"Kejutan Aya(ng)"

a fanfiction by fanlady

Disclaimer : Taufan and Yaya are my children. Don't touch them.

Warnings : AU, high school!AU, teen!chara, Taufan x Yaya. ini fanfic romance! Bocil dilarang baca!

.

.

.

"Yaya pergi dulu, yah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Yaya menyalami tangan ayahnya sebelum melangkah masuk ke gerbang sekolah. Perasaannya mulai tak enak saat melihat tatapan murid-murid lain padanya. Apa ada sesuatu di wajahnya? Apa ada yang salah dengan seragamnya?

Yaya berhenti sejenak untuk memeriksa, tapi menurutnya tidak ada yang aneh. Penampilannya sama seperti biasa, seragam sekolah, ransel, tas jinjing berisi bekal dan botol minum. Lalu, kenapa murid lain melihatnya dengan tatapan aneh sambil berbisik-bisik?

Yaya mendapatkan jawaban saat melewati gedung utama sekolahnya dan tiba di lapangan. Ia berdiri membeku, menatap potret wajahnya sendiri dalam bentuk spanduk berukuran raksasa yang digantung di lantai dua gedung di seberang lapangan. Butuh beberapa detik untuk menghilangkan keterkejutannya sampai Yaya bisa membaca tulisan yang tercetak.

"SELAMAT ULANG TAHUN YAYA. DARI (CALON) SUAMIMU, TAUFAN."

Ya, Tuhan.

Seharusnya Yaya tahu, saat Taufan dengan antusias mengisyaratkan sebuah 'kejutan besar' untuk ulang tahunnya, itu pastilah bukan sesuatu yang normal. Taufan tidak pernah tahu cara bersikap normal, dan Yaya berpikir sudah terbiasa dengan tingkah ajaib kekasihnya itu. Namun, selalu saja ia dibuat terkejut dengan hal-hal baru yang dicetuskan Taufan.

"Yaya!" Jeritan melengking Ying dari ujung koridor memaksa Yaya memalingkan pandangan dari spanduk besar wajahnya sendiri.

"Cie, yang ulang tahun di-surprise-in calon suami!" goda Ying, menyikut lengan Yaya. "Pacar kamu itu emang nggak pernah setengah-setengah, ya? Bisa-bisanya dia bikin spanduk sebesar itu! Bikinnya di mana, ya? Aku juga pengen deh dibikinin sama Hali."

Yaya memijat kepalanya, berusaha mengabaikan murid-murid yang lewat sambil cekikikan di belakangnya.

"Mana Taufan?"

"Eh, nggak tau, deh. Kayaknya belum datang," kata Ying. "Aku nggak ngeliat dia dari tadi, sih."

"Terus, dia pasang spanduk ini dari kapan?"

"Dari kemarin sore kayaknya."

Yaya menghela napas panjang. "Bantuin aku turunin spanduknya. Kalau dilihat kepala sekolah bisa kena amuk."

"Yah, sayang banget kalau diturunin sekarang," kata Ying. "Taufan udah susah payah bikinnya, lho. Pasti dia juga udah minta izin, deh."

"Mana mungkin yang kayak gini diizinin di sekolah?" Yaya berdecak. "Udah, buruan. Kita naik—"

Bunyi pengeras suara mendadak terdengar dari lapangan. Yaya dan Ying sama-sama menoleh, melihat Fang dan Gopal yang entah sejak kapan sudah berdiri di tengah lapangan menyebarkan asap buatan. Yaya tahu apapun yang sedang dikerjakan mereka, Taufan pasti dalang di baliknya. Dan ini akan menjadi sesuatu yang sangat memalukan jika tidak segera dihentikan.

"Kayaknya bakal seru, nih," Ying terkekeh, tampak begitu menikmati apa yang sedang terjadi.

Yaya berdecak dan bergegas turun ke lapangan, matanya mencari-cari sosok Taufan untuk memaksanya menghentikan apapun yang sedang direncanakannya. Para siswa sudah berkumpul di koridor bawah maupun atas, bersiap menyaksikan pertunjukan. Yaya harus segera menemukan Taufan sebelum—

Taufan muncul dengan dramatis dari balik asap, hanya beberapa langkah di depan Yaya. Senyumnya terkembang lebar, dan sebelah matanya mengedip pada Yaya saat suara musik terdengar dari speaker di belakangnya.

"She's been my queen since we were 16

We want the same things, we dream the same dreams

All right."

Yaya sejenak tak bisa berkata-kata karena terkejut. Sejujurnya ia cukup kagum dengan keberanian dan semua usaha yang dilakukan Taufan untuk ulang tahunnya ini. Yaya akan merasa tersanjung, seandainya sang kekasih punya sedikit akal sehat untuk melakukannya di tempat dan situasi yang tepat. Bukan di sekolah seperti ini!

Yaya mendengar para siswa bersorak, dan kepercayaan diri Taufan jelas semakin meningkat karena nyanyiannya terdengar semakin mantap dan keras.

"Everybody wants to steal my girl

Everybody wants to take her heart away

Couple billions in the whole wide world

Find another one 'cause she belongs to me*—AHH!"

Sorakan segera saja berubah menjadi gelak tawa saat Yaya naik ke panggung mini—ia bersumpah tidak melihat panggung itu ada di sana sebelum Taufan muncul tadi— dan menjewer telinga Taufan sekaligus menyeretnya turun.

"Yaya, Yaya! Ampun, Ya! Sakit!" protes Taufan, meringis kesakitan. Mic masih tergenggam di tangannya, membuat teriakan kesakitannya menggema di penjuru sekolah.

"Oh, sakit, ya?" Yaya melotot marah. "Sakit? Mau ditambahin lagi?"

"Jangan, jangan! Ampun!" Taufan menangkup kedua tangannya di dada dengan wajah memelas. "Aku cuma mau ngerayain ulang tahun kamu, sayang. Aku nggak—AAH!"

Yaya menjewer telinga Taufan lebih keras. "BERESIN SEMUA INI SEKARANG JUGA! UDAH MAU BEL MASUK!"

"Iya, iya! Ampun, Yang Mulia! Aku beresin sekarang!"

"Bagus."

Yaya melepaskan telinga Taufan yang langsung menarik langkah mundur. Ia mengusap-usap telinganya dengan wajah cemberut.

"Aku susah payah nyiapin ini lho, Ya. Kamu nggak—iya, iya, aku beresin!"

Taufan berlari kabur dari tangan Yaya yang hendak kembali menjangkau telinganya. Ia berdebat sejenak dengan Gopal dan Fang, sebelum ketiganya buru-buru membereskan panggung dadakan di tengah lapangan itu di bawah pengawasan Yaya.

Pandangan Yaya beralih ke para siswa yang masih menonton di koridor maupun balkon lantai atas. Ia meraih mic yang ditinggalkan Taufan untuk berseru.

"BUBAR, MASUK KE KELAS MASING-MASING! Lima menit lagi bel!"

Tidak ada yang berani membantah. Semuanya buru-buru berbalik masuk ke kelas masing-masing, meski suara cekikikan dan obrolan masih tetap terdengar.

Yaya menghela napas panjang. Masih pagi, dan kepalanya sudah dibuat sakit oleh tingkah kekasihnya. Dan lagi, ini hari ulang tahunnya. Yaya akan senang jika Taufan hanya memberinya kejutan kecil yang manis, seperti memberinya buket bunga mawar, bukannya mempermalukannya di hadapan seluruh murid sekolah.

"Yaya."

Taufan berjalan menghampiri dengan kedua tangan disembunyikan di balik punggungnya. Yaya langsung memicingkan mata curiga. Apa lagi yang direncanakan anak ini?

"Selamat ulang tahun, sayang."

Yaya tahu ia baru saja membayangkan tentang Taufan yang memberikannya buket bunga, tapi ia tidak berpikir sang kekasih akan benar-benar mewujudkannya.

Yaya sekali lagi dibuat tak bisa berkata-kata dengan buket bunga mawar merah yang terulur padanya. Taufan tersenyum lebar, jelas merasa puas melihat ekspresi Yaya.

"Kalau ini, kamu pasti senang, 'kan?" ujar Taufan. "Yang tadi itu emang berlebihan, tapi aku nggak mungkin nggak nyiapin sesuatu yang heboh buat ulang tahunnya kesayangan aku. Aku nyiapinnya dari sebulan yang lalu, lho."

"Kamu ini." Yaya menggeleng-geleng. Ia bersusah payah menahan diri untuk tidak tersenyum, tapi sia-sia saja. "Kok bisa-bisanya ya aku mau pacaran sama kamu?"

"Karena kita ini jodoh yang udah digarisin takdir, Ya," Taufan berujar serius. "Mau kamu nolak aku gimana pun, kamu bakal tetap jatuh ke pelukan aku pada akhirnya."

Yaya mencibir, tapi mau tak mau tetap tersenyum. Ia menerima buket dari tangan Taufan dan mengendus aroma harumnya.

"Makasih. Ini cantik banget."

"Nggak secantik kamu, sih," Taufan nyengir. "Aku udah muter-muter ke smeua toko bunga nyari bunga yang lebih cantik dari kamu, tapi nggak ada. Beruntung banget aku bisa dapat bunga paling cantik sejagad raya sebagai pacar aku, ya?"

"Udah deh, nggak usah kebanyakan ngegombal," decak Yaya. "Udah diberesin semuanya? Itu spanduk juga turunin! Mau-maluin, tau nggak?"

"Lho, kenapa? 'Kan bagus." Taufan menoleh ke spanduk raksasa wajah Yaya yang masih terpajang di gedung di belakangnya. "Kamu tau aku harus hemat jajan sampai tiga bulan demi bikin itu?"

"Buang-buang duit aja, sih! Mending uangnya ditabung buat masa depan kamu, tau nggak?"

"Aku juga udah nabung buat masa depan kita, kok. Kamu tenang aja. Kamu nggak bakal hidup susah selama ada aku."

Yaya memutar mata. "Turunin spanduknya!"

"Nanti aja, Ya," Taufan tetap bersikeras menolak. "Aku juga udah izin sama kepala sekolah buat dipajang seminggu. Sayang kalau diturunin sekarang."

Yaya mengerang, tahu tak akan ada habisnya jika memaksa berdebat dengan Taufan. Daripada tekanan darahnya semakin naik, lebih baik mengalah untuk sekarang.

"Ya udah, masuk kelas sana!" titah Yaya.

"Siap, Yang Mulia!" Taufan menegakkan punggungnya dan membuat gerakan hormat. Ia berbalik, hendak melangkah pergi, tapi kemudian mendadak saja mencondongkan tubuh untuk mengecup pipi Yaya. "Selamat ulang tahun sekali lagi, sayangku! Nanti kita makan bareng di kantin, ya!"

Taufan segera berlari pergi sebelum Yaya sempat memprotes. Ia ditinggalkan sendirian di koridor dengan wajah yang nyaris semerah buket bunga di tangannya.

Dasar. Menjalin hubungan dengan seorang Taufan memang tidak bagus untuk kesehatan jantungnya.

.

.

.

fin

*Steal My Girl – One Direction

Catatan penulis :

Ini ditulis kemarin, pas ultahnya Yaya. Tapi lagi nulis laptop malah lowbat, mana mati lampu sampai tiga jam, jadi mau nggak mau terpaksa berhenti. Terus akhirnya malah males lanjutin dan baru bisa selesai hari ini wkwk

Ini ide random banget, plotnya juga nggak ada. nulisnya sambil stres, tapi lumayan bisa bikin senyum-senyum. Ternyata aku memang masih sesayang itu sama TauYa sampai nulis mereka gini aja langsung bangkitin mood :'))

Makasih banyak yang udah membaca! Berkenan ngasih review? ;)

Extra

Motor ayah Yaya berhenti di perempatan karena lampu lalu lintas yang baru saja berganti merah. Yaya menarik napas sejenak, memandang langit yang perlahan berubah dari jingga jadi semakin merah. Ia pulang lebih terlambat hari ini karena harus memimpin rapat OSIS, meski jabatannya sebagai ketua sudah akan lengser bulan depan saat ketua baru terpilih.

"Yaya, itu kamu?"

"Hah?" Yaya mencondongkan tubuh ke depan untuk mendengar ayahnya lebih jelas. "Apa, yah?"

"Itu kamu, 'kan?"

Ayah Yaya menunjuk, dan Yaya mengikuti arah telunjuknya. Matanya membelalak melihat spanduk yang serupa dengan yang terpajang di sekolah tadi pagi, kini berupa baliho raksasa yang berdiri tegak di tengah kemacetan kota.

"Ya ampun!"

Yaya bersyukur sekali kaca helmnya cukup gelap untuk menyembunyikan wajahnya, karena ia baru menyadari beberapa orang juga menunjuk ke arah baliho itu sambil tertawa.

"Jadi, sekarang Taufan udah jadi calon suami kamu?" tanya ayah Yaya. "Kok belum ngelamar ke ayah?"

"Ayah!" Yaya memprotes, merasa luar biasa malu. "Aku sama Taufan masih SMA, masa' mau lamaran?"

"Ya nggak apa-apa. Artinya dia serius sama kamu," ayah Yaya terkekeh.

"Serius apanya," gerutu Yaya. ia melihat lampu yang berubah hijau dan menepuk pundak ayahnya. "Ayah, udah hijau, tuh! Buruan jalan, Yaya malu!"

"Iya, iya."

Motor ayah Yaya kembali melaju bersama kendaraan lain, dan Yaya sebisa mungkin tidak memandang potret raksasa wajahnya di baliho yang mereka lewati.

Dasar Taufan! Awas saja, Yaya akan mengomelinya habis-habisan nanti!