(Highly) Recommended Song:

Dreamcatcher - To. You

.

.

oOo

.

Kalau boleh jujur, Baekhyun mau pura-pura lupa kalau dia punya skripsi untuk diselesaikan dan pekerjaan paruh waktu untuk dilakukan setiap hari. Dia cuma mau cepat sembuh. Tapi sekarang ini, dia harus memaksakan diri untuk melanjutkan skripsinya itu walaupun kepalanya seperti sedang diputar-putar di pusaran air. Kecuali kalau akhirnya dia ikhlas mengambil perpanjangan semester. Itu opsi terakhir, yang kalau bisa jangan sampai harus Baekhyun ambil sungguhan.

Baekhyun mengusap matanya yang berair. Lalu membetulkan selimut yang dia sampirkan di kepala sampai bagian belakang badannya. Satu, matanya memang panas karena kondisi badannya yang tidak baik, dua, dia memang sudah mau menangis saja rasanya. Terserah kalau mau ada yang bilang dia cengeng atau lemah. Baekhyun kesal skripsinya ini tidak kunjung disetujui untuk maju ke tahap pengambilan data. Beberapa referensi yang dia butuhkan juga tahunya tidak bisa dia temukan secara daring. Alhasil karena dia tidak kuat kalau harus pergi ke perpustakaan kampus, Baekhyun mengakalinya dengan memadatkan uraian di kajian pustaka.

Sekarang menyesali pola makannya yang asal-asalan belakangan ini sampai dia harus mengerjakan skripsi sambil sakit begini pun tidak ada gunanya. Karena itu kini Baekhyun merasa semakin mendekati titik putus asa.

"Dasar sialan," umpatnya, sekali lagi mengusap aliran air yang kali ini terjun bebas dari pelupuk mata ke pipinya. Lantas, jarinya kembali pada papan tik. Kembali mengetik.

Hari Minggu pagi macam apa yang harus diisi dengan sakit sambil mengerjakan skripsi? Itu lebih pantas dinamai hari neraka.

Tok tok tok.

Oh, bisakah pria itu berhenti mengetuk pintunya?

"Baekhyun? Tolong jawab kalau kau ada di dalam."

Panggilan dari suara berat yang anehnya bisa disuarakan dengan sangat lembut itu sudah tiga kali Baekhyun dengar dari semalam.

Baekhyun tidak mau bertemu Chanyeol. Tapi pula tidak bisa dia menjelaskan kalau seseorang menanyakan apa alasannya.

Bahkan dengan mendengar suara berat-tapi-lembut itu saja sudah membuat Baekhyun kacau.

Sama seperti sebelumnya, setelah satu panggilan Chanyeol akan berhenti.

Layar ponsel yang Baekhyun letakkan tepat di samping tangannya kemudian menyala. Getar berulang merambat melalui permukaan meja lipat tempatnya mengerjakan skripsi. Nama Chanyeol tertulis di sana.

Pria itu menelepon. Apa Baekhyun harus mengangkatnya?

Selama beberapa detik benda itu bergetar, Baekhyun cuma memandangi layarnya. Terus begitu sampai berhenti dan kembali diam menghitam.

Jarak sekitar sepuluh menit, satu panggilan lagi masuk. Masih dari Chanyeol.

Baekhyun menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Menekan kepala di mana itu menjadi bagian yang kini belum juga terasa membaik dari sakit.

Ini pertama kalinya Chanyeol menelepon. Mungkin saja pria itu mengiranya sudah mati dan khawatir ditanyai polisi saat pemeriksaan TKP. Kasus yang seperti itu memang tidak jarang terjadi.

Jadi kali ini Baekhyun memutuskan mengangkatnya. Dia tidak langsung bicara. Menunggu suara dari seberang.

Perlu beberapa detik bagi si pemanggil sadar teleponnnya sudah diangkat.

"Halo? Baekhyun? Ini Baekhyun, kan? Halo?"

Tentu saja, siapa lagi kalau bukan?

"Ya," jawab Baekhyun sebelum berdeham, berusaha memperbaiki suaranya yang mirip sekali orang sakit—memang iya, sih.

Embus napas lega kentara terdengar melalui sambungan. "Kau baik-baik saja? Kau sedang ada di luar?"

Membungkus lebih rapat tubuhnya dengan selimut, Baekhyun lalu mengulang jawaban singkat yang sama.

Diam sejenak sebelum Chanyeol bicara lagi. "Itu.." Jeda lagi. "Kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa bilang padaku."

Baekhyun menggigit bibir. Apakah suaranya masih terdengar seperti orang sakit? Dan Chanyeol sadar kalau dia bohong?

Tidak mungkin. Sepertinya Chanyeol itu bukan tipe yang terlalu peka akan hal-hal begitu.

Jadi Baekhyun cuma bergumam mengiyakan. Yah, dia harus jawab apa lagi?

Selanjutnya tidak terdengar apa-apa lagi. Baekhyun menunggu. Chanyeol belum menutup panggilan.

"Kututup, ya," kata pria itu akhirnya. Lagi Baekhyun mengiyakan lewat gumaman.

Tapi sambungan belum juga diputus. Masih ada bising samar khas sambungan telepon. Dan mungkin juga napas Chanyeol kalau Baekhyun tidak sedang berhalusinasi.

Diturunkannya ponsel dari telinga. Melihat hitungan waktu panggilan di layar yang masih berjalan. Baru dia dekatkan lagi benda itu ke telinga.

"Katanya mau ditutup?" tanyanya pelan.

"U–uh.. oke, kututup sekarang," sahut suara di seberang. Setelah bertukar salam, barulah sambungan terputus.

Sekarang gara-gara bicara dengan Chanyeol—walaupun cuma lewat sambungan telepon—Baekhyun jadi kesulitan mengembalikan konsentrasinya lagi. Alih-alih kembali melanjutkan kegiatan mengetiknya, dia justru diam memeluk lutut beserta selimut yang dia rapatkan. Sampai tinggal wajahnya saja yang kelihatan.

Sudah dia bilang, kan, mendengar suaranya saja, Baekhyun bisa dibuat sangat kacau. Seperti saja isi pikiran dan perasaannya baru saja diobrak-abrik dan tidak dirapikan lagi.

Kenapa yang seperti ini harus terjadi di ujung tanduk kehidupan kuliahnya? Skripsi saja sudah repot, lalu kerja paruh waktu, dan sekarang, perasaannya pun ikut berulah.

.

.

"Ini." Soojin meletakkan potongan hobak jeon ke nasi Chanyeol, menyuruh pria itu memakannya juga.

Chanyeol menjepit makanan itu dengan sumpit, memasukkannya ke mulut. "Enak," senyumnya.

"Paman mendapatkan labu yang bagus. Enak sekali saat kucoba memakai sebagiannya untuk membuat ini." Sambil ikut mengunyah banchan yang sama, Soojin bercerita. Chanyeol menanggapi dengan senyum dan respons yang tak seberapa panjang.

Lagi-lagi mendapat tanggapan demikian, Soojin memilih tak lagi banyak bicara ini dan itu. Bukan dia tidak menyadari perubahan pada sikap Chanyeol. Sejak kemarin, pria itu memang tidak terlalu banyak bicara dan sering kali menanggapi seadanya.

Ini tidak seperti Chanyeol sedang dalam keadaan yang tidak baik, lebih kepada seperti ada sesuatu lain yang menyita perhatian pria itu. Dan sesuatu itu tidak ada di sini saat ini.

Maka Soojin mencoba peruntungannya untuk mengetahui apa tebakannya benar.

"Laki-laki yang kemarin itu, tetanggamu, kan?"

"Y–ya?"

Kena. Soojin bisa menangkap dengan jelas binar berbeda dari kedua mata Chanyeol yang melebar tertuju padanya yang baru saja menanyakan hal itu.

"Yang kemarin keluar dari kamarmu."

"I–iya," Chanyeol membenarkan, lalu menyendok suapan berikutnya dari mangkuk makan siangnya. "Kenapa?"

Tidak perlu kejelian khusus untuk menyadari kalau Chanyeol berusaha mengindari mata Soojin selama beberapa waktu yang tak begitu kentara.

"Kau dekat dengannya? Apa dia sering menginap di sini?" tanya Soojin enteng. Dia membuatnya terdengar layaknya pertanyaan kasual.

"Temannya mengantarnya ke sini karena dia terlalu mabuk kemarin malam."

Soojin mengangguk-angguk sambil mengunyah pelan makanan dalam mulutnya. Memperhatikan Chanyeol.

Sedikit jawaban saja, Soojin mendapati fakta baru yang walau belum pasti, kelihatannya memang benar adanya.

Dia tersenyum kecil. Chanyeol itu, selalu saja payah.

.

oOo

.

Tolong beri Baekhyun pujian atas keberhasilannya sekali lagi untuk bertahan. Dia ini jarang sakit, tapi sekalinya itu terjadi, dia benar-benar harus terbaring di kamar berhari-hari. Kali ini setelah dua hari, baru dia membaik meski belum sepenuhnya sehat. Dia mungkin bisa pergi ke kafe hari ini. Tidak mungkin pekerja paruh waktu sepertinya berlama-lama izin. Bisa-bisa dia kehilangan pekerjaan itu.

Di tengah usahanya supaya bisa cepat-cepat sembuh, sesuatu terus mengganggunya. Sayang sekali tidak ada yang bisa dia salahkan untuk itu selain dirinya sendiri.

Baekhyun tahu kemarin, tepat di akhir pekan, wanita bernama Soojin itu menghabiskan waktu hampir seharian di tempat Chanyeol. Lihat, hal yang sangat tidak penting untuk dipusingkan dengan kepalanya yang memang sedang pusing. Semakin Baekhyun berusaha mengabaikannya, semakin dirinya merasa terusik. Serba salah. Dasar perasaan sialan.

Setidaknya, pagi ini Baekhyun mendapatkan persetujuan untuk tiga bab pertama penelitiannya. Akhirnya. Perjalanan menuju selesai memang masih jauh, tapi setidaknya air matanya kemarin tidak sia-sia.

Baekhyun sampai di kafe lebih awal. Sudah siap dengan seragamnya sebelum Baekho—satu-satunya waiter yang satu shift dengannya—datang. Saat anak itu muncul, Baekhyun tidak bisa menahan diri untuk tidak menghunus tatapan tajamnya.

"O–oi! Kenapa, sih?" Baekho bahkan belum ganti baju, dan diberi tatapan begitu membuatnya berpikir dia baru saja melakukan kesalahan besar di tempat ini. "K–kau masih sakit?"

Bagi Baekhyun, Baekho memang sudah melakukan kesalahan besar. Terbangun di tempat Chanyeol setelah mabuk semalaman dan akhirnya harus menyaksikan pertunjukan acara temu-peluk-kangen adalah salah anak itu. Karena menyemprotnya lewat telepon tidak akan terasa memuaskan, Baekhyun baru akan melakukannya hari ini begitu mereka bertemu langsung.

"Kau berutang penjelasan padaku."

"H–hah.." Mendengar perkataan tajam Baekhyun, ingatan Baekho justru mengarah pada hal berbeda, yang Junmyeon katakan padanya beberapa malam lalu.

'Kau berutang maaf padanya.'

Apa Baekhyun masih sadar saat Baekho melakukan itu? Dan sudah mengingatnya sekarang? Dan akan membunuhnya setelah ini?

"Kenapa kau membawaku ke rumah orang dalam keadaan mabuk?" tembak Baekhyun langsung, pelan agar tidak terdengar orang lain tapi tetap setajam mata pisau.

Baekho mengerjap. "O–oh.. itu, ya.."

"Apa? Kenapa kau terdengar seperti menyembunyikan sesuatu?!"

"Ti–tidak! Sumpah!"

Baekhyun mencengkram bagian kerah Baekho, memelototinya. "Katakaan!" Ia menggeram.

Di kondisi begini, rasanya Baekhyun ingin meluapkan semua rasa kesalnya.

"Y–yah! K–kau yang lupa memberiku pinmu! Mana sempat aku menebak-nebak! Bisa-bisa kau keburu muntah!"

Giliran Baekhyun yang mengerjap bingung. Pin?

Oh, astaga. Benar juga.

"Kenapa kau tidak tanya?!"

"Kau cuma ber-hmm hmm saat kutanya!"

"Hey!" Teguran dari arah meja kasir menghentikan mereka. Baekhyun mendesis begitu menyadari dia sudah membuat keributan. Membuat tiga orang pelanggan di kafe melirik-lirik pada mereka.

"Awas kau!"

"Aku lagi?!" Baekho pasrah. Memang aneh sekali, kalau berhadapan dengan Baekhyun, dia jadi seperti tidak punya kuasa saja. Dibeginikan pun, yang terakhir terlintas di kepalanya adalah 'setidaknya dia sudah kelihatan cukup sehat'.

"Sana ganti baju!" hardik Baekhyun lagi. Dia lantas melipir ke tempat istirahat staf. Bikin emosi saja bicara dengan Baekho.

Dan penyebab emosinya tidak berhenti sampai di situ.

Baekhyun yang sudah pulang dan baru mau pergi keluar lagi malam-malam untuk mencari isi perut harus sekali lagi menyaksikan pasangan yang sedang dempet-dempet berdua di pembatas balkon koridor. Tertawa kecil sesekali.

Apa tidak bisa mereka mengobrol di dalam saja? Masalahnya Baekhyun tidak punya jalan lain untuk bisa keluar dari gedung ini selain melewati koridor untuk menuju tangga. Maka apa boleh buat, dia cuma perlu lewat saja.

Di posisinya yang menghadap Chanyeol, Soojin bisa melihat kala Baekhyun melintas. Dan persis ketika lelaki itu ada di belakangnya sehingga Chanyeol pasti bisa melihatnya, Soojin menangkap jelas pergantian air muka pria itu. Dia bingung saja, kenapa Chanyeol tidak langsung saja memanggilnya?

Tapi untuk saat ini, Soojin pikir membiarkannya adalah yang paling tepat.

.

oOo

.

Setelah mendapatkan persetujuan kemarin, hari ini Baekhyun mendapatkan bimbingan untuk menyempurnakan persiapan pengambilan data. Bagian yang dengar-dengar tidak akan berlangsung lama. Dan bingo, dia sudah bisa mulai mengambil data besok. Saking antusiasnya, Baekhyun membawa laptop dan mapnya ke kafe untuk dia benahi lagi di ruang istirahat selepas shift-nya berakhir.

"Hati-hati, kepalamu seperti akan terbakar sebentar lagi."

Baekhyun melempar tatap sinis pada Baekho yang mengisenginya itu. Dia tidak butuh diajak basa-basi.

"Pergi kau."

"Kau semakin jahat saja padaku," Baekho manyun. Tapi kemudian, dia menarik kursi dan duduk di hadapan Baekhyun dengan posisi kursi terbalik. Sandaran kursi dipakainya sebagai penyangga kedua lengan. "Hey."

"Jangan ganggu aku."

"Pria yang tinggal di sebelahmu itu, benar-benar temanmu? Dia dekat denganmu?"

Pertanyaan yang tidak Baekhyun sangka akan Baekho ungkit tiba-tiba. Gara-gara itu, jari-jari Baekhyun terhenti dari kegiatannya menggulirkan halaman web referensi yang sedang dia baca.

"Biasa saja," jawabnya kemudian. Berusaha mengembalikan lagi fokusnya. Menyebalkan sekali harus diingatkan pada hal yang sudah susah payah dia kesampingkan. "Sudah pergi sana." Dikibaskannya tangan, terang-terangan mengusir Baekho.

Yang diusir cuma memajukan bibir. "Aku tidak masalah menunggu. Nanti kuantar kau pulang."

Baekhyun hampir menyemprot Baekho lagi, tapi tidak jadi. Sebaiknya dia hemat tenaganya dengan tidak marah-marah lagi. Masih banyak yang harus dilakukan di samping meladeni anak itu. Biar saja dia berlaku sesukanya. Sekalian saja dia kerjai anak itu dengan berlama-lama di sini. Sekitar pukul sembilan, barulah dia beranjak. Dan ya, Baekho benar-benar menungguinya tanpa protes.

Sampai di lantai tiga gedung apartemen dan baru saja berbelok dari tangga di waktu yang lebih larut dari biasanya, Baekhyun benar-benar tidak menyangka akan mendapati sesuatu yang tidak diduganya.

Seorang yang dia kenal, berdiri di hadapan Chanyeol, tepat di mulut pintu tempat tinggal pria itu.

Satu tamparan kencang. Bunyinya tajam memantul di sekitar. Wanita yang Baekhyun kenal itu, melayangkan tangannya pada Chanyeol.

"Kau sengaja mengabaikan perkataanku? Dengan tetap membuat Soojin terus pergi menemuimu?"

"Soojin hanya—"

Satu tamparan lagi. Di tempat yang sama. Entah sama kerasnya atau lebih. Yang jelas, bunyinya tak kalah dari yang pertama.

Sungguh? Wanita itu menampar Chanyeol? Apa-apaan?

"Kau sudah membuktikan bahwa dengan bersamamu, Soojin tidak akan pernah menjadi lebih baik. Hanya malapetaka. Kau pembawa sial."

Baekhyun kesal pada kenyataan bahwa dia benar-benar tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan itu.

Chanyeol di tempatnya kemudian memilih diam. Sedikit-banyak, dia membenarkan perkataan wanita itu. Setelah baru saja menerima kabar bahwa Soojin harus masuk rumah sakit lagi hanya dalam waktu kurang dari beberapa jam setelah datang ke sini, Chanyeol pun merasa sebagian kesalahan patut dilimpahkan padanya. Semakin pula dia merasa tak punya daya saat asisten pribadi Soojin mengatakan itu adalah kali terakhirnya bisa memberi kabar terkait Soojin pada Chanyeol.

"Kau tidak punya apa-apa dan merasa bisa mendapatkan Soojin, bahkan mengabaikan omonganku. Kau yakin tidak memiliki sindrom tertentu sampai sulit untukmu menjadi lebih sadar diri?"

Sulit mengatakan apakah Chanyeol atau Soojin yang bersikeras untuk tetap bersama. Chanyeol hanya merasa Soojin sudah terlampau melekat di hidupnya, dan menyerahkan sisanya pada wanita yang hanya setahun lebih muda darinya itu. Kalau Soojin masih mau bersamanya, Chanyeol akan mengabulkan. Demikian juga kalau tidak. Soojin yang masih terus mengatakan tidak mau hidup tanpanya, menjadi kesimpulan bahwa mereka masih menetap kepada yang pertama.

"Aku akan menganggap kau paham." Wanita di hadapan Chanyeol lagi menekankan. "Atau otak udangmu memang terlalu kecil kalau tidak."

Setelah semua kalimat itu, Chanyeol hanya berdiri seperti pecundang. Yang bahkan tidak mengucap sepatah kata pun untuk menanggapi. Dan Ji Soyeon berlalu.

Melangkah sekali-dua kali, wanita itu berpapasan dengan Baekhyun. Tak terhindar, sebab Baekhyun memang belum pergi dari sana. Terlalu terpaku melihat seorang wanita dewasa dan terpelajar yang berlaku dan bicara tidak pantas pada orang lain.

Wanita itu terhenti. Dan barang pasti, terkejut. Baekhyun menatap wanita itu tepat di mata. Tak bereaksi macam-macam, tetapi sudah cukup mewakili perasaan tidak sukanya atas kesan baru yang ditimbulkan wanita itu.

Baekhyun tahu dia tidak berhak merasa demikian. Satu, itu bukan urusannya. Dua, dia cuma orang asing yang secara tidak sopan terang-terangan mencuri dengar dan lihat. Tapi, dia kira keterpelajaran tidak akan membuat seseorang bersikap demikian. Sulitkah untuk bicara tanpa melayangkan tangan? Untuk masalah yang bahkan Baekhyun yakin cuma tuduhan sepihak?

Ji Soyeon melanjutkan langkahnya. Memutus kontak mata, mengabaikan Baekhyun. Terlalu tidak penting untuk menyapa apalagi memberi penjelasan. Tidak ada keperluan untuk itu.

Baekhyun sempat ragu untuk bergerak menuju unitnya, sebab Chanyeol masih berdiri di sana. Menatap permukaan lantai entah untuk apa. Belum menutup pintu.

Baru setelah satu langkah Baekhyun ambil, pria itu menoleh.

Chanyeol tidak tahu apakah Baekhyun benar menyaksikan yang barusan itu, tapi melihat air mukanya, mungkin saja iya. Baekhyun juga tidak banyak berpikir saat akhirnya berjalan menuju pria itu, dan berhenti di hadapannya.

Dalam posisi ini, Baekhyun bisa melihat dengan jelas memar kemerahan di pipi kiri Chanyeol. Menimbulkan amarah yang dia pertanyakan peruntukannya. Dan dia harap dia cuma salah lihat saja ketika mendapati ada lapisan yang sedikit berkilau akibat tertimpa cahaya di kedua mata bulat itu.

Mengacu pada prasangka bahwa Baekhyun memang menyaksikan apa yang baru saja terjadi, Chanyeol jadi tak bisa bertahan lama-lama membalas tatapan pemuda itu. Dia refleks membuang pandang ke bawah sana.

Bukankah yang tadi itu sangat memalukan?

"Kau tahu cara merawat luka memar?" tanya Baekhyun. Berhasil membuat Chanyeol kembali memindah perhatiannya dari lantai kepadanya.

"Ya?"

Baekhyun mengisyaratkan pada pipi pria itu dengan dagunya. "Pipimu memar."

Itu menjadi satu lagi konfirmasi. Baekhyun melihatnya.

Sembunyi-sembunyi Chanyeol menggigit bibir dalamnya. Seperti juga dia berusaha menyembunyikan perasaan malunya. Tak sengaja rahang mengeras pula karena itu.

Dunia sedang tidak bersahabat padanya. Andai dia bisa memilih, dia tidak ingin bagian yang ini diketahui Baekhyun. Tidak tanggung-tanggung, pemuda itu menyaksikannya langsung.

Baekhyun melengos masuk tiba-tiba. Menggeser tubuh Chanyeol.

"Kemari."

"Baekhyun,"

Baekhyun mengabaikan panggilan Chanyeol. Alih-alih, menyuruh pria itu duduk sementara tangannya sibuk mengeluarkan es batu dari kulkas dan membungkus benda itu dengan sapu tangan miliknya.

"Aku akan pergi setelah ini. Tenang saja," katanya tanpa konteks. Dia berjalan pada Chanyeol yang masih saja berdiri, menariknya untuk duduk di pinggiran ranjang. Map yang dibawanya ia tinggalkan di meja dapur begitu saja.

Selama beberapa menit, Baekhyun mengompres kemerahan di pipi Chanyeol. Memberi puk-puk pelan pada memar di sana.

Pikirannya melanglang buana. Memutar ulang hal yang menjadi penyebab bekas itu, dan juga sibuk menahan umpatannya yang sudah mau keluar saja.

Baekhyun yakin tidak perlu benar-benar punya otot untuk memberikan setidaknya satu saja balasan yang sama kerasnya dengan tamparan tadi. Atau kalau melakukan itu menjadi masalah karena pelakunya adalah seorang wanita dan jelas-jelas berusia lebih tua, cukup kata-kata pun bisa dipakai. Chanyeol ini terlalu payah atau apa?

Oh, Baekhyun bisa meloloskan amarahnya di sini kalau tidak cepat-cepat pergi.

"Kau lakukan ini sekali lagi nanti. Lalu besok pagi juga. Ini." Diangkatnya tangan Chanyeol untuk menggantikan tangannya sendiri memegangi es batu di pipi dengan bekas memar. Dia bangun, hendak pergi secepatnya. Kalau sudah kembali ke kamarnya sendiri, Baekhyun bisa mencari cara untuk melampiaskan emosi. Terserah bagaimana.

"Baekhyun," Tangannya ditangkap. Chanyeol sudah berdiri menahannya.

"Oh, sial." Baekhyun sudah hampir di ambang batas. Kenapa juga Chanyeol pakai menahannya segala?

Dia berbalik. Memejam mata memegang kening seolah menahan agar bagian itu tidak meledak.

"Begini. Chanyeol, berkenan menjawab pertanyaanku?"

Chanyeol yang masih loading melihat Baekhyun yang kelihatan jelas menahan emosi dan bertanya demikian mengerjap. Mengangguk.

"Sebelumnya, ya, aku melihatnya. Maaf karena tidak langsung pergi dan malah mencuri dengar. Tapi kau tidak marah diperlakukan begitu? Tidak ada keinginan sedikit saja untuk membalas kata-katanya?" Terlepas dari Profesor Ji yang memang tak membiarkan Chanyeol menjawab bahkan satu kalimat, Baekhyun masih tetap akan mempertanyakannya. Kalau omonganmu dipotong, kau potong balik saja omongan lawan bicaramu itu. Mudah. Kau tidak harus mengalah apalagi kalau orang itu merendahkanmu. Bukankah semua orang seharusnya berpikir begitu juga?

Chanyeol tampak ingin menjawab, tapi bibirnya mengatup lagi. Berganti pada jawaban singkat yang lain. "...Aku tidak bisa."

"Kenapa? Karena dia wanita? Karena dia lebih tua darimu? Karena dia ibu dari pacarmu? Yang mana?"

Belum ada jawaban Chanyeol berikan. Tapi setidaknya pria itu masih menatapnya. Seolah memang berusaha untuk menemukan sesuatu untuk dia ucapkan. Untunglah kelihatannya begitu, karena kalau tidak, Baekhyun bisa lebih meledak lagi. Setidaknya Chanyeol berusaha.

"Dia merendahkanmu, Chanyeol. Saat kau bahkan tidak sama sekali melakukan yang dia bilang. Pacarmu itu yang datang padamu, kan?"

Chanyeol menghindari tatapan Baekhyun. Dia berpindah ke permukaan jaket yang dikenakan pemuda itu. "Soojin.. dia bukan kekasihku."

Dari serentet pertanyaan yang Baekhyun lontarkan, Chanyeol memilih menjelaskan bagian itu? Oke. Baekhyun tidak akan mempermasalahkan itu untuk sekarang.

Berusaha menenangkan diri, Baekhyun menarik napas. Mendesis kesal. Dia jadi terbawa emosi sendiri.

"Kau harus tahu kau tidak pantas diperlakukan begitu." Baekhyun menatap Chanyeol lurus-lurus, berusaha menyampaikan betapa inginnya dia agar pria itu paham. Kali ini tak sekeras tadi dia berbicara. Matanya kembali bergulir pada bekas kemerahan yang tercetak semakin jelas di pipi Chanyeol. Walau sudah sempat memperkirakan seberapa keras dua tamparan tadi itu, Baekhyun tetap ngeri membayangkannya. Bekasnya bisa sampai sejelas ini.

Lagi Baekhyun mendesis. Sebal luar biasa. Betapa kurang ajarnya.

"Kau, aku tidak akan memintamu menjelaskan apa pun padaku walaupun ini semua membuatku bertanya-tanya sudah seberapa jauh kau membiarkan dirimu ada di hubungan yang seperti itu dengan Profesor Ji. Tapi aku tidak bisa diam-diam saja melihatnya."

setidaknya kau harus membela diri.

Baekhyun mengacak rambutnya sendiri. Bicara apa dia. Karena isi kepalanya yang berdesakan ditambah gejolak emosi, yang keluar dari mulutnya jadi tidak jelas. Dia yakin kalimat itu sulit ditangkap maksudnya. Lagian, itu melampaui apa yang dia niatkan. Too much information. Siapa dia untuk turut andil pada bagaimana Chanyeol harus menyikapi perlakuan orang lain pada pria itu?

Perdebatan di benak Baekhyun sendiri membuatnya frustrasi. Lagi-lagi.

"Maaf," kata Chanyeol. "Kau benar." —tapi mungkin aku memang terlalu pengecut.

Chanyeol tidak tahu apakah 'pengecut' adalah kata yang pas. Tetapi kurang-lebih, dia rasa memang seperti itulah dirinya.

Sebelum benar-benar meledak lagi karena Chanyeol bisa-bisanya malah minta maaf, Baekhyun menyerah—untuk saat ini. Dia kembali ke tempat tidur untuk mengambil balutan es yang Chanyeol tinggalkan di sana, dan menempelkannya lagi ke memar Chanyeol. Kali ini tidak ada lembut-lembutnya dia melakukan itu sampai Chanyeol meringis kecil.

"Lakukan lima menit lagi. Jangan lupa mengulanginya nanti."

Baekhyun bergegas pergi setelah sekali lagi membuat Chanyeol memegang kompresan itu dengan tangannya sendiri.

Mungkin dia harus bermeditasi. Atau sekalian mendapatkan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan bersikap masa bodoh.

.

.

Tidak jadi. Karena lapar sekaligus penasaran apa Chanyeol melakukan apa yang dia suruh, Baekhyun kembali lagi ke tempat Chanyeol. Kali ini dengan mengetuk pintu. Chanyeol membukanya pelan-pelan, mengintip, baru melebarkannya lagi begitu melihat Baekhyun di depan pintu. Wah, apa dia takut ada orang yang datang untuk menamparnya di depan pintu lagi?

Pria itu masih menahan balutan saputangan di pipinya. Baguslah.

"Kau sudah makan?" tanya Baekhyun tanpa basa-basi.

Chanyeol menggeleng, "Belum."

"Kau masih punya stok bahan di kulkas?"

"Uh.. sepertinya ada."

Baekhyun mendorong pria itu masuk lalu menutup pintu. "Aku lapar," katanya. Dia mendahului pemilik rumah, menyambangi kulkas dan memeriksa isinya. Ada sisa tofu, daun bawang, dan jamur. Nah. Itu sudah cukup. Asal dicampur dan ditambahkan bumbu juga sudah bisa dimakan.

Dikeluarkannya bahan-bahan itu. Ia pindahkan ke samping wastafel.

"Eh.. Baekhyun, kita beli saja, bagaimana?"

Baekhyun memelototi Chanyeol. Emosi. Jadi pria ini masih bermain permainan tidak-membiarkan-Baekhyun-merecoki-dapur?

"Itu boros. Kau diam dan duduk saja, bisa kan?"

Walau secara teknis bahan-bahan, peralatan, bahkan tempat ini milik Chanyeol, pria itu langsung menurut. Seperti saja Baekhyun baru melontar mantra padanya. Dia pergi ke sisi tempat tidur dan membuka meja lipat di sana. Duduk di salah satu sisinya sambil sesekali mengompres pipi. Memperhatikan Baekhyun yang sibuk di dapur.

Rasanya aneh, baru saja menerima tamparan keras dari Ji Soyeon lalu dimarahi Baekhyun, sekarang dia sedang duduk dan memperhatikan anak itu menyiapkan makan malam. Perutnya jadi sedikit tergelitik.

Kala Baekhyun tiba-tiba menoleh padanya, Chanyeol terperanjat kecil. Mengerjap. Dua mata Baekhyun tajam menatap.

"Sudah dulu. Wajahmu bisa kaku," kata pemuda itu, mengarah pada apa yang Chanyeol tempelkan di pipinya.

Chanyeol mengerling pada balutan es yang rupanya lupa dia turunkan dari pipinya. Langsung dia lepas benda itu. Baekhyun mendekat dan mengambilnya. Sudah sangat basah akibat es yang mencair.

"Buat lagi saja nanti. Esnya sudah cair." Dibawanya balutan itu ke wastafel untuk membuang esnya.

Nah, Baekhyun rasa dirinyalah yang mulai mengidap sindrom tertentu. Sindrom yang membuatnya tidak tahu lagi caranya mengabaikan seseorang, bahkan untuk setiap tindak tanduk kecilnya.

Sembari menyelesaikan 'karya'-nya untuk makan malam hari ini, Baekhyun menghela napas. Kapan, ya, terakhir kali dia melakukan ini? Memasak makan malam seukuran dua porsi dengan kemampuannya yang pas-pasan, di dapur yang bukan miliknya.

Baekhyun menghela napas lagi. Dia rasa, dia akan menyerah pada asumsi bahwa dia cuma melakukan ini semua atas dasar penasaran saja. Baekhyun tahu benar dia sudah jatuh.

.

oOo

.

Mobilisasi yang melelahkan dalam waktu setengah hari keesokannya harus Baekhyun lakukan demi kepentingan skripsinya. Dia pergi ke beberapa hunian dengan jenis yang mirip dengan apartemen tempatnya tinggal untuk mengambil data. Terima kasih pada topik yang dekat dengan keseharian yang dia pilih, sehingga tidak perlu susah-susah menentukan titik-titik lokasinya.

Sekarang pukul setengah dua, dan Baekhyun harus kembali untuk siap-siap pergi bekerja. Sungguh, dia sebenarnya capek sekali. Inginnya langsung tidur-tiduran saja begitu sampai kamar.

Tinggal menyeberang di depan sana dan jalan sedikit lagi, dia akan sampai. Tidak sabar sekali untuk setidaknya istirahat sebentar.

Apa yang Baekhyun lihat selanjutnya menyita fokusnya seketika.

Lampu untuk pejalan kaki masih merah. Baekhyun yakin itu walaupun dia masih beberapa langkah lagi menuju tempat orang-orang menunggu untuk menyeberang.

Tapi seseorang dengan siluet yang—walaupun ia tidak begitu yakin—dia kenal, menyeberang setelah mungkin merasa ada celah ketika kendaraan yang lewat tidak begitu banyak.

Baekhyun mempercepat langkah. Berlari. Sebab wanita itu tersandung langkahnya sendiri tepat di tengah jalan. Limbung. Tepat bersamaan dengan beberapa kendaraan yang mendekat tanpa tampak akan mengerem.

Baekhyun tidak banyak berpikir lagi saat menggerakkan kakinya untuk melesat lebih cepat ke tempat wanita itu berdiri. Bahkan, sebelum dia sempat memperhitungkan apakah kecepatannya bisa menyaingi mobil-mobil besar yang hendak melintas.

.

tbc

.

.

Today's special mention: aduhaileh, ChanBaek09

Thanks atas review-nya ya~