Baekhyun jadi tidak bisa tidur.

Ya, ya, dia tahu itu bukan urusannya, tapi siapa juga yang bisa mengendalikan pikiran sendiri untuk tidak memikirkan hal-hal tertentu—uh, Baekhyun sungguh tidak tahu apakah memang ada yang bisa melakukannya.

Yang jelas, dia tidak bisa.

Apa dia lanjutkan saja skripsinya? Tidak bisa. Dia tidak bisa dan tidak mau.

Ditariknya selimut untuk dia peluk—ya, udara memang gerah sekali, jadi Baekhyun tidak minat membungkus tubuhnya saat tidur.

Sambil sesekali menggerutu, Baekhyun memaksa dirinya memejamkan mata.

.

oOo

.

Esok paginya, Baekhyun benar tidak menemukan Chanyeol di unitnya. Dia semakin tidak bisa menghentikan dirinya untuk berspekulasi. Itu baru mereda saat lagi-lagi, Baekhyun bertemu mata dengan Chanyeol yang rupanya sudah kembali saat ia mengecek ke dalam unit pria itu selepas pulang dari kafe.

"Baekhyun." Chanyeol menyapa. Senyumnya tampak tidak seperti biasanya. Karena itu, Baekhyun tidak sempat terkejut dan teralih pada fakta bahwa pria itu jelas-jelas kelelahan. Wajahnya pucat seperti orang sakit.

"Kau sudah pulang—HEY!" Baekhyun melesat cepat melihat Chanyeol oleng di atas kakinya. Dia menahan lengan pria itu.

"Oh, astaga."

"Kau sakit," tembak Baekhyun langsung. Lewat memegang lengannya saja, Baekhyun sudah bisa merasakan suhu tubuh Chanyeol lebih hangat suhu tubuhnya.

"Tidak apa-apa. Terima kasih." Chanyeol kemudian berusaha berdiri di atas kakinya sendiri. Kepalanya memang sudah terasa berat sejak pagi. Tetapi, dia berusaha tidak mengacuhkannya. Dia kembali berbenah. Memakai jaketnya.

Melihat itu, Baekhyun bisa menangkap kalau Chanyeol hendak pergi lagi.

"Aku harus pergi. Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Chanyeol menginterupsi pikiran Baekhyun.

"Kau mau pergi lagi?" Baekhyun mengerutkan dahi. Mengabaikan pertanyaan Chanyeol. Bukannya dia mau ikut campur, tapi Chanyeol sudah kelihatan seperti zombi. Wajahnya pucat. Setiap langkahnya membuat siapa pun yang melihat akan mengira pria itu bisa limbung lalu tumbang kapan saja. "Kau sendiri bagaimana? Sudah makan?" tanyanya, sedikit menuntut. Pria ini pikir dirinya keren dengan memaksakan diri pergi entah ke mana terus-terusan bahkan saat sakit?

"Aku akan makan nanti," katanya. "Kau mau membuat sesuatu malam ini? Kurasa masih ada beberapa bahan di kulkas." Chanyeol beranjak, hendak mengecek lemari pendingin itu.

Baekhyun lagi menahan lengan pria itu. Kali ini dia mengetes suhu di dahinya dan membandingkan dengan dahinya sendiri. Benar, Chanyeol demam. Suhunya bahkan lebih tinggi dari yang Baekhyun kira.

"Tidak bisakah kau tidak pergi dulu? Kau demam."

"Aku tidak apa-apa," senyum Chanyeol, seolah menenangkan Baekhyun.

Tidak. Ini menyebalkan. Baekhyun tidak butuh senyum itu. Pria ini jelas-jelas sakit.

"Begini. Aku tahu ini bukan urusanku. Tapi mau ke mana, sih, malam-malam begini? Kau lembur? Kau seharusnya istirahat kalau tahu sakit begini." Baekhyun mulai mendikte. Menyilangkan kedua lengannya.

Chanyeol membasahi bibirnya yang pucat. Sejenak mengalihkan pandangan. Dia menimbang tentang haruskah ia mengatakan jawaban dari pertanyaan Baekhyun.

"Aku harus ke rumah sakit."

Kerutan di dahi Baekhyun semakin dalam saja. Silang lengannya terurai. Rumah sakit?

Walaupun ingin bertanya lagi, Baekhyun menahan diri. Tentang untuk apa pria itu ke sana atau siapa yang sakit sampai ia harus sering-sering pergi ke sana, mungkin dia tidak perlu tahu.

Baekhyun sempat berpikir lama. Dan Chanyeol sudah berpamitan lagi padanya ketika dia selesai.

"Tunggu. Kau keberatan kalau aku ikut? Tidak, maksudku aku hanya akan menemanimu di perjalanan. Selebihnya, aku janji tidak akan ikut campur. Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan di tengah jalan."

Chanyeol tidak langsung menjawab. Bukan raut terganggu, risih, atau yang semacam itu yang muncul di wajahnya. Itu sesuatu yang berbeda.

"Kau tidak perlu merepotkan dirimu seperti itu," katanya.

Chanyeol tidak mungkin tahu, kalau Baekhyun justru lebih kerepotan bilamana benar terjadi sesuatu pada pria itu.

Menyadari Baekhyun terus lurus-lurus menatapnya, Chanyeol mengerti lelaki yang lebih muda itu menunggu jawabannya. Dia sangat menghargai perhatian itu. Bukan pula dia menyangkal tubuhnya sedang tidak dalam keadaan baik.

Maka, Chanyeol mengangguk. Dia menunggu Baekhyun—yang bersiap secepat kilat—di depan pintu. Mereka naik bus untuk mencapai rumah sakit. Dan selama perjalanan, Baekhyun menepati janjinya untuk tidak ikut campur dengan tidak membiarkan mulutnya mengeluarkan pertanyaan apa pun itu yang sudah mengantre di pikirannya untuk disuarakan.

.

.

Koridor kamar rawat inap tempat Chanyeol menuju cukup sepi saat mereka datang. Ini rumah sakit yang terkenal bagus. Ketika sampai tadi, Baekhyun hampir mengeluh karena kakinya keburu pegal saking jauhnya jarak antara gerbang dan gedung yang mereka tuju.

Di depan sebuah pintu tepat setelah mereka berbelok, Chanyeol berhenti. Baekhyun segera menyimpulkan bahwa itulah kamar yang pria itu tuju. Dia langsung mencari tempat duduk terdekat dan menunggu di sana. Membiarkan Chanyeol melanjutkan apa pun yang menjadi urusannya.

Mau dibilang dia sudah melewati batas, Baekhyun mencoba tidak peduli. Dia akan berusaha untuk tidak mencampuri urusan Chanyeol lebih dari ini, kok.

Setelah beberapa menit hanya berdiri di depan pintu dan melihat melalui kaca, Chanyeol justru mengambil tempat di samping Baekhyun. Pria itu tidak masuk. Hanya duduk, bersandar pada dinding di belakang kepalanya.

Walau lagi-lagi tidak mengerti, Baekhyun tetap diam.

Apa yang kira-kira bisa membantu untuk seseorang yang sedang demam? Minuman hangat? Makanan? Benar. Chanyeol belum makan.

Meraba perutnya sendiri yang seperti baru saja mencoba mengingatkan tuannya tentang kekosongan di dalam sana, Baekhyun juga baru sadar kalau dia juga lapar.

"Aku pergi beli minum dulu. Kau mau kopi? Teh? Soda? Bir? Air dingin?" Ia menanyakan semua yang terpikir oleh otaknya pada Chanyeol. Pria itu menoleh padanya dengan tawa kecil yang nyaris tidak kentara. "Air dan teh hangat saja, ya? Kau demam. Oke, air dan teh hangat saja. Aku akan segera kembali." Dia lantas berlari kecil, pergi mencari mesin penjual minuman dan mungkin kantin rumah sakit. Tidak keburu membiarkan Chanyeol menjawab.

Butuh dua kali bertanya ke perawat dan petugas keamanan sampai Baekhyun menemukan apa yang dia cari. Luas rumah sakit ini benar-benar tidak bercanda. Pulang-pulang, Baekhyun yakin betisnya bakal berubah kencang.

Beberapa menit kemudian, Baekhyun berhasil membawa dua bungkus roti, dua gelas teh panas, dan botol air mineral kecil di saku jaket. Dia membawanya sepanjang koridor yang memang panjang, hendak kembali ke tempat Chanyeol menunggu. Lagi-lagi Baekhyun butuh bertanya dulu pada pekerja rumah sakit yang duluan ia temui. Barulah bisa ditemukannya koridor yang dia ingat. Benar, Baekhyun ingat ini koridor yang tadi. Kamarnya ada setelah tikungan di depan.

Baru selangkah berbelok, Baekhyun mengerem paksa kakinya dan mengambil langkah mundur.

Seorang wanita duduk berjarak satu kursi kosong dari samping Chanyeol dan tengah berbicara dengan pria itu.

"Kurasa aku tidak salah ingat sudah memberitahumu untuk tidak datang lagi."

Aneh sekali. Baekhyun mengenal suara ini.

Tidak ada jawaban yang Baekhyun dengar. Selanjutnya, suara wanita yang dia kenal itu yang kembali terdengar.

"Kau yang membuatku mengatakan ini lagi."

Bukankah seharusnya Baekhyun pergi? Dia tidak boleh menguping seperti ini.

"Aku tidak mau pria sepertimu menjadi kekasih Soojin. Terlebih, menikahinya." Wanita itu kemudian tertawa kecil. "Kau tidak mungkin benar-benar berniat menikahi putriku, kan?"

Baekhyun menggigit bibir. Dia bisa menangkap dengan jelas intonasi merendahkan pada kalimat terakhir wanita itu. Tidak sopan sekali.

"Saya akan menyerahkan sepenuhnya tentang itu pada Soojin."

Jantung Baekhyun seperti berkeriut di rongganya saat akhirnya dia mendengar Chanyeol menjawab.

Lagi, tawa wanita itu terdengar. Baekhyun berkerut dahi mendengar itu. Itu tawa yang sangat tidak sopan, yang menandakan kau tidak menghargai lawan bicaramu sama sekali. Baekhyun berpikir dia mengenal suara itu, tapi tawa yang seperti itu, rasanya tidak mungkin keluar dari seseorang yang Baekhyun duga.

Uap dari gelas kertas yang Baekhyun genggam sejak tadi berangsur hilang. Gawat. Suhunya mungkin sudah tidak hangat lagi.

Sembari memikirkan apakah dia perlu membeli yang baru atau tidak, ada hal aneh yang meliputi sebuah bagian di dadanya. Apa yang tidak sengaja didengarnya barusan mengundang hal aneh itu muncul. Seperti ngilu, atau ada bagian yang kosong dan ditiup kesiur angin dingin.

Kata kekasih, menikah, Soojin, semuanya berputar-putar di kepala Baekhyun.

"Kuharap ini yang terakhir. Kau lihat sendiri keadaan Soojin sudah membaik sampai bisa dipindahkan dari HCU. Kau tidak perlu menemuinya lagi."

Setelah kalimat itu, Baekhyun hanya mendengar ketuk hak sepatu pada lantai. Mendekat ke posisi Baekhyun di balik tembok. Dia segera balik badan, menunduk ketika menyadari wanita itu sungguh berbelok ke koridor tempat Baekhyun berdiri. Sehingga ketika wanita itu sudah melewatinya, hanya sosok belakangnya saja yang terlihat.

Dan lagi, Baekhyun semakin diingatkan pada seseorang kala melihatnya. Hanya saja dia pun tak yakin. Tidak mungkin dunia begitu sempitnya untuk mendapati dugaannya benar.

Lebih dari itu, apa yang terjadi pada dirinya sendiri lebih menyita perhatian Baekhyun. Rasa ngilu itu.

Dua menit hanya berdiri diam, Baekhyun lantas berbalik lagi. Menghampiri Chanyeol. Kalau dia berdiam lebih lama, tehnya bisa benar-benar dingin.

Wajah Chanyeol sulit terbaca saat Baekhyun mencoba. Kata terima kasih pun terucap dari mulut pria itu dengan senyum kecil yang dipaksakan.

Tidak perlu memaksa tersenyum begitu, kan..

Baekhyun berusaha bersikap senormal mungkin meski dia menyadari perubahan signifikan suasana hati Chanyeol dan tidak sengaja mencuri dengar hal yang seharusnya tidak dia dengar.

Sekali lagi Chanyeol bangun dari kursi dan melihat ke dalam kamar rawat melalui kaca di pintu. Setelah itu, pria itu mengajaknya pulang. Baekhyun mengangguk mengiyakan.

Sampai mereka sudah duduk di dalam bus, Chanyeol belum memakan apa pun. Dia hanya meminum sebagian isi gelas dan botol yang Baekhyun bawakan. Membuat Baekhyun terus-terusan meliriknya, takut-takut pria itu sungguhan pingsan dengan menyandarkan kepalanya ke kaca bus begitu. Hanya itu yang berusaha Baekhyun perhatikan daripada rasa tidak bernama yang sejak tadi bersarang di dadanya.

Baekhyun akan mengatasi bagian yang itu nanti.

.

.

Keadaan Chanyeol tidak sama sekali membaik. Suhu tubuhnya tinggi sekali. Tentu saja, kan? Apa yang diharapkan dengan tidak makan apa pun dan memaksa bepergian dalam keadaan sakit?

Tengah malam, Baekhyun mencoba memasak bubur dengan Chanyeol yang dipaksanya memakai kompres kepala sambil berbaring. Dia menemukan resep bubur kubis yang katanya bagus untuk orang sakit tadi, tapi tidak sempat kalau harus pergi membeli bahan dulu. Akhirnya Baekhyun mencoba membuat sesuatu dengan bahan yang ada untuk malam ini.

"Baekhyun," Chanyeol memanggilnya. Pria itu berdeham untuk memperbaiki suaranya yang mulai berubah serak.

Kali ini Chanyeol tidak bisa lagi menyangkal kalau dia benar-benar sakit. Untuk melirik ke tempat Baekhyun berdiri saja, visinya langsung berputar seperti sedang berada di dalam mesin cuci. Tenggorokannya gatal, dan seperti ada selubung panas yang menyelimuti seluruh tubuh.

Baekhyun hanya merespon panggilan Chanyeol dengan 'apa?' singkat.

"Aku akan segera membaik dengan sedikit istirahat. Kau bisa pulang kalau kau mau," kata Chanyeol lagi. Dia menelan ludah yang bagai sekeras batu tajam setelah bicara sepanjang itu.

Sejak sampai di kamar Chanyeol dan menyadari kondisi pria itu memburuk, entah sudah berapa kali Baekhyun mengatainya payah di dalam hati. Dan sekarang, Chanyeol mengatakan sesuatu yang membuat Baekhyun mengulanginya lagi.

Dasar payah.

Baekhyun tidak akan percaya pada kata-kata itu. Mana mungkin seseorang bisa sembuh dalam waktu singkat kalau makan dan minum saja tidak dilakukan dengan baik.

"Kau punya stok obat demam tidak?" tanya Baekhyun masih sambil mengaduk bubur di panci.

"Uh.. tidak." Chanyeol berdeham lagi. Tenggorokannya makin menjadi. Dari gatal mulai terasa sakit.

Mendengar itu Baekhyun membuang napas. Untung saja dia masih punya di kamarnya (bukankah itu hal mendasar kalau kau tinggal sendiri?).

"Bangun dulu." Ia membantu Chanyeol bersandar di kepala ranjang setelah makanannya siap. Walaupun sedikit, pria ini benar-benar harus makan.

"Biar aku saja." Chanyeol mengisyaratkan dia bisa melakukannya sendiri saat Baekhyun mengangkat suapan pertama dan menyodorkannya pada pria itu. Baekhyun meliriknya sinis dan memberikan mangkuk di tangannya ke atas selimut di pangkuan Chanyeol.

"Habiskan."

Tanpa bilang apa-apa lagi, Baekhyun pergi ke luar, dan kembali sekitar dua puluh menit kemudian dalam kondisi ngos-ngosan bersama dengan beberapa botol minuman isotonik dan obat. Chanyeol sudah terpejam saat dia datang.

"Hey, sebentar. Telan ini dulu."

Baekhyun membangunkan Chanyeol, memberikan obat dan juga air, lalu meminta pria itu minum beberapa teguk minuman yang ia bawa.

Chanyeol masih merasa sekelilingnya berputar saat ia kembali berbaring. Ia harus memejam mata saking pusingnya.

"Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu."

Baekhyun tidak menjawab. Dia meletakkan kembali kain hangat di dahi pria itu setelah sebelumnya dilepas supaya bisa duduk untuk makan. Dahi Chanyeol panas seperti setrikaan. Dan pria ini baru saja menempuh perjalanan yang tidak dekat dalam keadaan begitu. Baekhyun tidak habis pikir.

Setelah memastikan Chanyeol terpejam, Baekhyun turun dari pinggir ranjang ke lantai. Menjadikan sisian kasur sandaran.

Kakinya pegal sekali. Dalam beberapa jam terakhir saja, rasanya banyak sekali yang terjadi. Sesuatu yang dia dapati saat di rumah sakit tadi terus berseliweran di dalam kepala. Baekhyun mengantuk dan hampir jatuh terlelap, tetapi hal itu masih berkelebatan. Antara apa yang dia dengar, dan juga dampaknya terhadap dirinya sendiri. Ngilu yang Baekhyun pertanyakan asalnya itu, masih ada sampai saat ini.

.

oOo

.

Seingat Baekhyun, kemungkinan besar dia tertidur sambil duduk bersandar ke pinggiran ranjang. Tetapi dia bangun dengan selimut dan bantal yang nyaman di lantai. Berarti..

Saat sudah cukup sadar, dia bangun cepat-cepat untuk mengecek ke atas tempat tidur. Bisa-bisanya Chanyeol memberikan bantal dan selimut padanya!—tidak ada. Chanyeol tidak ada di atas tempat tidurnya.

Baekhyun sudah hampir marah-marah lagi mengira Chanyeol malah pergi dalam keadaan sakit sebelum dia mendengar bunyi gemercik air dari kamar mandi. Di mana beberapa detik setelahnya, Chanyeol keluar dari sana.

Setelah mengusap mata berkali-kali untuk menghilangkan kantuk, Baekhyun berdiri dan menghampiri Chanyeol. Dia menempelkan punggung tangannya ke leher lalu dahi pria itu.

Suhunya sudah turun walaupun masih terlalu hangat dibandingkan suhu tubuh normal.

"Kau mau ke mana?" Baekhyun menyipitkan mata.

"..Berangkat kerja?" jawab Chanyeol, lagi disusul dehaman akibat tenggorokannya yang belum membaik.

"Kau masih demam." Bertolak pinggang, Baekhyun mendongak menatap Chanyeol lurus-lurus. Inginnya, Chanyeol tahu sebaiknya dia istirahat dulu.

Tetapi berikutnya, dia sadar kalau yang lebih mengetahui kondisi tubuh Chanyeol adalah pria itu sendiri.

Baekhyun lantas menghela napas. "Lebih baik kau istirahat dulu. Kalau tidak ada pekerjaan yang terlalu mendesak, sah-sah saja kan kalau seorang pegawai tidak masuk kantor karena sakit?"

Mendengar itu, Chanyeol menarik garis ke satu sudut bibirnya. Berpikir. Dia melakukan itu sambil sesekali menatap Baekhyun, seolah dia bisa menemukan jawaban di wajah lelaki itu. Mata bulatnya berkedip-kedip.

"Baiklah. Aku akan istirahat hari ini." Chanyeol tersenyum, lalu mengusak rambut Baekhyun seperti yang belakangan sering dilakukannya.

Mungkin karena sarannya diterima, Baekhyun jadi senang. Atau mungkin juga karena sebab yang lain.

"Bagus. Sekarang kita harus memikirkan apa yang harus kau makan supaya demammu cepat turun." Baekhyun berbalik, mengangkat dan merapikan bantal dan selimut di lantai.

Chanyeol, di tempatnya, kini merasa geli melihat Baekhyun ikut-ikutan repot memikirkan kondisinya. Tetapi, aneh juga mendapati itu sama sekali tidak mengganggunya.

.

.

Baekhyun memastikan Chanyeol baik-baik saja dan sudah meminum obatnya sebelum berangkat ke kafe. Melihat pria itu terus-terusan bilang baik-baik saja padahal tidak sama sekali kelihatan begitu, Baekhyun jadi makin bertanya-tanya bagaimana jadinya kalau pria itu benar-benar hidup sendiri.

—Oh, benar.

Baekhyun teringat sesuatu yang pria itu katakan beberapa waktu lalu.

'Yeah.. seorang wanita,'

Setelah apa yang terjadi semalam, hal itu jadi masuk akal.

Seorang yang dimaksud Chanyeol, yang mungkin adalah kekasih yang selalu bersamanya sebelum ini, sedang dirawat di rumah sakit. Dan merujuk pada apa yang Baekhyun dengar saat itu, wanita itu bukan sekadar dirawat. Melainkan memang sangat tidak baik kondisinya.

'Kau tidak mungkin benar-benar berniat menikahi putriku, kan?'

Pikiran Baekhyun terbagi antara substansi pembicaraan itu sendiri, serta bagaimana wanita itu secara tersirat merendahkan Chanyeol.

Memangnya setinggi apa posisinya? Chanyeol sudah punya pekerjaan dan hidup mandiri (minus kekurangannya dalam hal keterampilan mengurus kehidupannya itu). Ingin menikahi wanita yang dicintainya, adalah hak pria itu.

Baekhyun menggigit bagian dalam bibirnya memikirkan itu. Pikirannya beralih pada bagaimana hal itu memanggil kembali perasaan aneh yang, sejak semalam, berulang kali muncul.

Chanyeol benar-benar sudah punya pacar. Dan mungkin akan menikah.

Baekhyun menggerutu ketika sesuatu di dalam dadanya terasa semakin ngilu.

Yang benar saja. Mana mungkin Baekhyun membiarkan dirinya menyukai seseorang yang sudah mau menikah?

"Yah, jangan melamun, dong!"

Baekhyun tersentak saat seseorang menyenggol keras tulang rusuknya. Dia sudah mau memarahi siapa pun itu yang membuatnya kaget, tapi tidak jadi begitu menyadari dia memang masih ada di tengah jam kerja.

"Kau sudah mengelap meja yang sama dari tadi. Itu, ada yang harus diantar lagi." Kini berbalik Baekho yang menegurnya.

"Aish. Kenapa kau tidak memanggilku dari tadi!" Baekhyun misuh-misuh, tidak menyadari Baekho yang sudah menatapnya dengan takjub sebagai reaksi dari kalimat itu. Dia jelas-jelas sudah memanggil-manggil Baekhyun dari tadi dan tidak mendapat gubrisan sama sekali sebelum dia senggol lebih keras kakak tingkatnya itu.

"Woah, kenapa jadi aku yang salah?"

Selepasnya, Baekhyun mengejar pekerjaan yang baru saja ia telantarkan saat seseorang datang dan segera menyita perhatiannya. Satu lambaian Baekhyun dapatkan sebelum ia kembali teralihkan oleh ramainya kafe.

"Kau punya tamu, tuh." Dongho menunjuk tempat Junmyeon duduk dengan dagunya, menginterupsi kegiatan Baekhyun.

Ya, Junmyeon datang ke kafe, dan memasang ekspresi seolah-olah adalah hal yang sudah diduganya untuk menemukan Baekhyun di tempat ini.

Apa ini? Apa tiba-tiba semua orang jadi punya hari mengunjungi Baekhyun?

Dan juga, belum pasti Junmyeon datang untuk menemuinya, kan? Tamu apanya?

"Sudahlah. Jelas-jelas Junmyeon-hyung datang untukmu. Aku akan minta izin, kau bisa ke sana sebentar."

Baekhyun menyipit curiga pada Baekho.

"Kau memberitahunya, huh?"

"Apa?"

Bersedekap, Baekhyun sudah seperti ingin menusuk Baekho melalui tatapannya.

Baekho sudah tampak ingin kabur ditatap seperti itu. Rasanya seperti Baekhyun akan memukulnya dengan gagang kain pel segera. "Aku tidak sengaja! Kau tidak bilang aku harus merahasiakannya!"

Sayang Baekhyun juga tak ingat apa dia sudah pernah melarang anak itu atau belum. Jadi, kali ini dia tidak bisa menyalahkannya. Baekhyun menghampiri tempat Junmyeon duduk. Dia masih ragu apakah Junmyeon benar-benar datang untuk mencarinya.

"Hai," sapa lelaki itu.

Baekhyun mengambil tempat duduk di hadapan Junmyeon. Dia mengusap tengkuk. "Maaf karena belum sempat menemuimu sampai kau harus datang ke sini."

"Tidak, tidak. Aku yang harus minta maaf karena datang tiba-tiba setelah mendengar tentangmu dari Dongho. Aku hanya penasaran dengan tempatmu bekerja." Junmyeon juga tampak tidak enak hati ketika mengatakan itu. Dia segera mengangkat tas karton yang dia bawa ke atas meja. "Ini. Aku ingin memberikan ini padamu."

"Eh, apa ini?" tanya Baekhyun, mengintip isi tas tersebut sebelum benar-benar membukanya.

"Vitamin dan beberapa camilan bersuplemen. Waktu seperti sekarang ini rawan demam musim panas. Aku mengonsumsi vitamin ini dan berpikir untuk merekomendasikannya padamu juga."

Bibir Baekhyun membulat. Benar. Orang sering kali jadi lebih mudah terserang demam saat musim panas. Belum apa-apa saja, Baekhyun sudah kebagian merawat salah satu pasiennya.

"Nah. Kau bisa kembali bekerja. Maaf sudah mengganggumu." Junmyeon meringis, mengekspresikan rasa bersalahnya.

Baekhyun yang baru saja menerima pemberian darinya langsung mengibas-ngibaskan tangan. "Tidak. Kau ini apa-apaan. Terima kasih untuk ini. Aku tidak terpikirkan hal seperti minum vitamin kalau bukan kau yang bilang begitu."

"Oh, lalu.. kalau kau sudah punya waktu, bisa kita bertemu lagi?"

Baekhyun mengerjap, lalu mengangguk. "Tentu."

Junmyeon tersenyum, membentuk sabit di kedua matanya. Dia lalu kembali mengingatkan Baekhyun bahwa mungkin ada yang harus dia kerjakan. Disusul reaksi Baekhyun yang kelabakan karena hampir saja melupakan posisinya sebagai pekerja paruh waktu di sana.

.

.

Baekhyun cuma mampir sebentar untuk berbenah dan mandi begitu sampai di unitnya. Shift hari ini cukup melelahkan, dan dia jadi berkeringat tadi. Seusainya, dia keluar, berpikir untuk membawa serta pemberian Junmyeon dan membaginya dengan Chanyeol. Dilihat-lihat, pria itulah yang lebih butuh vitamin.

Begitu keluar dari pintu, Baekhyun menemukan pria itu di pembatas balkon koridor. Menumpu siku di sana dan memandang keluar. Di cuaca seperti saat ini, kondisi koridor yang menghadap langsung ke luar di salah satu sisinya cukup menguntungkan. Angin malam memberi hawa dingin yang sejuk.

Chanyeol menoleh padanya. Tanpa beranjak dari sana.

"Kau sudah baikan?" tanya Baekhyun, mendekat pada pria itu. Berdiri dan mengambil posisi yang sama.

Chanyeol memberi anggukan. Dia masih belum melepas matanya dari Baekhyun. "Berkatmu."

Baekhyun tidak bisa langsung percaya. Dia tahu belum lama Chanyeol berdiri di sini karena pria itu belum ada ketika Baekhyun pulang tadi. Tapi hanya mengenakan sepotong kaus abu-abu tipis dan celana training, ini tetap mengkhawatirkan.

Jadi ditesnya suhu tubuh pria itu. Dahi, masih hangat. Leher dekat rahang, lebih hangat.

Baekhyun sudah hendak menyuarakan protes-separuh-tegurannya, tapi melalui sentuhan pelan, Chanyeol menangkap tangannya yang baru saja hendak dia jauhkan dari leher pria itu. Menghentikan gerak, sekaligus udara dari pernapasan Baekhyun.

Aneh. Sentuhan itu berdampak besar bagi Baekhyun. Terlalu besar. Mungkin pula karena dibarengi tatap yang tak biasa. Juga dia sendiri yang mengambil posisi terlalu dekat sampai tak tersisa terlalu banyak jarak antara wajahnya dan milik Chanyeol.

Angin sejuk yang berembus gagal mendinginkan hawa di sekitar Baekhyun. Baginya, tiba-tiba saja udara jadi lebih panas. Membuat gerah. Akibat darah yang berdesir lebih cepat. Memompa jantungnya.

"Aku baik-baik saja. Sungguh."

Baekhyun harus segera memeriksakan dirinya. Dia tidak boleh bereaksi seluar biasa ini untuk sebuah perlakuan minimal. Itu hanyalah sentuhan ringan, beserta tatap mata yang tak kunjung lepas.

Semua gelombang dan gejolak di dalam dirinya membuat Baekhyun mulai frustrasi.

.

tbc

.

.

Saya udah pernah bilang belom ya kalo 'fool man' di judul cerita ini belom tentu merujuk ke satu orang tertentu aja? Yah, soalnya, sepasang tetangga ini sebenernya sama-sama payah. Heuheu.

Minggu ini lagi banyak kerjaan, tp herannya saya selalu aja bisa2nya luangin buat lanjutin ini wkwkw. Saya juga mau bilang kalo saya terbuka buat kritik dan saran buat ff ini, tp saya nggak tau masih ada yg baca apa nggak lol. Saking pengennya selesain ini, saya lupa pertimbangin apa cerita ini ada yg baca apa nggak. Pokoke lanjut dulu sj dech.

See you next chapter and happy chanbaek day!