Dengan seorang bertolak pinggang dan seorang lagi yang lebih tinggi di sampingnya mengamati dengan tampang pasrah, sebuah panci kukus yang hampir terbakar teronggok di atas kompor dengan kain basah menutupi.

"Kita hampir saja mati."

Chanyeol mengusap wajah. Dalam hati ia membenarkan perkataan Baekhyun. Bagaimana dia bisa lupa ada mandu yang sedang dia panaskan di atas kompor?

Api sudah naik ke sisian panci ketika Baekhyun menyadari ada bau mencurigakan dari arah dapur. Dia sendiri penasaran bagaimana Chanyaol bisa melupakan hal seperti itu, dan bagaimana dia sendiri tidak menyadari masih ada kompor yang menyala padahal jarak tempat memasak dan tempat mereka makan tidak seberapa. Jadi sampai air di dasar panci kering dan benda itu nyaris benar-benar terbakar, api kompor masih menyala dengan dua manusia yang asyik tidak selesai-selesainya mengobrol tanpa tahu sebentar lagi mereka bisa saja terpanggang.

"Begini. Kusarankan kau tidak menggunakan kompor untuk sementara waktu. Atau selamanya kalau bisa. Kau hampir membakar tempat ini!"

Chanyeol menyugar kasar rambutnya. Kini wajah kusutnya ditambah-tambahi lagi dengan rambutnya yang kacau. "Aku benar-benar lupa."

Gara-gara insiden itu, Baekhyun hampir lupa kalau dia baru saja menangisi perkara penelitian yang harus dimulai dari nol dan kekurangan uang saku. Sekali lagi, dia kira ada semacam kekuatan ajaib yang mendatangi hidupnya baru-baru ini, dan memberikan berbagai kejutan buatnya.

Sebelum kembali ke kamarnya, Baekhyun menyisir seisi apartemen pria itu, memastikan tidak ada bibit-bibit kecelakaan yang berpotensi terjadi. Berkali-kali dia menanyai Chanyeol hal-hal yang mungkin pria itu lupakan. Biar dibilang ini bukan tempat tinggalnya, nyawanya sebagai tetangga tepat di sebelah tempat ini juga terancam. Sesulit-sulitnya hidup, Baekhyun belum punya keinginan untuk berpulang secepat ini gara-gara hal semacam kompor yang lupa dimatikan. Dia masih mau, kok, bersusah-susah mengerjakan skripsi demi bisa diwisuda.

.

oOo

.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebuah kafe baru saja buka tak jauh dari kampus Baekhyun dan membutuhkan karyawan tepat saat Baekhyun membutuhkan pekerjaan paruh waktu. Nasib baik. Benar kata orang untuk percaya kalau pertolongan Tuhan itu pasti datang. Salah Baekhyun yang sudah keburu marah-marah pada keadaan.

Dalam waktu sehari, dia melakukan semuanya: datang ke kafe itu untuk melamar, interviu, dan memulai proposal penelitiannya yang baru. Baekhyun sudah memastikan ke bagian akademik kalau dia bisa mendapatkan dosen pembimbing dalam waktu dekat dengan hanya membawa garis besar bab pertama penelitian. Yang jelas, ia hanya perlu memiliki rancangan yang jelas di kepalanya.

Baekhyun tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa semua ini masih terasa berat baginya, bahkan setelah dua hari semedi di kamar membangun mental untuk menghadapi kenyataan. Ia malah benar-benar melakukan apa yang dikatakan Chanyeol; memilih topik yang sangat sederhana, sampai ia ragu judul ini bisa diterima untuk level perguruan tinggi. Tapi Baekhyun sungguhan tidak punya waktu lagi untuk kebanyakan berpikir. Dia sudah mengantongi nama-nama dosen yang berpotensi cocok dan mau menerima judulnya. Selama itu, Baekhyun terus menanamkan dalam dirinya pemikiran 'tidak apa-apa, yang penting lulus', meski, masih ada rasa takut tertinggal dari teman-teman seangkatannya. Kalau soal terlambat wisuda, Baekhyun sudah mulai bisa berlapang dada. Tetapi yang tersisa adalah perasaan takut menjadi yang paling buruk dalam hal penyusunan Tugas Akhir.

Kepala Baekhyun kini sudah seperti dipenuhi benang kusut yang tebal-tebal. Penuh sesak dan agaknya dia sendiri bingung bagaimana mengurainya. Baekhyun hanya sedang mencoba mengabaikannya dan berusaha terus melangkah maju.

Ha. Belakangan dia jadi seperti tokoh di dalam cerita-cerita motivasi yang sedang mellow saat menghadapi ujian hidup. Ke mana mentalnya yang tetap bisa gembira dan haha-hihi meski kesulitan melanda?

Tok tok tok.

Ketukan di pintu mengalihkan Baekhyun dari kegiatannya mengetik di laptop.

"Baekhyun? Kau di dalam? Ini Chanyeol."

Suara berat teredam daun pintu itu membuat gerakan Baekhyun mencapai pintu mengalami percepatan tak terduga. Pintu dia buka tak sampai dua detik setelahnya.

"Ada apa?" Baekhyun menyembulkan kepala. Pintu belum dia buka lebar-lebar. Separuh dikarenakan dia mau cepat-cepat kembali ke depan laptopnya, separuh lagi karena alasan yang masih dia pertanyakan.

Dia jadi sedikit gugup setiap kali Chanyeol mengetuk untuk (sepertinya) mengecek keadaannya.

"Kau sudah makan malam?"

Bukan 'sepertinya'. Ternyata memang iya. Dan Baekhyun juga jadi diingatkan dia menahan diri untuk hanya makan satu kimbab segitiga tadi siang. Dia lapar, tetapi karena berusaha melupakannya, dia benar-benar lupa begitu mulai mengetik tadi.

"Ng.. sudah," bohong Baekhyun. Untuk malam ini, Baekhyun rasa dia tidak mau mengurang-ngurangi jatah makan malam Chanyeol dengan membuat pria itu harus berbagi dengannya lagi. Dan ya, ini hari ketiga di mana Chanyeol mengetuk kamarnya di malam hari untuk menanyakan apa Baekhyun sudah makan atau belum. Bahkan saat akhir pekan kemarin, pria itu melakukannya tiga kali sehari. Singkat kata, Chanyeol seperti sungguhan memberinya uang saku tambahan secara tidak langsung. Karena berkat selalu diajak makan bersama, sisa uang saku Baekhyun baru berkurang sedikit sejak tiga hari terakhir ini.

"Begitukah?"

Tepat setelahnya, perut Baekhyun bunyi. Krucuk-krucuk. Itu bukti instan dia berbohong. Baekhyun memutar mata. Dasar perut sialan. Sudah bagus Baekhyun lupa akan rasa lapar ini tadi, sekarang di depan orang lain, dia justru berbunyi keras-keras.

"Kau masih lapar," kata Chanyeol, seperti hanya menerjemahkan apa yang baru saja terjadi. Yah, Baekhyun memang lapar.

Cklek.

"Iya, tahan dulu pintunya. Benar, benar begitu. Tutup lagi pintunya setelah Ibu keluar."

Baekhyun dan Chanyeol menoleh. Tidak, yang barusan itu bukan suara mereka. Bibi Uhm keluar dari pintu unit sebelah kanan bersama sebuah mangkuk di tangannya.

Wajah wanita itu sumringah. "Pas sekali," katanya sembari mendekati Chanyeol dan Baekhyun yang baru saja membuka pintunya lebih lebar untuk melangkah keluar. "Ini. Kau makanlah." Diberikannya mangkuk yang ia bawa kepada Baekhyun, yang mau tidak mau menerima karena benda itu diberi langsung ke pelukannya.

"Ini.."

Bibi Uhm mengibas-ngibaskan tangan. "Aku sudah tahu. Makan, makanlah."

Sudah tahu apa?

Baekhyun terlalu bingung untuk menyuarakan kebingungannya atas situasi membingungkan ini. Bukannya ini pertama kalinya Baekhyun diberi makanan, sih, tapi ekspresi Bibi Uhm memang sedikit berbeda.

"Aku kembali dulu. Kalian makanlah yang banyak."

Secepat Bibi Uhm memberikan mangkuk yang belum diketahui apa isinya ini, secepat itu juga wanita itu melambai-lambai dan kembali lagi ke unitnya. Menyisakan Chanyeol dan Baekhyun di depan pintu.

Baekhyun menoleh pada Chanyeol. Bertemu tatap. Ia lalu beralih ke mangkuk di tangannya.

"Kurasa.."

Baekhyun kembali lagi menatap Chanyeol.

"..ini gara-gara aku bilang kau sedang kesulitan dengan perkuliahanmu."

"Apa?"

"Kemarin aku mengobrol banyak dengan Bibi."

Dari cara Chanyeol menyebut Bibi Uhm itu, hampir bisa dipastikan pria itu sudah membangun hubungan pertetanggaan yang cukup dekat dengan ibu satu anak itu. Luar biasa.

Dengan matanya yang menyipit, Baekhyun menodong Chanyeol. "Kau menceritakan semuanya?"

Pria yang lebih tinggi segera menggeleng. Mengibas-ngibas kedua telapak tangannya di depan dada. "Tidak semuanya. Aku hanya bilang kau sedang kesulitan. Itu saja. Selebihnya dia banyak bertanya tentang aku saja."

Tatap tajam Baekhyun pada Chanyeol mengendur. Mangkuk di pelukannya dia pindahkan ke satu tangan. Dia kemudian memberi gestur 'aku mengawasimu' dengan jari telunjuk dan tengah yang ia arahkan ke matanya sendiri dan milik Chanyeol. Yang tidak diduganya, dibalas dengan gestur lain yaitu gerakan mengunci mulut. Tidak perlu dibalas juga, kan?!

"Ayo." Chanyeol beranjak duluan. Membukakan pintu unitnya. Baiklah, sekarang ini, mereka semakin mirip dengan abang dan adik.

Baekhyun masuk dan meletakkan mangkuk dari Bibi Uhm ke atas meja kecil di tempat Chanyeol, yang ketika dia datang sudah terisi semangkuk makanan, dua mangkuk nasi, dan dua piring kecil kimchi.

Dua mangkuk dan dua piring.

Disusun berhadap-hadapan.

"Kau.. benar-benar sudah menyiapkan ini sebelum mengetuk kamarku?" Katakanlah Baekhyun ge-er, toh belum tentu itu untuk dia, tetapi melihat Chanyeol mengangguk sambil mengusap tengkuknya, hal itu segera terbukti benar.

Baekhyun menghela napas. Geleng-geleng kepala. "Kau butuh sedikit bimbingan untuk tidak bersikap terlalu baik pada orang lain—tunggu. Kau tidak memberikan kode apartemen ini pada orang lain kan? Kau tidak sembarang memberi uang ke orang yang mengaku hidup susah, kan?!"

Mata Chanyeol membulat. "Tidak mungkin aku begitu, kan?"

Meski Chanyeol bilang begitu pun, di mata Baekhyun pria itu masih kelihatan seperti seseorang yang bisa saja melakukannya.

"Bagus." Baekhyun mengangkat jari telunjuknya. "Jangan lakukan itu pada orang lain. Penipu dan orang tidak tahu diri itu banyak, tahu."

Mendikte seseorang yang jelas lebih tua darinya jelas-jelas sudah cukup membuat Baekhyun pantas disebut tidak tahu diri.

"Aku tahu," jawab Chanyeol dengan tarikan tipis di kedua sudut bibirnya. "Aku ini lebih tua darimu dan sudah tinggal sendiri sejak lama, ingat?"

Berkedip, Baekhyun menurunkan jari telunjuknya. Untunglah masih tersisa kesopanannya untuk tidak melanjutkan bahasa tubuh itu. Salah siapa menyuruhnya memanggil tanpa embel-embel apa pun dan bicara dengan banmal? Baekhyun jadi sering tidak sadar kalau Chanyeol lebih tua darinya dan bahkan baru dikenalnya sekitar satu minggu... sial, sampai sini Baekhyun juga baru sadar dia dan Chanyeol bahkan belum satu bulan saling kenal.

"P-pokoknya, jangan lakukan itu lagi." Baekhyun berusaha menegaskan. "Sebentar. Aku mau bawa laptop ke sini. Tidak apa-apa, kan?"

"Tentu," angguk Chanyeol.

Mangkuk dari Bibi Uhm masih mengeluarkan uap dari sup di dalamnya ketika dibuka. Begitu melihatnya, Baekhyun langsung menelan ludah. Walau hati merasa bersalah pada orang-orang yang terus-terusan bersikap baik padanya dengan memberi perhatian sampai sebegininya, Baekhyun senang sekali bisa makan layak tanpa harus mengeluarkan biaya lebih. Bukankah dia sangat beruntung?

Sebagai tanda terima kasih, sudah barang tentu Baekhyun bergerak untuk merapikan meja dan cuci piring begitu mereka selesai makan. Dia tidak mengacuhkan perkataan Chanyeol saat pria itu menyuruhnya melanjutkan saja tugasnya. Lagipula, ini juga bentuk jaga-jaga agar tidak terjadi kecelakaan lagi—apalagi bonus pekerjaan mengepel lantai.

Sembari tangannya bergerak menyelesaikan alat makan yang kotor, sebuah ide muncul di kepala Baekhyun. "Begini saja. Kalau mungkin kita akan sering makan bersama di sini, aku yang akan bantu menata makanan dan cuci piring. Benar. Begitu saja, ya." Ya, Baekhyun tidak menanyakan pendapat Chanyeol.

"Bukankah lebih baik gantian saja?"

"Tidak," tukas Baekhyun. Ia mengakhiri ide itu sampai di sana. Maksudnya, melihat apa saja yang sudah Chanyeol lakukan untuk mahasiswa yang sedang kesusahan seperti dia, kalian seharusnya mengerti, kan, kenapa Baekhyun ingin dirinyalah yang melakukan lebih banyak?

Sudut mulut Chanyeol terdorong. Memunculkan lesung pipinya. Pria itu berpikir, tapi tampak seperti kehilangan dorongan untuk membantah setelah menerima 'titah' Baekhyun.

"Kau bisa masak?" tanya Baekhyun beberapa waktu kemudian. Dia masih membilas mangkuk dan alat makan di bak cuci. Kini Chanyeol ada di sebelahnya mengeringkan mangkuk dan piring dengan lap.

"Bisa..? Sedikit."

Baekhyun mengerling pada pria itu. Dari nada bicara yang sama sekali tidak meyakinkan itu, Baekhyun simpulkan persediaan makanan di sini selalu pria itu dapatkan dengan memberi dari luar. Kalau begitu, rasanya mulai belajar masak adalah ide yang bagus juga.

"Baiklah."

Chanyeol sesekali menatap Baekhyun selama mereka mengobrol. "Kenapa?"

Baekhyun menggeleng, "Tidak apa-apa."

Mungkin kalau cuma yang gampang-gampang saja, Baekhyun bisa mempelajarinya. Dia juga bisa bertanya ke Bibi Uhm. Kata orang, kan, memasak jauh lebih hemat daripada terus membeli makanan untuk mereka yang tidak tinggal sendiri. Bukan maksudnya dia dan Chanyeol itu tinggal bersama, sih, tapi pria itu kelihatannya belum akan berhenti untuk terus mengajaknya makan di tempatnya. Baekhyun bisa mengusulkan ide untuk memasak saja daripada terus-terusan beli di luar agar dia dan Chanyeol bisa sama-sama berhemat. Toh Chanyeol punya lemari pendingin untuk menyimpan bahan makanan.

"Terima kasih."

"Untuk apa?" Baekhyun mengernyit begitu mendengar Chanyeol mengatakannya saat mereka hendak kembali ke meja.

"Membantuku cuci piring?" kata Chanyeol tak yakin.

Baekhyun mengembuskan napas. "Aku tidak mau jawab kalau kau bilang terima kasih lagi besok-besok."

Sesungguhnya, kalimat itu adalah bentuk lain dari 'tidak, seharusnya akulah yang berterima kasih'. Chanyeol cuma garuk-garuk kepala. Bukannya dia tidak menangkap maksud Baekhyun. Dia hanya merasa aneh melihat orang lain mencuci piring untuknya (hey, kau bahkan memberikan kode apartemenmu kepada 'orang lain' itu).

Urusan perut sudah selesai, Baekhyun langsung membuka kembali laptopnya. Alasan dia sampai membawa perangkat itu ke sini, adalah supaya dia tidak SMP—sehabis makan pulang. Dia bisa melanjutkan pekerjaannya sembari mungkin bertukar beberapa obrolan lagi dengan Chanyeol.

Sementara itu Chanyeol memilih langsung naik ke ranjangnya. Dia mengamati Baekhyun yang kini dalam posisi membelakanginya. Kamar-kamar di gedung ini memang tidak luas, hanya berisi satu ruangan untuk segala keperluan dan kamar mandi. Ruang yang berfungsi sebagai dapur ada di sudut tak jauh dari pintu masuk. Keperluan seperti peralatan memasak dipenuhi sendiri-sendiri oleh masing-masing penghuni kamar. Tinggal bagaimana setiap orang menata barang mereka. Chanyeol biasa membuka meja lipat untuk mereka makan tak jauh dari ranjang. Posisinya di tengah-tengah antara dapur dan tempat tidur dengan jarak yang tak seberapa.

"Kau sudah menemukan judul yang baru, ya?" Chanyeol bertanya sembari mengamati Baekhyun dari posisi silanya di atas kasur.

"Kira-kira begitu," jawab Baekhyun sekenanya, meski dia sendiri tidak percaya diri dengan apa yang dia lakukan.

"Aku tahu kau bisa menemukannya dengan cepat."

"Kata-katamu kedengaran lebih yakin daripada seluruh keyakinanku sendiri."

Dengus kecil terdengar. Chanyeol berujar lagi sebelum tersisa bunyi ketik dari jari-jari Baekhyun saja yang terdengar, "Kau cuma perlu yakin dengan yang kau lakukan sekarang."

Meski masih terbayang-bayang proposal penelitian yang sudah ia susun sebaik mungkin tapi harus dia buang begitu saja, Baekhyun akan melakukan seperti apa yang baru saja Chanyeol katakan. Dia mencoba yakin bahwa dirinya bisa melakukan ini tak peduli bagaimana hasilnya, dan mencoba mengikhlaskan yang sudah berlalu. Walau harus bekerja sambil menangis sekalipun, Baekhyun tetap akan melanjutkan ini dan lulus tepat waktu.

Jemari Baekhyun terus bergerak di atas papan tik hingga beberapa jam kemudian. Saat mengangkat kepala dan meregangkan badan, dia mendapati Chanyeol sudah terlelap di tempat tidurnya dalam posisi telentang melintang. Dengkuran halus keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.

Baekhyun berdecak. "Orang ini benar-benar. Mudah saja kalau aku mau jadi penjahat dan menjarah isi rumahnya."

Baekhyun mengecek jam. Setengah satu. Mengherankan dia bisa segitu fokusnya sampai tidak sadar sudah mengerjakan tugasnya selama ini tanpa rasa kantuk. Ibunya akan bangga padanya kalau mendengar kisah ini. Sayang sekali dia tidak bisa—tidak mau—menceritakannya.

Bangkit dari duduknya, Baekhyun mondar-mandir sebagai bagian dari peregangan. Kaki dan pinggangnya ikut pegal. Dia menyesal tidak mengiyakan tawaran orangtuanya dulu untuk membeli meja dan kursi belajar. Tapi, hal seperti itu memang agak buang-buang uang, sih.

Dia beranjak ke dapur. Mengecek lemari penyimpanan di dinding. Ada beberapa bungkus ramyeon dan makanan instan lain. Di lemari bagian bawah, ada banyak wadah makanan berbagai ukuran dan warna.

Sepercik heran yang pernah muncul di benaknya saat melihat pemandangan serupa tempo hari muncul lagi. Rupanya tidak cuma peralatan masak yang cukup beragam, Chanyeol semacam mengoleksi berbagai kotak makan. Jumlahnya banyak sekali. Padahal dilihat-dilihat, pria itu bukan tipe yang rutin memasak dan membawa bekal ke mana-mana.

Dibenahinya letak beberapa kotak yang berantakan. Melihatnya belum cukup rapi, Baekhyun memutuskan mengeluarkan semua benda itu dan menatanya ulang. Lagi-lagi merasa tanggung, sekalian saja dia rapikan semuanya sampai ke peralatan masak dan makanan kemasan di lemari dinding.

Begitu selesai, Baekhyun baru mendapat capeknya. Sial. Rajin sekali dia melakukan itu semua. Hampir setengah dua pagi, barulah dia mengendap-endap, keluar dari unit Chanyeol dan kembali ke kamarnya. Capek sekali.

.

oOo

.

Kira-kira tiga sampai tujuh hari lagi, Baekhyun yakin dia sudah menyelesaikan rancangan penelitiannya yang baru. Setelah itu, tinggal membidik calon pembimbing. Ya, sejauh ini, Baekhyun bisa mengatasinya.

Kemarin ia mendapat telepon dari kafe tempatnya melamar. Posisi yang tersedia untuknya adalah waiter, dan dia diminta datang lagi hari ini. Dengan jantung dag dig dug, Baekhyun pergi ke sana pagi ini.

"Permisi." Baekhyun mendorong pintu kafe, masuk dengan longokan kepala lebih dulu. Tempat itu masih bertanda 'tutup', tapi interior sudah rapi dan lampu-lampu menyala selayaknya sebuah kafe yang melayani pelanggan. Bedanya, belum ada orang sama sekali di sana. "Halo? Selamat pagi?" panggil Baekhyun. Dia belum melihat siapa pun sejak menginjakkan kaki di sini.

Dari pintu di sisi kiri belakang meja kasir, langkah kaki mulai terdengar dan seseorang keluar dari sana. Pria tinggi dengan setelan necis muncul dari sana. Baekhyun buru-buru membungkuk.

"Selamat pagi. Saya Byun Baekhyun."

"Ya, selamat pagi. Maaf maaf, dapur sedang agak kacau. Silakan." Pria itu buru-buru menempati salah satu meja dan mempersilakan Baekhyun duduk. Pria ini bukan orang yang Baekhyun temui kemarin. Selain beberapa pelamar, Baekhyun hanya bertemu dengan seorang yang memperkenalkan diri sebagai salah satu kitchen crew sekaligus yang akan membantu pemilik kafe menyeleksi staf baru.

"Kang Hoon. Aku pemilik kafe ini." Pria itu mengulurkan tangan, menyebabkan serangan jantung kecil pada lawan bicaranya yang tidak menyangka akan bertemu langsung dengan pemilik tempat dia melamar.

"B-byun Baekhyun. Salam kenal."

"Baiklah. Langsung saja. Sejujurnya ini bukan salah satu tahap seleksi. Aku hanya ingin memberi tahu kau diterima. Ini, kau bisa membacanya dulu."

Baekhyun tidak sempat berselebrasi karena pria itu sudah menggeser sebuah dokumen ke hadapannya. Dia cuma bisa menjerit dalam hati, 'Tuhan, terima kasih!'. Dengan tangannya yang berubah dingin karena gugup sekaligus penuh antisipasi, Baekhyun menarik lembaran-lembaran kertas yang disodorkan padanya. Jam kerja, fasilitas, hak dan kewajiban, semuanya tertulis di sana. Sebuah nominal tertulis di lembaran paling belakang sebagai upah.

"Bagaimana?"

Dalam hati, Baekhyun ingin menjawab 'Bagaimana apanya? Jelas aku akan menerimanya!' sebab isi kontrak itu sudah sangat cukup baginya. Jam kerja dan upah masuk akal, bahkan hitam di atas putih sebagai perjanjian.

"Saya akan menerimanya. Terima kasih banyak!" Baekhyun membungkuk dalam.

"Kalau begitu silakan tanda tangan di kedua rangkapnya."

Baekhyun melakukan apa yang diminta dengan hati seringan kapas. "Sekali lagi terima kasih banyak, sajangnim."

Kang Hoon mengibaskan tangannya mendengar panggilan itu. "Tolong jangan panggil aku begitu. Kang Hoon saja. Semua orang di sini memanggilku begitu. Dan tidak perlu bicara terlalu formal."

Baekhyun pikir, mana bisa begitu? Tetapi untuk kali ini, dia mengangguk mengiyakan.

"Kau bisa memilih untuk masuk hari ini atau besok. Seragam bisa langsung kau minta ke bagian dapur."

"Benarkah? Saya bisa segera mulai."

Mengedik bahu, pemilik kafe itu mengangguk. "OK. Ikut ke sini." Pria itu beranjak, melangkah pasti ke arah pintu tempatnya keluar tadi. Baekhyun buru-buru bangun dan mengekor. Dia tidak percaya akan benar-benar mulai bekerja sebentar lagi.

Setelah beberapa penyesuaian selama seharian itu, Baekhyun ditempatkan pada shift sore. Yang artinya, dia akan bekerja pada pukul 3 sore sampai 7 malam, termasuk akhir pekan. Dia menerima pelatihan dasar hari ini dan akan melanjutkannya lagi besok.

Baekhyun sumringah sepanjang hari. Dia melanjutkan skripsinya dengan hati yang ringan. Lihat, kan? Dia bisa mengatasi ini semua.

Hari ini Baekhyun diperbolehkan pulang setelah pukul 3 sore. Jam kerja yang sebenarnya dimulai besok. Sebelum jam makan malam, Baekhyun langsung ke apartemen Chanyeol dengan beberapa bahan makanan. Dia akan mulai dengan yang paling mudah: sup tahu. Karena hari ini ibunya mengirimkan uang, Baekhyun memutuskan mentraktir Chanyeol garis miring menjadikan pria itu kelinci percobaan atas masakannya, sekaligus menyampaikan ide berhemat-dengan-memasak. Dia sudah mempelajari beberapa kemarin.

Chanyeol sudah duduk manis di depan meja saat Baekhyun memelototi isi panci berisi masakan racikannya.

"Kau tidak bilang bisa memasak," kata Chanyeol. Sembari masih fokus dengan masakannya dan memikirkan apakah dia memasukkan minyak wijen dalam jumlah yang tepat, Baekhyun menjawab singkat saja.

"Aku baru belajar." Dia belum mulai memberi tahu Chanyeol tentang idenya. Nanti saja kalau rasa makanan ini sudah terbukti layak.

Untuk itu, Baekhyun mencicipi sup yang dia buat saat dirasanya sudah hampir matang. Dan, voila! Benda itu sungguh bisa dimakan! Dia berhasil.

Baekhyun bersenandung senang sembari menggerak-gerakkan kepalanya. Mudah saja, ternyata. Boleh juga kemampuannya ini.

Chanyeol memuji kemampuan memasak Baekhyun segera setelah pria itu mencobanya. Baekhyun menepuk-nepuk dadanya menyombongkan diri atas itu. Dan untuk ide memasak setiap hari demi menghemat, Chanyeol setuju tanpa basa-basi. Dia bilang akan menyediakan bahan di lemari pendingin.

Satu perkara lagi selesai.

"Aku sudah mendapat pekerjaan paruh waktu."

Chanyeol menghentikan kunyahannya dan tampak sangat gembira meski Baekhyun hanya bicara sambil lalu. "Oh ya? Di mana?"

"Yeah, ada kafe yang baru buka di dekat kampus. Hari ini aku diterima dan langsung mulai pelatihan."

"Hoo.. Kau hebat juga, ya," puji Chanyeol. Mau tidak mau, Baekhyun jadi sedikit besar kepala. Hidungnya jadi kembang kempis saking bangganya dia pada dirinya sendiri.

"Tentu saja."

Chanyeol meletakkan sendoknya. Diraihnya ponsel di atas kasur. "Tolong berikan alamatnya kepadaku. Ini, tuliskan di sini." Ia menggeser ponselnya yang sudah menunjukkan halaman aplikasi catatan.

"Hah? Buat apa?" Baekhyun mengerutkan hidung. Tapi diambilnya juga ponsel itu.

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Untuk jaga-jaga saja," kata Chanyeol ringan. Dia kembali melanjutkan makannya.

Apakah ini semacam sindrom abang-adik? Meski masih mempertanyakan apa pentingnya mengetahui di mana Baekhyun bekerja paruh waktu, dia tetap mengetikkan alamatnya di sana. Omong-omong kenapa juga tidak dia kirim saja tautan lokasi kafe itu dari map? Zaman sudah modern dan dia masih diminta menuliskan alamat di catatan?

Tapi sudah terlanjur. Mungkin ini disebabkan perbedaan generasi. Sudah Baekhyun bilang Chanyeol ini lebih cocok jadi pamannya.

"Ini. Sudah." Baekhyun mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya.

Chanyeol mengangguk-angguk membacanya. "Tidak jauh," katanya. "Selamat, ya." Dia maju dan mengusak rambut Baekhyun dengan tangannya yang panjang. Mengejutkan bagaimana tangan Chanyeol bisa mencapai kepala Baekhyun walaupun ukuran meja lipat tempat mereka makan memang terbilang kecil.

Menanggapi itu, Baekhyun menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang membuat sudut-sudut bibirnya berkedut. Dia lantas memasukkan suapan nasi besar-besar ke mulut untuk menahannya. Apa-apaan Park Chanyeol ini. Sudah membuatnya besar kepala dengan memujinya, sekarang dia membuat Baekhyun jadi tidak bisa membalas tatapannya.

.

oOo

.

Sedang fokus-fokusnya Baekhyun mendengarkan dan mencatat hal-hal yang diberitahukan kepadanya saat training, perhatiannya segera teralih saat didengarnya suara yang begitu familiar.

"Heeeyyy, Hoon-ie bunny sweety!"

Kang Hoon berdecak sembari keluar dari balik meja kasir. "Kau minta digampar, huh?"

Seseorang yang baru saja datang dan menciptakan keriuhan lokal itu cuma cengengesan dan memeluk sang pemilik kafe. "Selamat atas kafemu, ya." Ditepuknya punggung kekar pria itu.

"Ya, ya. Terima kasih. Mana karangan bunganya?"

Baekhyun bengong. Dia tidak memperhatikan lagi apa yang orang-orang itu katakan selanjutnya. Lebih-lebih, si lelaki dengan jaket jeans belel yang baru datang itu menemukan keberadaannya.

Kang Dongho mengekspresikan keterkejutan dengan gayanya. "OH!"

Baekhyun berpendapat, dunia ini butuh sedikit diperluas agar hal-hal yang begini tidak terus-terusan terjadi.

.

tbc

.

.

Nggak sabar mau masuk ke inti, tapi saya nggak bisa juga kalo ngeskip bagian2 sebelumnya huhu. Nanti jadi kecepetan dari alur yang udah dibikin.

Saya sering mikir kalo nulis begini cuma buang2 waktu aja. Tapi kalo nggak ditulis rasanya kayak buang2 imajinasi juga. Emang nggak berpendirian orang ini. Yah, itung2 olahraga otak dan jari deh.

Oiya, cerita ini kayaknya bakal saya batesin sudut pandangnya di baekhyun supaya nggak terlalu meleber ke mana2 (dan bisa selesai). Biar dikata nggak banyak yang baca, saya punya dorongan pribadi buat selesain ini. Bisa yuk bisa. Bisa lah.

Special mention for ChanBaek09. Thanks for your feedback, always.