DISCLAIMER: Spy x Family © Tatsuya Endo. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.
Chapter Summary: Empat tahun kemudian, saat Loid menyuruh Anya untuk memilih barang apa saja yang akan didonasikannya dalam acara amal di sekolah besok, Sigmund dan Barbara Authen mengunjungi apartemen mereka. Saat Sigmund menemukan sebuah boneka unik dan papan nama lama Anya untuk pintu kamarnya, sang pria tua dan istrinya tiba-tiba menyadari sesuatu tentang Anya...
Authenticating the Forgers
.
Chapter 2 – Anna Authen
Empat tahun kemudian...
"Anya, kamu bisa kan, pilih-pilih barang di kamarmu yang mau kamu donasikan besok di Acara Amal Sekolah?" tanya Loid saat ia sedang membaca koran di ruang santai. "Pastikan semua barang itu sudah tidak kamu perlukan lagi, tapi masih layak dipakai untuk yang menerimanya."
"Aku bisa, Ayah," balas Anya begitu ia selesai berganti pakaian di kamarnya. "Ini kan hari Sabtu, jadi aku punya cukup waktu untuk mengecek semuanya disini."
"Harus bisa dibedakan ya, yang mana yang masih kauperlukan dan mana yang tidak." Loid memperingatkan, "Keluarkan saja semua pakaian lamamu dari lemari dan semua mainan yang sudah tidak kaugunakan, jadi kamarmu tidak kepenuhan, tapi pastikan semuanya masih dalam keadaan bagus, ya?"
"Termasuk yang ini?" tanya sang gadis berambut merah muda sambil berjalan keluar dari kamarnya, memperlihatkan sebuah gaun hitam kecil yang dikenakannya di pesta akhir semester pertamanya empat tahun lalu. "Yang ini boleh aku simpan kan? Harganya kan mahal sekali."
"Ah, gaun seharga lima ribu dalc itu..." Pria itu menghela napas, kembali memperhatikan halaman koran dihadapannya sambil menambahkan, "Donasikan saja, Anya. Jelas-jelas gaun itu sudah tidak cukup lagi buatmu. Sekarang kan kamu sudah kelas lima. Ayah rasa gaun itu cocok untuk didonasikan dalam sesi Lelang Tertutup."
"Tapi yang satu ini bisa jadi kenang-kenangan. Kenapa sih, nggak bisa disimpan aja demi nostalgia?" Anya cemberut. "Waktu itu kan aku memilihnya sendiri. Ini harta karunku."
"Ayah tahu, tapi apa gunanya kalau cuma disimpan tapi nggak bisa dipakai lagi? Kalau kamu donasikan di Lelang Tertutup, hasilnya akan lebih bermanfaat," ujar Loid. "Kalau cuma ditaruh di kamar, cuma akan jadi hiasan saja."
"Oh, ya sudah." Gadis itu menghela napas kemudian bergegas kembali ke kamarnya dan menutup pintunya.
Operasi Strix sudah berhasil dijalankan sembilan bulan yang lalu, sembilan bulan setelah Anya memperoleh Bintang Stellanya yang ke delapan dan menjadi seorang Kartika Cendekia dari ujian semester kedua kelas tiga. Meski begitu, bukan dia yang menjadi Kartika Cendekia pertama di angkatannya, melainkan Damian yang sudah lebih dulu mendapatkan gelar tersebut. Lebih tepatnya, sang putra kedua dari keluarga Desmond sudah menjadi Kartika Cendekia pertama di angkatannya sejak ujian tengah semester kedua di kelas dua.
Sembilan bulan yang lalu, Loid dan Anya menghadiri Acara Ramah-Tamah kedua mereka, tepat setelah ujian tengah semester kedua di kelas empat, dan dari acara tersebut, Agen Twilight berhasil mengumpulkan semua dokumen penting dari rencana perang yang disusun oleh Donovan Desmond, ayah Damian. Dengan dokumen tersebut, Donovan akhirnya ditahan, dan perdamaian diantara Ostania dan Westalis akhirnya berhasil terwujud. Meski begitu, Sylvia Sherwood, sang Handler, belum memberitahukan padanya lebih lanjut mengenai rencana 'pencabutan'nya dari keluarga Forger, jadi sampai sekarang, sampai wanita itu menyuruhnya datang ke markas WISE, dia masih berperan sebagai sosok ayah dalam keluarga Forger.
"Ngomong-ngomong, Ayah masih ingat kan, sama apa yang aku minta sebagai hadiah jadi Kartika Cendekia?" tanya Anya dari balik pintu kamarnya yang tertutup. "Kapan Ayah dan Bunda bisa menyiapkannya? Ini sudah satu setengah tahun lho."
"Anya, kamu minta sesuatu yang nggak akan mungkin kami berikan." Loid menghela napas. Pipinya sedikit memerah saat ia melipat korannya dan menaruhnya di atas meja. "Ayah dan Bunda nggak tidur bareng."
"Eh? Memangnya kalian harus tidur bareng supaya aku bisa punya adik?" tanya Anya polos. "Orang tuanya Jinan nggak tinggal serumah tapi bisa punya dua anak, bahkan sebelum ayahnya dipenjara..."
"Ya, itu kan beda, Anya. Pernikahan Ayah Bunda kan cuma..."
Tiba-tiba bel pintu berbunyi dan memotong perkataan Loid. Pria berambut pirang itu pun berjalan ke pintu depan untuk mengecek siapa yang datang, membuka pintunya.
"Oh, Tuan dan Nyonya Authen, senang bertemu dengan kalian," sapa Loid kepada tamunya, Sigmund Authen dan Barbara Authen. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Anya memberitahu kami tentang Acara Amal di Eden College, jadi kami ingin berpartisipasi," sahut Barbara. Dia menunjuk suaminya yang membawa setumpuk buku dengan kedua tangannya dan menambahkan, "Siggy mau mendonasikan beberapa buku miliknya dalam acara itu."
"Saya mengerti." Loid tersenyum. "Anya sedang di kamarnya sekarang, mempersiapkan semua yang akan didonasikannya dalam acara itu. Saya pikir, akan lebih baik kalau kalian memberikan buku-buku itu kepada Anya di kamarnya sekarang juga, jadi dia bisa membawanya bersama barang sumbangannya sendiri besok."
"Begitu ya? Kalau begitu, permisi," kata Sigmund. Pasangan tua itu pun memasuki unit apartemen itu, berjalan menuju ke satu-satunya kamar tidur yang pintunya dihiasi oleh sebuah papan nama berbentuk oval.
Barbara mengetuk pintu kamar itu dan bertanya, "Anya, kami boleh masuk ke kamarmu, kan? Kakek Siggy mau menyampaikan buku-buku yang dijanjikannya kepadamu."
"Tentu saja, Nenek Barb, masuk saja. Aku tidak menguncinya," balas Anya. Sigmund dan Barbara pun membuka pintu dan memasuki kamar itu.
"Anya, ini buku-buku yang kakek janjikan padamu," ujar Sigmund saat ia menaruh setumpuk buku tersebut di atas meja belajar Anya. "Mudah-mudahan ini bisa berguna."
"Oh, terima kasih banyak, Kakek Siggy." Anya tersenyum begitu melihat setumpuk buku tersebut di atas meja belajarnya. "Jangan khawatir. Aku jamin semua buku ini bisa berguna, terutama yang bisa didonasikan di Lelang Tertutup."
"Jadi, sedang apa kau sekarang, anak manis?" tanya Barbara. Matanya mengamati ke sekitar kamar. "Maksudku, kudengar dari Ayahmu, katanya kau sedang mempersiapkan barang-barang donasimu, tapi yang kulihat disini sekarang cuma setumpuk baju lamamu di kolong meja belajar dan semua mainanmu yang berserakan di sekeliling kamar."
"Aku bingung memilih mana yang harus kudonasikan, nek," aku Anya. "Ayah bilang donasikan saja yang sudah tidak aku perlukan lagi, tapi masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Meski begitu, ada beberapa barang yang masih ingin kusimpan sendiri, karena barang-barang tersebut memiliki kenangan."
"Kakek paham apa maksudmu." Sigmund mengangguk. "Terkadang, orang-orang bisa sangat emosional mengenai barang-barang disekitarnya."
"Hah, mainan yang mana yang perlu didonasikan ya?" gumam Anya sambil memperhatikan semua mainannya satu persatu. "Mainanku banyak sekali, ada boneka juga."
"Tentu saja, manis. Seorang gadis muda sepertimu pasti memiliki beberapa boneka yang imut." Barbara tersenyum. "Pasti ada diantara mereka yang menjadi favoritmu, kan? Kau perlu memisahkannya dari mainanmu yang lain, supaya tidak terbawa olehmu ke sekolah besok."
"Baik!" jawab Anya riang. Gadis itu pun mengambil tiga buah boneka miliknya dan memperlihatkannya kepada pasangan tua itu sebelum berkata, "Tiga boneka ini adalah favoritku, dan aku akan menyimpannya disini."
"Hmm, coba kakek lihat... Ada seekor penguin besar petarung dengan beberapa jahitan di tubuhnya, lalu ada seekor singa jantan kecil, dan seekor... tunggu sebentar. Boneka ini..." Tiba-tiba raut wajah Sigmund berubah saat ia melihat kearah sebuah boneka berwarna merah muda dan hijau yang unik namun terlihat tidak asing baginya. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya saat ia bertanya, "Siapa yang memberikan boneka ini padamu?"
"Aku nggak ingat, tapi Pak Bos Chimera sudah bersamaku sejak lama sekali," jawab Anya yang kemudian balik bertanya, "Memangnya kenapa, Kakek Siggy?"
"Barbara, kau melihatnya, kan?" tanpa memperhatikan pertanyaan Anya, Sigmund berbisik kepada istrinya dengan penuh harap, "Apakah dia?"
"Tapi, bagaimana bisa?"
"Kakek Siggy? Nenek Barb? Kalian kenapa sih?" tanya Anya tidak mengerti. "Kenapa kalian..."
"Maafkan kakek kalau pertanyaan ini terkesan lancang, tapi... apa sebenarnya, kau diadopsi?" Sigmund balik bertanya, "Apa kau pernah diculik dari suatu tempat saat umurmu masih dua tahun? Delapan... bukan, tujuh tahun yang lalu?"
"Kok kakek tahu?" bisik Anya, terkejut. "Kakek Siggy, a-apa kakek... s-salah satu dari orang-orang j-jahat itu?"
"Bukan, sayang, jangan khawatir tentang kami," jamin Barbara dengan senyumnya yang tulus. "Kami tidak tahu bagaimana kamu bisa jadi anak kelas lima sekarang, tapi... Kami bersyukur akhirnya dapat menemukanmu disini."
"Hah?"
"Kami masih ingat waktu mamamu, anak menantu kami, memberikan boneka lambang keluarganya ini kepadamu sebagai hadiah ulang tahunmu yang kedua, saat kita merayakannya di Covenia," jelas Sigmund. Air mata mulai terbentuk di kedua matanya saat ia menambahkan, "Kau cucu kami, Anna."
"Tapi namaku Anya, kek."
"Nenek mengerti. Kau memang tidak bisa menyebutkan namamu dengan benar saat itu, jadi kau tidak benar-benar mengingat nama aslimu." Barbara terkikik mengingat cucu kecilnya yang telah lama hilang.
"Eh, tapi... Aku ingat kalau orang-orang jahat itu menyimpan salah satu baju lamaku, dan ada namaku tertulis disana, tapi tulisannya bukan Anna, tapi Ania." Anya lalu mengeluarkan sebuah papan nama berbentuk oval dari dalam laci mejanya, identik dengan yang tergantung di sisi luar pintu kamarnya, kemudian menambahkan, "Itu sebabnya, dulu aku menulis namaku begini."
"Oh, itu salah Kakek, nak. Maaf," pinta Sigmund sebelum ia melanjutkan, "Saat itu, semua barangmu dipersonalisasi, tapi kebanyakan hanya menyediakan tempat yang sempit untuk menulis nama. Kakek ingin menulis ANNA, tapi yang tertulis malah ANIA. Meski begitu, 'I'nya bukan huruf 'I', melainkan hanya sebagai tanda kalau Kakek sebenarnya mau menulis dua huruf N di tengah-tengah."
"Jadi, apa kalian Kakek dan Nenek kandungku?" tanya Anya tidak yakin. "Bisakah kalian membuktikan kalau kalian berdua bukan orang jahat?"
"Amanda Caldwell, juga dikenal sebagai Amanda Authen setelah ia menikah dengan putra kami, Albert Authen. Dia ibu kandungmu, dan kau memanggilnya 'Mama'," jelas Sigmund. Manik zamrud Anya terbelalak saat sang Kakek menunjukkan jahitan bertuliskan kata 'Caldwell' yang tersembunyi di bagian ekor dari Boneka Chimera miliknya dan melanjutkan, "Salah satu penculik menembaknya dengan pistolnya, jadi Kakek rasa, kau pasti berpikir bahwa mamamu sudah meninggal, tapi untungnya, dia masih bisa selamat, walaupun... sejak saat itu dia mengalami koma."
"Jadi, Mama masih hidup?"
"Ya. Sayangnya, papamu sedang tidak di rumah saat insiden itu terjadi. Kami juga tidak ada disana, tapi Albert menyalahkan Sigmund atas penculikan itu." Barbara menghela napas. "Itu sebabnya dia pindah ke Berlint dan memasukkan mamamu ke sebuah Rumah Sakit disini."
"Mau bagaimana lagi? Salah satu rekananku, Simon Strauss, dia menawariku ide yang tidak baik untuk mengadakan eksperimen berdasarkan teoriku yang berbahaya, tapi aku menolaknya, jadi dia marah padaku dan menculikmu," aku Sigmund. "Maafkan Kakek, Anna. Wajar saja kalau papamu, Albert, menyalahkan Kakek atas apa yang terjadi padamu."
'Apa aku harus percaya Kakek Siggy dan Nenek Barb? Atau... Apa aku harus curiga?' pikir Anya sambil menggigit bibir bawahnya. 'Meski begitu, mereka baik sekali padaku. Kakek Siggy mengajariku, dan aku tidak mungkin jadi Kartika Cendekia tanpa bantuannya. Nenek Barb suka membuatkan kue kering untukku, setiap kali aku ke apartemen mereka untuk belajar. Nenek bahkan mengajari Bunda membuatkan beberapa kue enak... Apa yang harus kulakukan?'
Anya tiba-tiba teringat akan mimpinya empat tahun yang lalu, jadi ia bertanya, "Apa Mama kenal bundanya Jinan? Eh, maksudku, bundanya Damian? Dia Melinda Desmond, dan empat tahun yang lalu, aku bermimpi kalau dia mengunjungi kita bersama Jinan... maksudnya, Damian, beberapa hari sebelum orang-orang jahat itu menculikku."
"Oh, Melinda. Dia sahabat mamamu, dan nenek juga ingat kalau dia pernah datang berkunjung ke Covenia beberapa hari sebelum penculikan itu, dengan putra bungsunya yang imut." Barbara mengangguk, lalu teringat sesuatu. "Nenek mengerti sekarang. Putranya itu Damian kan? Teman sekelasmu?"
"Iya," sahut Anya.
"Kakek juga mengerti." Sigmund berpikir selama beberapa detik sebelum bertanya, "Jadi, bagaimana denganmu? Apa yang dilakukan Simon Strauss dan orang-orangnya itu kepadamu, setelah mereka menculikmu? Apa mereka menjadikanmu salah satu subjek percobaan mereka?"
"Ya... Mereka bahkan hanya memanggilku dengan 'Subjek Nomor 007'," ujar Anya pelan. "Meski begitu, mereka tanpa sengaja memberiku kemampuan spesial, walaupun sebenarnya mereka hanya ingin memperbesar tingkat kecerdasanku supaya menjadi super jenius."
"Kemampuan spesial?" tanya Barbara. "Apa kami boleh mengetahuinya?"
"Ya, aku bisa membaca pikiran," aku Anya, "Meski begitu, karena mereka hanya ingin meningkatkan kecerdasanku, mereka terus memaksaku belajar, katanya demi perdamaian dunia, makanya... awalnya aku nggak suka belajar."
"Kakek paham. Itu juga sebabnya kau kesulitan belajar sebelum kakek pindah kesini dan menolongmu, cucuku." Pria tua itu tiba-tiba menyadari sesuatu. "Apa itu artinya, saat kita pertama bertemu di taman, kauterus membaca pikiran kakek untuk mengetahui gumamanku?"
"Ya, aku membaca pikiran Kakek. Meski begitu, ada beberapa kata yang tidak kumengerti, jadi..."
"Kakek tahu. Kau tahu kan, saat kakek membelikanmu waffle, tiba-tiba kakek teringat akan 'cucu kecil kakek yang menggemaskan'..." Sigmund tersenyum sebelum menambahkan, "Sekarang kakek tahu kalau itu karena kau adalah dia, Anna. Kakek pikir, kalau kamu nggak diculik, kamu pasti..."
"Saat itu, Kakek berpikir kalau aku juga menggemaskan seperti cucu Kakek. Maksudnya, kalau dia nggak diculik, dia pasti sebaya denganku." Anya terkikik. "Tapi sekarang Kakek tahu kalau aku adalah dia. Aku cucu Kakek."
"Ya, itu benar." Sigmund menghela napas. "Jadi, bisa kaujelaskan bagaimana Ayahmu mengadopsimu? Kelihatannya, Bundamu tidak tahu kalau Ayahmu mengadopsimu. Mereka bahkan berpikir kalau kau setahun lebih tua dari umurmu yang sebenarnya. Ada apa?"
"Umm, ya... kalau aku jelasin, kapan-kapan Kakek dan Nenek bisa bawa aku ke Rumah Sakit? Aku mau banget ketemu Mama," pinta Anya. "Dan juga, apa yang mau kujelasin harusnya masih rahasia. Ayah belum tahu kalau aku sudah tahu rahasianya, karena aku mengetahuinya dengan kemampuan spesialku, jadi... Kakek dan Nenek juga bisa ikut menjaga rahasia ini, kan?"
"Tentu saja, sayang, kami bisa dipercaya." Barbara meyakinkan cucunya. "Rahasiamu aman di tangan kami."
.
Sementara itu, di luar apartemen...
Yor dan Bond baru saja memasuki gedung apartemen mereka saat seseorang berlari melewati mereka, seorang pria berambut pirang dengan manik zamrudnya, yang kemungkinan berumur sekitar 30 tahun.
'Siapa pria itu? Aku belum pernah melihatnya disini sebelumnya...' Yor lalu mengalihkan perhatiannya kepada seekor anjing putih disebelahnya dan berkata, "Ayo kita pulang, Bond."
"Borf!" sahut Bond saat ia berjalan disebelah sosok Bunda dalam keluarga Forger tersebut.
Begitu mereka sampai di depan pintu apartemen keluarga Forger, Yor menyadari bahwa pria yang berlari tadi sekarang sedang mengetuk pintu apartemen keluarga Authen berkali-kali. Wajahnya terlihat khawatir saat ia berkata dengan kencang, "Ayah! Ibu! Baik, sekarang aku sadar kalau kalian nggak pantas disalahkan mengenai putriku, tapi kita harus ke Rumah Sakit sekarang. Amanda..."
"Umm, permisi, apa anda putranya Tuan Sigmund dan Nyonya Barbara?" tanya Yor. "Putri saya meminta partisipasi Tuan Sigmund dalam Acara Amal di sekolahnya besok, dan beliau berjanji padanya untuk membawakan beberapa bukunya ke apartemen kami hari ini, jadi, mungkin mereka sedang bersama keluarga saya sekarang."
"Oh? Ah, tapi saya tidak mau merepotkan anda, Nyonya..."
"Saya Yor Forger, tetangga mereka, dan ini anjing kami, Bond." Yor memperkenalkan dirinya sendiri dan Bond. Seolah ingin menyapa pria itu, Bond menggonggong, "Borf!"
"Ya, senang bertemu dengan anda. Saya Albert Authen, putra mereka, tapi saya rasa, akan lebih baik kalau saya menunggu mereka disini sampai mereka selesai menyerahkan buku-buku itu."
"Anda datang kemari karena ada urusan penting, kan? Kalau begitu, sebaiknya anda menemui mereka secepatnya, dan saya tidak merasa direpotkan kalau memang anda harus bertemu dengan mereka di apartemen kami." Yor lalu membuka pintu. "Mari pak, ikuti saya."
Wanita berambut hitam itu berjalan memasuki apartemennya dan menyapa suaminya, yang masih duduk di ruang santai, "Aku pulang, Loid."
"Selamat datang, Yor," sahut Loid, yang kemudian menyadari bahwa ada orang lain yang ikut masuk ke apartemen mereka bersama istri dan anjingnya, jadi ia bertanya, "Apa kita kedatangan tamu hari ini?"
Albert mengenali Loid, karena istrinya dirawat di Rumah Sakit Umum Berlint, jadi pria itu menyapanya, "Oh, hai, Dokter Forger. Saya Albert Authen, dan istri anda memberitahu saya bahwa orang tua saya mungkin berada disini sekarang, jadi saya ingin menjemput mereka dari sini ke Rumah Sakit, karena... anda tahu sendiri keadaan istri saya..."
"Ah, sekarang saya ingat kalau istri anda salah satu pasien Dokter Bernard, kan?" Loid menyadari apa yang terjadi. "Bagaimana istri anda? Apa istri anda sudah terbangun dari komanya?"
'Albert Authen, putra tunggal dari Sigmund Authen dan Barbara Authen,' catat Twilight dalam hati. 'Tidak seperti ayahnya, dia tidak tertarik menjadi seorang ilmuwan, dan memutuskan untuk memulai bisnis pembuatan perlengkapan olahraga, peralatan seni rupa dan alat musik. Perusahaannya tumbuh dengan pesat dalam tujuh tahun terakhir, menjadikannya sebagai salah satu orang yang paling dihormati di negara ini.'
"Belum, tapi sejak pagi tadi, istri saya mengigau memanggil orang tua saya, dan Dokter Bernard memberitahu saya bahwa kondisinya memburuk, jadi..."
"Kita ke Rumah Sakit sekarang!" Tanpa diduga, Anya membuka pintu kamarnya dengan kencang dan memotong perkataan Albert.
"Anya?" tanya Loid dan Yor secara bersamaan. Loid kemudian berdehem sebelum menambahkan, "Kita nggak berhak ikut campur. Ini tentang keluarga Authen..."
"Yah, kurasa saatnya kita membicarakan semua yang baru saja kami ketahui," kata Sigmund saat Anya memperlihatkan Boneka Chimera miliknya, memeluknya dihadapan mereka, terutama dihadapan Albert.
"Lho, boneka itu kan..."
"Jadi, Albert, apa kita semua bisa pergi ke Rumah Sakit?" tanya Sigmund. "Kita akan pergi kesana dengan limo milikmu, kan?"
.
.
"Jadi, itu yang terjadi selama ini..."
Dalam sekejap, semua rahasia mereka terbongkar saat mereka semua berada di dalam mobil limousine Albert, yang membawa mereka dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Umum Berlint.
"Maafkan aku, Ayah, Bunda," pinta Anya. "Aku membohongi kalian, terutama Ayah, tentang umurku. Aku hanya... ingin keluar dari Panti yang nggak nyaman itu, jadi aku bisa memiliki orang tua yang keren seperti kalian."
"Jangan khawatir, Anya. Ayah mengerti." Loid menghela napas. "Sekarang masuk akal kenapa kamu kesulitan belajar di sekolah sebelum Kakek Siggy datang."
"Meski begitu, sekarang Bunda hanya ingin mencari orang-orang jahat itu dan membunuh mereka," kata Yor dingin. "Beraninya mereka melakukan hal itu terhadap anak kecil sepertimu, Anya."
Keduanya sama-sama berniat mencari tahu apakah Simon Strauss dan organisasi misteriusnya masih ada atau tidak, dan mereka akan membicarakannya dengan bos mereka masing-masing.
"Y-Ya, seorang mata-mata tak dikenal menolongku keluar dari tempat persembunyian mereka yang terakhir dan mengebom gedung itu, tapi aku nggak yakin kalau ada yang selamat dari mereka. Habisnya, mereka pindah-pindah terus." Anya mengerutkan keningnya, tapi kemudian menyadari sesuatu. "Tunggu sebentar. Ayah dan Bunda nggak mau buang aku setelah tahu semuanya? Maksudku, empat keluarga itu langsung mengembalikanku ke Panti begitu mereka mengetahuinya."
"Kenapa Ayah harus melakukannya? Anya, kamu nggak salah apa-apa," Loid mencoba meyakinkan Anya. "Justru sebenarnya, aku juga berbohong kepada pihak militer tentang umurku dan namaku, jadi aku bisa bergabung dalam perang terakhir. Saat itulah aku bertemu kembali dengan teman-teman di masa kecilku sebelum mereka semua tewas dan aku direkrut oleh WISE."
"Anya, kamu tahu kan, kalau Bunda sayang banget sama kamu? Bunda nggak mungkin buang kamu, sampai kapanpun," tambah Yor. "Kamu akan selalu jadi mentarinya Bunda, walaupun kamu bukan putri kandung Bunda."
"Bagaimanapun, kurasa aku harus berterima kasih kepada kalian berdua karena telah mengasuh putriku selama ini, maksudku, selama empat setengah tahun ini," kata Albert.
"Tidak, itu hanya karena misiku, sih." Loid tersenyum pahit. "Sejujurnya, aku sering memikirkan tentang apa yang akan kulakukan begitu bosku memberiku instruksi lebih lanjut tentang pencabutanku, karena misiku sudah selesai sekarang. Aku bertanya-tanya, jika aku harus mengembalikan Anya ke Panti Asuhan atau membiarkan Yor mengasuhnya setelah aku memalsukan kematianku sendiri..."
"Meski begitu, mau tidak mau kau menyayanginya seperti putrimu sendiri, kan?" tebak Sigmund. "Kau benar-benar peduli padanya, dan kau tak yakin bisa meninggalkannya."
"Ya, begitulah... Kurasa bisa dibilang aku dikompromikan." Loid menghela napas. "Aku bahkan berharap supaya bosku tidak akan menyuruhku untuk meninggalkan keluargaku sekarang."
"Tak disangka kau bisa berkata begitu, Agen terbaik dari WISE, Twilight." Yor tersenyum. "Tak bisa kupercaya bahwa selama ini, aku telah menikah dengan seorang mata-mata."
"Aku juga tak percaya kalau selama ini, aku telah menikah dengan sang legenda, Thorn Princess, dari Garden, dan itu karena pernikahan kita palsu, Yor." Loid membalas senyuman itu sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Anya dan menambahkan, "dan itu juga sebabnya kami tidak bisa memberikan apa yang kauinginkan sebagai hadiahmu, Anya."
"Hadiah apa?" tanya Albert.
"Begini, pa, aku kan sudah satu setengah tahun ini jadi Kartika Cendekia, dan seperti biasa, Ayah dan Bunda tanya apa yang aku mau sebagai hadiahnya, jadi aku minta seorang adik dari mereka, tapi katanya mereka nggak bisa."
"Papa mengerti." Albert menghela napas.
Barbara terkikik. "Anya, yakinkan saja mereka untuk menikah betulan. Dengan begitu, mereka bisa memberimu adik sebanyak yang kauinginkan."
"Eh?!" Yor terkesiap dengan pipi yang memerah.
"Ya, kurasa... Aku akan mencoba meyakinkan bosku mengenai hal itu..." kata Loid tidak yakin. Pria itu berdehem sebelum tersenyum masam dan menambahkan, "Aku nggak yakin kalau dia akan membolehkannya dengan mudah, sih..."
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di Rumah Sakit Umum Berlint, tapi yang mengejutkan, mereka bertemu dengan dua orang yang tak terduga.
"Jinan, ngapain disini?" tanya Anya kepada Damian, yang datang kesana bersama ibunya, Melinda, walaupun dia sudah bisa menebak jawabannya hanya dari apa yang kakek dan neneknya katakan di kamarnya beberapa saat yang lalu.
"Ya, ada yang bilang pada ibuku, kalau salah satu sahabatnya dirawat disini, dan kondisinya memburuk, jadi kami menjenguknya," jawab Damian sebelum ia balik bertanya, "Kamu sendiri gimana? Maksudku, aku tahu ayahmu kerja disini, tapi kayaknya kamu nggak perlu menemani ayahmu kerja disini sekarang, jadi... Apa kau mau menjenguk seseorang?"
"Umm, kurasa begitu? Ah, kami mau menjenguk anak menantu Kakek Siggy dan Nenek Barb disini, dan..."
"Oh, ternyata mereka bersamamu, Albert?" Melinda mengenali pria yang datang bersama dengan keluarga Forger disana, kecuali Bond yang ditugaskan untuk menjaga apartemen mereka. Wanita itu pun juga mengenali pasangan tua yang berada disana. "Kalian juga disini, Tuan Sigmund dan Nyonya Barbara."
"Senang bertemu denganmu disini, Melinda," sapa Barbara saat mereka berjalan bersama menuju ke ruang ICU.
"Ayah, Bunda, gimana nih?" bisik Anya kepada orang tua angkatnya. "Kita masih harus menutupi rahasia kita dari Jinan dan ibunya, jadi mereka nggak akan tahu soal misi Ayah, tapi aku mau banget ketemu Mama."
"Kamu bisik-bisik apaan, sih?" tanya Damian yang memperhatikan gerak-gerik Anya sejak tadi. Bocah itu meliriknya dengan tajam. "Terus, kenapa kamu gugup banget lihat aku disini?"
"Eh? Aku? Jadi Jinan pikir aku gugup gara-gara lihat Jinan disini?" Sang gadis berambut merah muda tertawa canggung sebelum menambahkan, "Nggak mungkin. Anya kan imut jadi nggak mungkin bisa gugup cuma gara-gara Jinan."
"Hah, masa?" Damian jelas tidak percaya. "Udah lama banget sejak terakhir kali kamu panggil namamu sendiri begitu. Mana upayamu supaya terlihat lebih dewasa setelah kamu jadi Kartika Cendekia, hah?"
"Umm, ah... Aku tiba-tiba lupa sebentar. Kamu tahu kan, kalau terkadang kebiasaan lama bisa muncul tiba-tiba..."
"Jujur aja, aku masih nggak percaya."
Anya berdehem. "Bagaimanapun, Tuan Dobel Kartika Cendekia*, kamu tahu kan, kalau aku berhak bisik-bisik sama siapapun yang aku mau, termasuk Ayah Bundaku, jadi jangan ganggu kami."
"Aku nggak gangguin kamu. Aku cuma ingin tahu."
"Kalau ada yang bisik-bisik sama orang lain selain kamu, artinya kamu nggak perlu tahu tentang hal yang dibisikin." Anya balas melirik Damian dengan tajam. "Hormati privasiku, Jinan."
"Anak-anak, tak bisakah kalian akur disini?" Melinda menghela napas. "Kita sedang berada di Rumah Sakit, bukan di sekolah kalian, jadi jangan berdebat disini. Kalau mau berdebat besok saja di Acara Amal."
Tiba-tiba, seorang perawat menghampiri Albert dan berkata, "Pak, anda harus menemui istri anda sekarang. Dia terus-terusan memanggil nama putri anda dan detak jantungnya terus melemah."
'Mama panggil aku? Aku harus kesana sekarang!' Refleks, Anya langsung berlari ke ruang ICU, yang berada tepat dihadapannya, memasukinya dan menutup pintunya sambil berteriak, "Mama!"
"Anna, tunggu! Aku juga harus menemuinya!" Albert mengikuti putri kandungnya.
"Nggak, tunggu sebentar! Barusan dia panggil orang di ruangan itu... mama? Maksudnya, dia bener-bener... anak yang muncul di mimpiku empat tahun yang lalu? Tapi kok paman itu panggil dia 'Anna'?" kata Damian pada dirinya sendiri saat ia memperhatikan Anya dan Albert berlari memasuki ruang ICU. Suaranya terdengar jelas oleh satu-satunya pria tua di koridor itu, Sigmund Authen.
"Damian, tadi kamu bilang, kamu bermimpi tentang anak menantu dan cucu kakek empat tahun yang lalu, kan? Tentang kunjunganmu ke rumah kami tujuh tahun yang lalu?" tanya Sigmund kepada Damian.
"Ah, kurasa begitu? Aku nggak benar-benar ingat dengan rinci, tapi rasanya, itu terjadi saat aku berumur tiga tahun. Sebelum kami datang kemari, ibu memberitahuku bahwa sahabatnya, anak menantu kakek, berambut pirang stroberi. Ibu juga memperlihatkan fotonya padaku, dan aku ingat kalau wanita itu seperti yang kulihat di mimpiku empat tahun lalu," sahut Damian dengan tidak yakin. "Sebenarnya, apa yang terjadi disini, Kakek Siggy?"
Empat tahun yang lalu, tepat setelah Anya mendapatkan Bintang Stella ketiganya dari ujian akhir semester pertama Bahasa Klasik dan memperbaiki nilainya dalam mata pelajaran yang lain, kecuali Matematika yang membuatnya mendapatkan Petir Tonitrus, semua teman sekelasnya di Graha Cecile penasaran bagaimana dia dapat melakukan hal itu dengan mudah, sedangkan nilainya pas-pasan di ujian akhir semester, tak terkecuali Damian, Emile, Ewen dan Becky. Jadi suatu hari, mereka berempat memutuskan untuk berkunjung ke apartemen keluarga Forger dan bertemu dengan pasutri tua Authen, dan sejak saat itu, anak-anak itu juga memanggil mereka 'Kakek Siggy' dan 'Nenek Barb'.
"Cucu kami, Anya, juga memimpikan hal yang sama denganmu, Damian. Kalian berdua berbagi mimpi." Barbara tersenyum. "Kelihatannya, hari ini hari yang sangat penting untuk kita semua."
"Hah?"
"Rasanya aku mengerti." Melinda membalas senyuman Barbara. "Inilah saatnya membongkar semuanya kepada semua orang, kan?"
.
.
.
"Papa, jangan salahkan Kakek Siggy soal yang terjadi padaku," pinta Anya kepada Albert saat mereka berada di ruang ICU, tepat setelah kondisi Amanda berangsur stabil. "Ya, aku mohon."
"Anna, Papa nggak mau menyalahkan Kakek, tapi teori bodohnya itu yang membuatmu diculik tujuh tahun yang lalu." Albert menghela napas. "Papa nggak bisa membayangkan kalau dia bisa buat teori sebodoh itu. Kok bisa dia beranggapan kalau pembedahan dan eksperimen pada otak dapat membuat otak tersebut menjadi sangat kuat? Justru kedengarannya mengerikan untuk Papa!"
"Tapi Papa, Kakek Siggy sendiri sadar kalau teorinya berbahaya. Dia nggak pernah setuju dengan rencana eksperimen itu."
"Anna, kamu nggak ngerti. Selama perang terakhir, seseorang dari pihak militer mencuri teori itu darinya, dan mereka menggunakannya untuk melakukan beberapa eksperimen terhadap hewan," jelas Albert. "Papa nggak bisa membiarkan mereka melakukan lebih banyak eksperimen yang lebih kejam terhadap siapapun, terutama padamu, Anna."
"Tunggu sebentar. Tadi Papa bilang... eksperimen pada hewan? Maksudnya 'Project Apple'?" Anya menyadari sesuatu. "Itu artinya, kedua eksperimen itu sama-sama berdasarkan teori Kakek Siggy."
"Oh, ya, Anna. Papa dengar eksperimen itu bernama 'Project Apple', tapi kok kamu tahu?"
"Ya, Bond salah satu mantan subjek mereka, dan dampaknya, dia bisa meramal masa depan."
"Ah, anjingmu." Albert menganggukkan kepala. "Baiklah, sudah cukup tentang kakekmu. Papa harap kamu bisa segera pulang ke rumah megah kita, Anna."
"Aku nggak yakin itu ide bagus. Aku masih mau tinggal sama Ayah dan Bunda di apartemen kami." Anya mengangkat bahu. "Lagipula, orang tahunya aku ini Anya Forger, bukan Anna Authen, jadi..."
"Tapi Mama membutuhkanmu, Anna," pinta Albert. "Baik, ini tawaran Papa. Kakekmu... Papanya Papa akan Papa maafkan, tapi mulai sekarang, kamu tinggal sama papa di rumah. Kamu setuju kan?"
"Nggak." Anya menggeleng. "Aku nggak bisa, Papa. Kalau sekolah tahu yang sebenarnya, aku pasti akan dipindah ke kelas empat, terpisah dari teman-temanku. Aku nggak mau itu terjadi."
"Anna..."
"Sekarang namaku Anya, Papa," koreksinya. "Tentang Mama, kelihatannya aku masih bisa menjenguknya tiap akhir pekan."
"Tapi Papa kangen sama kamu, Anna. Kamu juga kangen sama Papa, kan?"
"Aku juga kangen sama Papa, tapi... Aku sudah nyaman tinggal di apartemen bersama Ayah dan Bunda. Untuk sekarang, aku ingin tetap tinggal bersama dengan mereka selamanya," kata Anya dengan nada serius. "Mereka telah mengajariku banyak hal. Mereka selalu melindungiku. Mereka menyayangiku tanpa syarat, walaupun mereka bukan orang tua kandungku."
"Tapi kamu juga tahu, kan, bahwa cepat atau lambat, Dokter Forger... maksud Papa, Agen Twilight akan meninggalkanmu, kembali ke organisasinya, WISE," sahut Albert. "Saat itu terjadi, kamu akan tersakiti. Apa kamu akan menerimanya begitu saja?"
"Aku yakin, Si Nona Bos akan mengizinkannya tinggal..."
"Tapi bagaimana kalau tidak?"
"Aku... Aku akan..." Pada awalnya Anya merasa ragu, tapi kemudian sebuah ide gila muncul di benaknya. "Aku akan pergi dengannya dan ikut jadi mata-mata."
"Apa? Nggak, Papa nggak akan biarkan. Itu berbahaya," larang Albert yang akhirnya menghela napas. "Baik, kita akan membicarakannya lagi lain kali. Papa cuma mau tanya malam ini kamu mau pulang kemana?"
"Tentu saja, ke apartemen," jawab Anya mantap. "Aku perlu membawa barang-barang donasiku dari sana ke sekolahku besok."
"Baiklah, kalau itu alasanmu, Papa nggak punya pilihan lain selain menyetujuinya."
"Aku tahu Papa akan mengerti."
.
.
.
.
"Tunggu, jadi kamu sudah tahu..."
"Tuan Forger, harusnya anda bisa memilih tempat yang tepat dan aman untuk bertemu dengan bos anda, Nona Sylvia." Damian menghela napas. "Aku sedang berada di Perpustakaan Nasional saat kau bertemu dengannya disana, tak berapa lama setelah mereka menangkap Ayahku sembilan bulan yang lalu, dan tanpa sengaja, aku mendengar kalian berdua membicarakan tentang rencana penarikan dirimu dari keluarga Forger."
"Jadi, kau mendengarnya, ya?" Loid tersenyum lemah. "Lalu, apa yang kaulakukan? Tidakkah kau membenciku setelah apa yang kulakukan terhadap Ayahmu?"
"Awalnya aku membencimu, tapi Ibu menjelaskan padaku bahwa Ayah pantas mendapatkan hukuman yang setimpal karena telah mengancam perdamaian antara Ostania dan Westalis, jadi aku tidak membencimu lagi sekarang. Meski begitu, bukan itu yang ingin kubicarakan sekarang, melainkan... tentang rencana penarikan dirimu." Bocah berumur sepuluh tahun itu menarik napas dalam-dalam sebelum menambahkan, "Tepat setelah kau meninggalkan perpustakaan, aku menemui bosmu dan meyakinkannya untuk membiarkanmu tinggal sedikit lebih lama dengan keluargamu."
"Apa? Tapi kenapa?"
"Alasan utamaku adalah supaya aku bisa mencegahmu untuk melakukan hal-hal yang akan menyakiti lebih banyak orang lain saat bertugas menjadi mata-mata," akunya. "Jika kau pergi melakukan misimu yang lain, kau mungkin akan menyakiti orang-orang yang terlibat dalam misi tersebut. Aku tahu Ayahku pantas mendapatkan hukuman itu, tapi sebagai seorang putra yang menyayangi Ayahnya sejahat apapun dia, mau tidak mau aku memikirkan keadaannya, dan rasanya menyakitkan buatku melihatnya dipenjara seperti itu. Ya, walaupun dia hanya menganggapku sebagai orang asing. Bahkan putrimu tahu kalau aku menyayangi Ayahku. Itu sebabnya, aku tidak mau membiarkan orang-orang lain merasakan kepedihan sepertiku, hanya karenamu."
"Damian..."
"Lalu aku sadar, kalau yang mungkin akan terluka bukan hanya orang-orang itu saja, karena jika kau pergi, kau juga akan menyakiti keluargamu sendiri. Aku bisa lihat kalau kau dan istrimu sebenarnya saling mencintai, walaupun kalian berdua menolak memberikan seorang adik kepada si Ce- maksudku, kepada Anya." Damian sempat terdiam selama beberapa menit sebelum ia melanjutkan, "Tentu saja, bisa kubayangkan bahwa jika kau meninggalkan keluargamu, Anya akan sering menangis memikirkanmu, dan bahkan... dia mungkin akan berhenti datang ke sekolah. Ironis sekali."
"Baiklah, Damian. Pada dasarnya, kau hanya ingin meyakinkan Tuan Forger untuk tinggal bersama keluarganya untuk selamanya, bukan?" Barbara tersenyum. "Bahkan setelah kau tahu bahwa temanmu yang berharga itu sebenarnya juga memiliki keluarga lain selain keluarga Forger."
Damian membongkar kepada mereka semua, kecuali Anya dan Albert yang masih berada di ruang ICU, bahwa ia sudah tahu tentang Operasi Strix, tepat setelah Sigmund dan Barbara menjelaskan padanya dan ibunya bahwa Anya adalah cucu mereka yang hilang, Anna.
"Itu benar, Nenek Barb. Kurasa dia membutuhkan kalian semua disisinya." Damian mengangguk. "Karena dia pantas bahagia."
"Meski begitu, kita juga harus menanyakan pendapatnya mengenai hal ini. Kita juga harus menanyakannya kepada putra Kakek, Albert." Sigmund bertopang dagu. "Akan lebih baik jika Amanda segera sadar dari komanya, jadi kita semua dapat saling memberikan pendapat dan menyelesaikan masalah ini dengan baik."
"Tapi pertama-tama, kita harus menunggu sampai mereka berdua keluar dari ruang ICU," sahut Melinda. "Mari berdoa supaya kondisi Amanda berangsur membaik setelah Anya menemuinya."
Mereka semua menoleh kearah pintu ruang ICU, menunggu Albert dan Anya keluar dari sana.
Catatan Author:
*: Saya punya headcanon kalau Damian selalu dapat Bintang Stella dari semua ujian Sejarah yang diikutinya selama ini, kecuali dalam ujian akhir semester dua kelas empat, saat motivasi belajarnya berkurang karena apa yang terjadi pada Ayahnya saat itu (Data Penghitungan Stella sudah saya post di akun Tumblr saya shiuefha, jadi saya sarankan untuk mengecek postingan itu untuk perhitungan yang lebih terperinci). Di chapter ini, Damian telah memiliki delapan belas Bintang Stella, lebih dari dua kali lipat jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi Kartika Cendekia (sebutan untuk Imperial Scholars dalam Bahasa Indonesia), jadi sejak Damian mendapatkan Bintang Stellanya yang keenam belas (tepat dua kali lipat dari delapan), Anya terkadang memanggilnya dengan sebutan Tuan Dobel Kartika Cendekia.
