Sejujurnya kedua mata Chanyeol yang terasa menguncinya membuat Baekhyun sedikit tertegun.
Baekhyun tidak mengerti—atau tidak ingin mengerti apalagi peduli—apa atau bagaimana pembuktian yang Chanyeol maksudkan, tapi apa pria ini harus menunjukkan wajah penuh tekad begitu? Di saat Baekhyun sendiri sedang dalam usaha membuang perasaannya jauh-jauh demi kedamaian hidupnya? Chanyeol tinggal terima saja pernyataan Baekhyun tentang dirinya yang sudah punya pacar, apa susahnya?
Baekhyun mengeraskan rahang, giginya hampir bergeretak. Dia tidak akan goyah cuma gara-gara omong kosong ini.
"Tidak ada yang perlu dibuktikan."
Kemudian Baekhyun berbalik pergi setelah menarik paksa tangannya. Dia menghabiskan jarak koridor lantai 3 yang tersisa, menuruni tangga, menjauh dari bangunan apartemen berdinding kelabu mengelupas itu.
Baekhyun yakin dia tidak sesuka itu pada Chanyeol. Bisa saja dalam waktu dekat dia berhenti punya perasaan untuk pria itu, atau malah suka pada orang lain. Yang perlu Baekhyun lakukan hanyalah memastikan untuk sungguhan tidak memperpanjang urusan yang satu ini.
Sepeninggal Baekhyun, Chanyeol membuang pandangannya ke langit-langit koridor. Sebelah tangan bertolak pinggang saat ia mengusap kasar wajahnya dengan tangan yang lain.
Seumur-umur, belum pernah dia seputus asa ini karena jatuh cinta. Di umur yang bahkan hampir menyentuh kepala tiga ini.
Tapi Chanyeol sedang tidak ingin menyerah. Tidak untuk Baekhyun. Kalau Baekhyun memang berpikir tidak ada yang perlu dibuktikan, Chanyeol akan menganggap ini sebagai sesuatu yang ingin dan sudah seharusnya dia usahakan.
.
oOo
.
Baekhyun berdecih sinis ke arah permukaan meja yang sedang dia bersihkan.
Membuktikan apanya. Bahkan sudah tiga hari ini Chanyeol bak menghilang ditelan bumi.
Ini tidak seperti Baekhyun mencari-cari pria itu, tapi bukannya kemarin-kemarin Chanyeol mengatakan sesuatu tentang membuktikan? Apa yang sebenarnya sedang orang itu coba buktikan dan apa wujudnya?
Sudah Baekhyun bilang itu semua omong kosong. Membuktikan apanya (2).
Begitu selesai membersihkan satu meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan, Baekhyun segera kembali lagi ke belakang konter untuk mengambil pesanan.
Hari ini Baekho tidak masuk. Lebih tepatnya sejak dua hari lalu. Karenanya pekerjaan yang harus Baekhyun lakoni jadi lebih banyak dibanding saat ada anak itu. Bukan masalah, Baekhyun justru senang dia jadi lebih sibuk. Ini sekaligus menjadi peluang baginya untuk membuktikan ia bisa bekerja dengan lebih baik dan benar-benar merenungkan 'masukan' Kang Hoon..
Baekhyun cuma berharap otaknya yang kurang bisa dikendalikan dengan terus memikirkan orang yang sama ini tidak lagi-lagi memengaruhi sikapnya di tempat kerja. Hitung-hitung latihan menjadi profesional. Baekhyun akan segera lulus dan mencari pekerjaan dengan ijazahnya, tidak mungkin dia membiarkan diri kebiasaan hanyut dalam pikiran tidak penting di tengah-tengah waktu bekerja.
Lonceng yang tersemat di atas pintu masuk kafe berbunyi. Baekhyun mengucapkan selamat datang.
Wah, itu dia rekan kerjanya yang dua hari ini tidak muncul.
"Yah, kau terlambat!" bisik Baekhyun penuh penekanan.
Tampak tidak peduli dengan fakta itu, Baekho mengangkat bahu seiring langkahnya mendekat ke tempat Baekhyun berdiri. Dia mengenakan setelan yang menurut Baekhyun terlalu berlebihan untuk dipakai ke tempat kerja paruh waktu. Rambutnya bahkan diberi gel dengan gaya seperti akan tampil di panggung musik mingguan. Anak itu kembali pada setting-an boyband-nya.
"Aku cuma mampir," kata Baekho.
Baekhyun hampir saja berkomentar, sesuatu seperti kau bersikap seperti tempat ini milik bapakmu saja, tapi tidak jadi. Dia segera ingat Baekho bahkan kenal baik dengan pemiliknya.
"Dasar sok sibuk." Jadi hanya itu yang Baekhyun katakan. "Apa?" tanyanya lagi dengan dahi berkerut ketika Baekho tidak kunjung melakukan atau mengatakan apa-apa lagi selain berdiri di depannya. Mereka berdiri seperti dua patung tanpa fungsi di dekat konter.
"Mukamu kusut."
"Ap–apa?!" Baekhyun refleks meraba wajahnya. Punya kepentingan apa bocah ini mengomentari wajahnya tiba-tiba?
Beberapa detik lagi Baekho masih diam di tempat. Berdiri menatap Baekhyun.
"Hey, kalian ini sedang apa?" tegur seorang yang menempati meja kasir, jengah melihat dua orang yang sudah berkali-kali bertingkah seperti bocah di kafe.
Mendengar itu Baekhyun segera panik. Dia khawatir ini terhitung "bersikap tidak profesional".
"Ada apa, sih?"
Baekho menarik napas, lalu mengembuskannya. Bibirnya tertarik menjadi sebuah garis lurus.
"Baiklah. Sudah selesai. Aku pergi, ya!" Dia melambai pada pemuda di kasir, tapi tidak pada Baekhyun. Lalu ia berbalik hendak pergi.
"Woah, keanehannya jelas sudah mencapai titik maksimum." Baekhyun geleng-geleng masih dengan dahi berkerut heran, yang kemudian semakin berkerut ketika Baekho yang sudah separuh mendorong pintu untuk keluar malah kembali lagi. Dia berhenti di hadapan Baekhyun, lagi.
"Karena aku semakin sibuk, kau akan lebih sering kerja sendiri mulai sekarang. Jangan sampai sakit lagi." Telapak tangan besar Baekho mendarat di puncak kepala Baekhyun. Dia bicara seperti kakak yang memberi wejangan pada seorang adik. Dan sebelum Baekhyun sempat protes, dia sudah berlalu lagi.
Baekho lagi terhenti sebelum menaiki motornya yang ia parkir sembarang di samping pintu kafe. Sekali lagi dia mengembuskan napas seperti baru saja melakukan pekerjaan melelahkan.
"Ternyata sulit sekali kalau lama-lama tidak melihatnya. Kalau begini bagaimana aku bisa move on," keluhnya, lantas memakai helm dan menduduki jok.
Di dalam, Baekhyun menggeleng tak habis pikir. Kedatangan Baekho menjadi selingan aneh di tengah shift-nya hari ini. Walaupun masih ingin mengatai keanehan anak itu, Baekhyun menundanya untuk lain waktu. Dia cukup tahu saja kalau Baekho mungkin sedang banyak job dan tidak bisa bekerja di sini lagi. Suka-suka anak itu saja.
Sebuah pesan Baekhyun dapati muncul di jendela notifikasi saat sepintas mengecek layar ponselnya. Dari Junmyeon.
[Pemaparan hasil penelitianku dijadwalkan Rabu minggu depan. Berminat datang?]
Baekhyun membelalak. Junmyeon akan menghadapi Ujian Akhir-nya pekan depan.
[Selamat! Aku akan datang! Jam berapa?]
Junmyeon memberitahukan tempat dan waktunya. Baekhyun membalas dengan cepat kemudian memasukkan ponselnya kembali ke saku apron.
Bukan dia yang akan diuji, tapi Baekhyun refleks ikut deg-degan. Ini sama saja dengan menyaksikan simulasi dari apa yang akan dia sendiri hadapi nantinya.
Sisa shift Baekhyun jadi ditemani perut mulas. Rasanya dia ingin cepat-cepat pulang dan menengok kembali laporan penelitiannya sampai bisa langsung ikut mendaftar ujian tugas akhir malam ini juga—yang tentu saja tidak mungkin. Apa pun itu, terima kasih pada Junmyeon karena secara tidak langsung, pria itu sudah membakar kembali semangatnya.
Satu pesan baru dari Junmyeon baru Baekhyun buka setelah berkemas seusai pergantian shift dan keluar dari pintu belakang kafe.
[Aku tahu kau sudah pernah menjawab ini, tapi, kita benar masih berteman, kan?:) Maafkan aku, ya (ini yang terakhir)]
Maksud Junmyeon, ini akan jadi terakhir kalinya dia minta maaf karena hal yang sama. Sebelumnya Baekhyun memohon pada Junmyeon untuk tidak merasa perlu meminta maaf karena sudah diam-diam menyukainya—dan mengaku di waktu yang menurut Junmyeon sendiri kurang layak.
Baekhyun melipat bibir sampai terlihat cekungan manis samar yang dia miliki di pipinya.
Walaupun tidak tersurat jelas-jelas, Baekhyun tahu Junmyeon seorang yang baik dan tulus. Dia tidak merasa Junmyeon bersikap baik hanya karena suka padanya—itulah yang secara tidak langsung disampaikan Junmyeon pada Baekhyun melalui beberapa permintaan maafnya sejak kemarin-kemarin.
Awalnya, Baekhyun yang lebih dulu takut ajakan kencan Junmyeon waktu itu akan menciptakan jarak cukup lebar di antara mereka. Karena, kebanyakan kasus seperti ini tidak berakhir baik, kan?
Tapi mungkin yang ini pengecualian. Junmyeon yang malah harus menjadi penasihat cinta dadakan di hari pria itu mengakui perasaannya pada Baekhyun justru menghapus bersih ketakutan Baekhyun sebelumnya.
Yang tentu saja tanpa Baekhyun perlu tahu, itu dilakukan Junmyeon karena Baekhyun terlanjur selalu menjadi prioritasnya.
Baekhyun menekan opsi "Panggil" di samping nama Junmyeon di layar ponselnya. Nada panggil terdengar beberapa kali.
"Halo?"
"Kan sudah kubilang tidak perlu minta maaf lagi," kata Baekhyun langsung. Dengus tawa pelan membalas dari ujung satunya.
"Kan sudah kubilang itu yang terakhir,"balas Junmyeon, meniru nada bicara Baekhyun.
Baekhyun memutar bola mata. Itu tidak kedengaran tidak terlalu bisa dipercaya.
"Selamat atas jadwal ujianmu. Aku pasti akan segera menyusul." Baekhyun bersandar pada dinding di samping pintu keluar. Memutuskan menetap sebentar selama melakukan panggilan.
"Terima kasih. Dan ya, kau memang harus segera menyusul."
Junmyeon kemudian menggoda Baekhyun dengan mengungkit perpanjangan semester yang harus Baekhyun ambil kalau dia tidak segera mendaftarkan diri bersama penelitian yang sudah rampung, yang tentu saja dibalas keluh tak sudah-sudah dari Baekhyun. Tidak perlu diingatkan juga hal itu sudah menghantuinya hampir setiap detik. Dia masih ingin lulus tepat waktu walaupun sudah sambil mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
"Omong-omong, kau ingat hal yang pernah kita bahas untuk penelitianmu yang sebelumnya?"
"Ng? Yang mana?" Baekhyun menelengkan kepala.
"Saat kita membahas konsep dasar gender dan seksualitas. Faktor-faktor sampingannya."
"Oh! Kurasa aku ingat. Astaga, bagaimana kau bisa mengingatnya saat aku sendiri hampir sama sekali lupa? Tapi … yang benar, kau mau membahas itu sekarang?" Baekhyun separuh merengut. Bahunya turun karena ingatan masa-masa menyedihkan itu ikut terpanggil.
"Maaf, maaf," Junmyeon terkekeh, paham Baekhyun enggan mengingat-ingat penelitian yang menguras-pikiran-dan-tenaga-tapi-harus-berhenti-di-tengah-jalan itu. "Maksudku, saat itu kau mungkin membaca beberapa referensi tentang bagaimana lini masa kehidupan seseorang sangat memengaruhi diri individu itu sekarang."
Baekhyun mengangguk, membenarkan. Itu sebagian kecil yang pernah disinggung dalam tulisannya sebelum membahas kaitannya dengan bermasyarakat di latar belakang.
"Karena itu, kau bisa mencoba untuk memikirkan ulang beberapa hal yang pernah kau baca itu, dan membayangkan bagaimana jika hal yang sama sedang dialami oleh seseorang yang dekat. Seseorang yang mungkin … sedang kau sukai."
Saking nyambungnya perkataan Junmyeon dengan obrolan mereka tempo hari, Baekhyun tidak merasa seperti ada beberapa hari jarak di antara hari itu dan saat ini.
Dan Baekhyun sebenarnya bisa segera paham apa yang Junmyeon maksud dengan sangat mudah. Dia mengerti arah pembicaraannya.
Baekhyun membasahi bibir. Berdiam cukup lama.
Dia memang menjelaskan cukup banyak hal pada Junmyeon sebelumnya. Tentang pria yang mereka temui secara tidak sengaja dan bagaimana hubungan Baekhyun dengannya. Hal yang Baekhyun sebut sebagai bentuk "tanggung jawab", sekaligus ucapan terima kasih karena menyelamatkannya dari situasi yang membuatnya sangat tidak nyaman sekaligus marah waktu itu.
Tapi Baekhyun tidak menyangka Junmyeon masih akan membahasnya seolah ia juga punya keinginan agar Baekhyun segera menemukan penyelesaian.
Dia benar-benar tidak layak mendapatkan perhatian ini.
"Terima kasih, ya … sunbae." Baekhyun tersenyum. Meski tahu jawaban itu kelewat singkat untuk apa yang baru saja Junmyeon katakan, dia tidak menemukan kata-kata lain yang lebih tepat untuk mengekspresikan perasaannya.
Beberapa kalimat berbalas lagi, panggilan kemudian ditutup. Baekhyun berjalan pulang ke apartemen dengan pikiran yang lagi-lagi melayang ke orang yang sama.
.
.
Mungkin saja semesta memang terus memasang telinga untuk bisa mendengar isi pikiran manusia, lalu benar-benar menciptakan situasi terkondisi untuk itu.
Sebab, malam-malam setelah Baekhyun sudah mendapatkan istirahat singkatnya dan berbenah, pintu kamarnya diketuk. Tidak ada suara sapaan, hanya gemeresik singkat kemudian hening.
Sesuatu yang Baekhyun dapatkan tergantung di sisi luar gagang pintunyalah yang memberitahunya siapa yang mungkin baru saja mengetuk. Orang yang sama dengan yang tidak henti-hentinya mondar-mandir di dalam kepalanya.
'Kue yang manis untuk Baekhyun yang manis :)
Aku teringat padamu saat melihat ini di toko roti samping stasiun. Dimakan ya
- Chanyeol'
Itu isi tulisan di kertas kecil yang ditaruh di atas kotak karton berlapiskan paperbag yang Baekhyun temukan saat membuka pintu.
Baekhyun merasakan sesuatu menggelitik memenuhi rongga dadanya, yang kemudian disusul hangat yang naik ke kedua bongkah pipinya.
Apa-apaan orang ini?
Baekhyun ingin meyakinkan diri kalau belum tentu ini sungguhan Chanyeol, tapi dia mengenali cara dan tulisan ini. Seperti di waktu lalu, ketika pria itu sudah lebih dulu berangkat kerja saat Baekhyun—yang secara tidak tahu diri menumpang tidur malam sebelumnya—terbangun di kamarnya pagi-pagi.
Dia mengintip isi kotak yang memiliki bagian tembus pandang di penutupnya itu. Ada dua jenis kue yang sama-sama memiliki beberapa irisan stroberi di atasnya.
Bagian mana dari kue-kue ini yang mengingatkan pada dirinya? Sepertinya Baekhyun juga belum pernah bilang apa-apa tentang kesukaannya pada buah itu kepada Chanyeol.
Sambil mengabaikan sensasi aneh yang membuat perutnya tiba-tiba terasa geli, Baekhyun berusaha bertahan. Memangnya apa istimewanya sebuah bingkisan berisi kue?
Lagi pula dia harus waspada dengan makanan yang datang tiba-tiba entah dari siapa. Adanya tulisan tangan Chanyeol dan nama pria itu yang tersemat tidak menjamin benda ini benar-benar berasal darinya. Kalaupun benar ini dari Chanyeol, kenapa Baekhyun harus menerimanya?
Dia memasukkan kembali kertas kecil berisi pesan tadi, lalu pergi menyambangi pintu unit Chanyeol. Mengetuk tidak sabaran.
Mungkin pria ini pikir adalah ide bagus untuk memberinya hadiah beserta catatan yang sok manis begini, tapi Baekhyun tidak akan menerimanya begitu saja. Chanyeol perlu diberi tahu bahwa Baekhyun tidak bercanda tentang tidak mau berurusan dengannya lagi. Walau sekarang justru dia sendiri yang menginisiasi pertemuan untuk memprotes bingkisan tiba-tiba ini, Baekhyun menetapkan kalau ini yang terakhir kalinya. Dia akan menegaskan sekali lagi.
Begitu pintu dibuka, Baekhyun sudah akan mengoceh.
"Kau yang—"
Tangan yang terulur sembari menggenggam tali tas berisi kotak kue berhenti di udara. Bersamaan dengan si pemuda yang juga terhenti kata-katanya.
"Kau yang…" Baekhyun blank. Apa yang hendak dia katakan sirna sudah dari dalam kepala. Dan itu cuma gara-gara penampakan seorang Park Chanyeol yang agak—terlalu—berbeda.
Tiga hari tidak kelihatan, apa yang pria ini lakukan pada rambutnya yang biasa?
"Untukmu." Chanyeol tersenyum tipis, mendorong kembali uluran tangan Baekhyun ke arah pemuda itu.
Alih-alih melaksanakan niat awalnya yang kini buyar sudah, sekarang secara tidak sadar Baekhyun menurut saja menerima kembali kantong kertas yang masih dia genggam talinya itu. Darah seperti naik semua ke kedua pipinya sampai terasa agak panas.
Sepertinya karena terbiasa melihat rambut Chanyeol yang lebat tanpa model macam-macam, Baekhyun merasa sedikit asing begitu pria itu mendapatkan penataan yang berbeda. Walaupun masih sama hitamnya, sekeliling bagian bawah rambut pria itu dicukur sangat pendek, poninya yang jatuh menutupi dahi pun lebih pendek dan tipis dari yang sebelumnya. Seperti saja pria ini baru saja keluar dari wajib militer.
"K–kau … tidak sedang berusaha meracuniku, kan?" Oh, mulutnya asal bunyi karena isi otak yang tiba-tiba kacau. Tapi benar, kan, itulah kecurigaan yang seharusnya dia taruh pada siapa pun yang diam-diam meletakkan makanan di depan pintu.
Dua mata bulat Chanyeol yang sudah besar semakin membesar. "Tidak mungkin, kan?" Pertanyaan Baekhyun agaknya terlalu mengejutkan baginya karena sungguh, mana mungkin dia berpikir sampai ke situ?
"Yang benar?!" ketus Baekhyun. Akibat salah tingkah entah gara-gara apa, sekarang Baekhyun jadi ingin marah-marah.
"Tentu saja!" sahut Chanyeol membela diri.
Wajah Baekhyun semakin jelas tampak merengut.
"J–jangan taruh makanan diam-diam seperti itu lagi! Bagaimana kalau lain kali ada orang jahat yang benar-benar mau meracuniku dengan memakai namamu dan aku langsung percaya?!" Baekhyun bicara semakin asal, nadanya tinggi seperti orang ngambek yang mengomel.
Chanyeol mengakui dalam hati kalau hal itu masuk akal. Dia tidak berpikir sampai ke sana tadi. Sejujurnya itu karena dia belum mendapat ide untuk memulai 'pembuktian' yang sebelumnya pernah ia sebut dengan begitu yakinnya di hadapan Baekhyun. Sehingga satu saja ide terlintas tidak dia lanjutkan dengan pertimbangan matang.
"Ugh, maaf. Kau benar."
Wah, Baekhyun jadi merasa jahat karena Chanyeol yang selalu cepat mengalah seperti ini.
"Kau benar mau meracuniku, ya?!" tuduh Baekhyun lagi, kali ini juga karena refleks mengeluarkan apa pun yang terlintas di kepalanya tanpa tersaring dengan baik walaupun itu hal ngawur sekalipun.
"Tidak! Astaga. Atau kau mau kita makan itu sama-sama supaya kau tidak curiga lagi?"
Pertanyaan Chanyeol ternyata ampuh membuat Baekhyun mingkem.
Hidung Baekhyun kembang-kempis membayangkan harus berhadapan lebih lama dengan Chanyeol yang rasanya sudah lama sekali tidak dia temui, untuk makan kue bersama.
"Aish!" Baekhyun mengumpat gusar, lantas malah mengentak sebal kedua kaki untuk kembali ke kamarnya bersama kantong yang tadinya dia protes ke si pemberi. Dia ingin cepat-cepat menghindar dari Chanyeol yang menyebalkan.
Chanyeol masih berdiam di tempatnya bahkan setelah Baekhyun menghilang di balik pintu kamarnya sendiri. Dia menarik napas panjang, seolah sudah bermenit-menit lamanya dia tidak bisa bernapas dengan baik.
Dia teringat pada Baekhyun saat melihat buah stroberi berlapis sirup gula di atas kue-kue cantik di etalase toko kecil dekat stasiun kereta bawah tanah yang tiba-tiba saja mencuri perhatiannya. Tapi tak disangka baru saja dia benar-benar bisa menyaksikannya—wajah Baekhyun yang manis dan memerah menyerupai buah stroberi. Merah sekali sementara rautnya merengut. Chanyeol sampai bingung harus tertawa atau menyentuh pipi merah itu dan mencubitnya. Ujung-ujungnya, dia cuma bisa termangu seperti ini karena terlalu takjub.
Dan, rasanya dia sangat merindukan pemuda itu seperti sudah bertahun-tahun tidak ketemu.
.
.
Baekhyun menutup pintu. Berderap ke arah kasur dan meletakkan—separuh mengempas tanpa perasaan—kantong kertas di tangannya.
"Tidak akan kumakan."
Dia masih merengut saat menyambangi meja kecil keramat tempatnya berjuang setiap malam untuk Tugas Akhir-nya. Layar berisi tulisan-tulisan yang terformat rapi menjadi pusat perhatiannya selama beberapa menit—atau begitulah yang Baekhyun kira. Sebab selama itu pula aroma manis dan segar dari sesuatu yang teronggok di atas kasur, tepat di belakang kepalanya, terus mondar-mandir mampir ke indra penciumannya dan membuyarkan konsentrasi walaupun jelas-jelas masih dalam kondisi tertutup.
Maka hanya jarak beberapa menit, sambil masih mendesis kesal, kini Baekhyun malah sudah duduk di hadapan dua buah kue menggugah selera yang siap disantap. Laptop yang masih terbuka begitu saja terpinggirkan.
Kertas kecil berwarna kuning yang menyertai bingkisan kue-kue itu diletakkan persis di sampingnya. Gambar wajah tersenyum di sana seperti ikut menanti Baekhyun menyantap kudapan yang dia bawa bersamanya.
'Kue yang manis untuk Baekhyun yang manis :)
Aku teringat padamu saat melihat ini di toko roti samping stasiun. Dimakan ya
- Chanyeol'
"Wuaaarrghh," raung Baekhyun. Rasanya dia ingin meledak dan mengaum seperti singa. "Kue yang manis untuk Baekhyun yang manis, katanya?" Baekhyun berdecih dan memutar bola mata, tapi tangan kanannya sudah siap dengan sebuah sendok.
Cuma gara-gara kue menggugah selera yang datang tiba-tiba, lalu bertemu Chanyeol setelah lebih dari 3 hari lamanya, seseorang harus menjelaskan pada Baekhyun kenapa itu semua membuatnya tiba-tiba merasa tidak karuan.
Sekali lagi Baekhyun melirik tulisan yang menghuni permukaan kertas kecil di samping tangannya.
Dia menggeleng heboh, lantas menciduk asal satu yang berupa pai dengan vla custard dan mahkota tiga bilah buah stroberi. Melahapnya barbar.
Baru dua kunyahan, Baekhyun segera melambatkan gerak rahangnya. Merasakan kombinasi rasa lapisan luar yang gurih, vla yang manis dan masih sedikit dingin, serta stroberi yang juga manis sekaligus asam.
Dengan muka yang tidak mendukung karena dia justru kelihatan mau menangis, Baekhyun bergumam, "Enak sekali."
Jadi setelah sempat bilang tidak akan memakannya, Baekhyun menghabiskan dua kue itu dalam waktu singkat.
Sendok masih Baekhyun emut di mulut. Lagi memuji rasa kue-kue itu dalam hati masih dengan raut ingin menangis. Dia melenguh. "Dasar menyebalkan…"
Tidak jelas apa atau siapa yang dia sebut menyebalkan. Yang jelas cuma keinginannya untuk makan kue-kue ini lagi kapan-kapan, dan dilema tak terdefinisi yang terus berputar-putar di dalam benak.
Setelah merapikan sisa-sisa kudapan malamnya, Baekhyun sibuk mencari nama toko yang tertera di kantong kemasan kue tadi melalui peramban. Begitu mendapatkannya, baru dia bisa sedikit tenang dan kembali pada rutinitas malamnya berkutat dengan laporan penelitian.
"Dasar Chanyeol menyebalkan."
.
oOo
.
Dan mungkin menjadi kesalahan besar kalau Baekhyun mengira hanya kejadian yang membuatnya bingung harus menghardik atau berterima kasih atas kue yang enak malam itu yang akan membuatnya sebal setengah mati—sebab ini semua mengacaukan rencana awalnya untuk mengambil jarak, yang sekarang malah jadi semakin sulit dilakukan.
Keesokannya di kisaran jam yang hampir sama, kejadian menyebalkan part 2. Baekhyun menerima ketukan lagi di pintu kamar. Kali ini si pengetuk tidak bermain petak umpet darinya.
"Aku sedang belajar memasak dengan lebih baik. Kau mau mencobanya untukku?" tanya Chanyeol, sambil membawa sepiring kimbab yang tampilannya cukup meyakinkan.
Baekhyun mendesah lelah ke arah lantai. Tuhan, tolong aku, mohonnya dalam hati.
Harus bertemu lagi dengan Chanyeol dan penampilan barunya yang entah bagaimana sangat mengganggu kerja jantung Baekhyun dan lagi-lagi disodori makanan saat dia memang belum makan malam, Baekhyun sampai kebingungan harus bereaksi bagaimana.
Dia seharusnya menolak dalam rangka konsisten terhadap tekadnya beberapa waktu lalu, tapi kini tenaganya untuk menyerukan penolakan macam-macam rasanya menguap tanpa jejak walaupun dia ingin. Dia bahkan yakin Chanyeol sudah lupa—atau mengabaikan dengan sengaja, terserah—kalau dia sudah pernah meminta agar mereka tidak bertemu dulu untuk sementara waktu.
Seharusnya dia tidak usah membukakan pintu tadi.
Sebelum Baekhyun bersuara untuk mengeluarkan usaha terakhirnya mengingatkan Chanyeol pada keadaan mereka sekarang, pria itu sudah lebih dulu menarik tangannya untuk menerima piring itu. Dan begitu saja dia ngacir kembali ke unit sebelah.
Baekhyun berderap menyusul begitu sadar. Dia hampir saja memasukkan pin keamanan milik Chanyeol untuk masuk dan mengembalikan piring di tangannya langsung ke meja dapur, tapi ia segera menahan diri. Ingat, dia sedang berusaha membatasi diri.
Karena itu Baekhyun memilih cara normal; mengetuk pintu. Dengan keras. Lebih mirip seperti memukuli.
Tidak dijawab.
"Yah Park Chanyeool!" panggil Baekhyun gusar.
"Aku membuat terlalu banyak! Yang ini aku yakin sudah lebih baik dan bisa dimakan!" Chanyeol menjawab dari balik daun pintu, berteriak agar suaranya bisa kedengaran cukup jelas dari luar.
"Akan kubuang kalau tidak kau ambil kembali!"
"Buang saja kalau begitu!"
"Aarrgh!"
Karena mencak-mencak di tempat tidak juga membawa hasil dan Baekhyun masih tidak mau menggunakan amunisi terakhir berupa langsung menerobos masuk ke kamar Chanyeol, ia akhirnya kembali ke kamarnya sendiri. Membanting pintu dan meletakkan dengan kasar piring melamin berisi dua baris potongan kimbab dari Chanyeol di meja dapur
"Benar-benar akan kubuang setelah ini! Kau dengar itu?!" tunjuknya pada gulungan-gulungan nasi tak bersalah itu.
Baekhyun kemudian menarik jaketnya, lalu pergi keluar untuk melaksanakan rencana awal sebelum datang distraksi bernama Park Chanyeol; pergi mencari pengganjal perut.
Lima belas menit, dia kembali dengan dua buah sosis siap makan dan sekotak susu, juga nasi kepal untuk besok pagi. Dan, setelah menghabiskan makan malam sederhananya sambil berusaha fokus pada layar peranti elektronik berisi baris-baris kalimat laporan penelitiannya, lagi-lagi Baekhyun akhirnya kalah dari dorongan intrusifnya.
Piring berisi potongan kimbab tahu-tahu sudah berpindah ke meja lipat kecil milik Baekhyun. Kali ini karena Baekhyun merasa sayang membuang-buang makanan.
Terkutuklah jiwa manusia dengan hari-hari serba pas-pasan ini.
"Aku benci Park Chanyeol," keluhnya, lantas mulai menyuap sebongkah potongan nasi gulung yang secara ajaib terasa enak itu.
.
oOo
.
Chanyeol rupanya tidak berhenti di sana. Esoknya lagi….
Tok tok tok.
Kali ini Baekhyun benar-benar tidak akan membukakan pintu.
Tok tok.
Baekhyun menulikan telinga.
"W–who–whoa! P–panas! Panas! Aaah tangankuu!"
Panik, Baekhyun bergegas menuju pintu dan membukanya.
"Apa—yaahh!"
Itu suara Baekhyun. Chanyeol kabur dengan gesit segera setelah berhasil memindahkan mangkuk di tangannya ke tangan Baekhyun. Tidak panas, sekadar hangat permukaan luarnya.
Iya, yang tadi itu tipuan. Chanyeol sudah melatihnya di kamar tadi.
"Chanyeol kembalii!"
Karena tidak digubris saat dia menyusul dan mengetuk-ngetuk pintu, kali ini Baekhyun masa bodoh dengan perkara 'membatasi diri'. Dimasukkannya saja pin pintu itu.
Tapi begitu terbuka, Chanyeol menjulang tepat di depan celah yang terbentuk. Menghalangi Baekhyun masuk. Berdiri menahan pintu seperti sebuah gapura besar.
"Setelah masuk tidak boleh keluar lagi sebelum menghabiskan isi mangkuk," kata Chanyeol cepat, membuat Baekhyun segera bersungut-sungut. Kedua mata besar itu mengedip tanpa menyiratkan keraguan sedikit pun, langsung kepada sang lawan bicara.
"Jangan konyol!"
"Itu peraturannya." Chanyeol memasang tampang paling yakin yang dia bisa, sementara Baekhyun semakin tidak terima.
Kenapa Chanyeol jadi semakin menyebalkan begini, sih?
"Peraturan macam apa itu?!" protes Baekhyun.
"Peraturanku." Chanyeol mengangguk penuh keyakinan.
"Sejak kapan kau suka membuat aturan di saat kau bahkan pernah membiarkanku keluar-masuk tempat ini sesukaku?"
"Sejak sekarang."
"Dasar konyol!"
"Kau benar."
"Hhaaaaish!" Baekhyun berteriak frustasi. Dia kembali ke kamarnya sembari mengentak. Tak beda dari kemarin. Kenapa pula otaknya seperti tidak bisa diajak berpikir untuk membalas perkataan-perkataan Chanyeol? Apa kabar dengan rencananya membuang lalu melupakan perasaannya untuk pria itu?
.
oOo
.
"Layanan pesan antar! Pesanan atas nama Baekhyun!"
Baekhyun menatap daun pintu kamarnya heran luar biasa. Sekarang apa?
"Saya tidak pesan ini…" kata Baekhyun, begitu dia sudah berhadapan dengan kurir yang datang.
"Atas nama Baekhyun?"
"...Iya."
"Saya hanya bertugas mengantar. Pesanan ini sudah dibayar."
Baekhyun pasrah menerima satu mangkuk beserta kemasan kecil lain berisi banchan yang menyertai dari layanan pesan antar kedai jjajangmyeon itu.
Menutup pintu kamar lalu mengetuk pintu sebelah dengan anarkis, ketukan Baekhyun dibalas suara Chanyeol dari dalam.
"Peraturannya masih sama!"
Baekhyun mendongak. Mengeluarkan suara mirip sapi beserdawa sambil membuang napas tak habis pikir. Pria ini benar-benar….
"Dasar Chanyeol jelek!"
.
oOo
.
Hari Minggu saat ia baru saja menyelesaikan anak tangga terakhir sebelum menuju kamar sepulang dari kafe, Baekhyun bahkan menangkap basah Chanyeol yang baru saja menggantung sesuatu lagi di pintunya. Mata mereka bertemu dan Chanyeol terlonjak kaget.
"Yah!" Dia mengejar Chanyeol.
Blam.
Baekhyun kalah cepat. Chanyeol sudah lebih dulu lenyap ke dalam unitnya sendiri.
Hampir saja Baekhyun menyusul Chanyeol. Tapi sebelum semua kombinasi angka pin pria itu dia selesaikan, dia urung.
"Oh, sudahlah."
Malam ini Baekhyun pasrah dan tidak berusaha menang pada permainan kucing–kucingan ini.
.
oOo
.
Esoknya lagi, ketika Baekhyun sudah menyiapkan strategi untuk menyiasati apa pun yang akan Chanyeol lakukan malam ini, ketukan di pintu kamar Baekhyun tidak kunjung terdengar. Tidak ada apa-apa dan siapa-siapa malam ini. Tidak ada yang tergantung di gagang pintu, tidak ada si pelaku yang melakukan kebohongan demi dibukakan pintu, tidak ada kurir nyasar yang membawakan pesanan ke depan pintu.
Baekhyun bingung. Oh, atau, haruskah dia bersyukur?
Tanpa mau dia akui, bukan hal kedua yang sebenarnya dia rasakan.
.
oOo
.
Ketukan mendadak di pintu unitnya justru Baekhyun dapatkan di pagi menuju siang hari berikutnya.
Seseorang yang justru tidak pernah sekali pun Baekhyun duga akan dia terima sebagai tamu berdiri di depan pintu begitu dia membukanya.
"Oh! Syukurlah kau ada di rumah!"
Ji Soojin, tersenyum lega mendapati Baekhyun muncul dari balik pintunya.
.
tbc
.
Special thanks to ChanBaek09, babybhyun6, candyaual
Sampe ketemu lagi di beberapa chapter terakhir setelah ini~
