Seiring detik berlalu, nyali Baekhyun kian menciut. Dia menjauhkan wajahnya, mundur satu langkah bersama kruknya, dengan rentetan rutukan dalam hati yang ia tujukan untuk dirinya sendiri.
Bagus, Byun Baekhyun. Kau sudah membukakan pintu untuk respons entah-apa bagi cinta bertepuk sebelah tanganmu.
Mencium seorang tetangga? Yang belum juga lama kau kenal? Yang belum jelas suka laki-laki atau tidak?
Ini namanya menggali kuburannya sendiri.
Chanyeol membatu. Pria itu mengerjap dengan air muka yang tidak bisa Baekhyun perkirakan artinya. Bukan marah, bukan juga malu, atau salah satu di antara yang semacamnya.
Setelah memalingkan wajah lalu memijat kening dan meremas pelan rambut yang menutupi dahinya, Chanyeol melenguh. Seperti mendadak gusar bukan kepalang. Meski sudah paham kalau Baekhyun mungkin memang bukan tipe seorang pemalu, Chanyeol tidak terpikir pemuda ini akan bertindak sangat berani begini, saat ini. Saat yang tadinya menjadi fokusnya adalah keadaan pemuda itu yang sedang terluka.
"Baekhyun, kau ini…"
Baekhyun menggigit sebagian kecil bibir bagian dalamnya. Menunggu. Tatap pria itu kemudian kembali padanya. Kedua tangan Chanyeol berpindah ke lengan atasnya. Sedikit menyentak. Sedikit keras meremas.
"Tolong jangan lakukan yang lebih dari ini," kata pria jangkung itu, "setidaknya untuk sekarang."
Mengernyit, garis bibir Baekhyun samar membelok ke bawah di kedua sudutnya. "Kenapa?"
Ini penolakan—mungkin. Tapi apa maksudnya dengan 'setidaknya untuk sekarang'? Bukankah Chanyeol terlalu bertele-tele?
Ia merengut. Apa yang Chanyeol pikir bisa dan pantas untuk menahannya, menahan Baekhyun maupun Chanyeol sendiri, untuk melakukan apa-pun-itu sekarang? Apa?
Chanyeol bahkan tidak secara jelas mengatakan maksudnya, atau apa yang dia pikirkan tentang tindakan Baekhyun barusan. Karena itu, dari gugup, Baekhyun berubah sedikit jengkel.
Karena Chanyeol tidak kunjung menjawab sementara Baekhyun sedang tidak mood bersabar, Baekhyun memutuskan untuk tidak berhenti begitu saja di sini.
"Bagaimana kalau aku melakukan yang lebih dari ini sekarang?" tantangnya. Chanyeol mengerjap.
Baekhyun mulai kembali mendesak. Ia maju satu langkah, kembali ke titik kala dia membubuhkan kecupan tak tahu malunya beberapa waktu lalu.
Remasan di kedua lengannya Baekhyun rasakan sedikit menguat. Chanyeol seperti ingin menahannya agar tetap berada pada jarak itu, sementara Baekhyun merasakan upaya itu sebagai penyulut baginya untuk menantang lebih jauh.
Kalau yang Chanyeol maksud memang bukan sebuah penolakan, Baekhyun ingin pria itu berhenti bersikap sebegini payah. Seolah-olah, sesuatu menahan mereka untuk saling mendekat dan pria itu begitu saja patuh tanpa memedulikan Baekhyun.
Sementara Chanyeol hanya sedang bingung dan kelabakan, mana yang harus dia dahulukan; tindakan dengan atau tanpa pikir panjang.
Sekejap saja Baekhyun kembali memotong jarak. Dengan tangannya yang bebas ia meraih tengkuk Chanyeol. Mencium pria itu. Bukan lagi kecupan, tetapi sebuah ciuman. Baekhyun melakukan semaunya. Dia membuang tongkat yg menjadi tumpuannya sejak tadi, lalu bergerak berpindah memeluk leher Chanyeol dalam waktu yang sangat singkat. Tindakannya bahkan membuat mereka oleng hingga Chanyeol refleks memeluk punggung lelaki yang lebih pendek darinya itu, serta entah pada detik ke berapa, telah menyusupkan salah satu tangannya di pinggang Baekhyun. Mempermudah keduanya meniadakan jarak.
Di awal ketika Baekhyun tak menerima apa pun sebagai balasan pada gerak bibirnya, ia tak berhenti. Dia tetap menyesap bibir pria itu karena kesal terhadap sesuatu yang pria itu anggap bisa menahannya melakukan ini semua.
Lagipula, kalau Chanyeol mau, dia bisa menolak dan menghentikan Baekhyun sejak awal.
Tapi pria itu tidak.
Hingga Chanyeol akhirnya mulai membalas, Baekhyun semakin enggan berhenti. Sekadar ada jeda untuk keduanya mengambil napas. Dia mendorong bibir Chanyeol dengan miliknya, terus bergerak meski dia tidak mahir dalam hal ini, melampaui pergerakan Chanyeol yang berniat mengimbanginya.
Lihat, apa yang lebih gila dari menahan diri untuk melakukan ini? Saat keduanya bahkan sama inginnya? Siapa yang akan merugi selain mereka sendiri?
Lembut bibir Chanyeol yang Baekhyun rasakan beradu dengan miliknya sendiri membuatnya seperti tidak mau menyudahi. Dia suka sekali. Terlebih ketika bilah itu balas memberikan lumatan memabukkan padanya. Mungkin, ini bukan jenis ciuman yang dilakukan dua orang yang andal melakukan, tapi kalau rasanya semenyenangkan ini, Baekhyun tidak butuh menjadi mahir terlebih dulu.
Setelah gulir waktu yang entah berapa lama, Baekhyun pelan menarik diri begitu merasa cukup puas—meski dia mungkin akan lebih puas jika pria ini cukup peka dan berinisiatif melakukan lebih, seperti mendorongnya ke atas ranjang dan melanjutkan kegiatan barusan misalnya. Park Chanyeol, hampir saja terlambat menangkap isyarat berhenti itu dan lanjut menciumi Byun Baekhyun.
Dengan wajah memaling ke lengannya sendiri yang masih melingkari leher Chanyeol, Baekhyun berkata pelan, "Kakiku pegal."
Satu kali tarikan napas pelan yang panjang dari Chanyeol, baru pria tinggi itu mengurai kedua lengan Baekhyun dari lehernya, dan membantu lelaki itu duduk di pinggir tempat tidurnya. Baekhyun tidak asal bicara tentang kakinya yang terasa capek, karena tadi, ia menggunakan hanya satu saja dari kakinya yang masih berfungsi dengan baik untuk menopang badan—tentunya, dengan menumpu sebagiannya lagi kepada tubuh tinggi Chanyeol.
Chanyeol berlutut di atas kaki kirinya tepat di depan Baekhyun. Dua pasang tangan mereka bertaut dengan Chanyeol yang memulai lebih dulu. Baekhyun menatap itu. Sementara si tinggi, menunduk dalam, mempersiapkan diri sebelum apa yang akan dia katakan kemudian.
Barulah setelah itu dia mengangkat kepala, hingga tatap mereka kembali bertemu.
"Beri aku waktu."
Waktu.
Maka jelaslah prasangka mengenai cinta bertepuk sebelah tangan milik Baekhyun patah sudah. Ini bukan lagi soal perasaan yang tidak berbalas. Ini lampu hijau … ya, kan?
Hanya saja, bagian dia yang diminta memberi waktu, Baekhyun tidak suka karena hal itu membuat harapannya pun ikut kebingungan harus terbang tinggi atau jatuh terempas saja ke tanah.
"Katamu … kau sudah tidak pacaran dengan Soojin," kata Baekhyun, pelan. Bukan karena ragu mengeluarkan suara, melainkan sedikit kecewa. Walaupun tidak secara gamblang mengatakan kalau alasannya minta diberi waktu berkaitan dengan Ji Soojin, Chanyeol pun tidak menyanggah ketika hal itulah yang langsung Baekhyun ungkit.
"Kau benar." Chanyeol mengangguk dan tersenyum tipis, memberi pembenaran. "Tapi…" Menelan ludah, Chanyeol kembali kesulitan menemukan kata-kata. "Nanti, aku akan mencari cara yang tepat untuk menjelaskannya padamu." —Nanti, saat aku juga sudah berhasil memahaminya.
Baekhyun tidak berusaha menyembunyikan raut kecewanya. Dia memutus kontak mata dari Chanyeol. Entah seperti apa Chanyeol atau orang lain mempersepsikan keadaan ini, tapi karena respons Chanyeol, Baekhyun merasa dirinya jadi mirip anak kecil puber yang sedang mengemis cinta. Mengenaskan.
"Terserah kau saja," rengutnya. Saking kecewanya, Baekhyun jadi tidak minat memikirkan jawaban lain.
Chanyeol, di sisi lain, tidak akan menyangkal kalau dialah yang salah di sini. Dia juga bukannya tidak sadar sudah membuat Baekhyun kecewa, bahkan mungkin sedih. Dia sadar perilakunya membingungkan bagi pemuda itu. Tetapi sungguh, Chanyeol hanya butuh waktu. Dan dia berjanji pada dirinya sendiri itu tidak akan lama.
"Aku akan pergi keluar untuk membeli makan malam. Kau butuh sesuatu sebelum itu?" tanya Chanyeol, masih pada posisinya yang lebih rendah dari mata milik pemuda di hadapannya.
Baekhyun menjawab dengan gelengan. "Aku mau istirahat dulu."
"Baiklah. Beritahu aku kalau kau butuh bantuan atau merasa sakit."
Baekhyun duduk bersandar di kepala ranjang dengan dibantu Chanyeol, dan pria itu pun pergi.
Gara-gara beberapa hal absurd dan juga kenekatannya sendiri, hari ini terasa sangat melelahkan. Malam ketika Chanyeol mengetuk pintu kamar bahkan menghubungi ponselnya beberapa kali untuk makan, Baekhyun memutuskan mengabaikan itu semua.
.
oOo
.
Baekhyun merasa keputusannya untuk menyibukkan diri dengan skripsinya sampai bisa tertidur luar biasa nyenyak semalam sangatlah bijaksana—minus bagian kelaparan luar biasa saat bangun pagi. Tidur nyenyak membuat pikirannya seperti di-refresh dan dia jadi punya lebih banyak daya untuk berpikir jernih. Lebih jernih dari kemarin yang bila diibaratkan sudah seperti kertas buram saja.
Berkat itu juga, dia mampu membulatkan tekad untuk tidak membuat hubungannya dengan Chanyeol jadi lebih rumit. Kali ini Baekhyun akan mencoba mengikuti apa yang Chanyeol mau—memberinya waktu, entah untuk apa—tanpa merusak interaksi yang sudah ada.
Baekhyun absen bekerja hari ini. Ia diberi waktu istirahat dan akan kembali masuk segera setelah keadaannya membaik, itu pun sambil mempersiapkan diri kalau-kalau Kang Hoon memutuskan untuk memecatnya karena terlalu banyak beralasan untuk tidak hadir di shift-nya. Dia cemas, tapi untuk sekarang, dia akan memanfaatkan waktu istirahat ini untuk mengejar skripsinya.
Malam hari Chanyeol mengetuk pintu kamarnya untuk makan malam. Kali ini Baekhyun tidak mengabaikannya. Dia membiarkan pria itu membantunya pergi ke unit milik pria itu untuk makan malam bersama, seperti juga tadi pagi untuk sarapan. Baekhyun bahkan membawa serta semua perangkat dan kelengkapan skripsinya—maksudnya, Chanyeol yang membawakan.
Dan mereka makan malam seolah tidak terjadi apa pun kemarin.
"Mungkin besok aku sudah bisa mencoba memasak sesuatu lagi. Ini terlalu boros." Baekhyun berkata di tengah-tengah waktu makan.
"Tidak mungkin nyaman berdiri lama-lama dengan kaki yang sakit. Sementara seperti ini dulu saja," kata Chanyeol.
Baekhyun menelan makanannya, lalu meletakkan sendok. Berganti mengangkat sumpit untuk mengambil acar. Dia mengangguk-angguk. "Kau benar. Seperti kemarin saat baru sampai di kamar."
Mendengar itu Chanyeol menghentikan kunyahannya. Mulutnya menggembung penuh makanan yang belum tergilas. Dan makanan itu perlu menunggu sampai si pemilik mulut kembali sadar dari lamunan singkatnya.
Kemarin saat baru sampai di kamar.
Telinga Chanyeol memerah. Dia kemudian lanjut mengunyah. Kepalanya samar-samar tertunduk lebih dalam dan dimasukkannya sesuap lagi makanan ke dalam mulut.
Oh, bayangan hari kemarin saat mereka baru sampai di kamar Baekhyun sepertinya meninggalkan bekas yang agak terlalu pekat bagi Chanyeol.
Tak mendapat jawaban bahkan balasan untuk tatapannya, Baekhyun seketika memergoki pemandangan Chanyeol yang malu-malu. Sangat jelas sampai tidak perlu Baekhyun meragukan matanya. Dia senyam-senyum, hampir saja tertawa.
"Kalau begitu bagi dua denganku, dong. Aku masih punya uang saku kalau untuk ini," tambah Baekhyun kemudian.
"Tidak perlu. Sekalian saja, kan?" Kini Chanyeol sudah kembali menatap lawan bicaranya itu.
Baekhyun menghela napas. "Tidak sekalian saja kita menikah supaya kau bisa membiayai semuanya sesuka hati?" cibirnya. Kalimat itu meluncur begitu saja karena Baekhyun yang sedikit gemas dengan Chanyeol yang terlalu baik padanya. Bagaimanapun, Baekhyun masih sedikit tahu diri.
Chanyeol meminum air di gelasnya, baru menjawab perkataan Baekhyun. "Memangnya kau mau menikah denganku?"
Apa-apaan si Park Chanyeol ini.
"J–jangan sembarangan bicara soal menikah!" protes Baekhyun. Dia kemudian menusuk-nusukkan sendoknya ke nasi dan sup di dalam mangkuk sebelum mengambil sesuap lagi.
Chanyeol tersenyum kecil, tidak membalas lagi walau jelas-jelas Baekhyun duluan yang menyebut-nyebut hal itu. Dia pun tidak benar-benar berpikir sebelum bicara. Lagipula, ini juga gara-gara Baekhyun sendiri yang memancingnya secara tidak langsung dari tadi. Satu sama.
Sejak mereka selesai makan dengan obrolan yang tidak jelas ke mana arahnya, Baekhyun berkutat dengan laptop untuk penelitiannya, sementara Chanyeol sudah duduk di atas kasur dan sibuk memainkan ponsel.
"Boleh aku tidur di sini saja?" celetuk Baekhyun begitu dia merasa sudah terlalu capek mengerjakan skripsinya. Dia menatap Chanyeol di atas tempat tidur menunggu jawaban.
Atas pertanyaan yang Baekhyun lontarkan dengan supersantai itu, dua bola mata bulat milik Chanyeol tiba2 saja sudah tertuju padanya seperti tidak baru saja terfokus pada layar benda elektronik di genggaman tangan.
"Apa?"
"Boleh aku tidur di sini saja?" ulang Baekhyun.
"K–kenapa?"
Kenapa pria itu harus gelagapan begitu?
Baekhyun menarikan bola matanya ke sembarang arah. Bibirnya maju mengerucut saat menjawab, "Karena, toh aku sudah beberapa kali tidur di sini … dan itu lebih mudah daripada harus kembali ke kamarku. Begitu." Dia berkata dengan luar biasa lancar, mengangguk menyetujui perkataannya sendiri. Selancar intuisi dan niatnya yang tiba-tiba bergeser kepada keinginan mengerjai Chanyeol. Dia lupa baru saja tadi merasa harus tahu diri perkara menumpang makan. Sekarang malah ia bilang mau menumpang tidur juga.
"Aku akan membantumu kembali ke kamar." Chanyeol bangkit dari atas tempat tidur dengan segera, bonus hampir tersandung kakinya sendiri. "J–jangan tidur di sini. Tempatnya akan terasa kurang luas untukmu."
Sambil pura-pura manyun, Baekhyun berkata, "Pelit." Tapi, dia harus menggigit bagian dalam bibirnya demi menahan senyum yang ingin mengembang. Chanyeol tidak pandai mengarang alasan. Baekhyun kemudian dibantu untuk kembali ke kamarnya sendiri.
Cedera di kaki kanan Baekhyun tidak terlalu parah, sehingga mungkin besok-besok, dia sudah tidak memerlukan alat bantu berupa tongkat lagi.
Kecuali kalau berupa Chanyeol, Baekhyun mungkin akan terus membutuhkannya.
Pria tinggi itu memastikan kruk milik Baekhyun diletakkan dekat dengan tempat tidur di mana Baekhyun sudah duduk sekarang.
"Kutinggal, ya. Selamat malam," kata Chanyeol setelah memberi usak pelan di puncak kepala Baekhyun. "Hubungi aku kalau kau butuh bantuan."
Baekhyun hampir saja menceploskan isi kepalanya yang berbunyi 'Bagaimana kalau kau saja yang tidur di sini supaya tidak ribet?', tapi untunglah dia sedang dalam keadaan cukup waras.
Walaupun enggan membiarkan Chanyeol pergi setelah membantunya kembali ke kamar, Baekhyun tetap harus menerima kenyataan kalau nyaris belum ada satu hal pun yang berbeda di antara mereka sebagai dua orang teman maupun tetangga yang tinggal bersebelahan. Selain—uhm, kalau yang ini bisa dihitung—bahwa mereka baru saja berciuman seperti orang gila kemarin, memang belum ada yang berubah.
Untuk saat ini, baiklah, Baekhyun akan mencoba bersabar.
.
.
Chanyeol menutup pintu di belakangnya selepas mengantar Baekhyun ke kamar. Dia berhenti tak jauh dari sana ketika tak sengaja matanya terpaku ke arah tempat tidur.
Bayangan Baekhyun sungguhan berbagi tempat tidur dengannya di sana melintas, sebelum ia menggeleng cepat-cepat demi menghalaunya. Telinga dan wajah yang merah menjadi riasan konyol yang muncul tiba-tiba tanpa siapa pun melihat. Sekadar karena terbayang Baekhyun yang lucu tertidur di sampingnya.
Dia tidak harus benar-benar membayangkan Baekhyun sungguhan tidur di sini hanya gara-gara pertanyaan Baekhyun soal itu tadi, kan? Baekhyun bahkan tidak bilang mereka akan tidur di satu tempat tidur berdua kalaupun pemuda itu jadi tidur di kamarnya.
Chanyeol membuang napas sampai pipinya menggembung, seperti baru saja naik tangga 3 lantai karena jantungnya bekerja dengan sedikit tidak normal. Dan tentu saja telinga merah yang masih hadir tanpa dia sadari.
Semua perasaan ini agak terlalu banyak untuknya.
.
oOo
.
Hampir dua minggu sampai Baekhyun bisa memfungsikan kaki kanannya seperti sedia kala. Dia tidak menyangka kecelakaan kecil seperti itu saja bisa membuatnya harus banyak mendekam di kamar karena mau apa-apa terasa sulit. Dia harus pergi ke lokasi-lokasi untuk mengambil data demi kebutuhan penelitian dengan kondisi begitu.
Walau belum berani membawa kakinya untuk beraktivitas lebih dari sekadar berjalan, setidaknya Baekhyun yakin dia sudah mampu untuk kembali pergi ke kafe untuk bekerja. Kang Hoon belum pernah mengekspresikan keberatan di setiap pesan teksnya, tetapi di dunia yang penuh persaingan ini, sungguh bukan tidak mungkin sudah ada calon penggantinya yang menunggu di sana. Doakan agar Baekhyun masih memiliki kesempatan.
Baekhyun sudah siap meninggalkan unitnya saat ia mendapati keberadaan seseorang yang kelihatannya secara kebetulan baru saja sampai di depan pintu saat Baekhyun membukanya.
"Yo."
Dahi Baekhyun berkerut sampai ke hidung. Dia menjauhkan wajah.
"Sedang apa kau di sini?"
Baekho mengangkat bahu, kemudian mengorek lubang hidungnya. "Tentu saja menjemput rekanku. Kau masuk hari ini, kan?"
Cara Baekho bicara sudah seperti membuat 'menjemput rekan kerja menuju tempat kerja paruh waktu yang tidak jauh-jauh amat di akhir pekan' kedengaran seperti suatu budaya yang umum dilakukan.
Sebelum membuka mulut untuk memuntahkan pertanyaan dan pernyataan seperti tahu dari mana kau? atau siapa yang minta dijemput?, Baekhyun segera mengurungkannya. Tidak ada gunanya. Baekho jelas-jelas selalu punya cara dan jawaban yang sudah bisa Baekhyun tebak untuk semua itu. Lagipula anak ini memang kenal cukup dekat dengan pemilik tempat Baekhyun bekerja yang tentu Baekhyun beri kabar tentang keadaannya.
Karena itu Baekhyun cuma menghela napas, lalu melangkah keluar dan menutup pintu.
"Pengalaman kerja paruh waktu pertamaku dengan kau di dalamnya ini akan kuingat sebagai salah satu pengalaman paling aneh seumur hidupku," helanya.
"Kakimu sudah baikan? Kau yakin sudah bisa bekerja?" Baekho bertanya tanpa memedulikan pernyataan Baekhyun barusan, sambil tak henti mengamati langkah Baekhyun yang sedikit aneh.
"Tidak usah banyak tanya. Aku harus kembali sebelum kehilangan pekerjaan ini," kata Baekhyun sensi. Dia memeriksa isi tas selempangnya, merasa telah melupakan sesuatu.
"Kau mengancamku dengan kejam kalau sampai aku datang menjenguk. Aku jadi tidak bisa mengetahui keadaanmu selain lewat pesan dan telepon. Sekarang menanyakan keadaanmu pun aku tidak boleh?" tanya Baekho dengan muka seperti baru saja disakiti.
Mengabaikan ocehan pemuda dengan jaket kulit hitam di sampingnya, Baekhyun putar balik. "Sebentar, ponselku ketinggalan."
Sebelum sampai kembali ke pintu kamarnya, ia berpapasan dengan Chanyeol yang baru saja membuka pintu.
"Oh? Kau sudah mau berangkat?"
Baekhyun mengangguk menjawabnya.
Sebuah gumaman singkat, Chanyeol menambahkan, "Aku mungkin akan mampir nanti."
Belum juga sempat memberi respons, pandangan Baekhyun tiba-tiba ditutupi oleh bagian belakang kepala seseorang.
"Yah!" protes Baekhyun. Baekho tidak menggubris. Dia berdiam di posisi memiringkan bagian atas tubuhnya seperti itu selama beberapa detik, menjadi tembok besar antara Baekhyun dan Chanyeol.
"Baekho." Dia mengulurkan tangan, mengajak pria tinggi yang sedang ia halangi dari pemuda yang paling pendek di antara mereka berkenalan.
Bingung, Chanyeol mengerjap lalu menjabat tangan Baekho. "Chanyeol."
Entah untuk urusan apa, Baekho memindai pria tinggi dengan setelan celana training dan kaus itu.
"Minggir, sialan." Baekhyun memaksa agar Baekho bergeser.
"Nama kalian mirip, ya." Sebuah komentar tidak penting dari Chanyeol, yang kali ini Baekhyun maklumi karena dia pun akan kebingungan ketika dihadapkan dengan orang aneh dengan tingkah aneh seperti Kang Dongho secara tiba-tiba di siang menuju sore hari yang damai seperti ini.
Baekho mengusap hidungnya. Alisnya naik sekali. "Tentu saja. Byun Baekho."
"Mulutmu mau kusumpal kaus kaki?!" omel Baekhyun. Dia berlalu untuk mengambil ponselnya ke kamar, lalu kembali lagi hanya untuk mendapati Baekho masih berdiri di tempat, bertatapan dengan Chanyeol yang Baekhyun dengar sudah sempat berusaha basa-basi tanpa respons berarti dari orang aneh di hadapannya.
Dengan decakan keras, Baekhyun menarik lengan Baekho untuk segera pergi dari sana. Langkahnya masih sedikit terseret saat dia berusaha berjalan lebih cepat. "Ayo cepat berangkaaat!"
Satu kali lagi Baekho melempar tatapan penuh penilaian kepada Chanyeol.
"Yah, kau yakin? Bukankah dia kelihatan terlalu tua untukmu?" tanya Baekho ketika mereka mulai menuruni anak tangga. Dia membagi perhatian antara ingin mewawancarai Baekhyun dan juga membantu mengawasi langkah kaki pemuda itu.
"Apa yang kau bicarakan, hah?" Baekhyun berusaha tak mengambil pusing pertanyaan itu. Tapi, dia memang diam-diam terkejut dengan pertanyaan Baekho. Dia belum pernah membahas Chanyeol, apalagi dalam konteks yang seperti itu, kepada siapa pun.
"Eyy, aktingmu bagus juga." Baekho merangkul Baekhyun main-main.
"Bicaramu semakin tidak layak dengar," cela Baekhyun.
Hampir sepanjang perjalanan Baekho tak berhenti menyiratkan godaan pada Baekhyun. Dan secara ajaib Baekhyun mampu tetap berada di area pertahanannya.
Dalam hal ini Baekho merasa dirinya juga berhak mendapat predikat jago akting. Sebab meski dia memang suka menggoda Baekhyun, dia bukannya sudah sepenuhnya merelakan perasaannya sendiri.
.
.
Chanyeol mematut diri di depan cermin berukuran tak seberapa besar yang tergantung di samping pintu kamar mandi, tak jauh dari lemarinya. Dia memastikan rambutnya rapi tanpa kelihatan terlalu culun, dan tidak ada hal apa pun yang aneh di wajahnya.
Apakah kaus abu-abu dengan luaran kemeja flanel senada dan celana jeans ini sudah cukup pantas?
Dia menggaruk pelan pelipisnya. Dia cuma ingin pergi mampir ke kafe tempat Baekhyun bekerja, tapi memikirkan harus pakai baju apa saja butuh waktu hampir setengah jam lamanya.
Sejak malam itu, benar dia memang merasa tidak seperti dirinya sendiri yang biasa. Dia bahkan malu mengakui kalau nyaris setiap waktu, Baekhyun selalu mampir ke pikirannya. Demi Tuhan, dia bukan ABG lagi, kan?
Getar dari ponsel di saku celana mengalihkan sejenak perhatian pria tinggi itu. Pesan masuk dari Soojin.
[Kita harus bertemu minggu depan. Ada yang mau kuberi tahu.]
Chanyeol mengerutkan dahi. Dia mengetik balasan.
[Kenapa tidak langsung beri tahu saja di sini?]
[Minggu depan saja. Sekalian.]
Sekalian apa?
Beberapa pesan lagi untuk menentukan dan menyepakati waktu, Chanyeol mengantongi kembali ponselnya.
Diperiksanya jam yang melingkar di pergelangan tangan. Hampir jam 5 sore, dan itu berarti sebaiknya dia berangkat sekarang.
.
.
Sebagai orang yang memosisikan diri sebagai penonton selama beberapa waktu menyaksikan Baekhyun menyambut 'tamu spesial'-nya di kafe, Baekho mau tidak mau mengakui dia tiba-tiba saja seperti melihat bunga-bunga imajiner tumbuh memenuhi tempat di sekitar kedua orang itu. Baekhyun dan pria itu. Walaupun, Baekho yakin, mereka tidak berpacaran.
Apa pun itu, sepertinya dia memang sudah tidak kebagian tempat. Dasar nasib.
"Kuberi tahu saja. Menjalin hubungan dengan orang yang jauh lebih tua itu tidak mudah."
"Dia baru dua puluh sembilan."
Oh, oke. Secara tidak langsung, Baekhyun telah membenarkan apa yang seharian ini ia sangkal.
"Tujuh tahun itu lumayan."
Baekhyun mendengarkan dengan setengah hati.
"Bayangkan apa yang bisa terjadi selama tujuh tahun dia hidup lebih dulu sebelum kau lahir, dan dua puluh sembilan tahun sebelum kau bertemu dengannya."
Kalimat itulah yang kini berhasil mencuri atensi Baekhyun hampir sempurna seratus persen.
Baekho sialan.
"Sudah berapa lama kau mengenalnya?" Tidak semerta-merta berhenti, Baekho bertanya lagi.
"Belum lama." Baekhyun menjawab ogah-ogahan, pura-pura memeriksa lap pembersih di tangannya seolah mencari serangga di antara lipatannya. Dia berharap tiba-tiba datang serombongan pengunjung supaya dia bisa lebih menyibukkan diri daripada membahas yang seperti ini dengan makhluk bernama Kang Dongho.
Baekho menjentikkan jari. "Sudah kuduga. Sebaiknya kau waspada."
"Waspada apa?" tanya Baekhyun sambil menghela napas. Dia baru saja bertemu Chanyeol, di kafe ini, dan rasanya dia bahagia-bahagia saja dengan kehadiran pria itu. Tapi gara-gara kalimat-kalimat dari bocah di sampingnya ini, dia jadi kepikiran.
"Yah, tidak tahu. Pokoknya jarak usia terlalu jauh dalam sebuah hubungan itu sering kali menyusahkan."
Sempat diam sebentar, baru Baekhyun membalas. "Bicaramu semakin tidak berbobot." Dia lalu melengos, memutuskan jauh-jauh saja dari Baekho sebab kehadiran rombongan pengunjung yang ia harapkan tidak kunjung datang.
Walau Baekho kedengaran bicara dengan nada main-main sejak tadi, harus Baekhyun akui perkataan anak itu tidak sepenuhnya salah. Oh, bahkan, tidak sama sekali salah. Justru sangat masuk akal. Dan itu menarik ke permukaan apa yang Baekhyun juga khawatirkan, setidaknya sejak malam itu.
Karena masuk akal itulah, Baekhyun merasa seperti diingatkan untuk sesegera mungkin menapak ke tanah. Dan menghadapi kenyataan kalau belum tentu 'masa menunggu'-nya ini berbuah manis.
.
oOo
.
Ini kali kedua Junmyeon menghubungi Baekhyun untuk minta ditemani ke makam kakaknya. Pria yang hobi ia candai dengan panggilan 'sunbaenim' saat mereka sebenarnya satu angkatan itu meminta waktunya lagi jika Baekhyun tak keberatan, untuk berkunjung ke rumah abu dan makan siang bersama. Beruntung kini Baekhyun merasa kakinya telah pulih sempurna setelah seminggu lagi berlalu.
"Yang lain sibuk. Kurasa dia juga hanya mengandalkanku untuk sering-sering mengunjunginya." Junmyeon menjelaskan ketika Baekhyun bertanya apakah selama ini dia selalu pergi sendiri. Dari cara bicaranya setiap kali membahas sang kakak, Baekhyun menyimpulkan bahwa mungkin keduanya adalah yang paling dekat di keluarga mereka.
"Aku tidak bisa membayangkan kalau akulah yang kehilangan seseorang yang penting bagiku. Untuk selamanya, apalagi." Setelah turut berdoa, Baekhyun mengungkapkan apa yang terpikirkan olehnya sejak tadi. Selama ini dia merasa hidupnya masih sangat jauh dengan ujian hidup yang seperti itu, sedangkan tidak ada seorang pun yang bisa memprediksi kapan hal itu datang. Melihat bagaimana orang-orang yang sudah pernah mengalaminya masih bisa menjalani hidup dengan baik, itu selalu membuatnya kagum.
Yah, siapa pun mungkin akan merasa begini kalau dihadapkan dengan pemandangan tempat abu orang-orang yang juga pernah menghuni dunia ini disemayamkan.
"Kejadian di semesta memang macam-macam. Kau cuma perlu percaya manusia juga sudah didesain mampu untuk menghadapi yang macam-macam itu kalau mau."
Junmyeon dan kata-kata bijaknya.
"Kau sudah layak mengisi seminar motivasi di kampus, kurasa. Mendengar kata-katamu di rumah abu begini terasa sangat … menggugah."
Junmyeon tertawa mendengar itu. "Aku akan mencobanya setelah lulus nanti," candanya.
"Setelah lulus…" Pikiran Baekhyun tanpa bisa dikendalikan langsung melayang pada skripsinya. Selain karena pikirannya sedang terbagi, dia mulai meragukan dirinya sendiri.
Tinggal beberapa langkah lagi. Dia cuma perlu memastikan sekali lagi kalau datanya sudah cukup, sebelum mengolah dan merampungkannya. Yang mana, seharusnya sudah dia lewati langkah-langkah itu kalau saja tidak ada bencana berupa pergantian pembimbing secara tiba-tiba.
Mengingat itu semua membuat Baekhyun ingin mengumpat.
"Hey," tegur Junmyeon pada Baekhyun yang bengong tiba-tiba. "Tenang, skripsimu pasti selesai."
Tentu saja, tanpa diberi tahu, Junmyeon langsung connect perkara hal yang membuat Baekhyun tiba-tiba hilang fokus.
"Waktunya mepet sekali." Baekhyun menggigit bibir, berkata ragu. Kalau dia tidak mengebut, benar, dia harus mengambil perpanjangan.
"Bisa. Waktunya masih cukup. Datang saja kalau kau mau kubantu."
Mendengar itu Baekhyun tersenyum, yang kemudian dia ubah ke versi jahil. "Seperti yang diharapkan, sunbae-ku ini."
"Oh, sudahlah."
Menuju pintu keluar, Junmyeon hendak mengalihkan pembahasan ke tempat yang akan mereka kunjungi untuk makan siang. "Kau masih punya waktu sebelum berangkat ke kafe, kan?"
Junmyeon ikut mengerem kakinya saat mendadak Baekhyun berhenti di tengah lorong yang tak seberapa luas itu. Dan jangankan menjawab pertanyaannya, pemuda berambut madu itu bahkan seperti tidak lagi menyadari kehadiran Junmyeon. Begitu saja.
Diikutinya arah pandang Baekhyun. Selain mereka, hanya ada sepasang pria dan wanita di dekat pintu salah satu ruangan penyimpanan yang lain. Hanya itu dan Junmyeon pun yakin ke sanalah Baekhyun memaku seluruh perhatiannya kini.
Selama waktu yang sangat singkat, Junmyeon secara tak sengaja teringat pada kali terakhir dia melihat gelagat dan juga raut yang hampir sama dari Baekhyun.
Malam ketika ia berkunjung membawakan makanan untuk Baekhyun yang sedang sakit. Dua pria dan wanita yang pergi dari unit di sebelah.
Sekarang, Baekhyun memandang pasangan yang entah sama ataukah tidak, dengan cara yang sama. Atau mungkin lebih pekat. Pasangan yang sedang berbagi pelukan erat itu.
Hanya setelah ada pergerakan dari dua orang itu Baekhyun beranjak. Membuang napas lalu melanjutkan langkah. Cepat. Junmyeon mengambil langkah lebar mengimbangi.
"Baekhyun," panggil Junmyeon.
Mereka baru berhenti di luar gerbang saat Junmyeon berhasil menghadang Baekhyun. Menghadapnya, tanpa anak itu mau menatap.
"Byun Baekhyun," panggilnya lagi setelah menempatkan dua tangan di bahu pemuda yang sedikit lebih muda darinya itu, seolah kalau tidak, Baekhyun akan langsung pergi dan dia tidak akan punya waktu lagi.
Junmyeon berniat mengatakan ini nanti saat makan siang. Saat keadaannya dia rasa berada di bawah kendali, dan tidak akan ada kekacauan apa pun jikalau tidak ada penerimaan dari seorang yang ia mintai jawaban.
Namun, jika selama ini Junmyeon biasa bertindak penuh pertimbangan, kali ini dia ingin membiarkan dirinya berubah impulsif barang sejenak. Melihat Baekhyun yang seperti ini, Junmyeon semakin disadarkan pada fakta bahwa dia memang seperti bukan siapa-siapa bagi pemuda itu, dan betapa sedikitnya hal yang dia ketahui tentangnya. Tentang Byun Baekhyun. Bahkan meski selama ini dia selalu mengusahakannya.
Apa yang sekiranya menyedot habis perhatian Baekhyun yang tadinya tertuju padanya? Junmyeon sangat ingin menanyakan, tapi ia entah bagaimana yakin sepenuhnya itu akan semakin menghancurkan hari ini, lebih daripada jika ia mengutarakan ini sekarang juga. Bukan tanpa alasan dia mengajak Baekhyun bertemu dan menyapa mendiang kakaknya, di saat hanya orang-orang spesial yang bisa membuat Junmyeon terbuka tentang kehidupan pribadinya.
"Aku berencana bicara padamu saat makan siang," kata Junmyeon. Dia menatap lurus pada Baekhyun yang awalnya tak menatap balik dan terkesan sudah tidak benar-benar berada di sini lagi. "Tapi, keberatan kalau kukatakan di sini sekarang?"
Baekhyun tidak menjawab karena jujur, pikirannya bercabang. Siapa sangka dia akan bertemu dengan pemandangan tadi saat sedang menemani Junmyeon mengunjungi kakaknya?
Sudah dia bilang dunia ini perlu sedikit diperluas agar hal yang begini tidak terus-terusan terjadi.
Oh, atau, ini mungkin pertanda yang sebaiknya tidak Baekhyun abaikan.
Baekhyun masih diam menunggu. Melalui diamnya dia memberi ruang bagi Junmyeon untuk mengatakan saja apa yang ingin pria itu katakan.
"Berkencanlah denganku."
.
tbc
.
.
Today's special thanks: aduhahileh, ChanBaek09, dan skyofbbh.
Happy chanbaek day, all. Bahagia terus ya, chanyeol dan baekhyun.
Saya kaget liat ini terakhir update setahun lalu. Padahal tinggal sedikit lagi. Nggak tau masih ada yg baca atau nggak, tp pokoknya saya bakal selesein ini. Hft.
