Napasnya memburu. Seterburu langkahnya. Ji Soyeon kepalang panik ketika sekitar satu jam lalu, melalui sambungan telepon, ia mendengar nama putrinya disebut bersandingan dengan kata rumah sakit.

Ia berderap menuju Unit Gawat Darurat. Hak sepatunya menimbulkan ketuk bergema samar meski tempat itu cukup ramai untuk bisa menenggelamkan bunyinya. Matanya turut berkeliling. Mencari-cari bersama kerut dalam di dahi. Mulanya hanya fokus mencari putrinya, tetapi dalam pencarian itu ditemukannya siluet tinggi yang dia kenal, yang secara otomatis terasosiasi pada seluruh kebenciannya pada orang itu.

Menemukan Park Chanyeol lagi-lagi hadir pada kondisi seperti ini, pikirannya terlanjur mengarah pada bagaimana pria itu selalu menjadi usik di kehidupannya dan putrinya.

Ia menarik kasar kain kemeja yang Chanyeol kenakan sampai pria itu sempurna menghadap padanya.

"Lagi-lagi karenamu, huh?"

Chanyeol yang dikejutkan dengan kedatangan wanita itu baru sempat mengerjap dan membuka mulut hanya untuk mengatup kembali kemudian. Kain kemejanya yang dicengkeram kemudian dihempas sampai dia terdorong mundur.

"Tidak bosan-bosannya kau memunculkan muka di depanku dan Soojin? Lalu tak sudah-sudah membawa sial?!"

Rentetan makian berikutnya mungkin saja menjadi yang terparah dari semua yang pernah Chanyeol terima dari wanita itu, tapi karena kebingungan di mana letak kesalahannya kali ini, Chanyeol jadi tidak bisa sepenuhnya fokus bahkan dengan dua-tiga kepalan yang diberikan ke dadanya, dan mata Ji Soyeon yang nyalang menatap langsung padanya. Dia diam menerima dan membuat mereka menjadi pusat perhatian.

Wanita itu beralih pada brankar yang tadinya menjadi tempat ke mana Chanyeol menghadap. Benda itu dan seorang yang ada di sana tadinya terhalang oleh tubuh tinggi Chanyeol.

Tapi, Ji Soyeon mendapati bukan putrinya yang ada di sana, melainkan pemuda lain yang dia kenal.

Baekhyun yang terduduk di sana ikut terperangah dengan kedatangan tiba-tiba wanita yang dia kenal dengan sematan panggilan 'Profesor' itu bersama kegaduhan ringan.

Soyeon kebingungan. Matanya kembali mengedar gesit. Soojin terduduk di brankar berjarak dua bilik dari tempatnya berdiri. Dengan hanya satu bebat perban kecil di sikunya.

.

.

Sebelumnya..

.

Soojin meringis atas perih di sikunya yang tergores akibat terseret di permukaan aspal. Tapi, itu tak bertahan lebih dari dua detik begitu dia sadar tubuhnya separuh menindih seseorang yang—untung saja—menariknya yang hampir tersungkur saat mencoba menerobos lampu merah pejalan kaki.

"A–astaga!" Soojin tercekat begitu mengenali lelaki itu. Dan terlebih; dia tidak sadarkan diri. "To–tolong! Tolong!" Ia panik, lalu refleks menempelkan telinga di dada lelaki itu untuk mencari-cari bunyi detak jantungnya, merasakan apakah masih ada udara yang keluar dari hidung, sampai hampir memberikan CPR. Keributan sedikit demi sedikit mulai tercipta di sekitar akibat kepanikannya.

Soojin cepat-cepat mengeluarkan ponsel. Menekan satu nomor dari panggilan cepat, "Paman, tolong ke pertigaan Dongsomun 3 sekarang. Cepat!" lalu satu nomor lagi, "C-chanyeol! Tetanggamu! Tetanggamu kecelakaan—"

"Huaah!" Baekhyun meraup udara banyak-banyak begitu membuka mata, seolah baru saja menahan napas pada posisinya yang terbaring di pinggir jalan begitu. Oh, tidak, sebetulnya, memang dia menahan napas. Dengan sadarnya Baekhyun selaku 'korban', kerumunan kecil bubar dengan beberapa orang yang bilang 'Apa? Ternyata dia baik-baik saja!'.

Tidak, Baekhyun memang tidak pingsan. Tapi dia mengira dia pingsan saking jantungnya terasa akan copot karena hampir saja tubuhnya mencium badan mobil besar yang melaju kencang. Tadi ia hampir terbang saat berlari dan melompat untuk menarik kembali wanita yang dilihatnya hampir tertabrak di tengah penyeberangan. Mungkin satu inci lagi saja, malah dia yang akan berakhir berpindah alam.

"K–kau baik-baik saja?" tanya Soojin, sambil masih mengecek seluruh bagian tubuh Baekhyun yang masih terbaring di jalanan. Tidak ada darah, dan Baekhyun tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan.

Dari menatap langit biru yang membuatnya hampir menyangka sudah berpindah ke akhirat, Baekhyun menggulirkan mata pada wanita yang bersimpuh di sisinya. Baiklah, terkonfirmasi dia dan wanita ini selamat.

"Y–ya, kurasa." jawab Baekhyun sekenanya. Ia masih menenangkan napas dan juga detak jantungnya. Masih pula teronggok di atas aspal tanpa berusaha bergerak apalagi bangun.

"ASTAGA! Benar! Minggir, minggir! Tolong minggir!" Suara wanita yang lain mampir ke pendengaran Baekhyun. Kali ini dia kenal betul. Wajah pemiliknya menyusul muncul ke area pandangnya, berdampingan dengan Soojin. "Anakku Baekhyun, astaga, kau tidak apa-apa?!"

"Bi—Bibi Uhm..?"

"Ya, ya, ini aku. Hey, apa yang kau lakukan?! Cepat bantu dia bangun!" Bibi Uhm yang baru saja datang bersama kantung belanjanya berseru panik. Dia mengomel pada Soojin yang masih diam separuh syok, dengan ponsel yang masih terhubung dengan Chanyeol dalam sebuah panggilan. Dia mematikan sambungan itu kemudian tanpa bilang apa-apa.

"O–oh.. benar. Kau bisa bangun?" Dia membantu Baekhyun dengan mengamit lengannya yang satu, sementara Bibi Uhm di sisi satunya lagi. Untunglah Baekhyun baik-baik saja selain jantungnya yang masih bertalu heboh.

Tapi sesuatu yang diakibatkan jatuh tadi baru ketahuan saat dia mencoba berdiri.

"A–argh!" Baekhyun batal berdiri. Dia jatuh terduduk lagi di atas pantatnya. Kaki kanannya sakit sekali seperti ada otot dan urat yang tidak berada pada tempatnya.

Soojin kembali panik. "Kau pasti terkilir.."

Bersamaan dengan itu sebuah mobil menepi. Pria dewasa dengan setelan jas kasual turun dan langsung menghampiri Soojin.

"Paman! Tolong bantu aku!" ujar Soojin. Pria yang ia panggil Paman gesit membantu Baekhyun agar bisa berdiri. Menggantikan posisi Soojin. "Kita harus ke rumah sakit."

"Ap–apa? Tidak usah!" sahut Baekhyun susah payah—dia menahan sakit dalam posisi harus berjalan sambil dipapah begini (tidak bisakah dia digendong saja?). Tapi, dia juga tidak mau sampai pergi ke rumah sakit cuma karena kaki yang terkilir.

"Tidak, dia benar. Kita ke rumah sakit!" Bibi Uhm ikut menyahut. Dia masih memegangi lengan Baekhyun yang bebas. Sementara itu, Soojin yang kalah gesit dari wanita paruh baya itu tertinggal di belakang. Mereka berakhir duduk bersama di dalam mobil yang melaju ke rumah sakit dengan Bibi Uhm di samping kemudi, lalu Soojin dan Baekhyun di belakang.

"Kau baik-baik saja? Tenanglah, kita akan memeriksa kakimu di rumah sakit." Soojin memeriksa keadaan Baekhyun, duduk separuh menghadap pemuda itu.

"Apa yang terjadi, astaga.. Kenapa kau bisa jatuh begitu?" Menoleh ke belakang, Bibi Uhm menimbrung. "Aku akan memastikan kau tidak apa-apa. Tenang saja." Ia mengangguk-angguk, memberi tatapan yang mirip dengan yang Soojin berikan pada Baekhyun. Berusaha menenangkan.

Baekhyun sampai gelagapan menanggapi keadaan aneh ini. "K–kalian yang harusnya tenang! Aku baik-baik saja, kok!"

"Kau tetap harus diperiksa," kata Soojin.

"Aku akan menemanimu. Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi dari kaki yang terkilir," sambung Bibi Uhm yang kembali menimbrung. Walaupun kaget dengan kemunculan wanita itu, Soojin tidak terlalu mengambil pusing karena kelihatannya kedua orang ini cukup dekat.

"Ya, Nyonya?" Suara dari pria yang mengemudi langsung membungkam Soojin. Air mukanya berubah seketika. Paman-nya menerima telepon dari ibunya.

"Kami ada di perjalanan menuju rumah sakit—"

Soojin menjulurkan tangan ke dasbor untuk menggapai ponsel di sana. Mematikan panggilan begitu saja.

"Kenapa diberitahu?!" keluhnya, dan pria yang tengah mengemudi itu baru tersadar akan kesalahannya. Ia terlalu terbiasa melapor berhubung memang itulah pekerjaannya selama ini.

"Maaf."

Lenguhan sekali lagi keluar dari bibir Soojin. Ini gawat.

Baekhyun semakin tidak mengerti dengan keadaan ini. Setelah hampir tertabrak, kini dia berada di dalam mobil orang asing bersama wanita kenalan Chanyeol dan sopirnya serta Bibi Uhm. Opera macam apa lagi ini.

Kemudian gantian Soojin yang menerima telepon masuk. Beberapa panggilan tak terjawab yang belum sempat ia angkat terlihat di notifikasi.

"Halo?"

"A–ah, iya.."

"Dia terkilir. Sekarang kami dalam perjalanan menuju rumah sakit."

Baekhyun mendengar Soojin menjelaskan apa yang terjadi dengan cepat dan agak—sangat—berlebihan. Tentang dirinya yang tadinya ingin pergi ke apartemen Chanyeol untuk berinisiatif mengisi persediaan kulkasnya, juga Baekhyun yang disebut sempat pingsan dan kelihatan sangat kesakitan. Baekhyun mau mengoreksi tapi wanita itu masih terus bicara. Setelah menyebutkan rumah sakit yang mungkin sedang mereka tuju, Soojin menyudahi panggilannya.

"Aku tidak perlu ke rumah sakit," kata Baekhyun, masih berusaha membujuk. Apa pentingnya pergi ke sana untuk kaki yang terkilir sedikit? "Dan aku tidak pingsan."

"Kita pergi memeriksakan kakimu dulu, ya. Kalau dokter bilang kau tidak apa-apa, aku akan langsung mengantarmu pulang." Soojin menjawab. Nadanya final seperti tidak bisa lagi ditawar. Dan itulah dampak yang benar-benar terjadi pada Baekhyun. Dia tidak mampu tawar-menawar lagi.

Selain karena cara wanita itu bicara padanya yang sudah seperti seorang kakak saja, hal itu juga entah kenapa mengingatkan Baekhyun pada seseorang.

Chanyeol. Soojin mengingatkannya pada Chanyeol.

.

..akhir kilas balik.

.

.

"Hey, kau ini ngapain, hah?" Bibi Uhm menyelipkan diri di antara Chanyeol dan Soyeon, bertolak pinggang dengan dagu terangkat tinggi-tinggi. "Bikin ribut saja." Wanita paruh baya itu berdecak, melemparkan tatap remeh pada wanita lain yang ada di hadapannya.

"Siapa?" Tak kalah sinisnya, Ji Soyeon membalas. Tatapan merendahkannya bertemu langsung dengan milik Uhm.

"Aku? Aku ibunya! Mau apa kau?" Uhm menepuk dadanya dan menunjuk Chanyeol. Melangkah maju untuk menantang lebih banyak.

"I.. ibu?" Soyeon membeo bersama matanya yang membeliak dan alis menukik. Dia yakin tidak salah tentang fakta bahwa Park Chanyeol adalah seorang yatim piatu. Dipandangnya Uhm dari atas ke bawah. Menilai penampilannya yang terlihat seperti wanita rumah tangga biasa.

Chanyeol tetap diam walaupun ingin membantah. Demikian pula Baekhyun yang ikut bingung. Dua wanita itu kelihatan seperti akan bertengkar dalam waktu dekat, jadi mereka memilih menunda untuk menginterupsi.

Soojin-lah yang lebih dulu sampai di samping Ji Soyeon, ibunya. "Ibu, aku baik-baik saja dan sudah bisa langsung pulang. Ayo," ajaknya, menarik lengan ibunya itu seolah terburu. Karena, kalau tidak begitu, bisa saja keributan yang sesungguhnya benar-benar terjadi di sini. Dibantu asisten pribadinya, Soojin membujuk sang ibu pergi dengan segera. Yang dituruti hanya karena mereka sudah terlalu banyak menarik perhatian.

"Apa-apaan orang itu? Datang tiba-tiba dan memukuli orang. Siapa dia?" Bibi Uhm berpaling ke arah Chanyeol setelah matanya turut 'mengantar' kepergian Ji Soyeon.

Menggaruk pelipis, Chanyeol menjawab, "Uh.. kenalanku." Dia kemudian mengusap dada kirinya yang terasa sedikit sakit akibat kepalan tak seberapa keras yang diterimanya di situ beberapa kali tadi.

Bunyi sekaligus getar dari ponsel Chanyeol menginterupsi. Soojin menelepon.

"Chanyeol, maaf, aku harus pulang.. Bisa tolong berikan ponselmu pada.. aduh, siapa namanya?"

"Baekhyun?"

"Ya! Aku ingin bicara pada Baekhyun."

Chanyeol menatap Baekhyun, lantas memberikan ponselnya. "Soojin ingin bicara padamu."

Mengerjap, Baekhyun berdeham sebelum mengeluarkan suara. "Halo?"

"Oh, Baekhyun? Ini Soojin. Maaf, seharusnya aku menepati janji untuk mengantarmu pulang, tapi aku harus langsung pergi karena ibuku datang.. Pulanglah bersama Chanyeol, ya."

Kembali Baekhyun bertemu pandang dengan Chanyeol. Sepasang mata bulat itu berkedip-kedip pelan, menatapnya seperti menunggu kalau-kalau Baekhyun mau mengatakan sesuatu.

"O–oke. Tidak perlu minta maaf, Soojin-ssi.. Dan, terima kasih."

Walaupun cuma bicara lewat telepon, Baekhyun seperti merasa wanita itu sedang tersenyum.

"Pergilah ke dokter lagi kalau kakimu semakin sakit beberapa hari ke depan," katanya lagi.

"..Oke."

"Satu lagi."

"Ya?"

Lama, tidak terdengar sahutan lagi. Baekhyun mengecek apakah panggilannya masih berjalan. Suara Soojin baru terdengar lagi setelah beberapa detik.

"Baekhyun, apa pun itu, kalau dengan Chanyeol, kau bisa selalu memulai duluan."

Dahi Baekhyun berkerut, tidak mengerti maksudnya.

"Uh.. apa maksudnya?"

Tawa kecil kini jelas terdengar. "Tidak apa-apa. Kau bisa mengingatnya saja sampai bisa mengerti maksudnya."

Sambil berpikir, Baekhyun menurut untuk sekadar mengingat-ingat kalimat itu.

"Dah. Sampai ketemu lagi, ya."

Panggilan ditutup setelah mereka bertukar salam. Baekhyun mengembalikan perangkat itu pada Chanyeol.

"Ada apa?" tanya Chanyeol setelah menerima ponselnya kembali. Dia hanya khawatir terjadi sesuatu.

Baekhyun menggeleng. "Dia hanya minta maaf karena tidak bisa mengantarku pulang."

"Kalau begitu kalian akan pulang berdua, kan?" Bibi Uhm beranjak ke samping Baekhyun. Kembali mengecek keadaannya. "Kau sudah tidak apa-apa?"

Mengangguk, Baekhyun menjawab mantap, "Aku baik-baik saja. Terima kasih."

Hasil pemeriksaan menunjukkan ligamen di pergelangan kakinya tertarik dan hampir robek, tapi masih bisa sembuh dengan sendirinya setelah 1-2 minggu. Baekhyun tidak menyangka berlari lalu jatuh seperti tadi saja bisa menyebabkan ini. Dia benar-benar bergerak tanpa berpikir.

Bibi Uhm kembali bertolak pinggang, mengambil tempat di sisi kanan Baekhyun, sisi yang berlawanan dengan tempat Chanyeol berdiri. "Melihatmu di pinggir jalan tadi, aku kaget dan jadi mengira yang tidak-tidak. Kau harus lebih hati-hati lagi."

Dalam kondisi jauh dari ibunya begini, Baekhyun jadi agak tersentuh Bibi Uhm selalu memberikan perhatian yang dia tidak tahu dia butuhkan. Bibi Uhm yang selalu membantunya tanpa diminta.

"Bibi, terima kasih sudah selalu memperhatikanku," kata Baekhyun lagi. Sekarang tiba-tiba saja dia jadi mau menangis.

"Aku akan pulang. Kau jagalah dia, ya." Uhm berkata pada Chanyeol yang segera membungkuk, mengiyakan pesan tersebut.

"Kenapa tidak pulang bersama saja?" tanya Baekhyun.

"Ya ampun, dokter bilang kau harus mengistirahatkan kakimu dulu. Aku tidak sempat, tahu?"

Oh, Baekhyun hampir saja bertingkah seolah Uhm benar-benar ibunya yang harus menungguinya untuk bisa pulang bersama.

"Sudah. Aku pergi duluan, ya." Setelah melambai, ia berlalu dari sana.

"Masih sakit?" tanya Chanyeol ketika dia sudah mendapatkan kursi untuk duduk di samping brankar Baekhyun. Tirai pembatas antarbilik juga pria itu benahi agar sempurna memisahkan tempat Baekhyun duduk dengan orang lain di sana.

Baekhyun memandang kakinya sendiri yang dibebat perban elastis dan diberi bantalan penyangga di bawahnya. Bibirnya maju sedikit tanpa dia sadari. "Bergerak sedikit saja sakit," katanya. "Kau tidak kembali lagi ke kantor?"

Chanyeol menggeleng. "Tidak perlu. Aku sudah mendapatkan izin."

"Oh ya?"

Menurut Baekhyun, luar biasa untuk memiliki tempat kerja yang mau memberi izin karyawannya pulang cepat dengan mudah. Apalagi kalau alasan yang dipakai adalah sesuatu seperti 'tetanggaku kecelakaan'—tidak mungkin Chanyeol benar-benar bilang begitu, kan? Tapi syukurlah Chanyeol memiliki tempat kerja yang seperti itu (tunggu, kenapa Baekhyun harus ikut bersyukur?).

Chanyeol baru saja sampai persis sebelum Profesor Ji tiba di sini. Pria itu bahkan baru sempat mengeluarkan satu kalimat; "Kau tidak apa-apa?". Baekhyun benar-benar tidak habis pikir dengan kejadian barusan itu.

"Apa ini tidak bisa sembuh besok saja? Tidak mungkin aku tidak masuk kerja lagi.." keluh Baekhyun. Dia sudah tidak masuk hari ini karena jam sudah mendekati angka 3 setelah kakinya selesai diperban.

"Tidak mungkin sembuh besok," kata Chanyeol, ditambah senyum kecilnya yang terulas sebagai upaya tak sadar untuk menenangkan pemuda di hadapannya. "Kau mungkin bisa tetap pergi kalau tempat kerjamu bisa memberi keringanan pekerjaan. Kau belum boleh banyak menggunakan kaki yang terkilir."

Sekarang, posisi Baekhyun sedikit lebih tinggi dari Chanyeol karena pria itu duduk di kursi yang jauh lebih rendah dari brankar. Alih-alih harus mendongak, mata mereka yang bertemu kini hampir sejajar. Ini terasa sedikit aneh, dan untuk alasan yang sama sekali tidak jelas, jadi ada sesuatu yang Baekhyun rasakan menjalar di sepanjang tulang punggungnya, juga dadanya. Perasaan geli yang menyenangkan.

Karena itu, keberaniannya untuk menanyakan apa yang selama hari-hari terakhir berputar di kepalanya muncul ke permukaan.

"Kau bilang.. Soojin bukan pacarmu, kan?"

Pandangan Chanyeol beralih. Sebentar saja. Sebelum kembali pada Baekhyun. Dia mengangguk bersama gumaman tanda membenarkan.

"Lalu?" tanya Baekhyun lagi. Kali ini jauh lebih pelan. "Aku ingin tahu.. kalau kau tidak keberatan."

Tidak segera menerima reaksi apalagi jawaban, Baekhyun jadi ciut. Keberaniannya menguap. Segera dia menyambung lagi, "Oh, tidak. Maaf. Lupakan saja."

Chanyeol, sebelum mengatakan apa pun, menarik kursinya lebih dekat. Menatap Baekhyun lebih lekat. Baekhyun sendiri jadi semakin tidak enak hati karena saat ini di wajah Chanyeol tidak tersisa senyum tipisnya yang sejak tadi ada di sana. Berkat itu, ada kesan lain yang muncul. Yang tak Baekhyun kira bisa pria itu berikan. Baekhyun merasa sedikit terintimidasi gara-gara itu. Ugh, seharusnya Baekhyun ingat kalau Chanyeol lebih tua darinya.

"Kenapa kau ingin tahu?"

Menelan ludah, Baekhyun kini merasa tenggorokannya tercekat. Dia tiba-tiba teringat rasanya ditegur guru saat berlaku tidak seharusnya di kelas. Tapi tidak sama persis seperti itu. Yang jelas, dia jadi deg-degan.

"Aku hanya.. eh.. tidak." Astaga, sudah begini Baekhyun baru sadar mulutnya kadang-kadang butuh lebih dikendalikan. "Yah, kau marah?" Ia mengulurkan tangan, menyenggol-nyenggol lengan Chanyeol yang diistirahatkan pria itu tepat di sampingnya.

Tangannya ditangkap. Pelan sentuhannya. Lalu diam di tempat. Diletak-lekatkan di atas lengan pria itu. Seperti Chanyeol sengaja menghentikan Baekhyun agar tidak membuat pergerakan lagi.

Selang dua-tiga detik saja, tatapan Chanyeol kembali seperti semula. Baekhyun yang sempat mengira pria itu marah mengembuskan napas seperti baru saja menahannya selama bermenit-menit. Entah benar atau tidak Chanyeol sempat marah, tapi yang barusan itu nyata menguncinya walau sekadar lewat mata.

"Kami pernah berkencan. Dulu."

Dalam sekejap, kalimat Chanyeol menyita perhatian Baekhyun sepenuhnya. Pemuda yang duduk dengan kaki terbebat itu teralihkan dari kekacauan lokal di dalam dirinya akibat hal kecil serupa tangannya yang masih terperangkap di bawah telapak milik Chanyeol, di atas lengan bawah pria itu.

"Soojin selalu membantu saat aku kesulitan merawat Ibu yang sakit, juga setelah dia wafat." Chanyeol melanjutkan. Bergantian ia menatap Baekhyun, juga permukaan benda tempat pemuda itu duduk. "Walaupun, dia sendiri juga sakit."

Dari penuturan Chanyeol selanjutnya, Baekhyun jadi tahu pria itu dan Soojin sudah saling mengenal setidaknya selama sembilan tahun. Waktu yang sangat lama. Mereka berkencan sebelum Chanyeol lulus kuliah sampai sekitar tiga tahun setelah Chanyeol mulai bekerja.

Sampai sini, Baekhyun belum menemukan bagian mana yang berpotensi membuat mereka putus.

Selanjutnya baru Chanyeol memberinya jawaban atas pertanyaan yang tidak Baekhyun suarakan itu.

Di suatu titik, Soojin mengalami komplikasi terparahnya dan itu terjadi di waktu wanita itu sedang bersamanya. Pada saat frekuensi pertemuan mereka sedang sering-seringnya. Dan selanjutnya sudah bisa ditebak, bahwa Chanyeol-lah yang disalahkan atas semua itu.

"Soojin yang meminta agar kami berpisah. Tapi kami masih sering bertemu setelah itu. Diam-diam."

Baiklah. Sekarang Baekhyun butuh diyakinkan bahwa bukan saatnya untuk merasa cemburu karena cerita seperti ini.

"Kalian.. masih saling menyukai, ya.." Baekhyun menyimpulkan. Dan karena Chanyeol tidak menanggapinya, kelihatannya itu memang benar. Tidak ada yang memulai percakapan lagi selama beberapa waktu setelah Baekhyun mengatakan itu.

"Jangan salah paham. Daripada seperti dulu, hubunganku dan Soojin tidak seperti itu lagi," kata Chanyeol kemudian. Lagi-lagi, dia seperti secara tidak langsung menanggapi isi pikiran Baekhyun.

"Lalu kenapa kau menyusahkan dirimu sendiri?" Itu lolos begitu saja dari mulut Baekhyun karena bayangan saat Chanyeol memiliki memar akibat tamparan Profesor Ji muncul lagi di kepalanya. "Maksudku.. ibunya terlihat sangat tidak menyukaimu."

"Dia penting bagiku," Chanyeol memberi senyum, yang Baekhyun yakin bukan untuknya senyum itu ditujukan. "Selama dia masih ingin bersama-sama denganku, dipersalahkan bukan apa-apa."

Mungkin, mungkin saja, masa di mana Chanyeol memiliki Soojin yang menemani dan membantunya sangatlah berat. Sehingga sampai bertahun-tahun setelahnya pun, Chanyeol masih sebegini menghargainya, dan memiliki hubungan yang begitu dekat yang sulit dijelaskan.

Untuk sesaat Baekhyun dibuat bungkam akibat perkataan Chanyeol serta pikirannya sendiri.

Ya, tentu saja. Baekhyun tidak bilang kalau wanita itu tidak penting. Tapi kalau Chanyeol terus-terusan berada di posisi sulit cuma karena berada dekat dengan wanita itu, kenapa tidak disudahi saja? Chanyeol bilang Soojin bukan pacarnya, kan? Dia juga secara tidak langsung menyangkal saat Baekhyun menyimpulkan ia masih menyukai Soojin.

Tapi Baekhyun harus mengingatkan dirinya lagi kalau dia mungkin hanya selipan momen singkat di antara kisah kedua orang itu. Apa pun yang dia lakukan, tidak bisa mengusik tentang betapa pentingnya wanita itu bagi Chanyeol dan juga sebaliknya.

Itu membuatnya merasakan sedikit sakit. Lalu disadarkan akan kebodohannya sendiri. Kalau sudah tahu begitu, buat apa Baekhyun mencampuri urusan mereka? Iya, kan?

Baekhyun benci ini. Dia jadi seperti orang jahat yang berusaha mendapatkan apa yang dimau, tanpa memedulikan keadaan orang lain.

"Tapi kau sampai pernah ditampar begitu.." gumamnya. Membayangkan apa lagi yang pernah Chanyeol alami tanpa dia ketahui, Baekhyun jadi kesal.

Lihat, isi pikirannya berputar sangat acak dari satu hal ke hal lainnya. Begitu pula dengan emosinya.

Mata yang tiba-tiba terasa pedas membuat Baekhyun harus mengedipkan mata cepat-cepat. Ugh, dadanya juga panas sekali. Apa ini? Gara-gara larut dengan pikirannya sendiri, tubuhnya jadi bereaksi terlalu berlebihan. Jangan-jangan, kaki terkilir bisa membuat seseorang jadi lebih emosional?

"Aku," ia menarik napas, suaranya sedikit bergoyang, "tidak suka melihatmu kesusahan." Satu tarikan napas lagi. Baekhyun berusaha menguasai dirinya sendiri yang entah karena dan untuk apa mulai sentimental. Selanjutnya, suaranya jadi mengecil dan keluar seperti suara anak kecil yang merajuk. "Aku juga kesulitan kalau melihatmu begitu. Aku tidak suka."

Chanyeol tidak menyangka Baekhyun akan mengatakan itu. Juga suaranya yang goyah walau sama jelasnya. Dan Chanyeol harap ia hanya berhalusinasi melihat dua mata kecil itu berkaca-kaca.

Baekhyun yang sampai merasa seperti itu bahkan mengatakannya terang-terangan padanya, membuat Chanyeol sedikit takjub. Sekaligus merasa bersalah karena mungkin dia sudah menyakiti perasaan Baekhyun.

Refleks yang terjadi padanya adalah mengusak rambut cokelat madu pemuda itu. Seperti yang selalu ia lakukan. Kali ini bersama dengan serbuan berbagai tanggapan dan perasaan yang menyertainya setelah mendengar perkataan Baekhyun.

Entah sengaja atau tidak, pemuda itu terlihat tidak berusaha lagi untuk menutupi apa yang dia rasakan. Dan Chanyeol seperti mendapat dorongan untuk melakukan yang sama.

Seorang dokter dan perawat datang tak lama kemudian, membawakan kruk yang sebelumnya sudah diminta oleh Soojin. Menghentikan percakapan. Kaki Baekhyun diperiksa sekali lagi, dan ia diberitahu beberapa hal sebelum diperbolehkan pulang.

Baekhyun dibantu perawat dan juga Chanyeol, berusaha turun dari brankar dan mencoba berdiri di atas topangan satu kaki dan penyangga berupa kruk. Baekhyun mengernyit dalam untuk setiap langkah pelan yang dia ambil saking susahnya. Seumur-umur, baru kali ini dia harus menggunakan benda ini. Sepanjang usahanya itu dia tidak tahan untuk sesekali meringis karena sakit di kakinya. Setelah mengucap terima kasih, mereka pergi dari sana.

.

.

Sampai di depan unitnya, Baekhyun memasukkan pin dan membuka pintu. Chanyeol masih di sampingnya. Pria itu membantunya dengan telaten, membuat Baekhyun mau tak mau teringat pada malam di mana ia pernah melihat pria itu membantu Soojin menuruni tangga, dengan kruk di kedua apit lengannya. Kebetulan yang mengherankan. Kini Baekhyun-lah yang ada di posisi itu.

Sebelum sempurna melintasi mulut pintu unitnya, Baekhyun berhenti. Perjalanan pulang dengan taksi tidak banyak membeli waktu. Berlalu begitu cepatnya. Hanya bagian naik tangga menuju lantai ini saja yang terasa seperti selamanya karena terlampau sulit.

Kalau dia langsung masuk, Chanyeol pasti juga akan pulang. Kalau Chanyeol pulang, Baekhyun akan sendirian. Kalau dia sendirian, mau melakukan apa-apa akan sulit.

Oh, oke, Baekhyun mengaku kalau itu cuma alasan. Yang sebenarnya adalah dia masih mau bersama dengan Chanyeol.

"Ada apa?"

Pertanyaan Chanyeol mengembalikan Baekhyun yang sempat sibuk dengan pikirannya. Dia menoleh dan Chanyeol masih menungguinya. Rautnya sedikit cemas karena Baekhyun yang berdiam alih-alih langsung masuk.

Seperti ada lampu yang menyala di samping kepalanya, Baekhyun mendapat ide.

"A–ahk! Kakikuu.."

"B–baekhyun! Kenapa?" Chanyeol langsung maju menangkap lengan dan pinggang Baekhyun yang berlagak hampir jatuh.

"Sakit.."

Sebagai hasil dari 'ide' dadakannya, Chanyeol menemaninya masuk sambil separuh memapahnya. Terus sampai Baekhyun mencapai tempat tidurnya dan duduk di sana. Tongkatnya disandarkan di tepi.

Iya, Baekhyun cuma pura-pura. Dia tidak bisa memikirkan hal lain lagi untuk membuat Chanyeol tetap di sini.

"Masih sakit?"

Baekhyun menggeleng pelan untuk jawaban pertanyaan Chanyeol.

"Ada yang kau butuhkan?"

Melarikan matanya ke sudut dapur, Baekhyun menunjuk barisan botol air mineral di sana.

"Bisa tolong ambilkan aku air?"

Tanpa ba-bi-bu Chanyeol langsung mengabulkan. Beranjak ke sudut yang ditunjuk Baekhyun. Mata sang pemilik kamar mengikuti pergerakannya.

Baekhyun pikir perasaannya terhadap Chanyeol itu tidak masuk akal. Kalau dia suka Chanyeol cuma karena sering makan malam bersama atau karena pria itu cukup perhatian, Baekhyun seharusnya menyukai Junmyeon atau Baekho juga—dalam konteks yang sama. Atau orang yang lainnya lagi karena sepanjang hidupnya, sudah banyak, kok, yang bersikap begitu padanya. Kenapa juga harus pada Chanyeol yang belum lama dikenalnya, dan memiliki hubungan yang sudah cukup rumit dengan wanita lain?

Sehingga akan sangat sulit untuk Baekhyun berharap perasaannya bisa berbalas.

Sayang sekali di kepala Byun Baekhyun, tidak terlintas sebuah alternatif jawaban atas pertanyaannya; suka pada seseorang itu tidak harus selalu bisa dijelaskan alasannya.

"Ini."

"Terima kasih," Baekhyun menerima botol yang dimintanya. Membuka tutup, meminum isinya sedikit-sedikit.

"Kau lapar? Mau makan?"

Sambil menelan air yang baru saja ia tenggak, Baekhyun mengangguk setelah sejenak berpikir.

"Kalau begitu aku pergi keluar dulu."

Apa?

Belum sempat Baekhyun menyahuti, Chanyeol sudah lebih dulu putar haluan. Hendak menuju pintu.

Astaga pria itu. Baekhyun bukannya pangeran yang harus selalu langsung dipenuhi keinginan dan kebutuhannya, kan?

"Chanyeol!"

Yang dipanggil berhenti. Belum mencapai pintu. Melihat Baekhyun berusaha berdiri kembali dengan kruknya, Chanyeol langsung mendekat dan membantu.

"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"

Baekhyun berhasil berdiri setelah usaha yang menurutnya sangat repot dibandingkan jika kakinya baik-baik saja. Dia berhadapan dengan Chanyeol sekarang.

Dibanding butuh sesuatu, Baekhyun lebih ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia ragu. Atau, lebih kepada belum menemukan keberanian. Tetapi dorongan untuk mengatakannya sudah terlalu besar. Seperti kalau bukan sekarang, Baekhyun mungkin tidak akan bisa mengatakan itu selamanya.

Dia mendongak menatap Chanyeol. Pria itu masih menunggu dengan sabar. Alisnya terangkat. Mata bulatnya terbuka penuh antisipasi.

Baekhyun menelan ludah. Memutuskan untuk melakukan sekarang saja atau tidak sama sekali.

"Kau bilang kau dan Soojin sudah tidak pacaran lagi, kan?" tanyanya, seolah beberapa waktu pertanyaan itu tidak baru saja keluar dari mulutnya.

Chanyeol langsung mengangguk. Bingung menggantung di raut wajahnya.

"Berarti kau tidak punya pacar kan sekarang?" tanya Baekhyun lagi, dan Chanyeol mengangguk lagi.

Mengambil napas dalam nan pelan, Baekhyun sejenak memejamkan mata sebelum membukanya kembali untuk ia daratkan pada objek semula; Park Chanyeol. Sepintas, sebuah kalimat mencuat dalam ingatan.

'...apa pun itu, kalau dengan Chanyeol, kau bisa selalu memulai duluan.'

"Kau boleh marah atas ketidaksopananku setelah ini." Sekali lagi, Baekhyun menelan ludah. Memantapkan diri. "Anggap ini pengakuanku."

Ia lantas berpegangan pada pundak Chanyeol dengan tangannya yang bebas untuk bisa mengangkat tumitnya. Berjinjit. Mengecup sudut bibir pria itu lama. Kali ini, sadar sepenuhnya. Terbuka pada konsekuensi, sepenuhnya.

.

tbc

.

.

Comeback exo kali ini saya agak emosional deh. Banget malah. Ada yg sama kah?

Minggu lalu nggak apdet karna ngerasa stuck. Putus deh rutinitas apdet seminggu sekalinya. Dan padahal ini word count-nya lumayan loh, tp kok cuma dapet adegan beberapa jam doang ya.. Oiya, saya mau bocorin/? juga kalo ini udah bergerak menuju ending. Yang kemarin ngira baek kenapa2, nggak, ff ini nggak seberat itu. Literally slice of life yang kayak kehidupan saya yang biasa2 aja ini wkwk. Kalo nggak salah saya juga pernah bilang kan ya kalo ini nggak bakal sepanjang blinded (kalo nggak salah perhitungan sich).

Saya ngerasa lebih cocok nulis yang kayak gini deh, yang nggak baku2 banget dengan latar tokoh dan plot yang biasa2 aja. Tapi jadinya kayak nggak ada unik2nya yaa wkwkw. Nggak apa2 lah, buat latihan nulis dulu ajah. Sing penting seneng nulisinnya.

Timaaci lagi untuk ChanBaek09 & aduhaileh yang masi mampir dan ngisi kolom review ya. Mohon maap ini bacotnya panjang bener haha. See youu