Ada yang berubah dari waktu Chanyeol sekadar terdorong untuk membantu Baekhyun karena anak itu mengingatkan dia pada kesulitannya dulu, dengan saat ini. Pada titik mana mulanya, dia tidak bisa memastikan. Juga sedalam apa, dia juga belum tahu. Terjadi begitu saja. Seperti hanya dalam kurun waktu dari matahari terbenam hingga terbit lagi esok harinya.
Sayangnya, itu semua masih terlalu kelabu untuk dia artikan sesuatu itu.
Atau kalau saja keadaannya bisa sedikit berbeda, rasanya tidak akan sama sekali rumit. Jelas. Tak sama sekali berkabut. Ia bisa memulai kalau memang mau. Ia hanya memilih untuk tidak.
Buk.
Baik Chanyeol maupun Baekhyun tersentak. Kontak fisik di antara keduanya lepas. Jarak merenggang.
Tas karton yang tadinya Baekhyun genggam talinya jatuh. Menjadi interupsi yang akhirnya menyadarkan dua orang yang sudah berdiam terlalu lama di posisi yang sama.
"Eh ini.." Tanpa disadari empunya, wajah Baekhyun berubah merah padam. "Temanku memberi beberapa vitamin dan suplemen. Aku akan membaginya denganmu. Ayo." Berlagak seperti yang punya tempat, Baekhyun kemudian masuk ke unit Chanyeol. Apartemen murah mereka ini memang lebih mirip tipe one-room, tapi pemiliknya bersikeras untuk tidak menyebutnya demikian.
Chanyeol tidak bisa menahan untuk sebuah senyum kecil. Dia menyadari merah di telinga Baekhyun.
Di dalam, Baekhyun langsung mengecek kulkas, dan mendapati bahan makanan di sana sudah hampir habis.
"Apa ini.. kita kehabisan makanan.." gumamnya.
"Benarkah?" Chanyeol turut mengintip ke dalam kulkas, menunduk agar sejajar.
Mendapati wajah Chanyeol kini ada tepat di samping wajahnya, Baekhyun menelan ludah.
"J-jangan dekat-dekat begitu, dong! Kau bisa menulariku." Ia memprotes, melipir dari depan kulkas. Lupa bahwa sejak kemarin pun, mereka sudah 'dekat-dekat' terus.
"Eh? Tapi semalam kita tidur bersama?"
Kalimat macam apa itu? Tidur secara terpisah di lantai dan di atas tempat tidur tidak bisa disebut tidur bersama, kan?
Baekhyun geleng-geleng cepat. Bukan saatnya memikirkan itu.
"Aku akan pergi beli bahan, kalau begitu."
"Kau masih demam—"
Menghentikan ucapan Baekhyun, Chanyeol meraih tangan lelaki yang lebih muda itu dan mengarahkannya ke lehernya.
"Aku sudah jauh lebih baik. Sudah tidak sepanas kemarin, kan?"
Baekhyun gelagapan menarik tangannya. "Memangnya sudah tidak pusing?" tanyanya dengan dagu terangkat.
"Sedikit," kata Chanyeol sambil menelengkan kepala, "tapi sudah tidak apa-apa."
Pria itu lantas berbalik dan mulai bersiap. Mengambil jaket dan dompet. Baekhyun berhenti mencoba membuat pria itu tetap di rumah, dan memutuskan ikut pergi.
.
.
Perut Baekhyun keroncongan parah bahkan sebelum ia dan Chanyeol mengantre di kasir untuk membayar belanjaan. Kalau harus jalan pulang dan masak dulu, dia khawatir tidak bisa. Sekarang saja dia sudah mau meraung-raung minta makan.
"Kita makan di luar dulu saja, bagaimana? Aku lapar." Saat berjalan ke kasir dan Chanyeol bilang begitu, mata Baekhyun langsung berbinar-binar. Dia mengangguk-angguk tanpa ragu sampai rambutnya ikut mengangguk.
Maka begitu keluar, mereka mampir ke warung tenda pertama yang mereka temui. Asal tidak pesan banyak-banyak, makan di tempat seperti ini tidak akan menjadi dosa bagi mereka yang dituntut berhemat. Uhuk, atau dengan kata lain, Baekhyun tidak perlu memikirkan itu karena Chanyeol bilang dia yang akan traktir.
Baekhyun menikmati makanannya dengan hati gembira (makanannya sungguh enak terlepas dari asalnya mereka memilih tempat). Belum lagi, ini gratis. Di saat begini, pergi belanja lalu mampir makan malam di luar jadi terasa seperti tamasya.
"Aku jadi mau juga.." gumam Baekhyun, mengemut ujung sumpitnya sambil memandangi Chanyeol yang sedang minum soju.
Chanyeol tertawa kecil, mengisi kembali gelasnya sendiri. "Kau tidak kuat minum, kan? Aku tidak bisa menggendongmu pulang."
Seperti tersadar, Baekhyun tersentak kecil. "Kenapa kau pesan itu? Kau belum sembuh!"
"Aku sudah jauh lebih baik," bela Chanyeol, lanjut meminum isi gelasnya.
Gara-gara melihat Chanyeol, Baekhyun bertekad akan minum besok. Di rumah agar bisa langsung tidur. Benar dia tidak mungkin mabuk di sini dan merepotkan Chanyeol.
Botol berikutnya dipesan oleh Chanyeol. Dan saat sedang asyiknya Baekhyun mengunyah, satu gelas sloki yang sudah diisi digeser ke hadapannya.
"Satu tidak akan membuatmu terlalu mabuk, kan?"
Rupanya, Chanyeol meminta satu gelas tambahan. Baekhyun sumringah menerima gelas itu. Dia tidak akan mabuk kalau cuma satu-dua teguk. Dan seolah bisa membaca pikiran Baekhyun, Chanyeol menawarkan untuk membawa pulang beberapa botol. Yang tentu saja, disambut senang oleh yang lebih muda.
Baekhyun tidak menunggu besok untuk meminumnya. Sampai di rumah—tentu saja tempat Chanyeol, mereka melanjutkan sesi minum ditemani sepiring kecil camilan.
Baekhyun tidak tahu keinginannya itu membawanya pada hal yang tidak bisa dia kendalikan dan coba sembunyikan sebelumnya.
Dia mabuk berat. Dan mulutnya meloloskan terlalu banyak hal.
"Aku tidak mengira kau sungguhan sudah punya pacar dan mau menikah." Dengan mata yang separuh terpejam, Baekhyun mulai meracau.
Chanyeol tertegun dengan gelas yang baru saja mencapai bibirnya. Apa?
"Tapi wanita itu… Hhfftt.." Baekhyun meniup udara melalui bibirnya sampai kedua bilah itu maju seperti bebek. "Dia terlihat seperti Profesor Ji.."
Isi otak Chanyeol berputar cepat. Mencoba mengira-ngira hal apa yang menyebabkan Baekhyun bisa membahas hal ini. Profesor Ji—seseorang dengan marga itu yang Chanyeol kenal dan memang seorang profesor adalah Ji Soyeon, ibu dari Soojin.
Soojin itu, walau kini tidak bisa lagi Chanyeol sebut sebagai kekasih, adalah seorang yang sangat penting baginya.
Dihabiskannya isi gelas dalam sekali teguk. Sebab dia juga tidak terpikirkan kalau topik ini akan muncul apalagi dari Baekhyun, pikirannya mau tak mau sempurna didominasi oleh hal itu. Kembali memutar kejadian di rumah sakit, dan semua rangkaian lain yang mendahuluinya.
"Kau mendengarnya, ya? Malam itu." Mendengar apa saja yang Baekhyun katakan, pikiran Chanyeol terarah pada malam ketika mereka pergi ke rumah sakit.
"Kalau melihatmu sampai begitu—hik—kau pasti sangat menyukainya.." Baekhyun cegukan lagi. Tetapi belum dihentikannya juga kegiatannya mengisi gelasnya sendiri.
Kesadarannya sudah sangat tipis, dan hal itu membuat otaknya memilih memunculkan apa yang berusaha Baekhyun pendam ke permukaan. Sial sekali rasa ngilu itu mampir lagi di dadanya.
Perasaan, belum lama juga dia mengenal Chanyeol. Kenapa mendapati pria itu sudah punya pacar—yang mana sangat normal bagi pria dewasa sepertinya—harus membuat dirinya jadi begini? Itu terlalu tidak penting untuk mendominasi pikirannya. Masih ada skripsi dan kerja paruh waktu yang seharusnya bisa menempati ruang itu.
Dia tidak mau cemburu. Sungguh. Buat apa? Dia bukan siapa-siapa. Mungkin sesuatu di rongga dadanya cuma mengalami penurunan fungsi sehingga muncul rasa yang tidak mengenakkan, alih-alih disebabkan karena sesuatu seperti cemburu, iri, apalagi patah hati. Ha, memangnya dia ini anak SMA yang baru kenal cinta? Itu terlalu konyol.
"Aku harus bagaimana.." lenguhnya. Semakin dipikirkan, semakin dia frustrasi. Bagaimana, sih, cara menghentikannya? Ini semua terlalu merepotkan.
Sejak tadi memperhatikan seluruh yang Baekhyun lakukan dan katakan, Chanyeol kini menarik gelas milik Baekhyun. Anak itu sudah minum lebih dari satu botol. "Kau sudah terlalu mabuk."
Baekhyun merengek. Mengulurkan tangan mencoba mendapatkan kembali gelasnya. Karena tidak berhasil, sekalian saja dia yang pindah. Berjalan terhuyung dan menjatuhkan pantatnya di samping Chanyeol. Merebut gelas miliknya dari Chanyeol dan minum lagi.
Pangkal lidah dan kerongkongannya lagi tergigit pahit, tapi Baekhyun kelihatan begitu menikmatinya. "Lama-lama jadi terasa manis," katanya.
Sejenak Baekhyun akhirnya berhenti. Dia duduk meringkuk memeluk lutut, demi mendapatkan topangan untuk dagunya. Kepala ia istirahatkan di sana, miring menoleh pada pria di sebelah. Menatapnya lama-lama dengan mata yang seperti tinggal beberapa watt saja.
"Kau tidak menyukaiku?"
Gerakan Chanyeol yang hendak memindahkan cairan dari dalam gelas ke mulutnya terhenti. Bertemu mata dengan yang lebih muda. Pria itu meletakkan kembali gelasnya. Kepalanya sendiri sudah memberat, tapi, hampir seratus persen dia masih sadar.
"Aku menyukaimu,"
Jawaban itu membuka mata Baekhyun jadi lebih lebar kemudian mengerjap kaget.
"Kau tidak mudah menyerah. Kau juga baik dan perhatian. Aku tidak mungkin tidak suka kau ada di sini," tambah Chanyeol, tersenyum tipis membalas tatapan Baekhyun.
Rasanya Baekhyun dijatuhkan setelah terbang mengawang-awang. Dia manyun. Bukan itu yang dia maksud.
"Dasar payah." Baekhyun menjatuhkan matanya ke lantai di antaranya dan Chanyeol. Bibirnya semakin melengkung ke bawah.
Chanyeol mendengus. Tertawa kecil. Memang sebaiknya, Baekhyun tidak perlu tahu kalau dia sengaja membelokkan maksud pembicaraan yang tadi itu. Sementara, pemuda itu akhirnya kembali meraih gelasnya.
Melihat, Chanyeol segera menarik gelas itu. "Sudah, ya. Jangan minum lagi."
"Hngg.. tungguuu, aku masih mau lagi…" Baekhyun mengulurkan tangan, mendekat pada Chanyeol demi gelasnya, bahkan menggunakan bahu pria itu sebagai pegangan karena sejujurnya sekitarnya sudah sangat kabur.
"Baek–hyun.. eh, sebentar. Kau sudah terlalu mabuk." Chanyeol mengulang lagi kalimatnya saking sulitnya Baekhyun dikendalikan. Ia berusaha menjauhkan gelas dan botol yang mereka punya dari jangkauan Baekhyun. Diraihnya lengan pemuda itu untuk dilingkarkan ke lehernya. "Sebaiknya kau naik ke tempat tidur."
Akibat Baekhyun yang masih bergerak protes dan tidak setuju, Chanyeol tidak berhasil juga membawanya berdiri. Untungnya, Baekhyun kemudian menyerah mendapatkan gelasnya kembali. Dia cuma mendengus sebal saja. Dia mendongak, inginnya mencaci maki Chanyeol yang seenaknya mengatur-ngatur.
Tapi, niatnya begitu cepat berganti.
Apa ini? Kenapa wajah Chanyeol jadi dekat sekali dengan wajahnya sendiri? Dan kenapa pria payah ini jadi sangat lucu dengan mata dan hidungnya itu? Baekhyun kan jadi betah memandangnya lama-lama. Ia berusaha memfokuskan pandangan, ingin mendapat potret nyata yang lebih jelas lagi.
"Kau manis," katanya. Berjarak satu kali kedip mata yang pelan, Baekhyun memejam dan mendekat pada wajah itu.
Chanyeol bahkan belum sempat bereaksi, dan yang selanjutnya sebuah sentuhan panjang sudah diberikan Baekhyun di sudut bibirnya. Bibir ke bibir. Tepat setelah dua kata yang pemuda itu ucapkan.
Sebuah sentuhan seperti itu bisa jadi tak berarti banyak bagi beberapa orang. Tapi Chanyeol tidak termasuk ke dalam kelompok itu. Terlebih, ini Baekhyun. Sekalipun ia, atau juga Baekhyun, menganggap hubungan mereka tak lebih dari tetangga atau kakak-beradik, sebuah kecupan tidak bisa terasa sesederhana itu. Cukup untuk membuat kognisinya terjeda.
Baekhyun menyudahi itu beberapa detik kemudian. Menjatuhkan tatapannya kembali pada sepasang milik Chanyeol.
Chanyeol menelan ludah. Dia tahu dia tidak bisa membiarkan dirinya sendiri melakukan apa yang pikiran dan tubuhnya inginkan.
Sekali lagi, ada yang membuatnya tidak bisa memulai walau dia mau. Dengan Baekhyun.
Tapi terima kasih—atau terkutuklah—bergelas-gelas soju yang dia minum malam ini. Gara-gara itu, satu pintu pertahanannya terbuka.
Ia meraih rahang Baekhyun. Menempatkan tangannya lembut di sana, selembut ketika bibirnya menyapa kembali bilah milik pemuda itu. Memberi kecupan yang sedikit lebih lama dari yang Baekhyun lakukan sebelumnya, bahkan dengan satu-dua pagutan. Yang secara mengejutkan, berbalas dengan seimbang dari pemuda berambut cokelat itu.
Singkat saja. Chanyeol menyudahinya segera. Berbuah tatap kecewa dari yang satunya.
Baekhyun menunduk. Menjatuhkan dahinya pada tulang selangka Chanyeol.
"Aku pasti sudah gila, berhalusinasi kau menciumku." Suara kecil Baekhyun jadi satu-satunya suara di antara hening. Selanjutnya, suara itu semakin lirih seiring empunya yang berangsur hanyut lebih dalam ke ketidaksadaran. "Aku sungguhan jatuh cinta, rupanya. Sial sekali."
Chanyeol, mengambil waktu cukup lama untuk berdiam pada posisi itu.
Dia salah. Tidak seharusnya dia melakukan itu.
Berikutnya dengan segera dia urai dua lengan Baekhyun yang entah sejak kapan melingkari lehernya secara sempurna. Ia posisikan agar ia bisa mengangkat Baekhyun ke atas tempat tidur, membantunya mendapatkan posisi yang nyaman untuk tidur.
Chanyeol duduk di pinggir ranjang. Menumpu siku di atas kedua paha, menopang kepala dengan dua telapak tangan.
Meski tak terlalu pandai dalam urusan hubungan romantis, Chanyeol tidak segitu bodohnya untuk bisa menerjemahkan semua ini. Bohong kalau dia bilang ini masih terlalu kelabu. Ini semua sudah sejelas membaca tulisan di dalam buku.
Tapi dia belum selesai dengan dirinya.
Dan melalui sebuah ketidaksengajaan, dia mungkin membuat Baekhyun jadi harus ikut merasakan dampaknya yang tidak mungkin menyenangkan.
Chanyeol belum bisa beranjak. Bahkan jika dia benar-benar jatuh cinta pada Baekhyun.
.
oOo
.
Baekhyun merasa sudah melakukan kesalahan.
Tapi dia tidak juga menemukan bagian mana yang salah sampai lebih dari satu minggu lamanya.
Dalam kurun waktu itu, Chanyeol hampir tidak pernah membiarkan Baekhyun memasak, mencuci piring, atau apa pun lagi di tempatnya selain menumpang makan saja. Tidak mempan lagi bahkan ketika Baekhyun bersikeras.
Pria itu jadi menyebalkan. Baekhyun kira mereka sudah sepakat untuk bersimbiosis mutualisme. Kenapa jadi seperti Baekhyun yang menumpang hidup dan bergantung padanya? Dan Chanyeol terus-menerus memberikan respons menyebalkan yang sama sekali tidak memuaskan. Menyebalkan pangkat dua. Chanyeol itu tidak berbakat dalam urusan dapur. Bukan berarti Baekhyun iya, tapi dia tahu dia bisa melakukan yang lebih baik. Dia bisa membantu. Jadi kenapa pria itu tiba-tiba bersikap begini?
"Kalau aku melakukan kesalahan, tolong katakan." Baekhyun, sekali lagi, berusaha menyuarakan pikirannya. Dia sudah terlampau kesal. Chanyeol lagi-lagi memintanya untuk langsung duduk saja dan menunggu sebentar selagi pria itu menyiapkan makanan mereka. "Atau kalau kau mulai tidak menyukai kehadiranku, kau juga bisa bilang."
Sejenak Chanyeol teralih dari kegiatannya menyiapkan dua porsi makan malam yang dibelinya dari luar. Mengangkat kedua alisnya.
"Kau ini kenapa? Tidak mungkin aku merasa begitu, kan?" Dia lanjut memindahkan makanan ke meja tempat mereka biasa makan, tersenyum kecil seolah perkataan Baekhyun hanya rajukan biasa seperti yang kadang anak itu lakukan.
"Kau mengerti tidak, sih, kalau aku berusaha untuk tidak terlalu merepotkanmu?" tanya Baekhyun, mulai gusar. Masa bodoh kalau dia sungguhan kelihatan kekanakan dengan prasangka buruk sepihaknya. Chanyeol ini, apa tidak bisa menangkap maksudnya? Kenapa Baekhyun dibuat merasa seperti anak-anak yang butuh disokong hidupnya saat dia selalu mengusahakan sebaliknya? Dia pikir Chanyeol sudah menangkap niatnya itu.
"Baekhyun," Chanyeol berdiri menatapnya, mencoba memberi tahu bahwa dia benar mendengarkan. Bahwa spekulasi apa pun yang Baekhyun buat di kepalanya adalah belum tentu benar.
"Kalau kau tidak mau aku melakukan apa pun, kau juga bisa berhenti mengajakku makan malam setiap hari. Aku ini anakmu? Adikmu?" Baekhyun menantang, "Aku bisa mengurus hidupku sendiri."
"Bukan begitu. Kau sudah punya pekerjaan paruh waktu dan sedang mengerjakan skripsi. Lebih mudah kalau begini, kan? Kau tidak perlu capek-capek menyiapkan makan malam."
Bukankah terlambat sekali kalau baru memakai alasan itu sekarang? Baekhyun baik-baik saja selama melakukan semua itu sebelumnya. Jangan kira juga Baekhyun tidak menyadari kalau Chanyeol lebih sedikit bicara, bahkan cenderung menghindari bersitatap dengannya lama-lama.
"Aku bicara sesuatu saat mabuk waktu itu. Iya, kan?"
Benar. Dari reaksi Chanyeol yang mendadak kelihatan tidak punya jawaban lagi, Baekhyun yakin itu benar. Pagi hari setelah malam itu, Chanyeol bilang Baekhyun hanya bicara tidak jelas soal skripsinya dan jatuh tertidur saat Baekhyun tanya apakah dia melakukan hal yang merepotkan. Tapi melihat beberapa perubahan pada sikap Chanyeol sejak hari itu, Baekhyun simpulkan bahwa sesuatu yang sialnya tidak dia ingat memang terjadi.
Dan Baekhyun sebenarnya takut itu benar menyangkut sesuatu yang tidak—atau setidaknya belum—dia ingin katakan atau tunjukkan pada Chanyeol.
"Oke. Aku mengerti maksudmu. Tenang saja." Walaupun tidak benar-benar begitu, Baekhyun menetap pada asumsinya. "Maaf sudah merepotkanmu, oke? Aku akan pulang."
Baekhyun berbalik pergi setelah mengatakannya, mengabaikan panggilan Chanyeol. Dia tidak bisa makan berhadapan dengan pria itu kalau keadaannya begini. Chanyeol menyebalkan, dan begitu pula semua perasaan ini.
Di kamarnya, Baekhyun berusaha tak menghiraukan bebunyian berisik yang berasal dari perutnya sendiri. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk menyambung kegiatannya melanjutkan Tugas Akhir-nya, tetapi ia memaksa. Benda ini juga, yang secara mengherankan terus menyumbang kerumitan hari-harinya belakangan. Baekhyun pikir tidak butuh waktu selama ini untuk memperbaikinya, tapi sampai saat ini, pembimbingnya terus menemukan kesalahan yang membuat Baekhyun harus melakukan perbaikan untuk ke sekian kali. Baekhyun ingin sekali meledakkan diri.
Dengan banyaknya hal yang berseliweran di pikiran dan juga perasaannya, Baekhyun terus melihat sebuah kalimat di sana; Chanyeol mungkin mulai tidak menyukai kehadirannya.
.
oOo
.
"Tunggu. Kau apa?" Baekho memajukan wajahnya yang memasang tampang bodoh. Dia kemudian mengorek telinga, merasa mungkin saja hal yang barusan dia dengar itu salah.
Baekhyun merotasi matanya. Dia tahu akan begini reaksi anak itu. "Jawab dulu. Kau pergi ke Hexagon atau tidak malam ini?"
Bersedekap, wajah si junior berubah sangsi. "Kalau tidak, bagaimana?"
Baekhyun mengangkat bahu. Dia hendak berlalu begitu saja. "Ya sudah. Aku akan pergi sendiri."
"H-hey, tunggu," sela Baekho. Ia menahan lengan seniornya itu. "Tadi itu bohong. Hari ini justru aku pasti ke sana. Kau tahu soal pertemuan klub, ya? Karena itu kau mau datang?"
"Pertemuan?"
Melihat Baekhyun mengernyitkan dahi, rupanya asumsi Baekho meleset. Berarti bukan karena itu Baekhyun akhirnya membahas soal pergi ke Hexagon.
"Malam ini anak-anak klub radio akan pergi ke sana," jelas Baekho. Wajah tengilnya lantas muncul lagi. "Ohhoo, jadi akhirnya kau memutuskan untuk mencari hiburan, huh?" godanya. Baekhyun yang tidak berminat meresponsnya hanya memutar bola mata. "Kau mau kupesankan meja?"
"Tidak usah." Baekhyun mengibaskan tangan. Buat apa juga sampai memesan meja.
"Yah Kang Dongho! Kemari!" Panggilan keras dari pintu di belakang meja kasir menginterupsi obrolan mereka. Seketika mengingatkan kalau ini bukan waktunya santai-santai. Terpaksa, Baekho menghentikan bahasan itu. Setidaknya, dia sudah tahu Baekhyun akan ikut ke Hexagon malam ini.
Sebelum pergi, dia mengerling pada Baekhyun. "Tawaranku masih berlaku. Aku yang traktir kalau kau datang." Bonus, satu kedipan mata. Baekhyun bergidik menanggapinya.
Ia lantas ikut kembali kepada pekerjaannya. Baekhyun cuma berniat bertanya singkat pada Baekho tadi, tapi anak itu mungkin terlalu hobi memperpanjang urusan. Padahal tinggal jawab iya atau tidak saja.
Kalau dibilang dia mau cari hiburan, mungkin saja. Baekhyun tidak terpikirkan hal itu saat mempertimbangkan untuk main ke Hexagon tadi pagi. Ide itu datang saat untuk ke sekian kalinya, keinginan untuk mampir ke unit sebelah kamarnya muncul.
Memang sepertinya Baekhyun sudah mulai tidak waras. Dia tidak punya urusan lagi di tempat Chanyeol, tetapi pikiran dan tubuhnya tiba-tiba saja berubah menjadi mode autopilot begitu menyangkut perkara keluar-masuk unit pria itu seolah itu rumahnya sendiri. Dan itu berjalan selama tiga berhari-hari. Maka sudah jelas dia butuh piknik. Mencari sesuatu lain yang bisa menjadi distraksi.
.
.
Baekhyun sampai di kelab bersama Dongho. Dan benar saja, beberapa wajah yang Baekhyun kenal sudah ada di sana. Sudah beberapa sapaan Baekhyun terima sejak melangkah masuk.
"Virgin Mojito? Bloody Mary?" tawar Baekho mereka sampai di meja bar.
"Jangan bercanda." Baekhyun merespon ketus. Sudah datang ke sini, dan Baekho menawarkan itu padanya?
"Kau mau alkohol malam ini? Sungguh?"
"Aku mau yang sedikit kuat," kata Baekhyun, langsung kepada bartender di sana.
"Hey, hey, tunggu dulu. Bagaimana kalau kau jadi terlalu mabuk untuk bisa pulang?"
"Kan ada kau," kata Baekhyun cuek. Dia sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba menikmati apa yang bisa dia dapati di sana.
Baekho masih ragu mengabulkan keinginan Baekhyun. Tetapi, pernyataan yang barusan itu memancingnya jadi besar kepala. Kalau itu mau Baekhyun, dia ayo-ayo saja. Baekhyun mengandalkannya, lalu apa? Tentu saja Baekho akan mengabulkannya. Dia mengangkat bahu, dan memesankan salah satu cocktail dengan kadar alkohol yang lumayan, beserta beberapa jenis kudapan.
Baekhyun cukup senang menyimak penjelasan singkat dari bartender yang menyiapkan minumannya sesuai apa yang dipesankan Baekho. Soal bagaimana nanti, akan tetap jadi urusan nanti saja.
Kali ini Baekhyun akan mencoba mengandalkan Baekho untuk itu.
"Aku akan kembali segera," kata Baekho.
Baekhyun membuat gestur mengusir. Dan Baekho pergi dari sana.
Isi gelas meluncur ke kerongkongan. Rasa itu rupanya memang terlalu kuat bagi pengecapnya, tapi entah kenapa, kali ini Baekhyun menginginkan cairan itu terus menggigit inderanya. Tidak butuh waktu lama juga untuknya menghabiskan hampir seluruhnya, lalu melebur ke tengah lantai dansa. Oh, ini semua bisa membuatnya lupa sama sekali dengan skripsinya yang belum selesai, dan merasa kembali jadi mahasiswa yang masih sempat senang-senang.
Sepertinya memang sudah seharusnya Baekhyun menyempatkan diri untuk hal-hal seperti ini dibanding cuma bolak-balik kampus-apartemen-kafe. Bonusnya paling-paling pergi ke minimarket. Sangat membosankan, makan di rumah bahkan memasak sendiri, bekerja paruh waktu, lalu berkutat dengan huruf-huruf di layar komputer beserta setumpuk pustakanya. Juga terlibat dengan seorang baru yang memusingkan kepala sekaligus perasaannya. Menggelikan.
Hexagon di awal malam masih sangat bersahabat, terlebih ketika kelab kecil ini dipenuhi oleh teman-temannya. Sayang sekali kalau dilewatkan.
Baekhyun menikmati waktunya. Kenal atau tidak, dia bertukar tawa dengan yang dia temui di sana, sampai lebih dari dua jam setelahnya, ia sudah tergeletak di sofa salah satu meja. Bersama beberapa orang lain yang masih anggota dan alumni klub radio, yang hampir sama mabuknya dengannya. Sebelah tangan sudah memegang botol minuman yang Baekhyun dapatkan untuk dirinya sendiri. Sampai di sini, dia jelas sudah lupa daratan.
"O-oi, di sini kau rupanya!" Sol sepatu Baekho berdecit kala ia memaksa kakinya mengerem dari kegiatannya menyisir seisi kelab demi mencari Baekhyun. Dia mengambil tempat duduk di samping seniornya itu, lalu mengecek botol apa yang Baekhyun genggam.
"Woah, dia benar-benar sudah gila," komentarnya begitu melihat label 'Ardbeg' di botol itu. Tidak heran Baekhyun tahu-tahu sudah begini, kontras dari kali terakhir Baekho mengecek keadaannya. Isi botol itu masih banyak, tapi untuk seseorang seperti Baekhyun, tidak perlu banyak untuk menumbangkannya. Berbeda dengan dia sendiri yang masih bisa berdiri tegak setelah minum beberapa kali tadi.
Baekho meletakkan botol itu ke atas meja, lalu duduk miring bersilang lengan menghadap Baekhyun yang sudah merebah ke sandaran sofa dengan mata terpejam.
"Yah, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi tingkahmu benar-benar aneh belakangan ini. Kau kira aku tidak menyadarinya?" Ia bicara sendiri, tahu benar Baekhyun tidak akan merespons. "Hey, kau dengar aku?" Dia menjepit hidung Baekhyun main-main sampai kakak tingkatnya itu memprotes dengan suara tidak jelas dan menepis tangannya.
Selanjutnya Baekho membiarkan Baekhyun dalam kondisi itu sementara waktu. Memberinya waktu pula untuk memandangi sosok itu.
Ini gila. Baekho tahu sudah sejak lama dia menyukai seniornya itu. Dia memujanya. Tapi mengamati Baekhyun seperti ini saja, rasanya masih ingin jungkir balik mengagumi sosoknya. Hanya saja dia tidak ingin menyudahi hubungan mereka yang seperti ini cuma karena perasaan bodohnya.
Dan di tengah nuansa ini, Baekho mulai berada dalam kondisi nyaris lupa diri. Ruang temaram dengan hanya kerlip lampu disko, dan efek memabukkan dari apa yang diminumnya. Kehadiran Baekhyun saja sudah cukup untuk menyempurnakan efek itu.
Lantas tanpa benar otaknya sempat berlogika, dia mendekati wajah Baekhyun yang terkulai di sandaran sofa. Selama detik-detik singkat yang terasa berlalu lamban, meneliti setiap pahat diri yang tampak. Berhenti di kedua bilah bibir yang sedikit terbuka.
Mungkin satu kali sentuhan saja tidak masalah.
Ia mendekat lagi, sedikit lagi melakukan apa yang didorong ketidaksadarannya sebelum tangannya ditarik kuat. Hampir terpelintir.
"Kau sudah gila?!"
Kim Junmyeon menjulang di hadapannya. Menatapnya dengan wajah paling mengerikan yang pernah Baekho lihat dari lelaki itu. Cukup untuk menariknya kembali dari buai singkat perasaannya sendiri.
Baekho menoleh cepat pada Baekhyun yang masih ada di posisi yang sama. Mengusap wajahnya sendiri kasar.
"Kau yang membawanya ke sini?! Hanya untuk itu?" tuntut Junmyeon lagi. Lelaki itu masih berdiri di depan Baekho, seperti siap meninju juniornya itu kapan saja.
"Aku tidak sengaja, oke? Aku lepas kendali." Baekho berusaha menjelaskan. Tidak hanya kepada Junmyeon, tapi juga kepada akal sehatnya sendiri. "Dan tidak, Baekhyun sendiri yang mau datang ke sini."
Yang jadi masalah bukan tindakan itu yang tidak pantas dilakukan di sini—karena toh banyak yang melakukannya—melainkan, kepada siapa. Ini Baekhyun. Junmyeon tahu betapa Baekho selalu berusaha menghargai Baekhyun walaupun sangat sangat menyukainya.
"Lakukan saat dia sadar kalau kau berani." Lurus-lurus Junmyeon menatap Baekho yang mendongak dari posisi duduknya.
Karena Junmyeon hampir tidak pernah marah, Baekho bisa menangkap dengan jelas perbedaan signifikan dari sorot mata dan nada bicara lelaki itu.
"Astaga," Lagi Baekho mengusap wajah. "Aku tidak sengaja, sungguh."
Junmyeon kemudian beralih ke hadapan Baekhyun. "Dia bersamaku," katanya pada Baekho. "Aku akan membawanya pulang."
"Apa? Tunggu. Aku sudah berjanji padanya untuk melakukan itu."
"Dan apa? Kau akan melakukan hal tadi lagi?" Junmyeon mengangkat dagu. Dia masih tidak akan memaafkan yang barusan itu, meski secara teknis, bukan dia yang dirugikan.
"Tidak akan! Aish, aku bersumpah! Yang tadi itu benar-benar tidak sengaja!"
Perlu dua-tiga kali lagi Baekho meyakinkan Junmyeon sebelum laki-laki itu membiarkannya tetap bersama Baekhyun. Sekadar karena anak itu bilang sudah janji pada Baekhyun.
"Kau berutang maaf padanya."
Baekho tidak bohong kalau dia menyesali kebodohannya. Sebab kalimat Junmyeon yang terakhir itu terus menghantuinya. Benar. Dia bisa bersikap kurang ajar pada siapa pun, asal bukan Baekhyun.
.
.
Dengan seluruh upaya yang ada, Baekho menempatkan Baekhyun dalam gendongan di punggungnya setelah turun dari taksi. Itu luar biasa sulit karena Baekhyun jadi sangat susah diatur walaupun masih cukup sadar.
Baekho merasa napasnya hampir berhenti begitu sampai di lantai 3. Tidak ada apa-apanya rutin olahraga di gym. Menggendong Baekhyun yang hampir pingsan naik tangga melewati 2 lantai jauh lebih menantang bagi otot-otot tubuh.
Kala matanya meniti nomor-nomor di unit yang dia lewati, seorang pria yang bersandar di pembatas balkon bertemu mata dengannya. Tampak terkejut. Pria itu mendekatinya.
"Eh? Baekhyun?" Pria itu—Chanyeol—merunduk untuk memastikan langsung apakah seseorang yang ada dalam gendongan seorang laki-laki yang baru saja datang itu benar Baekhyun. "Apa yang terjadi padanya? Baekhyun?"
Baekho menepis tangan Chanyeol yang terangkat ke arah Baekhyun yang ada di gendongannya. "Kau siapa?" tanyanya ketus. Ditatapnya Chanyeol seolah pria itu adalah orang tak dikenal yang mencurigakan dan berpotensi berbuat jahat.
"Aku temannya." Chanyeol memberi jawab seadanya. "Apa dia masih sadar? Baekhyun?" Panggilan Chanyeol berbalas suara kecil mirip dengung lebah.
Masih mengernyitkan dahi, Baekho mengabaikan Chanyeol. Dia pergi menuju unit yang sudah sempat Baekhyun beritahu sebelumnya. Sampai di depan pintu, barulah Baekho menyadari hal yang sudah dia lewatkan.
Pintu itu butuh pin. Oh, dia lupa akan kemungkinan ini.
"Yah, bangun dulu." Ia mengguncang pelan Baekhyun di punggungnya. "Hey, aku belum tahu pin tempat ini."
"Kau bisa membawanya ke sini."
Suara itu membuat Baekho menoleh. Di sana Chanyeol sudah membuka pintu unitnya lebar-lebar.
Sebelah alis Baekho terangkat. Pria itu kelihatan terlalu mencurigakan di matanya. Buat apa dia menawarkan kamarnya? Belum tentu pula dia benar-benar teman Baekhyun. Atau siapa pun itu, memang tidak mungkin Baekho percayai begitu saja untuk menampung Baekhyun yang sedang teler.
Lagi-lagi ia abaikan saja pria itu.
"Baekhyun, berapa pinnya?" tanyanya lagi, kembali mengguncang pelan seseorang dalam gendongan.
Pertanyaan Baekho cuma dibalas dengungan kecil. Baekhyun sudah terlampau tidak sadar walau sepertinya belum sampai sungguhan tidur apalagi pingsan.
"Aish, bagaimana ini?"
Memutar otak, Baekho mengedarkan pandangan. Tepat ketika dia menoleh ke kiri lagi, Chanyeol masih menunggu dengan pintunya yang terbuka.
"Tenang saja. Dia juga beberapa kali tidur di sini."
Baekho masih enggan percaya. "Kubawa dia ke tempatku saja."
"Apa? Tunggu, kau tidak boleh melakukan itu." Chanyeol mengerjap. Dia mendekati Baekho yang masih menggendong Baekhyun.
"Apa? Kenapa tidak?"
"Kau harus membawanya pulang."
"Pintunya tidak bisa dibuka!"
"Karena itu kau bisa membawanya ke tempatku!"
"Kenapa harus?!"
"Ngg.. berisik.." Baekhyun mulai menggerung. Protes. Dahinya berkerut tidak suka. Rupanya dia masih sadar.
"Baekhyun? Kau masih sadar?"
"Baekhyun, beritahu pinnya!" Baekho mengguncang tubuh Baekhyun semakin heboh.
Suara Chanyeol dan Baekho yang berisik cuma dibalas rengekan kesal. Tidak ada jawaban diberikan. Melainkan, suara orang mual dari pemuda itu.
"Huwek!"
"Y-yah! Jangan muntah di bajuku!"
"Kemari! Cepat!"
Diiringi bunyi huwek-huwek dari Baekhyun, Baekho terpaksa mengikuti Chanyeol. Keduanya bersusah payah agar Baekhyun bisa muntah di toilet.
"Nggh.. Ini gara-gara kau!" Baekhyun meraih kerah Baekho seperti hendak mengajaknya ribut setelah satu kali berhasil mengeluarkan isi perutnya di toilet.
"Hah? Kenapa aku!" protes Baekho. Nasib sekali. Sudah menggendong Baekhyun sampai unitnya, sekarang dia lagi yang disalahkan.
"Kau membuatku mual—HUWEK!" Baekhyun menjatuhkan lututnya lagi di depan toilet. Muntah-muntah.
"Oh, astaga." Chanyeol yang sejak tadi sudah bersimpuh di samping Baekhyun membantu anak itu mengelap mulut lelaki itu dengan punggung tangan, juga memijat pangkal lehernya. "Sudah?"
Baekhyun memberikan anggukan di tengah kondisinya. Kini tubuhnya tampak tidak bertenaga. Matanya bahkan tidak benar-benar melek dari tadi.
"Kau bisa pulang. Aku akan membantu Baekhyun." Chanyeol memberi isyarat pada Baekho untuk keluar melalui pintu.
"Apa? Aku tidak akan pulang," tolak Baekho langsung.
"Lalu kau mau menginap di sini?" Chanyeol memapah Baekhyun yang usai muntah-muntah kembali jadi seperti orang pingsan. Baekho refleks ikut membantu. Baekhyun dibaringkan ke atas tempat tidur milik Chanyeol.
Bergantian menatap Baekhyun dan pria tinggi si pemilik tempat, Baekho bertolak pinggang. Dia memang harus kembali ke Hexagon karena masih ada beberapa sesi untuk dia lakukan.
"Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku akan menagih pertanggungjawabanmu."
Chanyeol mengernyit nyaris tak kentara. Sedikit tidak suka sikap protektif itu. Siapa orang ini?
"Kau yang membuatnya minum banyak? Berarti kau yang harus dimintai pertanggungjawaban," katanya.
Sebelum Baekho membalas lagi, dengungan Baekhyun menghentikannya. Pemuda itu seperti mengatakan sesuatu, tapi terlalu tidak jelas untuk ditangkap maksudnya. Dia mengigau.
Baekho menghela napas, akhirnya setuju untuk meninggalkan Baekhyun bersama Chanyeol.
"Aku mengawasimu!" Sambil terus mengecek ke belakang, Baekho keluar dari sana.
Baekhyun sudah berbaring nyaman di atas kasur dengan Chanyeol yang menungguinya. Duduk di pinggir. Ia mengusap titik-titik air di ujung mata Baekhyun akibat muntah tadi. Kalau sampai muntah hebat begitu, kondisi perutnya pasti sangat tidak baik.
Kenapa Baekhyun terus-terusan minum kalau tubuhnya tidak punya toleransi setinggi itu?
Chanyeol bimbang apakah adalah keputusan bijak untuk membuat Baekhyun terbangun di kamarnya. Baekhyun mungkin akan marah.
Setelah beberapa hari tidak pernah bertemu (ajaib sekali karena mereka jelas-jelas tinggal bersebelahan dan pernah makan malam bersama setiap hari), mendapati Baekhyun ada di sini lagi terasa seperti sesuatu yang sudah satu tahun tidak terjadi.
Oh, baiklah. Itu sebuah hiperbola.
Chanyeol hanya merindukannya.
.
tbc
.
.
Saya jadi kesel sendiri karna banyak banget yang mau saya tulis sementara saya nggak punya tenaga dan waktu sebanyak itu buat nulisin semuanya. Kesel bbuanget. Padahal seseorang pernah bilang ke saya kalo nggak semuanya harus ditulis, tapi tetep aja jadi greget sendiri. Huftie.
Cerita ini saya bikin slowburn banget, tapi sebenernya konfliknya sederhana banget juga. Saya nggak jago bikin yang keren2 heu. Fyi juga, selain chanyeol baekhyun dongho junmyeon, semua cast di sini adalah OC (saya udah pernah bilang belom ya?).
Special thanks to aduhaileh dan siapa pun yg udah mampir dan baca yah. Baibai~
