agak malu, meski Chanyeol kelihatan fine-fine saja dan enteng sekali membahasnya.

Namun, gerak tangannya tertahan.

Tepatnya karena tangan kirinya itu masih bertaut dengan milik Park Chanyeol.

Hal itu seperti membuat kesadarannya beku sesaat dengan mata yang nyaris melompat keluar. Disusul Chanyeol yang ikut menoleh pada tautan tangan mereka setelah Baekhyun tak sengaja mengeluarkan suara aneh seperti cegukan saking kagetnya dia.

Chanyeol juga terkejut. Ia segera melepasnya dan minta maaf lagi. "Aku baru sadar," katanya bersama sedikit tawa canggung. Namun itu tak benar-benar bertahan lebih dari itu. Pria itu segera teralihkan begitu mereka melintasi sebuah rumah makan kecil. Dia tampak sumringah.

"Apa kita makan sup ayam jahe saja? Kau mungkin masih membutuhkannya karena sangat mabuk semalam?"

Baekhyun nyengir terpaksa dan mengiyakan saja. Belakangan terlalu banyak hal di luar kebiasaan yang terjadi. Baekhyun tadinya fokus pada fakta di mana ia juga tak sadar masih menggenggam tangan Chanyeol (yang tidak mau dia akui), sekarang ia sudah teralihkan lagi pada pertanyaan tentang kenapa Chanyeol masih ingat dan harus kembali mengungkit mabuknya yang semalam.

Dan mereka benar-benar memesan sup ayam untuk dibawa pulang.

"Totalnya enam belas ribu."

Selepas harga disebutkan, Baekhyun menghentikan Chanyeol yang hendak membayar.

"Biar aku saja!" Dikeluarkannya dompet dari saku.

"Tidak usah. Aku traktir saja, ya."

"Tidak, tidak. Aku akan membayarnya." Baekhyun langsung mengeluarkan nominal yang dikatakan bibi pemilik rumah makan itu.

"Jangan begitu, kau tidak perlu membayar milikku juga."

Baekhyun segera menggeleng menanggapi perkataan Chanyeol. "Aku sudah dua kali makan makananmu dan satu kali tidur di kamarmu. Tentu saja kali ini harus aku yang bayar."

Bibi pemilik kedai terkejut mendengarnya. 'Tidur di kamarmu'? Apa yang seperti itu harus disebutkan di sini? Prasangkanya jadi ke mana-mana: Apakah dua orang ini adalah pasangan, atau mereka semacam berada dalam hubungan yang 'seperti itu'.

Namun, si dua pembeli ini tak menyadari reaksi itu. Chanyeol hendak membantah lagi karena bagaimanapun, ia terus memikirkan fakta bahwa Baekhyun masih anak kuliahan.

"Aku. Yang. Bayar." Baekhyun sekali lagi menegaskan begitu menangkap gelagat Chanyeol yang hendak menyerobot tangannya untuk membayar.

Melihat isi dompetnya, Baekhyun mengelus dada secara imajiner mengetahui harga makanan di sini masih terjangkau. Delapan ribu won untuk seporsi sup ayam jahe yang tercium enak di zaman sekarang ini lebih dari sekadar menguntungkan baginya.

Meski begitu, agak berat Baekhyun menyerahkan lembaran uang itu, sebab setelah itu sisa di dompetnya kini tak lebih dari 20.000 won saja.

Baekhyun menggigit bibir bawahnya dalam ketidakrelaan saat menyodorkan uang. Kalau sudah begini, mau tidak mau ia harus minta dikirimkan uang lagi. Baekhyun tidak menyukai itu. Kau tahu, di umur-umur begini, minta uang tak enak hati, tidak minta kau bisa mati.

Seharusnya dia bisa lebih berhemat di hari-hari kemarin. Benar, seharusnya Baekhyun sadar lebih awal soal itu.

Chanyeol di tempatnya, memasukkan kembali dompet miliknya sambil mengamati bagaimana Byun Baekhyun tampak tiba-tiba murung dengan bahu yang turun seperti itu.

.

.

Makan berdua dengan Park Chanyeol dalam kondisi 'normal' sebagai tetangga-strip-teman baru ternyata tidak buruk juga. Maksudnya, entah dari mana awalnya, pria ini membawa obrolan pada sesuatu yang tidak Baekhyun kira dia butuhkan saat ini.

"Kau bisa mengincar varian kimbab segitiga yang diskon saja. Utamakan mengecek di malam hari. Dan walaupun dituliskan kedaluwarsa malam itu, sebenarnya itu masih bisa kau makan keesokan paginya."

Benar, Park Chanyeol sedang memberikan tips berhemat tanpa diminta. Kali ini mereka sampai di bagian 'makan hemat dari jajanan minimarket'.

Baekhyun mengangguk-angguk. Dia sudah tahu bagian yang ini.

Menyimpan makanan di satu sisi pipinya hingga menggembung, Chanyeol menambahkan, "Jangan lupa gunakan aplikasi yang bisa menukarkan poin jalan kaki dengan kupon minimarket itu."

Baekhyun angguk-angguk bersemangat sambil menyuap nasi. "Aku baru saja memasangnya beberapa waktu lalu."

Sup mereka tinggal separuh, dimakan bersama nasi dingin yang masih Chanyeol simpan. Untunglah nasi itu masih layak konsumsi.

Mungkin gara-gara harus lari-larian tadi, Baekhyun jadi merasa lebih lapar dari biasanya. Dia melahap habis makanannya dalam waktu singkat.

"Biar aku saja." Ketika makanan sudah mereka tandaskan dan tersisalah pekerjaan mencuci piring, si pria pemilik apartemen mengambil alih bagian itu. Baekhyun yang tadi hampir mau melakukannya, kembali ke tempat duduknya.

Di ruang yang tak seberapa luas ini, Baekhyun bisa mengamati dengan jelas kegiatan Chanyeol mencuci piring.

"Kau pindah ke sini karena pindah tempat kerja?" Menyamankan diri dalam posisi memeluk lutut di belakang meja makan kecil Chanyeol, Baekhyun mulai kembali melontar tanya.

Chanyeol menanggapi dengan gelengan. Tangannya sudah mulai bekerja di bak cuci. "Aku menyewa tempat tinggal agak jauh sebelumnya, Setelah gajiku membaik, aku mulai mencari tempat yang lebih dekat. Dan tempat ini sangat cocok."

Baekhyun mengangguk tanda paham. Ia juga sedikit tahu kalau semakin mendekati pusat perkantoran, sering kali semakin sulit mendapatkan tempat tinggal layak dengan harga sewa terjangkau. Dia jadi tidak enak pada orangtuanya yang sudah memilihkan tempat ini untuknya.

"Kau sendiri, sudah mulai tinggal di sini sejak awal kuliah, ya?" Chanyeol sesekali menoleh singkat pada Baekhyun.

"Ya." Setelah mendengar Chanyeol baru pindah ke sini begitu gajinya membaik, barulah Baekhyun merasa harga sewa tempat ini memang terbilang cukup mahal. Walau tentunya, masih jauh lebih murah dari tempat seperti milik Junmyeon.

"Tapi tempat ini benar-benar strategis. Dekat dengan banyak pusat kegiatan kota—astaga!"

Mungkin kurang dari satu setengah detik lamanya untuk beberapa hal terjadi beruntun. Tangan Chanyeol tergelincir saat mencuci sebuah mangkuk. Lalu karena dia berusaha menahan genggamannya pada mangkuk itu, sikunya menyenggol mangkuk kotor di sebelah kiri. Dan mangkuk kotor itu pun jatuh. Pecah. Dengan memberi sedikit cipratan noda sisa makanan di lantai.

Barulah setelahnya Baekhyun sadar dia sudah menahan napas. Melihat Chanyeol kelihatan akan beranjak membereskan, Baekhyun langsung menyela. "Tunggu! Diam di situ!" Ia berdiri. "Pecahannya bisa melukai kakimu. Kau diam di situ. Di mana kau letakkan sapu dan kain lap?"

"Di.. di sana, di samping lemari."

"Kau lanjutkan saja itu. Biar aku yang bersihkan."

Mungkin keseharian Baekhyun sedang diliputi semacam kekuatan ajaib. Kekuatan yang membuatnya jadi sangat 'sibuk' belakangan ini. Sudah kenyang menikmati sup hangat yang enak beserta nasi, sekarang dia sedang memunguti pecahan mangkuk dan membungkusnya dengan kain, lalu memastikan tidak ada serpihan yang tersisa. Kepalang tanggung, Baekhyun mengepel sekalian. Sembari itu, dia juga disibukkan dengan perang mulut dengan Chanyeol yang terus-terusan menyuruhnya berhenti—yang tentunya tidak Baekhyun turuti.

Usai itu semua, Baekhyun merebahkan kepala di meja, seperti sudah sungguhan kehabisan tenaga. "Capek juga."

"Maaf, maaf." Chanyeol mengusap tengkuknya.

Sejurus Baekhyun kembali mengangkat kepalanya. Ia menyipit. "Kau ini agak mengkhawatirkan, kau tahu?"

Jangan salahkan Baekhyun yang sudah bisa bicara seperti itu. Selain bicara dengan Chanyeol bisa membuatnya merasa mereka memang teman dan berusia tak beda jauh, polah pria ini memang sangat mengkhawatirkan.

Chanyeol menampakkan gigi-giginya. Ia tak bisa menyangkal.

"Aku akan kembali ke kamar." Baekhyun mulai berdiri. "Selamat malam."

"Ah, ya, selamat malam." Chanyeol ikut berdiri, mengantar sampai pintu.

Baru juga Baekhyun masuk ke unitnya dan menutup pintu di balik punggung, ponsel di genggamannya bergetar singkat tanda pesan masuk.

[Baekhyun, maaf menghubungimu di jam seperti ini. Bisa kutelepon kau sekarang?]

Bisa kau tebak dari siapa pesan itu? Akan sangat jauh lebih baik jika itu adalah Dongho atau Junmyeon, tetapi bukan.

Itu Profesor Ji.

Baekhyun mulai merasakan sesuatu yang aneh di perutnya. Ia gugup tiba-tiba. Perasaannya tidak enak. Siapa yang tidak berpikir macam-macam saat menerima pesan bernada mendesak seperti itu dari dosen pembimbing di malam hari?

[Ya, Profesor.]

Ponsel Baekhyun bergetar panjang tak sampai sepuluh detik setelah ia mengirimkan pesan balasan. Buru-buru diangkatnya panggilan itu.

"Halo? Ya, Profesor?"

Salam Baekhyun dijawab terburu. Disusul sebuah permintaan maaf. Perut Baekhyun semakin bergejolak.

Profesor Ji tidak lagi basa-basi. Dari nada suaranya, sesuatu sepertinya terjadi sehingga ia harus bicara terburu dan harus langsung ke intinya.

Masalahnya, adalah apa yang diucapkan profesor muda itu selanjutnya. Yang seolah memasuki indra pendengaran Baekhyun bersama dengung memekakkan.

"Ya?" Baekhyun berusaha memastikan apa yang ia dengar dengan suara yang hampir hilang.

Profesor Ji mengulangi. Masih, apa yang disampaikannya melalui telepon ini masuk ke pendengaran dengan cara yang sama sekali tidak mengenakkan. Seperti pesan suara yang tak sampai secara jelas akibat gangguan frekuensi.

Baekhyun merasa kehilangan ruhnya sampai ia hanya mampu mengiyakan dan mengucap salam penutup tepat setelah Profesor Ji untuk kedua kali mengatakan maksudnya menelepon.

"Aku harus mengundurkan diri sebagai pembimbingmu karena suatu urusan yang tidak memungkinkanku mendampingi penelitian. Bulan depan, aku juga tidak akan mengajar di sana lagi. Aku sungguh minta maaf padamu."

Setelah mampu menguasai diri dan untuk ke sekian kalinya mencoba menalar kalimat Profesor Ji di telepon tadi, Baekhyun mengurut pelipisnya. Tangannya yang masih memegang ponsel semakin erat menggenggam, mencengkeram benda itu.

Kepalan tangan menghantam pintu. Baekhyun mengumpat keras. Dari mengurut pelipis, tangannya berpindah menjambak helaian rambutnya sendiri.

Hal ini tidak Baekhyun pertimbangkan sebelumnya. Ia tidak pernah mendengar Profesor Ji mengundurkan diri sebagai pembimbing Tugas Akhir.

Mengalami hal seperti ini bisa berujung buruk. Baekhyun hanya berharap bukan yang paling buruk yang terjadi.

.

oOo

.

Nyatanya, semua hal paling buruk terjadi berturut-turut tepat keesokan harinya. Beberapa dosen tersisa yang masih bisa menerima mahasiswa bimbingan tidak mau mendampinginya jika masih menggunakan judul penelitian yang sama sebab itu bukan spesialisasi mereka. Hal ini baru ia ketahui setelah seharian bolak-balik dan menunggu di gedung fakultasnya.

Dengan kata lain, Baekhyun harus memulai dari nol agar bisa mendapatkan pembimbing yang baru bahkan jika ia beralih ke proyek kelulusan lain.

Mengulang berarti ia berkemungkinan mengambil perpanjangan semester. Memperpanjang berarti biaya tambahan dan semakin lama ia bisa melamar untuk jadi pegawai kantoran.

Baekhyun malu sekali kalau harus menceritakan ini semua pada ibunya. Ia bahkan belum sempat menelepon semalam untuk bilang uang sakunya sudah mau habis.

Tak sampai dua puluh meter lagi Baekhyun sampai di bangunan apartemen tempat tinggalnya sepulang dari kampus, ia berhenti. Menghela napas dengan hati yang terasa berat. Langit sudah berselimut lembayung sejak satu jam yang lalu. Kini gelap sempurna.

Bukannya keluarganya tidak mampu untuk mendukung kebutuhannya bahkan kalau harus menambah satu semester lagi. Meski keluarganya tidak bisa dibilang kaya, kalau soal itu, ia tahu orangtuanya tidak akan menolak.

Baekhyun hanya tidak punya muka untuk itu.

Sudah sejak lama dia merencanakan untuk lulus secepatnya, dan punya penghasilan sendiri sehingga dia bisa berbalik mengirimkan uang untuk orangtuanya alih-alih sebaliknya. Dia tidak bekerja paruh waktu sejak awal seperti beberapa orang teman kuliahnya karena takut tidak mampu membagi waktu.

Kini hal rencana lulus cepat sudah pasti akan tertunda.

Proposal penelitian yang kemarin itu, sudah Baekhyun cicil sejak akhir semester sebelumnya. Atau dengan kata lain, Baekhyun tidak bisa membuat yang baru hanya dalam beberapa minggu apalagi hari. Dia butuh waktu lebih banyak dengan kemampuannya yang tidak seberapa ini.

Baekhyun berusaha menghibur diri dan meyakinkan kalau ia bisa melalui ini semua, dan juga tidak apa-apa kalau ia menelepon ibunya dan menceritakan apa yang terjadi.

Tetapi yang Baekhyun dapatkan hanya semakin besarnya pemikiran bahwa ia tidak bisa melakukan itu, dan dia harus mengatasi ini semua sendiri apa pun yang terjadi. Sekaligus, perasaan bahwa tidak ada satu pun dari hal itu yang sungguhan mampu dia lakukan.

Baekhyun pikir dia tidak bisa.

Semakin berkecamuk isi kepalanya, semakin Baekhyun enggan melanjutkan hari. Ia jadi berkeinginan untuk kembali jadi anak sekolahan saja. Bangun di pagi hari dan mendapati apa yang ia alami sekarang hanyalah mimpi, dan pergi ke sekolah untuk (sedikit) belajar dan main-main dengan teman-temannya.

Gara-gara semua pikiran itu, Baekhyun tak sadar ia sudah berjongkok dan memeluk lututnya, memaki-maki dalam hati dengan aliran air yang mulai jatuh dari pelupuk matanya.

"Ibu.." Ia mulai terisak seperti anak-anak.

Sudah susah-susah mendapatkan Profesor Ji sebagai pembimbingnya bahkan hampir mulai mengumpulkan data penelitian, sekarang Baekhyun harus melakukan semuanya dari awal lagi. Sialan pangkat seribu. Dia kesal sekali dan baru saja menyadari bahwa yang malah dia lakukan saat ini cuma menangis saja. Bahkan perasaan takut dilihat orang lain tidak bisa menghentikan kegiatan tidak bergunanya ini.

Banyaknya kata 'bahkan' untuk menjelaskan keadaannya saat ini menjadi ekspresi betapa ini semua terlalu banyak untuknya.

Seharusnya Baekhyun berhenti menjadi cengeng dan payah seperti ini.

Ketuk sol sepatu dari orang yang melintas di jalan yang cukup sepi itu tak Baekhyun hiraukan. Baekhyun yakin tidak ada orang yang peduli pada orang tidak jelas yang menangis di tengah jalan.

Suara langkah itu menjauh. Namun, selang tak sampai tiga detik kemudian, berganti suara ketukan keras yang lebih cepat dan berhenti tepat di depan Baekhyun.

"Baekhyun? Kau Baekhyun, kan?"

Dengan hidungnya yang sudah merah, mata berair, dan ingus yang hampir saja keluar jika tak cepat-cepat ditarik, Baekhyun mendongak. Butuh dua kedipan untuk menghalau air mata yang masih meliputi pandangan sebelum Baekhyun mengenali pria yang berdiri di hadapannya.

"Ada apa? Kau tidak apa-apa?"

Melihat wajah Park Chanyeol yang tahu-tahu sudah sejajar dengan wajahnya sendiri, entah mengapa Baekhyun tiba-tiba dilanda keinginan untuk mengadu yang kemudian cepat-cepat dihentikannya. Siapa pula dia bagi Chanyeol dan siapa Chanyeol baginya? Buat apa dia banyak bercerita tentang dirinya? Mereka bukannya semacam paman dan keponakan.

"Baekhyun?"

Meski Baekhyun sudah berpikir begitu, dia menurut saja saat Chanyeol menawarkan bantuannya untuk dia berdiri.

Baekhyun menatap aspal di dekat sepatunya. Dalam posisi tangannya masih berada dalam genggaman pria di hadapan yang tak hentinya menatap khawatir.

"Tidak apa-apa." Walaupun Baekhyun bilang begitu, siapa pun akan tahu itu cuma jawaban jalan pintas saja.

"Kau sedang dalam perjalanan pulang?" tanya Chanyeol lagi. Pria itu sampai menunduk-nunduk demi menemukan mata Baekhyun yang masih enggan mengangkat kepala.

Yang ditanyai mengangguk. Entahlah, Baekhyun sedikit malu, sekaligus masih terhanyut oleh kegalauannya sendiri. Dia jadi tidak bisa bersikap seperti biasa.

Satu hela napas, Chanyeol menarik perlahan tangan Baekhyun di genggamannya. "Ayo."

Baekhyun tidak percaya ia benar-benar dituntun pulang seperti anak TK. Dan dia tidak melawan.

Tapi persetan. Karena dia tidak punya siapa-siapa di sini, apa salahnya memiliki seorang teman yang bisa menemani saat sedang pundung-pundungnya?

"Kau sudah makan?" Sesampainya di depan unit Baekhyun, Chanyeol bertanya lagi. Mendapati gelengan sebagai jawaban, ia menarik lagi tangan Baekhyun ke pintu sebelah. "Kita makan dulu."

Baekhyun mengekor saja saat Chanyeol menuntunnya masuk ke unit milik pria itu dan mendudukkannya di hadapan meja kecil tempat mereka pernah makan bersama sebelumnya. Ia mengamati dengan matanya yang masih separuh basah, Chanyeol yang sibuk membuka bungkusan yang dibawanya, mengeluarkan sesuatu dari kulkas, dan mondari-mandir di depan kompor. Benar bahwasanya suasana hati memengaruhi sikap, sebab Baekhyun kehilangan dorongan untuk mengomentari betapa tidak teraturnya pria itu dalam hal pekerjaan dapur.

Beberapa menit, Chanyeol duduk di hadapan Baekhyun. "Ini. Kita bagi dua saja." Chanyeol mendorong seporsi sup kimchi ke tengah meja. Disusul memberikan semangkuk nasi untuk Baekhyun. "Atau kau mau ramyeon untuk tambahan? Aku punya stok ramyeon—"

"Tidak usah." Baekhyun cepat-cepat memotong. Suaranya masih sengau dan sedikit serak, sehingga sepotong suku kata hampir tidak terdengar dari ucapannya. "Ini sudah cukup," tambahnya.

Chanyeol kembali membenahi duduknya. "Baiklah kalau begitu. Selamat makan."

Baekhyun menunduk singkat. "Selamat makan."

Selama menyantap sup yang dibagi dua itu ditambah nasi, beberapa kali Baekhyun bertemu mata dengan Chanyeol. Dia tahu itu adalah sorot separuh penasaran separuh khawatir. Tapi pria itu tidak menanyakan apa-apa sepanjang mereka menghabiskan makanan.

Baru ketika makanan mereka benar sudah tandas, Baekhyun memutuskan untuk menceritakannya. Kabar yang ia dapatkan dari profesornya semalam, kegiatannya seharian mondar-mandir di kampus, bahkan bagian dia yang tidak jadi minta uang saku tambahan. Baekhyun menceritakannya tanpa pikir panjang, berbekal pikiran bahwa tidak apa-apa menceritakan ini kepada tetangga yang sudah beberapa kali makan bersama dengannya. Bisa dibilang mereka ini sudah berteman, kan? Dan dibanding bercerita kepada Junmyeon apalagi Dongho, rasanya lebih aman kalau Baekhyun membuka ini pada Park Chanyeol.

Bagian tidak enak dari menceritakan hal yang mengguncang mentalmu adalah tidak ada jaminan kau akan baik-baik saja selama bicara. Baekhyun mulai menyusut hidung di tengah cerita, dan sungguhan menangis lagi (walau berkali-kali ia usap-usap matanya demi menghalau air mata) begitu sampai di sesi mengutuk dan mengumpati keadaan. Baekhyun memuntahkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadanya sesak.

"Kenapa harus aku, sih, yang kena musibah seperti ini? Aku sudah susah-susah menyusun proposal penelitian sialan itu. Kenapa urusan pembimbingku harus datang saat dia sedang membimbing penelitianku? Memangnya tidak ada waktu lain? Aku cuma mau cepat lulus!"

Baekhyun berbusa-busa bicara kepada mangkuk-mangkuk di meja sembari air mata mengaliri pipinya. Masa bodoh dengan citra diri, dia cuma mau marah-marah dan mengumpat sekarang. Beberapa di antara umpatannya bahkan terlalu kasar untuk disebutkan di sini.

Bermenit-menit habis untuk Baekhyun menyudahi ceritanya. Entah sejak kapan ada tisu di meja dan sudah habis sekarang—Baekhyun yang menghabiskannya. Ia mengelap hidung dengan tisu terakhir yang ada di tangannya, lalu menghantam permukaan meja dengan kepalan tangan.

"Awas saja." Tidak tahu apa atau siapa yang dia ancam dengan itu, Baekhyun mengucapkannya dengan begitu kesalnya.

"Kesulitan sering kali mampir tanpa diduga-duga, ya." Chanyeol akhirnya menanggapi dengan senyum kecilnya yang tampak getir.

"Salah apa aku di kehidupan sebelumnya.." Baekhyun meratap. Dalam keadaan begini, kelihatannya dia memang kehilangan kendali untuk tidak bicara berlebihan. Bagi orang yang sedang bermuram durja, bahkan memanjat syair pun tidak ada salahnya, kan?

"Jadi, kau sudah memutuskan akan tetap pada proyek karya tulis atau pindah ke yang lain?" tanya Chanyeol. Sebelum menjawab, Baekhyun mengelap asal pucuk hidungnya dengan punggung tangan.

"Kurasa aku akan tetap memilih penelitian. Tidak ada lagi waktu untuk mencari ide dan partner untuk proyek lain." Tangan Baekhyun mengaduk-aduk sisa kuah di mangkuk di tengah meja. Bibirnya maju beberapa sentimeter. "Tapi sebenarnya sama saja, sih, kalau harus menyusun rencana penelitian dari awal. Haish!" Dipukulkannya ke meja sendok kayu di tangan bekasnya mengaduk-aduk sisa kuah.

Chanyeol tidak mempermasalahkan itu. Atau bahkan dari tadi ia memang hanya fokus pada bagaimana Baekhyun kelihatan sangat putus asa dan hanya sedang mencoba mengungkapkannya.

"Cobalah mengambil topik yang lebih sederhana lagi. Kau pasti bisa mengejarnya. Aku yakin."

Bibir Baekhyun semakin maju dan bahunya semakin turun. Kini dia memutar-mutar sendok di tangannya. Kalau modal yakin saja bisa membuatnya langsung bisa menyelesaikan proposal dan mendapat dosen pembimbing baru cuma dalam satu hari saja, itu mudah sekali.

Chanyeol berdeham. Ia menegakkan duduknya. Sepertinya ia segera sadar bahwa ucapannya barusan sama sekali tidak membantu.

"Dengar, Tugas Akhir tidak sekrusial itu. Kau tidak perlu mencapai hasil yang gemilang."

Benar. Aku juga berpikir begitu sejak awal. Tapi, kan, masalahnya bukan itu sekarang. Baekhyun membatin sambil mulai mengalihkan matanya dari sendok ke wajah Chanyeol.

"Kau hanya perlu mencari topik yang dekat dengan sekitarmu, sudah banyak diteliti sebelumnya, kemudian menemukan pembimbing yang tepat. Kalau kau mengerjakannya dengan benar, ujiannya tidak akan sesulit itu nantinya. Percaya padaku."

Sepasang mata milik Chanyeol kemudian mencuri perhatian Baekhyun segera setelah Chanyeol mengatakan kalimat terakhir. Kenapa dua mata bulat itu kelihatan sangat penuh dengan tekad? Yang mau skripsi ini Baekhyun atau Chanyeol?

Baiklah, Baekhyun mengaku kalau dia cuma tertarik saja dengan sorot dari mata milik Chanyeol.

Sendok di tangannya dia taruh kembali. Memang itu tidak akan mudah, tapi saran Chanyeol menjadi satu-satunya yang masuk akal sekarang. Apa lagi kalau bukan berusaha mengejar dan mengambil topik seadanya saja? Meski bahkan belum satu pun ide muncul di kepala Baekhyun, ia tahu ia harus melakukan itu nanti, mau tidak mau.

"Bisa berikan aku nomor ponselmu?"

Baekhyun mengerjap. Bergeming sejenak. Ia hendak menyahut dengan sesuatu seperti 'hah?' saking tiba-tibanya Chanyeol berkata begitu. Namun, persis ketika ia bertemu mata dengan Chanyeol dan melihat pria itu sudah bersiap menekan tombol-tombol di ponselnya, Baekhyun langsung menyebutkan nomornya.

Tunggu, dia tidak sedang dihipnotis, kan?

"Ini, kode apartemenku. Aku hampir selalu menyimpan sedikit makanan di kulkas. Kau bisa makan di sini kapan pun kau mau. Atau menumpang masak dan menyimpan makanan lain di kulkas."

Melongo, Baekhyun sekali lagi membaca kode yang diketikkan Chanyeol di dalam pesan yang pria itu kirimkan untuknya. Kalau begini, lebih masuk akal kalau dibilang dia yang menghipnotis Chanyeol!

"Kau perlu uang saku tambahan?"

Baekhyun sampai tidak sempat bereaksi. Melihat Chanyeol mencari-cari dompet dan hampir membukanya, untunglah Baekhyun segera menyahut, "Ti-tidak usah! Y-yang benar saja kau ini! Memangnya aku ini anakmu?!"

"Tidak apa-apa, aku bisa membantu."

Baekhyun mulai gusar. "Kau tidak harus merasa harus membantu! Bagaimana kalau ternyata aku menipumu?"

"Kau menipuku?"

"Bukan begitu!"

Suasana yang tadinya sendu bagi Baekhyun jadi tidak lagi demikian. Ini sudah mendekati taraf gila karena sudah offside dari sekadar aneh.

Baru saja Baekhyun merasa memiliki teman, kali ini dia jadi berpikir ulang apakah itu sesuatu yang membahagiakan. Alih-alih teman, dia seperti mendapatkan sosok paman baru.

"Chanyeol, kau bukan pamanku, apalagi bapakku. Atau suamiku. Kau tidak punya kewajiban untuk menafkahi seorang tetangga." Baekhyun sadar perumpamaan yang dia gunakan itu lebay, tapi saking gusarnya dia, memilih-milih kata jadi tidak sempat dia lakukan. Jangankan itu, hanya dalam waktu beberapa detik saja, dia sudah mendapatkan kode apartemen pria yang tinggal di sebelahnya, dan hampir mendapatkan uang saku tambahan.

Chanyeol meletakkan kembali dompetnya. Salah satu ujung bibirnya tertarik, memperjelas cetakan lesung pipinya saat dia berpikir.

"Kau benar." Pria itu meringis. "Hanya saja melihatmu seperti ini, aku teringat diriku dulu. Bagi beberapa orang, kuliah menjadi salah satu perjuangan besar."

Kegusaran Baekhyun surut. Sendu berpindah pada pria di hadapannya. Mendadak, dia jadi tidak enak hati. Dilihat dari raut wajahnya, Chanyeol benar-benar mengucapkan itu dari hati.

Baekhyun menggigit bibir. Jangan-jangan, Chanyeol punya ribuan kali lebih banyak kesulitan dibanding dia sekarang. Apa harus Baekhyun terima saja tawaran uang saku dari Chanyeol? Ia meringis. Jelas-jelas bukan itu solusinya.

"Baiklah," kata Chanyeol lagi, "mungkin ada seseorang yang lebih kau percayai untuk ini. Pastikan kau juga menceritakan ini padanya dan membiarkan dia membantumu."

Kalimat itu sedikit membuat Baekhyun tertegun. Sedikit saja. Sebab, itu seharusnya tidak salah dan biasa dilakukan semua orang saat mengalami masalah.

Sayangnya, Baekhyun tidak punya niat melakukannya. Ia tidak pernah membangun hubungan yang terlalu intim dengan orang-orang yang dia kenal di kampus. Baekhyun punya banyak teman. Ia mengenal banyak orang. Tapi untuk menceritakan hal seperti tadi, Baekhyun merasa ia tidak memiliki seseorang seperti itu. Sekalipun itu Junmyeon dan Dongho. Apalagi Junmyeon. Mana mungkin Baekhyun merepotkannya lagi untuk hal yang sama? Sementara Dongho, anak itu mungkin hanya akan menyeretnya ke Hexagon untuk mendapatkan sedikit hiburan.

Walaupun fakta bahwa ia baru saja bicara banyak pada Chanyeol yang notabene belum lama dikenalnya itu justru menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi pendiriannya sendiri, Baekhyun pikir ia pun tidak akan melakukan hal yang sama pada temannya yang lain. Dia cuma tidak mau melakukannya.

Maka, Baekhyun mungkin akan benar-benar mengandalkan dirinya sendiri kali ini. Mulai malam ini juga.

Monolog dalam hati Baekhyun terhenti saat aroma aneh lewat di penciumannya. Kalau tidak salah ini bau..

"CHANYEOL KOMPORNYA!"

.

tbc

.

.

Sebenernya ada bagian yang mau saya include juga di chapter ini. Tapi bisa-bisa length-nya jadi dua kali lipat. Jadi mau saya masukin ke chap depan aja, deh. Di sini mungkin mau saya coba konsistenin length per chapter-nya di kisaran 3-4k words.

Today's special thanks is for ChanBaek09

See you, ya.