Atau pada dasarnya memang dunia sesempit itu. Apalagi cuma di lingkungan kampus begini. Tapi, yang benar saja? Kenapa Kang Dongho tahu-tahu muncul sebagai kerabat dari pemilik tempat Baekhyun baru saja bekerja?
Baekhyun cuma mampu mesem-mesem palsu selama Dongho merangkulnya dengan sok akrab dan mengumumkan ke seisi kafe kalau Baekhyun adalah temannya.
Tidak, tidak, bukannya Baekhyun malu ketahuan berteman dengan Dongho atau malah ketahuan bekerja paruh waktu sebagai waiter di sini. Itu sama sekali tidak masuk hitungan. Intinya dia cuma terkejut dan tidak menyangka ada keterkaitan antara tempatnya bekerja dengan Dongho, dan bahkan bisa sekebetulan ini bertemu.
"Ah, kalian teman kuliah, ya?"
Dongho mengangguk-angguk, menjawab pertanyaan Kang Hoon, mengiyakan dengan bangga. "Benar. Baekhyun, ini temanku Kang Hoon." Dia kemudian mendekat ke telinga Baekhyun. Menambahkan dengan berbisik. "Dia pelanggan tetap Hexagon."
"Yah, kau tidak punya hak menginformasikan itu." Tentu saja, yang bersangkutan masih bisa mendengarnya.
"Dan beberapa club lainnya." Dongho justru menambahkan.
"Baiklah. Sudah saatnya mengusirmu dari sini. Silakan, pintu keluar di sebelah sana."
Walaupun nada bicaranya tidak banyak berubah-ubah, Baekhyun tahu pria itu cuma bercanda. Dan candaan seperti itu tidak akan pernah dianggap serius oleh seorang seperti Dongho.
"Jadi kau memutuskan mencari kesibukan di sini, hm, rekan Baek Duo-ku?" Masih dengan merangkul Baekhyun di depan orang-orang, Dongho bertanya. Ia tidak menghiraukan Kang Hoon yang kelihatannya juga lebih mementingkan pekerjaannya—pria itu sudah beranjak kembali ke balik meja kasir, berbicara dengan kasir di sana.
Baekhyun memutar bola matanya. Ia harap Dongho sedikit tahu tempat dengan tidak bersikap terlampau sok akrab begini. Terlebih, saat ini Baekhyun sedang berada di tengah training. Dasar.
"Ya. Aku mencari kesibukan untuk menghindari kemungkinan bertemu denganmu. Sekarang biarkan aku kembali bekerja," kata Baekhyun. Ia kemudian menambahkan dengan suara yang lebih kecil, "Kau mau aku dinilai mangkir dan kehilangan pekerjaan di hari kedua masuk, hah? Singkirkan tanganmu."
Dongho tidak banyak berceloteh lagi. Kali ini, dia langsung bisa diajak kerja sama. "Baiklah. Semangat, Baekhyun-sunbae," katanya dengan nada menggoda di akhir. Sumpah demi Tuhan, Baekhyun jadi ingin menjejali mulut itu dengan kaus kaki. Dia tahu Dongho bermain-main dengan sepenuh hati melalui panggilan itu.
Mengabaikan juniornya itu, Baekhyun meminta maaf pada waiter lain yang sedang mengajarinya dan lanjut memperhatikan.
Selama beberapa waktu, si lelaki dengan jaket jeans masih berdiri tak jauh dari Baekhyun. Sejenak memperhatikan seniornya itu. Barulah setelahnya, ia mulai mengitari kafe dan memperhatikan isinya.
Hari ini, Baekhyun juga mendapat pelatihan dasar untuk pekerjaan di dapur. Semua staf diharuskan mengetahui setiap detail pekerjaan di sana. Untuk ukuran kafe yang tidak besar, Baekhyun mengagumi bagaimana setiap hal diperhatikan dengan begitu detail.
Dan dia akui, itu semua cukup membuatnya lelah hari ini. Cukup untuk membuat Baekhyun langsung melemparkan diri ke atas kasur begitu sampai di kamar.
"Capeknya.."
Dari pagi sampai sebelum bersiap pergi ke kafe, Baekhyun bergulat dengan rancangan penelitiannya. Sudah hampir selesai. Dia mungkin bisa mengajukannya sebentar lagi.
Beberapa menit Baekhyun sempat tidur-tidur ayam. Kasur dan bantalnya tiba-tiba saja terasa begitu nyaman lebih dari biasanya. Membuatnya hampir lupa pada apa saja yang mungkin dia belum lakukan hari ini. Entah berapa lama Baekhyun bermanja-manja dengan kasurnya.
Namun, Baekhyun ditarik lagi menuju kesadaran tepat sebelum jatuh lebih dalam ke alam tidurnya, ketika bau tidak sedap yang dia kenal mampir ke penciuman.
Matanya langsung terbuka lebar-lebar. Apa itu cuma bau yang numpang lewat saja? Atau prasangka buruk yang kemungkinan menjadi sebabnya benar-benar sedang terjadi?
Baekhyun melompat bangun. Dia melesat keluar dari pintu bahkan tanpa pakai alas kaki kecuali kaus kakinya. Ia memasukkan kode apartemen Chanyeol tanpa berpikir. Lanjut melesat dan belok ke arah kompor.
"PARK CHANYEOOL!"
.
.
Dengan hati yang diikhlas-ikhlaskan, Baekhyun membuat sup pasta kacang untuk makan malamnya bersama Chanyeol setelah marah-marah pada pria itu. Bisa-bisanya Park Chanyeol itu mengulangi kesalahan yang sama lagi.
"Haish," Baekhyun jadi ingin mengumpat lagi. Tadi begitu masuk, dia melihat Chanyeol yang masih dalam setelan kerja lengkap tertidur pulas di atas ranjang. Maksudnya, kenapa dia harus menghangatkan makanan kalau mau tidur dulu?! Baekhyun juga sudah memperingatkannya berkali-kali soal ini.
Setelah Baekhyun marah-marah, tersangka utama langsung duduk manis dengan pakaian yang sudah berganti di meja makan. Sementara itu, Baekhyun mengatasi kekacauan di dapur dan membuka pintu depan. Ini sangat serius. Api sudah naik lebih tinggi dari terakhir kali ini terjadi. Mereka benar-benar hampir mati kali ini.
Makan malam mereka akan sangat terlambat. Selain sama-sama tidur-tiduran dulu, insiden semi kebakaran ini butuh waktu lama untuk diatasi. Atau lebih tepatnya, Baekhyun sengaja menunggu suhu di sekitar kompor turun sebelum mulai memasak.
"Berapa umurmu?" tanya Baekhyun saat dia sudah memasukkan bahan-bahan ke dalam panci untuk menu malam ini. Dia masih bolak-balik mengintip resep, jadi ponselnya masih menyala dengan tampilan layar web kumpulan tips memasak.
"Dua puluh sembilan," jawab Chanyeol.
Benar masih cocok untuk kupanggil paman, komentar Baekhyun dalam hati. Walaupun, sebenarnya mereka cuma terpaut tujuh tahun saja. "Sejak kapan kau tinggal sendiri?" tanyanya lagi.
"Beberapa waktu sebelum lulus kuliah, kurasa."
Baekhyun menunggu sup di panci mendidih. Sebenarnya tidak perlu mengaduk makanan itu selama yang dia lakukan saat ini.
"Kenapa memangnya?" tanya Chanyeol.
Baekhyun mengangkat bahu. Ia menyahut dengan ringan—dan sedikit jengkel, "Hanya penasaran siapa yang membantumu sampai kau masih bisa hidup sampai detik ini. Tidak mati karena dapur yang terbakar atau semacamnya."
Lama Baekhyun tak memperoleh jawaban. Ia hampir saja menoleh untuk mengecek keadaan Chanyeol sebelum pria itu akhirnya bersuara kembali.
"Yeah.. seorang wanita," katanya. Tidak disangka perkataan Baekhyun dibalas serius oleh pria itu. Menghentikan gerak tangan Baekhyun yang mengaduk isi panci sejak tadi.
Apa katanya tadi?
Menyadari ia baru saja (bisa-bisanya) kehilangan fokus, Baekhyun mematikan kompor. Supnya tahu-tahu sudah terlampau mendidih. Ditariknya kain di sisi kompor untuk mengangkat panci berisikan sup itu ke meja tempat mereka akan makan malam.
"Wanita?" tanyanya, sembari mengambil tempat dan sibuk mengambil peralatan makannya. Ia melirik Chanyeol, mengerutkan dahi melihat pria itu tiba-tiba saja tampak menyunggingkan senyum kecil yang entah apa maksudnya, dan mungkin tak sadar makanan mereka sudah siap.
Apa-apaan itu?
"Ya," kata Chanyeol. Baekhyun kian mengerutkan dahi. Sebal melihat perubahan ekspresi yang aneh itu.
Jadi paman ini sudah punya pacar.
Setelah itu, Baekhyun tak berminat bertanya lebih lanjut. Suka-suka pria itu sajalah.
"Kuhabiskan kalau kau tidak segera makan," ketus Baekhyun, mengambil banyak-banyak isi panci ke dalam mangkuknya.
"H-hey—berikan untukku juga."
Baekhyun tahu suasana hatinya sudah begitu buruk sejak mendapati Chanyeol—secara tidak langsung— mengganggu waktunya dengan nyaris meledakkan kamar sempit ini dan memaksanya mau tidak mau turun tangan. Tentu saja, dia tidak mau kamarnya ikut kebakaran karena jelas-jelas mereka hanya terpisah oleh selapis dinding yang tidak tebal-tebal amat. Baekhyun bahkan berbaik hati memasakkan sup meski cuma sebisanya saja (oh, dia pasti lupa ini semua adalah idenya).
Tapi dia mendapati mood-nya ini semakin buruk. Memang senyum Chanyeol sepertinya tidak cocok dibuat menemani makan. Bikin sebal saja.
Malam itu, Baekhyun menyelesaikan makannya cepat-cepat. Dia meninggalkan mangkuk dan panci yang sudah kosong ke bak cuci, dan berjalan mengentak-entak meninggalkan kamar Chanyeol untuk kembali ke kamarnya sendiri. Mengabaikan Chanyeol yang memanggil-manggil. Dia pura-pura lupa untuk cuci piring.
Niat awal Baekhyun untuk melanjutkan setidaknya sedikit dari skripsinya bubar jalan. Dia mau tidur saja.
.
oOo
.
Baekhyun yakin dia tidak salah hitung kalau hari ini baru hari ketiganya bekerja. Bukankah terlalu dini baginya untuk mengalami ujian hidup dalam karirnya sebagai pegawai paruh waktu?
Sayangnya, ujian itu sudah keburu sampai di hadapan Baekhyun saat ini juga. Baru juga tiba di kafe dan hendak ganti baju di ruang loker, Baekhyun berpapasan dengan Dongho. Lagi. Dengan kemeja putih dan apron cokelat. Potongan yang sama persis dengan semua pegawai kafe yang ada di bagian pelayanan pelanggan. Orang itu bahkan menyapa dan berkedip padanya.
"Surprise."
Baekhyun menarik napas panjang. Ia berusaha mengabaikan itu. Dilanjutkannya langkah menuju ruang loker dan berganti pakaian, lalu memulai pergantian shift. Bahkan setelah mendapati Dongho juga mengikuti serah terima, Baekhyun masih positive thinking. Oh, mungkin saja anak itu cuma bermain-main hari ini, atau menjadi semacam bintang dadakan untuk menarik pengunjung. Atau brand ambassador yang akan melakukan pemotretan sebentar lagi. Terserah saja. Yang jelas ia tidak akan membiarkan pikirannya terarah pada kesimpulan bahwa Dongho juga bekerja di sini.
"Aku mulai bekerja di sini mulai hari ini."
Baekhyun menyerah. Dongho tahu-tahu saja memberi penjelasan tanpa diminta sembari menyenggol bahunya saat ia sedang membersihkan meja.
"Jangan mengarang. Kau masih punya banyak kelas dan pekerjaan di club." Baekhyun melanjutkan pekerjaannya. Dongho mengikuti dengan tangan bersembunyi di saku apron. Dia mengangkat bahu.
"Aku masih punya cukup banyak waktu luang."
Baekhyun masih terus melanjutkan pekerjaannya. Membawa kembali alat bersih-bersih ke tempatnya. Dia kemudian berhenti dan bertolak pinggang di depan Dongho. "Kau mungkin berteman dengan pemilik kafe ini, tapi bukan berarti kau bisa main-main begini."
"Aku tidak main-main," sanggah Dongho. Dia menunjuk seragamnya, "Lihat, aku memakai seragam seperti yang lain dan benar-benar bekerja."
Mata Baekhyun menyipit memandang lawan bicaranya itu. Kang Dongho itu jelas-jelas bukan tipe yang menyukai pekerjaan seperti ini. Buat apa juga dia harus melakukannya? Dia anak orang kaya, aktif sebagai disc jockey populer, dan, seperti yang Baekhyun bilang sebelumnya, masih punya banyak kelas untuk dihadiri.
Tapi kemudian Baekhyun sadar dia tidak punya waktu untuk mengurusi itu. Dan dia menolak menerka-nerka. "Terserahlah. Yang penting jangan ganggu aku."
"Tunggu."
Baekhyun yang hendak berlalu tertahan oleh Dongho.
"Untuk yang itu aku punya syarat," kata lelaki itu dengan wajah tengilnya.
Hah?
"Panggil aku Baekho baru aku janji tidak akan mengganggumu."
Dahi Baekhyun mengerut dalam. Dia bersedekap. "Permainan apa lagi ini?" Yang dia tanyai hanya mengangkat bahu.
Percakapan mereka terhenti saat Baekhyun dipanggil ke dapur oleh salah seorang kitchen crew. Dongho masih di tempatnya. Mengamati Baekhyun yang bergegas ke dapur melalui pintu di balik kasir. Wajah tengilnya hilang sempurna. Dia masih pula berdiri di sana sampai Baekhyun kembali.
"Yah Kang Dongho, apanya yang 'benar-benar bekerja', hah?" tegur Baekhyun begitu dia memergoki Dongho yang masih di tempatnya. Juniornya itu kembali tersenyum tengil, mengisyaratkan'baek-ho' dengan bibirnya.
Baekhyun hampir saja memukul kepala Dongho yang terus-terusan main-main itu. Tapi baiklah, sebagai pihak yang lebih dewasa, Baekhyun akan mengalah.
"Baekho adik tingkat dan rekanku yang manis, bekerjalah yang benar, ya," katanya, "dan ja-ngan gang-gu a-ku," tambahnya dengan nada mengancam.
Memang gangguan yang biasanya datang dari Dongho—oke, Baekho—itu cuma hal-hal receh, tetapi Baekhyun sering kali tidak tahan dengan sikap tengilnya. Bawaannya ingin memiting lehernya saja.
"Ayo. Aku akan mengantarmu." Di jam pulang, Baekho tiba-tiba mendahului langkah Baekhyun sebelum dia keluar melalui pintu belakang. Saat itu juga mata Baekhyun menangkap keberadaan motor besar milik laki-laki itu.
"Tidak usah. Buat apa? Kau pikir aku anak kecil?" Baekhyun sensi.
"Baekhyun kakak tingkat dan rekanku yang manis," Baekho meniru salah satu perkataan Baekhyun persis sama, "apakah harus jadi anak kecil dulu untuk dapat tumpangan pulang? Justru anak kecil yang harus berhati-hati dengan ajakan seperti ini karena rawan diculik."
Anak yang satu ini pintar sekali bermain kata-kata. Kalimat itu bisa diartikan dengan; justru Baekhyun-lah yang kekanakan dengan bicara seperti tadi.
"Kalau kau, aku tidak akan heran kalau siapa pun yang kau tawari tumpangan jadi was-was akan diculik," balas Baekhyun asal. Dia kemudian berlalu, mengabaikan ajakan Baekho pada awalnya.
"Hey, ayolah. Sayang sekali jok belakang motorku tidak ada yang menempati, kan?" Tangan Baekhyun ditahan oleh yang lebih muda.
Pertanyaan macam apa itu? "Jokmu itu sangat tidak ramah penumpang, tahu—"
"Ini."
Baekho langsung mengambil helm dari motornya begitu ada kesempatan dan memberikannya langsung ke pelukan Baekhyun sampai lelaki itu tak punya celah menolak. Dia menaiki motornya, maju ke depan Baekhyun dan berdiam sampai seniornya itu mau naik.
"Dasar pemaksa." Baekhyun misuh-misuh sambil memakai helm di tangannya. Dia lalu naik ke jok motor. "Seharusnya kau tahu kau ini sudah kelewatan. Mana ada senior lain yang membiarkan—YAAAHH!"
Sudah bisa ditebak apa yang terjadi. Baekho memacu motornya kencang-kencang sebelum mengembalikannya ke kecepatan normal demi mengerjai Baekhyun yang sedang dia bonceng.
"Aku akan membunuhmu!"
Baekhyun sampai di kamarnya dengan urat-urat yang mengencang. Bagian yang lebih mengerikan lagi, adalah bahwa esok hari dia akan menemui manusia bernama Kang Dongho itu lagi. Mungkin sebentar lagi Baekhyun akan mengidap penyakit darah tinggi. Setidaknya menumpang motor anak itu membuatnya sampai di apartemen jauh lebih cepat.
Sebagai pengalihan dari keinginannya untuk marah-marah, Baekhyun langsung pergi ke unit Chanyeol dan bersiap menyiapkan makan malam. Dia bergerak santai, sebab rupanya Chanyeol belum sampai di apartemennya.
Apa ini? Menjadikan kegiatan menyiapkan makan malam sebagai semacam ajang refreshing? Baekhyun pasti sudah kesurupan arwah ibu rumah tangga.
Anehnya, setelah Baekhyun siap di meja makan dengan makanan yang sudah matang, Chanyeol belum juga tiba. Apakah pria itu sedang lembur? Atau makan malam di luar bersama rekan-rekan kerjanya seperti yang biasa orang-orang lakukan?
Satu jam menunggu, Baekhyun memutuskan makan malam lebih dulu. Dia akan menyimpan sisanya di kulkas. Dia bisa saja mengirim pesan untuk menanyakan di mana pria itu, tapi untuk apa? Chanyeol punya kesibukannya sendiri.
Baekhyun masih di sana setelah merapikan meja makan. Membawa laptop dan melanjutkan skripsinya. Tapi, Chanyeol belum juga pulang. Seberusaha tidak pedulinya Baekhyun, dia terus memikirkan apakah dia perlu mengirim pesan kepada pria itu atau tidak setiap kali mengambil jeda dari kegiatannya mengetik. Kenapa sampai tengah malam Chanyeol tidak kembali juga? Baekhyun tidak yakin makanan yang tadi dia buat masih bisa dimakan besok.
Lewat pukul sebelas, Baekhyun menutup laptopnya. Dia tidak tahan mengulik artikel-artikel jurnal penelitian dengan pikiran yang ke mana-mana begini. Dilihatnya jam di dinding yang pelan-pelan beranjak untuk menunjuk angka 12. Sampai beberapa menit setelahnya, barulah Baekhyun berdiri. Dia akan kembali ke kamarnya saja. Pergi ke mana, sih, si Chanyeol itu?
.
oOo
.
Esok paginya di jam Chanyeol biasa bersiap sebelum berangkat bekerja, Baekhyun mengetuk pintu unit pria itu. Tidak ada jawaban dia dapatkan. Baekhyun lantas masuk. Melihat ada beberapa potong pakaian di atas ranjang yang belum ada di sana saat Baekhyun meninggalkan kamar ini semalam, Chanyeol mungkin sempat pulang. Tapi, sekarang sudah tidak ada orang lagi.
Makanan yang Baekhyun simpan di lemari pendingin tampak belum disentuh. Bak cuci piring kering. Apa pria itu benar-benar tidak makan di rumah? Dan sebegitu sibuknya sampai sudah berangkat lagi pagi-pagi?
Baekhyun berdecak. Dia mengeluarkan makanan sisa semalam dan menghangatkannya. Dia akan makan itu untuk sarapan. Takutnya sudah tidak bisa dimakan lagi nanti-nanti. Aneh sekali rasanya beraktivitas begini di tempat yang bukan milikmu. Tapi Baekhyun masa bodoh, sebab seharusnya, kan, pemiliknya ada di sini di jam-jam seperti sekarang dan semalam saat Baekhyun datang menyiapkan makan malam. Kebetulan saja pria itu sedang tidak ada.
Baekhyun pergi ke kampus kala matahari mulai naik. Dia akan mengajukan rancangan penelitiannya dan menemui dosen yang sudah dia hubungi sebelumnya. Bermodal nekat dengan desain penelitian yang sederhana.
"Tenang, tidak apa-apa. Kalau ditolak pun, aku sudah bersiap untuk mengambil perpanjangan semester."
Berhemat sungguh membantu. Uang saku yang Baekhyun punya bisa dia sisihkan sebagian, dan gaji paruh waktunya nanti akan membantu. Di akhir semester ini, jumlahnya mungkin cukup untuk membayar biaya perpanjangan.
Pertemuannya dengan calon dosen pembimbingnya tidak berlangsung lama dengan kesimpulan yang melegakan: judulnya diterima. Kalau saja bukan karena dia masih menerima revisi di sana-sini dan hampir harus merombak tulisannya, Baekhyun sudah ingin lari-lari keliling kampus sambil bersorak gembira. Sayang sekali.
Apa pun itu, ini tetaplah sebuah kemajuan besar. Baekhyun tidak sabar memberitahukannya pada Chanyeol—tidak, maksudnya tidak sabar merevisi dan menyelesaikan skripsinya lalu wisuda. Benar.
Di kafe, Baekhyun jadi lebih sering bersenandung selama bekerja. Judul yang diterima, pekerjaan paruh waktu yang nyaman, apa lagi yang lebih menyenangkan dari ini?
"Oho, kau kelihatan berbunga-bunga."
Tentu saja inilah bagian yang tidak menyenangkan. Baekhyun terlalu cepat menyimpulkan.
Ia melirik seorang yang baru saja bicara sambil menyilang tangan itu dengan sinis. "Kau tidak tampak seperti orang yang 'benar-benar bekerja', kau tahu?"
Baekho mengangkat bahu. "Memang sedang tidak banyak pelanggan, kan?"
Baekhyun memberikan lap di tangannya pada lelaki itu. "Banyak meja yang bisa diperiksa. Kau ini." Dia kemudian hendak berlalu ke pantry.
"Sunbae,"
Baekhyun berjengit geli mendengar Baekho memanggilnya begitu. Apalagi, ketika dia tidak mendapati wajah tengil yang biasanya dari lelaki itu. Dia pasti sengaja memakai panggilan itu supaya Baekhyun mau menghiraukan.
"Mau mampir ke Hexagon malam ini? Aku yang traktir."
Hidung Baekhyun berkerut. "Aku sedang tidak ingin ke club."
Melihat Baekho tidak memberi respon lagi, Baekhyun mengangkat bahu. Dia melanjutkan langkahnya untuk pergi ke pantry. Tetapi di perjalanan pulang, Baekhyun menerima ajakan yang sama lagi.
"Ayolah. Bisa kupesankan meja khusus kalau kau mau." Dengan suara yang sengaja dikeraskan untuk melawan angin dan hiruk pikuk jalanan, Baekho membujuk lagi.
"Jangan paksa aku. Aku mau cepat-cepat pulang." Setelah dipaksa untuk naik ke jok motornya (lagi) untuk pulang, Baekhyun jadi semakin enggan mengabulkan bujukan Baekho. Lagipula kenapa juga orang ini bersikeras sekali? Di keadaannya yang sekarang ini, Baekhyun sedang tidak berminat pergi ke kelab.
"Kau tidak mau menonton rekan Baek Duo-mu?"
"Tidak mau."
"Sunbae~"
"Tidak."
"Hyungnim~"
"Tidak."
"Jagiya~"
"Lebih baik kau turunkan saja aku di sini."
Baekho kemudian berhenti membujuk. Mereka sampai di apartemen Baekhyun tak lama setelahnya. Sampai Baekhyun turun dari jok motor, Baekho sekali lagi mengajaknya.
"Berhenti memaksaku!"
"Ini bukan memaksa, ini dinamakan membujuk," bela Baekho.
"Kenapa kau sangat bersikeras, huh?" Baekhyun menyilang kedua tangannya. Seumur-umur dia mengenal Kang Dongho garis miring Baekho, entah sudah berapa kali laki-laki itu 'membujuk'-nya seperti ini. Definisi adik tingkat yang tidak sopan.
Butuh tiga detik mereka bertukar tatap sampai Baekho menjawab. "Aku kangen padamu, tahu."
Baekhyun bisa saja langsung memukul kepala juniornya itu kalau kalimat barusan dikatakannya dengan wajah tengil yang biasa. Tapi kalau tidak—seperti sekarang ini—dia jadi tidak sampai kepikiran memukulnya. Apa-apaan wajah serius itu?
"J–jangan membual. Kangen apanya," tukas Baekhyun cepat. "Sudahlah. Aku mau masuk. Kau hati-hati di jalan!" Ia berkata ketus, lalu pergi ke arah tangga dan naik cepat-cepat. Kang Dongho itu memang suka bicara asal-asalan. Dia bisa membuat orang lain salah paham dengan kata-katanya. Baekhyun tidak akan menjadi salah satu yang salah paham itu.
Baekho menghela napas di tempatnya. Sejenak ia lepas helm yang masih bertengger di kepala sekadar untuk mengacaukan rambutnya sendiri. Agaknya ia ingin mengacaukan apa pun yang bisa ia kacaukan agar sama seperti keadaan hatinya saat ini. Barulah setelah itu ia pakai kembali helmnya, dan memacu motor besarnya meninggalkan tempat itu.
Sebentar saja Baekhyun masuk ke unitnya sebelum ia mengetuk pintu unit sebelah. Satu, dua, tiga kali mengetuk tidak ada jawaban, ia masuk. Tidak ada yang berubah dari tadi pagi. Pakaian di atas kasur masih ada di sana. Chanyeol belum pulang.
Apa dia perlu memasak untuk malam ini? Mungkin untuk dirinya sendiri?
Tapi, bahan-bahan di lemari pendingin itu milik Chanyeol. Dan kesepakatan mereka adalah Baekhyun yang menyiapkan makan malam dengan bahan-bahan yang ada untuk mereka berdua. Baekhyun tidak mau memakainya untuk dirinya sendiri. Cukup kemarin saja.
Sembari berpikir sebelum memutuskan, Baekhyun mengangkat satu per satu pakaian di atas kasur. Dia yakin itu pakaian yang baru dikeluarkan dari lemari dan tidak dimasukkan kembali. Masih bersih dan memiliki bekas lipatan. Dilipatnya pakaian-pakaian itu dan disusunnya di sudut tempat tidur.
Mungkin cuma Baekhyun yang berpikir kalau kegiatannya makan malam bersama Chanyeol akan menjadi rutinitas yang setiap hari mereka lakukan. Bagaimanapun, dia dan Chanyeol hanya tetangga yang kebetulan menjadi cukup dekat meski belum lama saling mengenal. Melihat bagaimana usia mereka terpaut cukup jauh, Baekhyun seharusnya bisa mengira-ngira seberapa berbeda kesibukan mereka. Cuma karena tinggal bersebelahan dan juga rencana untuk sama-sama berhemat, mereka jadi sering terlibat satu sama lain.
Baekhyun tidak perlu terlalu memikirkannya.
Begitu selesai merapikan baju-baju itu, Baekhyun memutuskan kembali ke kamarnya. Dia pergi membeli kimbab segitiga untuk mengganjal perut, lalu memulai revisi skripsi.
Malam itu Baekhyun tidur dengan sesuatu yang mengganjal di hatinya setelah ia menahan diri untuk tidak mengecek lagi ke kamar sebelah.
.
tbc
.
.
Di tengah huru-hara, saya cuma bisa doain yang terbaik buat exu. Bener2 cuma bisa berharap.
Btw saya ada nambahin sedikit di chapter sebelumnya (fyi aja hehe). Ternyata ada yang kelupaan.
Berhubung saya juga nggak tau apa keinginan buat lanjutin ini bakal terus ada atau nggak, saya pengen terus nulis selama itu masih ada. Belom tentu juga ke depannya masih bisa nulis-nulis kayak gini. Mana masih banyak banget yang mau saya tulis. Huft.
