Baekhyun membuka mata dibarengi sensasi seolah ada godam besar berdenyut yang terpaku di dalam kedua sisi kepalanya. Berat, sakit, sedikit panas. Tidak sama sekali segar seperti yang seharusnya terjadi saat kau bangun tidur. Dengan semua itu, dia berusaha mengenali sekitar yang jelas-jelas bukan kamarnya ini.
Cukup lama sampai dia sadar ini adalah kamar Chanyeol.
Ia memejam. Kepalanya makin berdenyut.
Ada baiknya kalau ini semua cuma mimpi.
Terbangun di kamar Chanyeol? Saat Baekhyun justru setengah mati menghindari semua yang berhubungan dengannya? Yang benar saja.
Biar dia ingat-ingat dulu. Semalam, dia pergi ke Hexagon, lalu…
Tidak ada. Ingatannya samar dari titik dia mulai mencoba meminum wiski.
Ayolah, otaknya haruslah mengingat sesuatu. Tapi kepalanya ini cuma terasa semakin berat dan memanas saja seperti mesin tua yang sudah tidak mampu tapi masih dipaksa bekerja.
Tunggu. Baekhyun ingat sesuatu.
Dia muntah di toilet.. Lalu ada dua orang lain yang bersamanya..
Walau tidak ingat detailnya, garis besarnya sudah bisa disimpulkan dari sana.
Baekhyun menarik napas dalam. Sudah niat mencari pengalihan, kenapa juga dia harus berakhir di sini lagi? Distraksi apanya. Seseorang harus bertanggung jawab tentang membawanya ke sini. Si Baekho itu punya utang penjelasan padanya.
Keinginan Baekhyun untuk bangkit dan langsung mencari ponselnya demi memaki Kang Dongho lewat pesan terhenti oleh pusing di kepala. Baekhyun mengeluh dalam hati. Pusing sekali. Tipe yang bukan cuma berputar-putar, tapi berdenyut hebat dan membuat kepalanya jadi terasa puluhan kali lebih berat. Perutnya juga tidak enak. Saat memaksa bangun lalu duduk di pinggiran ranjang, semua kombinasi itu jadi membuatnya mau muntah.
"Baekhyun? Kau sudah bangun,"
Sambil masih memegangi kepalanya, Baekhyun mendongak dan mendapati Chanyeol berjalan ke arahnya dari arah dapur, lalu berbalik lagi.
"Sebentar. Aku sudah menyiapkan jahe hangat untukmu."
"Tidak usah," tolak Baekhyun. Suaranya sedikit serak di awal karena itu kata pertama yang dia ucapkan begitu bangun tidur. Sial sekali, tiap tarikan napas membuat kepalanya berdenyut. Tapi dia tetap memaksa berdiri, karena tiba-tiba saja, dia ingin cepat-cepat menghilang dari sini begitu bertemu mata dengan Chanyeol walau sebentar.
Alhasil, dia limbung. Tangannya mencari-cari pegangan. Bokongnya terduduk kembali ke atas kasur tepat saat tangannya menemukan sesuatu—itu tangan Chanyeol. Pria itu menangkapnya meski terlambat.
"Masih pusing, ya? Kau duduklah dulu. Jangan langsung berdiri."
Baekhyun memijat pelipis dengan tangannya yang bebas. Sungguh sial. Sudah begini baru dia menyesal minum yang macam-macam.
Bunyi ketuk pelan menginterupsi. Terdengar dari pintu masuk. Mengalihkan perhatian Chanyeol selaku pemilik tempat itu.
"Sebentar."
Saat Chanyeol pergi dan genggaman tangan Chanyeol lepas darinya, baru Baekhyun menyadari pria itu terus menautkan tangan mereka sejak tadi.
Pintu dibuka. Bias cahaya dari luar terhalang oleh seorang yang berdiri di mulut pintu. Tapi tak lama. Bayang-bayang segera menyatu. Tamu yang baru datang menghambur ke pelukan si pemilik rumah.
"Aku merindukanmu. Chanyeol.."
Suara wanita. Sangat pelan, tapi masih mampu mencapai pendengaran Baekhyun. Ia mau tak mau menoleh juga. Mendapati langsung dengan matanya, kehadiran wanita yang kini sedang memeluk Chanyeol bahkan sebelum sempurna melangkah masuk. Hanya lengan-lengan kurus dan puncak kepala berambut hitam yang bisa Baekhyun lihat dengan jelas. Selebihnya, tersembunyi oleh punggung Chanyeol.
"Soojin? Astaga, kenapa kau bisa ke sini? Kau baik?"
Bagus. Apa lagi ini? Bukankah drama romansa seharusnya tidak tayang di pagi hari?
"Aku sudah pulang dari rumah sakit kemarin lusa," kata wanita itu. Suaranya manis dan lembut seperti kue sakura. Mungkin jauh lebih manis dari itu kalau saja tak ada suara napas yang sedikit aneh di sela-selanya.
"Ya Tuhan. Bukankah kau seharusnya istirahat?"
Segala yang terlihat di mata Baekhyun jadi semakin tampak berputar-putar. Apalagi setelah dia melihat dan mendengar pemandangan itu. Tidak menunggu lama lagi, Baekhyun memaksa tubuhnya berdiri tegak di atas kakinya, lalu berpamitan seadanya. Menyelipkan badannya melewati celah di antara dua orang yang masih berdiri di bawah bingkai pintu. Melesat kembali ke kamarnya. Dia bahkan tidak repot-repot mengangkat kepala untuk sekadar menatap tuan rumah dan tamunya. Saat lewat, hanya ujung celana hitam Chanyeol dan terusan merah muda milik wanita itu yang terlintas di penglihatan.
Uh, semua isi perut, kepala, dan perasaan Baekhyun jadi seperti diaduk-aduk. Dia sempat kesulitan memasukkan pin unitnya, sebelum akhirnya berhasil dan langsung mendudukkan diri di lantai setelah menutup pintu di belakang punggung. Ia meremas rambut di kepalanya.
Pusing sekali. Mual sekali. Terasa seperti segala jenis cairan dan juga organ di dalam tubuhnya terdesak oleh sesuatu. Mual dan sesak.
Ini masih pagi, dia baru bangun tidur, dan isi kepalanya sedang berdisko garis miring berdenyut pusing luar biasa. Dalam keadaan yang tidak baik, kenapa juga dia harus menyaksikan telenovela roman live action seperti tadi?
Efeknya terlalu luar biasa. Untuknya yang tidak seharusnya terdampak sebegitu besarnya.
.
.
"Kau baik-baik saja? Dengan apa kau pergi ke sini?" Chanyeol tidak hentinya bertanya, merangkul lengan Soojin menuntunnya untuk bisa duduk karena langkahnya yang masih sedikit pincang. Tidak ada kursi, jadi dia langsung membuat wanita itu duduk di pinggiran ranjangnya. Chanyeol tak sengaja beranjak focus begitu saja dari fakta bahwa Baekhyun baru saja pergi dari tempatnya dalam keadaan tidak baik. Hal yang sampai beberapa detik lalu, menjadi pusat perhatiannya dari semalam.
Soojin, yang awalnya ingin bertanya tersoal seorang yang baru saja keluar dari kamar Chanyeol, langsung teralihkan.
"Paman yang mengantar. Aku ingin bertemu denganmu," jelasnya.
"Oh, sirkulasi di sini tidak begitu baik. Kau sungguh baik-baik saja? Kau merasakan sesak atau sesuatu?" Chanyeol memeriksa sekitar, dan tidak mendapati apa pun kecuali kenyataan kalau kamarnya memang seburuk perkataannya barusan. Soojin bisa-bisa merasa tidak nyaman.
"Tidak apa-apa, Chanyeol. Aku sudah sehat." Si wanita berambut lurus sepunggung itu tersenyum menenangkan. Dia meremas pelan tangan Chanyeol yang sejak tadi menggenggam tangannya sendiri.
Chanyeol mengamati bagaimana pernyataan itu tidak terdengar seperti kelihatannya. Soojin pucat, lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu, dan semakin kurus saja. Chanyeol mempertanyakan bagaimana pihak rumah sakit bisa membiarkan wanita itu pulang dalam keadaan begini.
Pria tinggi itu menghela napas, duduk separuh sila menghadap wanita itu. Meraih satu lagi tangannya untuk dia genggam.
"Bagaimana keadaanmu?"
Soojin melarikan matanya ke langit-langit. Beranjak dari satu titik ke yang lainnya. Dia berpikir-pikir. Bibirnya terlipat ke dalam.
"Dokter bilang aku baik-baik saja," katanya, "hanya perlu kontrol secara rutin."
Penjelasannya tidak mungkin sesederhana itu. Tapi Chanyeol juga tahu tidak mungkin Soojin begitu saja memberitahu kondisinya secara gamblang. Kalau bukan Chanyeol yang menanyakan langsung pada asisten pribadi wanita itu—seorang yang dia panggil Paman—dia tidak akan tahu Soojin harus dirawat intensif sampai hampir masuk ruang operasi karena komplikasi pada jantungnya. Chanyeol pula tidak tahu dampak dari pengobatan kanker tulang bisa terus menggerogoti penderitanya sampai seperti ini bahkan setelah sempat hampir dinyatakan sembuh.
"Kau sudah makan?" tanya Chanyeol lagi.
Ditanya begitu Soojin justru tertawa geli. "Aku yang seharusnya menanyakan itu. Kau makan dengan baik, kan? Pasti kau jadi boros karena harus terus membeli makanan." Ia mengejek.
Sedikit, sedikit saja, kalimat itu menimbulkan perubahan drastis pada diri Chanyeol. Yang secepat hitungan detik berusaha ia kembalikan seperti semula.
"Kau benar," katanya. Untuk beberapa hari terakhir, itu memang benar adanya. Chanyeol tidak perlu memberi penjelasan lebih, kan?
"Aku akan membawakanmu sesuatu besok. Hari ini aku tidak sempat membuat apa-apa."
"Kau akan datang lagi besok?" Mata bulat Chanyeol melebar. Seketika, perkataan ibu dari wanita yang sedang bersamanya ini menghampiri ingatannya tanpa diundang.
Soojin mengangguk pasti. Senang menyatakan bahwa itu benar. Rambut sepunggungnya bergoyang pelan di antara angguk kepala.
"Ibumu..?" Ragu Chanyeol mengungkit itu.
Senyum di bibir Soojin dibuat pudar dengan paksa. Namun, Soojin mempertahankan optimismenya.
"Ibu tidak perlu tahu, kan? Aku hanya menemuimu sebentar, apa salahnya?"
Apa salahnya?
Chanyeol pun berpikir begitu. Apa salahnya? Tapi, pastilah benar ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Setidaknya di mata Ji Soyeon.
"Jja, coba kulihat keadaan kulkasmu." Soojin melepas genggaman Chanyeol pada tangannya. Berdiri. Menghampiri kulkas di samping wastafel. "Oh? Kau membeli banyak bahan makanan?" Ia menarik salah satu bungkusan di sana, berisi daun bawang yang kelihatannya sudah tidak segar. "Kau sudah belajar masak, ya?"
Chanyeol mengerjap saat Soojin menoleh padanya dari sana. "O-oh. I–iya."
"Tapi ini sudah tidak bisa dipakai lagi.." kata Soojin lagi, mengamati bahan lain yang dia temukan. "Kita pergi beli lagi saja. Mau kubuatkan apa?"
"E-eh, jangan," sahut Chanyeol, berdiri cepat menghampiri Soojin. "Kau mau makan sesuatu? Kita bisa memesannya. Kau tidak boleh kelelahan."
Sempat menimbang-nimbang, Soojin akhirnya tampak setuju. Mungkin menjaga diri agar tidak kelelahan seperti kata Chanyeol bisa membantunya untuk tidak masuk rumah sakit lagi. Dia bosan bolak-balik ke tempat itu.
Mereka berdebat kecil tentang apa yang akan mereka pesan. Chanyeol yang serba khawatir Soojin tidak boleh makan ini dan itu, dan Soojin yang bersikeras mengatakan dia sudah bisa makan apa saja. Permulaan hari yang sudah lama sekali tidak terjadi pada Chanyeol.
.
.
Perut Baekhyun melilit lewat cara yang aneh dan paling tidak mengenakkan. Matahari sudah meninggi, dan Baekhyun baru memasukkan tidak sampai seperempat botol air putih ke dalam perutnya.
Berdasarkan pengalaman menghadapi sakit sendiri, Baekhyun tahu dia harus makan agar setidaknya merasa baikan sedikit. Dua porsi kalau perlu. Yang jelas dia tahu cuma berbaring saja tidak akan membuatnya tiba-tiba jadi sehat seperti semula.
Tapi dia malas. Atau tidak mau. Kepalanya berat. Tubuhnya berat. Hatinya juga berat bahkan untuk sekadar memantapkan diri agar mau bangun dan pergi membeli pengganjal perut. Di saat yang sama, Baekhyun juga kesal dengan betapa manja tubuhnya sekarang ini. Cuma sakit sedikit saja sudah tidak mau diajak kompromi. Siapa yang bisa dia harapkan untuk merawat dirinya kalau bukan dia sendiri?
Baekhyun mengumpati seluruh monolog yang terjadi dalam benaknya. Tak henti-hentinya berdebat tentang satu dan dua hal. Lalu juga kepalanya, yang memutar berulang-ulang adegan dramatis tadi pagi di mana sepasang kekasih bertemu setelah sekian lama dan mengungkap rindu. Dan tentu saja Baekhyun lebih mirip kebagian peran lalat pengganggu yang lebih tidak berguna daripada figuran di adegan itu.
Sekarang perutnya makin melilit mengingatnya.
Kalau bisa, Baekhyun tidak mau mengingat-ingat itu lagi. Kau tidak akan suka, menjadi yang paling asing di antara orang yang mungkin sudah lama sekali saling kenal, dan memiliki ikatan yang tidak tahu pula sejauh apa. Baekhyun rasa terbangun di pinggir jalan karena diusir dari Hexagon yang sudah mau tutup akan lebih baik.
'Soojin? Astaga, kenapa kau bisa ke sini? Kau baik?'
Baekhyun merutuk lagi. Sebaiknya pikirannya segera berhenti mereka ulang adegan itu, atau dia buang saja sekalian kepalanya ini. Dia ahli dalam hal melupakan banyak hal yang terjadi saat mabuk, kenapa keahlian itu tidak muncul di saat yang dibutuhkan seperti saat ini saja?
'Aku sudah pulang dari rumah sakit kemarin lusa,'
'Ya Tuhan. Bukankah kau seharusnya istirahat?'
Oke. Saatnya istirahat sungguhan. Dia juga butuh istirahat demi kesembuhan. Sekarang tidak cuma kepalanya yang terasa seperti dipukul-pukul palu godam dari dalam, tapi juga dadanya yang terasa dihimpit benda yang sama. Dari mana datangnya semua itu? Baekhyun mau menyemburkan sumpah serapah di hadapan penyebabnya.
Dia akhirnya bangun. Oh, lebih tepatnya merangkak di kasur dan memanjangkan tangan sejauh yang dia bisa. Meraih laci tempatnya biasa menyimpan makanan ringan. Di sana tersisa sebagian dari pemberian Junmyeon beberapa waktu lalu. Ada camilan yang mirip biskuit di antaranya.
Baekhyun membuka kemasan benda itu masih dalam posisinya tengkurap di atas kasur. Mengambil satu keping dan memaksa mengunyah juga menelannya walaupun rasanya membuat dia mau muntah lagi. Sepertinya akan terasa enak-enak saja kalau dia tidak sedang sakit, tapi keadaannya begini. Terkutuklah semua rasa tidak enak di badannya ini.
Dasar menyedihkan. Di saat dia tahu betul cuma dirinya sendiri yang seharusnya dia andalkan dalam keadaan seperti ini, ada suara lain yang sayup-sayup berkata, bahwa setidaknya haruslah dia memiliki seseorang untuk mengkhawatirkan keadaannya juga.
Baekhyun pula tidak mau mengakui kalau yang dia inginkan adalah seseorang yang spesifik.
Dasar menyedihkan. (2)
.
.
Hari Sabtu, salah satu tersibuk kafe dalam seminggu. Mulai dari tengah hari sampai malam, akan semakin banyak pengunjung berdatangan. Seolah setiap satu kursi saja kosong, pengunjung berikutnya langsung datang setelah lama menunggu giliran.
Junmyeon mengernyit mendapati tidak ada Baekhyun saat sore hari ia datang ke kafe tempat anak itu bekerja paruh waktu. Mungkinkah Baekhyun sedang sibuk di ruangan lain?
Baru beberapa menit dia mengambil tempat duduk untuk menunggu pesanan saat Baekho menghampiri dengan membawa pesanannya.
"Baekhyun sakit." Dia berkata tanpa basa-basi. Sudah pasti Junmyeon datang untuk mencari Baekhyun, dan tidak bisa juga dia sendiri menahan untuk tidak memberi tahu lelaki itu tentang keadaan Baekhyun.
"Sakit?" Junmyeon membeo. Berbuah anggukan dari Baekho.
"Apa karena semalam, ya? Pasti gara-gara dia minum terlalu banyak."
"Kau sudah memeriksa keadaannya?"
Baekho menggaruk tengkuknya mendengar pertanyaan Junmyeon. "Aku belum sempat," katanya. "Lagipula kalau tahu dia tidak datang, aku juga tidak mungkin masuk."
Junmyeon menanyakan maksud kalimat itu lewat tatapan mata.
Mengangkat bahu, Baekho berkata enteng, "Aku tidak benar-benar bekerja di sini. Cuma minta diberi izin Kang Hoon untuk ikut-ikutan saja."
Junmyeon melongo. Itu jawaban yang terlalu main-main untuk ukuran topik pekerjaan—meski cuma pekerjaan paruh waktu. Sifat itu memang sudah melekat dengan seorang Kang Dongho, tetapi yang satu ini cukup membuat Junmyeon tidak habis pikir juga.
"Hidupmu itu isinya cuma main-main, huh?" tanya Junmyeon sarkastis. Yang tentu saja, tidak diambil pusing oleh Baekho.
"Tapi ada untungnya juga, kan? Aku bisa jadi penggantinya di saat begini." Baekho bangga. Detik berikutnya, dia berubah lesu. Memanyunkan bibir. "Baekhyun yang malang. Aku akan menjenguknya nanti malam."
"Aku akan pergi ke tempatnya," kata Junmyeon.
"Eh? Masa kita mau datang berdua?"
"Siapa bilang kau boleh datang mengunjunginya?"
"Apa?" Baekho tidak terima. Masa dia tidak boleh menjenguk Baekhyun—ekhem—senior tersayangnya?
"Aku akan langsung pergi sekarang. Kau, bisa selesaikan saja pekerjaanmu dan pergi ke mana saja selain mengunjungi Baekhyun," putus Junmyeon. Dia mulai mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan pada Baekhyun kalau dia baru saja menerima kabar keadaan pemuda itu, dan akan mampir membawakan makanan.
"Aku tidak butuh izinmu untuk datang!" protes Baekho lagi.
Junmyeon menempatkan tangannya di pundak Baekho, persis seperti orang tua yang hendak menasihati anaknya. "Biarkan orang dewasa ini melakukan urusannya, Hoobae," katanya. "Dah." Lantas, dia beranjak. Meninggalkan wafel yang sebelumnya diantar Baekho.
Baekho menatap tidak percaya pada Junmyeon yang berlalu begitu saja. Lihat, apa gunanya juga dia mengantarkan makanan untuk orang itu?
Ia mengambil wafel di piring langsung dengan tangannya. Menggigitnya besar-besar. Orang dewasa? Bilang saja si Kim Junmyeon itu mau melakukan pendekatan terselubung.
Dia sendiri, sejujurnya khawatir bukan kepalang. Tapi mungkin untuk kali ini, dia akan membiarkan Junmyeon yang pergi. Seniornya yang satu itu juga cukup ahli dalam hal memperhatikan kesehatan, jadi pastilah dia tidak hanya asal datang tanpa sesuatu yang bisa berguna bagi Baekhyun yang sedang sakit.
.
.
Baekhyun terbaring di kasur sampai hampir petang. Tidur, terbangun, tidur, lalu bangun lagi. Karena badannya yang terasa sangat tidak enak, untuk ganti baju pun dia enggan. Berdiri dan berjalan membuatnya semakin pusing. Tapi, dia harus karena Junmyeon bilang akan datang. Dia tidak mungkin membiarkan Junmyeon datang disambut keadaan tidak layak tuan rumah.
Sore tadi satu lagi keping biskuit dari Junmyeon yang masih dia punya dia masukkan ke perutnya. Sekadar bentuk kasih sayangnya pada lambungnya sendiri. Itu saja sudah cukup, kan? Dia benar-benar malas makan apalagi pergi ke luar. Dia sudah mencoba memberi tahu Baekho dan Kang Hoon agar mendapat kelonggaran untuk hari ini. Baekhyun tidak mampu pergi ke kafe dengan keadaannya yang sekarang.
Baiklah, dia tahu ini salahnya. Setelah pola makan yang asal-asalan beberapa hari terakhir, dia menambahkan asupan minuman paling tidak ramah kesehatan dalam jumlah yang tidak kira-kira banyaknya belakangan ini. Dia tidak akan menyalahkan orang lain kalau akhirnya harus benar-benar jatuh sakit.
Tok tok.
Baekhyun menoleh ke arah pintu. Junmyeon mungkin sudah datang. Dan sekarang, berhubung pintunya tidak bisa terbuka sendiri, dia harus menyeret badannya yang berat ini untuk berjalan ke sana.
"Argh!" Makian Baekhyun lontarkan ke udara kosong saat dia hampir jatuh karena sekitarnya terasa berputar.
Tok tok.
"Baekhyun?"
Benar, itu suara Junmyeon. Baekhyun berhasil mencapai pintu setelah satu lagi umpatan akibat pusing di kepala.
Begitu daun pintu membuka, Junmyeon sampai memelotot melihat Baekhyun.
"Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali."
Satu kali memijat keningnya, Baekhyun merespons seadanya, "Aku memang sakit..?"
"Ah, kau benar." Junmyeon meringis.
Bersama itu, pintu di sebelah terbuka. Cukup mencolok bunyinya karena koridor yang sepi. Baekhyun menoleh. Junmyeon refleks mengikuti.
Sedikit bingung Junmyeon melihat Baekhyun tak mengalihkan pandangannya selama beberapa saat dari dua orang yang baru saja berlalu setelah pintu di sana tertutup dengan sendirinya.
Baekhyun di tempatnya membuang napas. Menerima tamu yang sangat dirindukan mungkin asyik sekali. Dan apa? Kenapa juga Baekhyun sempat berharap pria itu menoleh ke belakang? Pasangan itu terlalu sibuk dengan satu sama lain.
"Ayo masuk."
Junmyeon masuk begitu dipersilakan. Dia menyadari perubahan ekspresi dan nada bicara Baekhyun. Tapi, dia hanya berjalan mengikuti Baekhyun, duduk di lantai dengan meja kecil di tengah-tengah mereka. Baekhyun memindahkan laptop di sana ke atas tempat tidur.
"Kau seperti orang dehidrasi, kau tahu?" Junmyeon membuka tas karton dengan logo salah satu restoran ternama, mengeluarkan beberapa wadah dari sana.
Baekhyun mengulum bibirnya, lalu membasahi bagian itu. Dia berusaha bertahan untuk tidak bersandar ke ranjang di belakangnya.
"Ini. Pastikan kau menghabiskan semuanya."
"Ya, sunbaenim. Terima kasih." Baekhyun mengangguk, menerima sendok yang disodorkan langsung oleh Junmyeon.
Karena Baekhyun yang kelihatan sangat lesu, Junmyeon batal menanggapi panggilan yang barusan itu. Dia membuka satu lagi wadah yang tersisa, memakan bagiannya agar Baekhyun tidak makan sendiri.
Ini bukan pertama kalinya Junmyeon melakukan ini. Justru karena itulah, Baekhyun selalu berusaha mengatasi sendiri setiap kali jatuh sakit. Tapi hari ini, dia lupa kalau ada jembatan informasi bocor bernama Kang Dongho.
Suapan pertama dari bubur di meja Baekhyun lahap. Kalau boleh jujur, dia mual. Tidak, masalahnya bukan di makanannya. Pastilah ini lambungnya yang berulah. Menyebalkan sekali. Bubur mahal ini jadi harus dia santap di kondisi yang membuat rasanya tidak bisa terkecap dengan baik.
"Kau harus memperhatikan minummu. Kenapa minum macam-macam kalau tidak biasa? Juga makanlah yang benar. Tubuhmu tidak akan bisa diajak bersusah-susah mengerjakan skripsi kalau tidak sehat."
Baekhyun menanggapi setiap petuah Junmyeon dengan angguk dan 'ya' sopan, persis seperti anak pada ayahnya. Junmyeon ini adalah versi hidup dari segala petuah kehidupan yang seringnya cuma lewat sekilas saja di kepala Baekhyun.
"Jangan lewatkan sarapan dan minumlah vitamin. Itu akan sangat membantu."
"Ya, sunbaenim,"
"Yah," Junmyeon jengah juga dipanggil begitu. Dan di keadaan seperti itu, Baekhyun masih bisa memeletkan lidah untuk mengejeknya. Baiklah, setidaknya Baekhyun masih cukup sehat untuk bercanda. Walaupun, dia kelihatan enggan menghabiskan makannya.
Setengah tandas makanan itu, bunyi ketukan terdengar lagi. Tiga kali repetisi. Junmyeon dan Baekhyun terhenti dari kegiatan mereka untuk menoleh ke arah pintu.
Tiga ketukan lagi.
"Baekhyun? Kau ada di rumah?" tanya seseorang di sana, teredam oleh daun pintu.
Kenyitan samar di dahi, lalu tak lagi Baekhyun indahkan ketukan itu. Dia kembali pada suapan makanannya. Junmyeon lagi-lagi bingung sendiri.
"Kenapa tidak dibukakan?"
"Biarkan saja," kata Baekhyun langsung. Mata sibuk memandangi makanannya dan menyuap lagi.
Makanan hangat dan juga seorang teman yang menemani sudah cukup baginya, walau belum ampuh meringankan sakit yang Baekhyun rasakan di kepala dan perut. Setidaknya dia sudah mengisi perut alih-alih membiarkannya kosong. Dia tidak mau memikirkan yang lain termasuk seseorang yang suaranya baru saja terdengar dari luar—yang sekarang tidak lagi.
Tapi baru juga berpikir begitu, dia menemukan kotak makan yang bukan miliknya di meja sudut dapurnya saat merapikan bekas makan malamnya dan Junmyeon. Benda yang lupa dia kembalikan. Sudah lama sekali, kenapa dia bisa sepikun ini? Dan gara-gara itu, Baekhyun jadi teringat lagi pada pemiliknya—yang sejujurnya (tapi tidak mau Baekhyun akui), belum absen sedetik pun dari dalam pikirannya.
Menyebalkan bagaimana sampai Junmyeon pulang, Baekhyun belum merasa lebih baik selain bagian laparnya yang sudah hilang. Bukannya dia berharap bisa langsung sembuh dalam waktu yang sangat singkat, tapi Baekhyun pikir, mengisi perut seharusnya berpengaruh sesuatu.
Tapi dia terus merasa seluruh badannya, luar dan dalam, berat sampai akhirnya berhasil jatuh tertidur.
Dia ragu apakah besok dia bisa sembuh.
.
tbc
.
.
Pendek dulu. Saya potong di sini supaya chap depan bisa lebih padet intinya.
Timaaci untuk ChanBaek09 dan lulunyasehun yang udah sempetin review, dan siapa pun yang mampir. See ya~
