DISCLAIMER: Spy x Family © Tatsuya Endo. Tidak ada keuntungan komersial sepeserpun yang saya dapatkan dari fic ini.

Chapter Summary: Saat keluar dari ruang ICU, Anya menyadari bahwa Damian menunggu penjelasannya tentang semua yang terjadi, tapi diluar dugaannya, ada sesuatu yang ingin Damian beritahukan padanya...

Keesokan harinya di Acara Amal, Damian bertanya kepada Anya tentang sesuatu yang tak terduga, membuat sahabat mereka memperhatikan bahwa ada yang berbeda diantara mereka. Saat Becky menanyakan hal tersebut kepada Anya sementara Emile dan Ewen juga penasaran tentang hal yang sama, Damian meyakinkan Anya untuk membagikan rahasianya kepada mereka supaya mereka dapat melindungi rahasia itu bersama-sama.


Authenticating the Forgers

.

Chapter 3 – Friendship and Secrets


Beberapa jam kemudian...

Albert dan Anya akhirnya keluar dari ruang ICU, setelah Dokter Bernard memberitahu mereka tentang kondisi terkini Amanda. Wanita itu masih koma, tapi ajaibnya, kondisinya perlahan membaik. Meski begitu, wanita itu masih perlu dirawat di ruang ICU, walaupun ada beberapa diantara alat penunjang hidupnya yang sudah dilepas karena kondisinya yang membaik.

Saat Anya menghela napas dan Albert sedang menjelaskan tentang kondisi istrinya kepada Sigmund, Barbara, Loid, Yor dan Melinda, Damian menyilangkan kedua lengannya sambil menatap gadis berambut merah muda itu dan berkata, "Jadi, Tante yang di ruang ICU itu Mamamu, kan?"

"Ya..." gumamnya, tapi kemudian menyadari sesuatu saat dia balik menatap bocah lelaki dihadapannya itu dengan terkejut dan berteriak, "Tidak, aku nggak sengaja bongkar rahasiaku ke kamu!"

"Ssh, kamu nggak perlu teriak begitu, bodoh. Kita di Rumah Sakit," bisik Damian. "Bagaimanapun, kurasa kita perlu bicara secara pribadi sekarang. Aku perlu penjelasanmu tentang beberapa hal, dan juga, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu. Apa kau tahu tempat yang bagus untuk kita bicara berdua saja, tanpa ada orang dewasa yang mengganggu?"

"Rasanya aku tahu tempat yang cocok, tapi aku harus minta izin dulu disini," sahut Anya yang kemudian bertanya kepada ayah angkatnya, "Ayah, aku boleh pinjam ruang terapi? Aku perlu bicara sama Jinan tentang... beberapa hal..."

"Boleh. Silakan saja." Loid dengan cepat menyetujui. "Tapi cuma beberapa menit saja, ya? Kita harus pulang sebentar lagi, jadi kamu nggak akan telat ke Acara Amal besok. Kamu masih inget ruangannya dimana? Atau... Apa Ayah harus nemenin kalian kesana?"

"Aku masih inget kok, Ayah. Nggak perlu ditemani," ujar Anya meyakinkan. Dia kemudian menggenggam tangan kiri Damian dengan tangan kanannya dan menariknya pergi sambil berkata, "Ayo pergi."

Damian mengangguk. Mereka lalu berjalan bersama dan bergegas memasuki ruangan tersebut.

"Jadi, kurasa akan adil jika kamu bisa menjelaskan semuanya kepadaku disini." Damian memulai pembicaraan itu sambil mengambil tempat duduk di salah satu sofa yang ada disana. "Ya, sebenarnya sih, yang lainnya sudah membicarakannya dihadapanku, tapi aku ingin tahu semuanya dari sudut pandangmu."

"Baiklah, tapi mulai dari mana?" tanya Anya yang kemudian duduk disebelahnya. "Apa yang kamu mau tahu duluan?"

"Ya, tadi kan kamu bilang sahabat Ibuku itu Mamamu, dan... ah..." Damian memikirkan perkataannya dengan hati-hati sebelum ia bertanya, "Apa kamu juga mimpi tentang kunjunganku dan Ibuku ke rumahmu di Covenia waktu kita masih kecil, tepat setelah kita dansa empat tahun yang lalu?"

"Umm, ya. Aku ingat mimpi itu. Aku bingung lihat kamu dan Ibumu disana." Anya menghela napas. "Dan ya, sebelum kamu tanya soal umurku, aku harus ngaku kalau umurku sembilan tahun sekarang, bukan sepuluh tahun kayak kamu dan yang lain di sekolah."

"Jadi bener, waktu kita pertama ketemu, umurmu dua tahun dan aku tiga tahun?"

"Ya."

"Tapi kenapa kamu bohong? Maksudku, itu sebabnya kenapa awalnya kamu nggak bisa ngikutin pelajaran di kelas."

"Ya, umurku lima tahun waktu Ayah ke Panti tempat aku tinggal, tapi waktu itu, dia butuh anak berumur enam tahun, jadi aku bohong padanya."

"Aku ngerti, tapi kok kamu bisa sampai tinggal di Panti Asuhan?" tanya Damian tidak mengerti. "Maksudku, kamu masih punya orang tua kandung, jadi sebenarnya, kamu bukan anak yatim atau piatu atau yatim piatu."

"Ceritanya panjang. Ya, beberapa hari setelah kunjunganmu, aku diculik oleh salah satu kolega Kakek Siggy. Namanya... Simon? Oh ya, Simon Strauss. Lalu, dia..." Anya sempat ragu memberitahu Damian tentang eksperimen yang dijalaninya, tapi kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan sebelum menambahkan, "Dia melakukan eksperimen terhadapku. Niatnya sih ingin memperbesar nilai IQ-ku, jadi dia terus-terusan menstimulasi otakku dan bahkan melakukan operasi di otakku, dan..."

"Biar kutebak. Kau mendapatkan kemampuan membaca pikiranmu dari sana, kan?" potong Damian.

"Kok kamu tahu?" Anya balik bertanya.

"Kamu nggak inget? Kan kamu sendiri yang bilang tentang kemampuanmu empat tahun yang lalu, jadi wajar saja kalau aku menghubungkannya dengan eksperimen itu." Damian mengutarakan alasannya sambil melirik tajam kearah Anya. "Terus, gimana kamu bisa kabur?"

"Seorang mata-mata yang nggak dikenal datang dan mengeluarkanku dari lab terakhir mereka sebelum ia mengebomnya, saat aku berumur empat tahun." Anya mencoba mengingat apa yang terjadi. "Aku berlari terus sampai kelelahan, dan tahu-tahu, waktu aku bangun aku sudah ada di Panti. Aku sempat diadopsi empat kali sebelum bertemu Ayah, tapi mereka terus saja mengembalikanku ke Panti begitu mereka tahu kemampuanku. Aku bahkan sempat pindah Panti dua kali hanya gara-gara itu."

"Lalu, apa kamu tahu misi Ayahmu untuk mendekati Ayahku?" tanya Damian dengan nada yang lebih serius. "Apa itu sebabnya kamu juga mencoba mendekatiku?"

"Oh, ya... Operasi Strix. Aku tahu kalau Ayah punya tiga skema utama untuk mendekati Ayahmu di misi itu. Yang pertama adalah dengan menjadikanku seorang Kartika Cendekia, tapi gara-gara awalnya aku kesulitan belajar, dia fokus ke skema kedua, supaya aku bisa berteman akrab denganmu..." jelas Anya yang kemudian buru-buru melambaikan tangan dan menambahkan, "tapi, begitu aku bisa membuktikan padanya kalau nilaiku semakin lama semakin bagus dan aku bisa jadi seorang Kartika Cendekia, skema teman akrab sudah tidak dipakai lagi, dan... Aku benar-benar tulus ingin menjadi temanmu, sampai sekarang."

"Aku ngerti kok. Jangan khawatir." Damian menghela napas, lalu bertanya lagi, "Terus, skema ketiganya apa?"

"Ya, Ayah mulai memikirkan skema itu waktu Bunda kasih tahu kalau dia nggak sengaja ketemu Ibumu di mall, tapi skema itu susah dipakai soalnya mereka jarang ketemu. Itu skema supaya mereka bisa berteman akrab."

"Aku paham." Damian mengangguk.

"Jadi, Jinan, kita masih berteman, kan? Maksudku, kamu masih anggap aku temanmu walaupun kamu udah tahu semuanya, kan? Ya, walaupun aku sungguh-sungguh mau temenan sama kamu, tapi tetep aja... Ayahmu dipenjara gara-gara misi Ayah, dan aku masih inget kalau dia itu orang yang paling kamu sayang, jadi..."

"Jangan khawatir, Cebol, kamu tetap temanku, dan tentang Ayahku, sekarang aku tahu kalau dia pantas mendapatkannya, jadi nggak masalah," ujar Damian mencoba meyakinkan Anya. "Sekarang, cukup tentangmu. Ini giliranku untuk memberitahumu sesuatu."

"Apa itu?" tanya Anya ingin tahu.

"Ya, beberapa hari setelah penangkapan Ayahku, tanpa sengaja aku memergoki Ayahmu saat bertemu dengan bosnya di Perpustakaan Nasional dan membicarakan tentang rencana mereka untuk mencabutnya dari keluargamu."

"Beneran? Kamu ketemu Si Nona Bos?"

"Iya, aku bahkan mengajaknya bicara setelah Ayahmu pergi. Aku meyakinkannya untuk tidak mencabut Ayahmu, jadi dia masih bisa tinggal bersama dengan keluargamu selamanya." Damian akhirnya mengaku.

"Eh? Tapi kenapa kamu bilang begitu?"

"Anggap saja ini karena aku tahu kamu sayang banget sama Ayahmu, sebesar rasa sayangku pada Ayahku sendiri, jadi... yah." Damian mengangkat bahu, "Kalau Ayahmu dan Nona Sylvia sudah nggak pernah bertemu lagi sejak saat itu, mungkin... itu gara-gara aku."

"Kamu nggak perlu begitu sih..."

"Aku harus."

"Ada keluarga Authen sekarang..."

"Tapi kamu udah bareng keluarga Forger selama empat setengah tahun ini, dan itu membuatmu senang. Kalian semua pantas bahagia, setelah semuanya. Apalagi, kudengar dari Blackbell kalau kamu pengen banget punya adik dari mereka."

"Kamu nggak apa-apa? Kamu mau kami bahagia sementara kamu..."

"Ya, awalnya aku nggak senang, tapi... sekarang aku bahagia, bersama Ibuku dan Kakakku."

"Oh, baiklah. Kalau menurutmu begitu." Anya menghela napas. "Walaupun begitu, karena sekarang kita tahu kalau aku bagian dari keluarga Authen, apa menurutmu, Ayah akan segera membicarakannya kepada Si Nona Bos?"

"Mungkin." Damian mengerutkan keningnya. "Kalau memang benar, kuharap dia akan meminta... nggak, dia akan memaksa Ayahmu untuk pensiun."

"Ya, mudah-mudahan." Mau tidak mau Anya tersenyum. "Mungkin, kalau Ayah pensiun, dia bisa jadi lebih rileks dan dapat memberiku seorang adik."

Tepat setelahnya, seseorang mengetuk pintu ruangan itu dan berkata, "Anya, Damian, apa kalian berdua sudah selesai bicara? Kita harus pulang sekarang."

"Wah, Ayah panjang umur!" Mengenali suara yang didengarnya, Anya menyahut, "Baik, Ayah, kami selesai dan akan keluar sekarang."

Akhirnya, kedua anak itu keluar dari ruangan tersebut, kemudian pulang ke rumah masing-masing bersama keluarga mereka sendiri. Anya berjanji kepada Albert untuk datang lagi menjenguk Amanda besok, tepat setelah ia menghadiri Acara Amal.

.

Keesokan harinya, di Eden College...

Acara Amal merupakan sebuah tradisi baru di sekolah itu, yang mulai dilaksanakan enam bulan yang lalu, seminggu sebelum pesta dansa akhir semester yang juga biasa diadakan setiap enam bulan sekali. Acara Amal ini merupakan sebuah acara yang besar, yang lebih bisa dikatakan sebagai Pameran Amal dimana mereka menyelenggarakan bermacam-macam kegiatan amal disana.

"Wah, acara hari ini bahkan jauh lebih baik daripada Acara Amal yang pertama enam bulan yang lalu, kelihatannya sih," kata Becky saat ia berjalan bersama Anya menuju tempat pengumpulan barang donasi sambil membawa barang-barang sumbangan mereka. "Kali ini, bahkan Pierre Pommier mengadakan Penjualan Kue khusus untuk mengumpulkan uang sumbangan di Kantin kedua... Haruskah kita kesana untuk membeli beberapa kudapan untuk mengisi energi kita sebelum ke Pertunjukan Bakat?"

"Ya, Becky. Aku mau beli kue kering selai kacangnya yang enak banget itu," sahut Anya setuju. "Tapi sebelum itu, kita harus menaruh ini semua ke tempat pengumpulan donasi."

"Kurasa semua donasiku akan masuk ke Lelang Tertutup, karena semua barang ini harganya mahal sekali," ujar Becky. "Kalau kamu gimana, Anya-chan?"

"Ya, berbeda denganmu, kurasa hampir semua donasiku akan masuk di Sumbangan Umum atau di Bazaar Murah, karena... harganya nggak begitu mahal, kecuali mungkin beberapa buku dari Kakek Siggy, tapi sejujurnya, ada satu barang yang membuatku bingung apakah harus kudonasikan atau nggak," balas Anya tidak yakin. "Kalau lihat harganya sih, barang itu layak dimasukkan di Lelang Tertutup, tapi barangnya itu terlalu berkesan buatku."

"Tunggu sebentar. Ini bukan tentang gantungan kunci domba kita yang samaan itu kan?"

"Tentu aja bukan, Becky. Harganya kan juga nggak semahal itu."

"Terus, apa barang yang lagi kamu omongin?" tanya Becky. "Hmm, sesuatu yang berkesan dan cukup mahal untuk dimasukkan di Lelang Tertutup... Apa ini tentang gaun yang kamu pakai waktu pesta dansa pertama kita? Ya, harga barang minimum yang bisa dimasukkan di Lelang Tertutup memang sekitar lima ribu dalc, jadi pastinya kamu bisa saja memasukkannya kesana, tapi... aku bisa ngerti kenapa gaun itu berkesan banget buatmu."

"Aku tahu kamu bakalan ngerti, Becky."

"Tentu aja, Anya-chan. Gaun itu berkesan banget buatmu karena itu yang kamu pakai waktu dansa sama pangeranmu empat tahun yang lalu, kan?" goda Becky.

"Apa? Nggak, Becky. Bukan gara-gara itu. Ini nggak ada hubungannya sama Jinan atau sesuatu yang romantis yang lagi kamu pikirin sekarang." Anya menggelengkan kepalanya, walaupun pipinya agak merona sedikit. "Aku cuma suka model gaunnya."

"Masa? Kayaknya sih bukan cuma karena itu deh." Becky menyeringai. "Aku tahu pasti kalau kamu udah naksir dia dari awal, Anya-chan, jadi jangan dibantah lagi."

"Aku serius, Becky. Aku nggak ada rasa kayak gitu sama Jinan," bantah Anya dengan tegas.

"Ya, tapi kamu tetep panggil dia begitu." Becky terkikik. "Aku sering baca tentang panggilan spesial antara teman masa kecil di beberapa novel romantis punyaku, dan karakter yang seperti itu biasanya selalu jadian pada akhirnya."

"Becky, kumohon, bisa nggak kita fokus aja jalan ke tempat pengumpulan donasi sekarang? Kamu nggak mau beli kudapan, terus nyanyi di Pertunjukan Bakat?"

"Oh iya, aku mau makan beberapa keping kue kering cokelat sebelum aku nyanyi. Guru-guru yang jadi juri di Pertunjukan Bakat harus denger suara emasku, supaya mereka izinin aku debut jadi penyanyi."

Dua gadis itu lalu terus berjalan ke tempat pengumpulan donasi, mengumpulkan barang sumbangan mereka disana sebelum mereka bergegas membeli beberapa kudapan di Kantin dan berjalan ke auditorium tempat Pertunjukan Bakat diadakan.

Di tengah perjalanan menuju ke auditorium, mereka bertemu dengan Damian, Emile dan Ewen, yang juga sedang berjalan menuju kesana.

"Oh, sungguh kejutan yang hebat bisa bertemu kalian bertiga disini." Becky menghela napas. "Kupikir kalian nggak terlalu peduli banget sama Pertunjukan Bakat."

"Nggak kok. Aku peduli." Ewen menggelengkan kepalanya. "Guru-guru yang mengadakannya boleh saja menjual tiket masuknya semahal mungkin, dan aku tetap akan membelinya."

'Aku kan mau denger suaramu.' Anya membaca pikiran Ewen. 'Suaramu manis sekali waktu nyanyi, Becks.'

'Jadi Ewen rela bayar mahal cuma buat lihat Becky nyanyi di Pertunjukan Bakat...' simpul Anya dalam hati. 'Kalau udah naksir, apa aja bisa dilakuin ya...'

"Ngomong-ngomong, Anya, kapan kamu akan pergi ke Rumah Sakit?" tanya Damian secara langsung. "Kamu janji kesana, kan?"

"Hah? Damian-sama, apa kamu baru aja panggil dia..."

"Tunggu sebentar. Kenapa nih? Rumah Sakit?" Becky memotong perkataan Emile begitu menyadari pertanyaan Damian. "Anya-chan, maksudnya kamu janjian sama Tuan Loid ketemu di Rumah Sakit tempat dia kerja? Dia ada giliran kerja hari ini?"

"Yah, aku janji sama Kakek Siggy dan Nenek Barb buat jengukin menantunya di Rumah Sakit, setelah aku nonton kamu nyanyi di Pertunjukan Bakat, Becky. Ini bukan tentang Ayah," sahut Anya dengan hati-hati. "Soalnya katanya Bu Amanda kehilangan putrinya tujuh tahun yang lalu, jadi... mungkin akan lebih baik kalau ada anak seumuran putrinya yang bisa jengukin dia di Rumah Sakit."

"Kalau nggak salah, Nyonya Amanda jatuh koma waktu putrinya diculik, kan? Putrinya itu yang disebut-sebut sama Kakek Siggy sebagai cucu kecilnya yang menggemaskan, kan?" Becky berpikir sebentar sebelum menambahkan, "Tapi kan kamu nggak seumuran sama dia, Anya-chan. Kita semua kan setahun lebih tua dari dia."

"Oh, maksudku, sekitar umur segitu..."

"Tadi jelas-jelas kamu bilang 'seumuran'."

"Yah, aku cuma lupa."

"Mungkin, tapi kenapa tiba-tiba kamu kelihatan gugup habis ngomong begitu?" tunjuk Becky. "Tunggu, apa kamu dan Damian nyembunyiin sesuatu? Kenapa harus Damian yang ingetin kamu soal janjimu sama Kakek Siggy? Maksudku, sebelumnya kalian jengukin Nyonya Amanda bareng?"

"Umm, yah, kami..."

"Anya, kurasa kita harus memberitahu Blackbell dan yang lainnya tentangmu." Damian memotong perkataan Anya. "Kupikir kita berlima bisa menjaga rahasiamu dengan baik."

"Hah?" Tiga anak itu menatap mereka berdua dengan bingung. Mereka benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Anya dan Damian.

"Jinan! Kamu udah bilang Emile dan Ewen ya?"

"Bilang ke kita... soal apa?"

"Nggak, tapi kita bisa jelasin rahasiamu sama-sama ke mereka," ujar Damian mengabaikan perkataan Ewen. "Blackbell itu sahabatmu, jadi dia berhak tahu rahasiamu, dan belakangan, kita berlima sering belajar bareng."

"Rahasia? Anya-chan, kamu punya beberapa rahasia yang aku belum tahu?" tanya Becky. "Terus entah kenapa kamu kasih tahu Damian tentang itu semua sebelum aku?"

Sebelum Anya sempat menjawab, mereka mendengar pengumuman bahwa Pertunjukan Bakat akan segera dimulai, dan para penampil harus tiba di auditorium dalam sepuluh menit.

"Baiklah, Becky, nanti aku kasih tahu kamu semuanya, tapi sekarang, kita harus cepet-cepet ke auditorium, biar kamu nggak telat. Sepakat?" tawar Anya.

"Baik, setuju, tapi kamu harus kasih tahu aku semuanya, dan jangan kasih tahu dua orang ini sebelum aku." Becky menunjuk kearah Emile dan Ewen, yang masih berdiri kebingungan disana. "Kamu kasih tahu kami bertiga barengan, oke?"

Anya mengangguk.

Begitu mereka tiba di auditorium, Becky bergegas ke belakang panggung, sementara Anya, Damian, Emile dan Ewen membayar tiket masuk mereka di loket.

.

.

"Selamat ya, Becky! Aku tahu kamu bisa menang."

"Ya, aku tahu itu, Anya-chan, tapi kurasa kita perlu menunda perayaannya sedikit, jadi kamu bisa bagikan semua rahasiamu kepada kami."

"Oh, benar juga." Anya menghela napas. "Anya kasih tahu kalian bertiga deh."

"Jangan khawatir, Forger. Kamu bisa percaya sama aku dan Ewen," ujar Emile meyakinkan. "Mungkin persahabatan kita belum sekuat itu, tapi aku janji kalau kami berdua bisa dipercaya. Benar kan, Ewen?"

Ewen mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Emile sebelum menambahkan, "Kami akan jaga rahasiamu baik-baik."

Mereka berlima sekarang sedang berada di dalam mobil Becky, dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Umum Berlint, dan memulai pembicaraan tentang rahasia Anya. Gadis itupun menjelaskan tentang semua rahasianya itu kepada Becky, Emile dan Ewen.

"Aku tahu. Pantes aja aku perhatiin kamu lebih kelihatan kayak bayi di upacara masuk." Becky menghela napas, lalu menganggukkan kepalanya begitu dia teringat akan salah satu kebiasaan lama dari sahabatnya itu. "Waktu kamu seharusnya masih punya jam tidur siang di TK, kamu malah dipaksa ikutin pelajaran di kelas kita, jadi wajar aja kalau kamu ketiduran terus di kelas satu."

"Y-Ya, mungkin kamu benar, Becky." Anya tersenyum. "Aku cuma terkejut karena kamu masih mau jadi sahabatku, setelah semuanya."

"Kenapa nggak? Kita kan sahabat, dan persahabatan kita yang paling spesial untuk satu sama lain." Becky membalas senyuman Anya. "Tentang rahasiamu, kupikir itu hal yang wajar bagi sahabat untuk saling menjaga rahasia masing-masing, dan aku lebih dari senang menolongmu jaga rahasiamu."

"Makasih, Becky. Sekarang aku yakin kamu bisa dipercaya."

"Wah, kalau kamu putrinya Tuan Albert dan Nyonya Amanda, artinya kamu sebenarnya... nggak bisa dibilang rakyat jelata juga, Forger," simpul Ewen. "Tunggu dulu. Apa harusnya aku panggil kamu Authen aja?"

"Kamu nggak perlu begitu, Ewen." Anya melambaikan tangannya. "Panggil aja aku seperti biasanya."

"Oh, jadi itu sebabnya Damian-sama panggil kamu begitu dari tadi." Ewen menyadari sesuatu, kemudian menghela napas lega sebelum menambahkan, "Kelihatannya semua rahasia itu banyak mempengaruhinya."

"I-Itu cuma karena dia sekarang punya dua nama keluarga, jadi... Aku mutusin untuk panggil dia 'Anya'," ujar Damian dengan pipinya yang memerah. "Aku pikir itu bukan hal yang aneh dilakukan."

"Ya, bukan hal yang aneh dilakukan kalau kau berteman dengannya dari awal, Damian-sama." Emile menyeringai. "Kecuali, kalau kamu ngaku ke kita semua kalau kamu naksir dia."

Seiring berjalannya waktu, mau tidak mau Emile dan Ewen memperhatikan bahwa Damian sebenarnya menyukai Anya. Mereka perlahan menyadari bahwa perasaan sahabat mereka pada Anya semakin lama semakin kuat, sampai ke titik dimana mereka hanya ingin Damian mengakui perasaannya kepada gadis itu.

"E-Emile, dia cuma temanku, seperti kalian semua." Damian terus membantah saat wajahnya memerah. "Kalian berempat itu temanku, ya, termasuk Blackbell."

"Oh, yang benar? Aku senang berteman denganmu, Damian, tapi hubunganmu dengan Anya-chan jelas-jelas lebih dari sekedar teman," goda Becky. "Setidaknya, diantara kita berlima, baru kalian berdua yang sudah menjadi Kartika Cendekia. Aku masih butuh satu Bintang Stella lagi untuk mengejar ketinggalan."

"Tinggal dapatkan saja satu Bintang Stella itu untuk menyusulku dan Anya," desis Damian. "Ambil jubahmu dan bergabung dengan kami."

"Aduh, jangan ingatkan aku dan Emile dong, kalau kami masih jauh tertinggal dibelakang kalian bertiga, soal perolehan Bintang Stella," protes Ewen. "Aku masih perlu tiga Bintang Stella sementara Emile masih perlu empat."

"Yah, itu karena kalian belum belajar cukup keras. Kalian perlu mempertahankan posisi kalian dalam peringkat mata pelajaran."

"Maaf ya, Blackbell, tapi kamu cuma beruntung aja karena kamu dapat Bintang Stella pertamamu dari Insiden Pembajakan Bus empat tahun yang lalu." Emile berargumen. "Punyaku dan Ewen murni kami dapat dari hasil ujian kami, dan kamu juga perlu ingat kalau semua murid seangkatan kita sudah belajar keras untuk bersaing mendapatkan Bintang Stella itu, jadi sulit sekali mempertahankan posisi dua besar di satu mata pelajaran."

"Emile, bukan salahku kalau kamu jadi yang terakhir mendapatkan Bintang Stella pertamamu," kata Becky sambil melirik Emile dengan tajam. "Baiklah, mungkin sebaiknya kita kembali membicarakan tentang Anya-chan saja."

Setelah menenangkan diri, Becky memerintahkan kepada supir barunya untuk tidak membocorkan percakapan mereka kepada siapapun, termasuk orang tuanya, sebelum ia melanjutkan percakapan tersebut dengan yang lainnya.

"Gimanapun juga, kita beruntung karena Pak Henderson menyuruh Martha untuk pensiun tepat setelah mereka menikah." Becky menghela napas. "Kalau dia masih menemaniku disini, Martha mungkin saja akan memberitahu Pak Henderson tentang rahasia Anya-chan."

"Becky, kayaknya Martha nggak bakalan kayak gitu deh," sahut Anya tidak setuju. "Martha justru akan menghormati privasiku dan ikut menjaga rahasiaku bersama kalian."

"Ya, tapi menurutku itu mungkin saja sih, kan mereka saling mencintai." Damian mengangguk. "Aku benci mengatakan ini, tapi kurasa aku setuju dengan Blackbell dalam hal ini."

"Wah, akhirnya kita berdua bisa sependapat juga ya?" ujar Becky sambil melirik Damian. "Kurasa kamu sudah tahu tentang masa lalu mereka yang tragis, yang membuatku berusaha keras untuk menjodohkan mereka. Yah, walaupun awalnya Martha tidak mengakui bahwa 'Dia' yang disebutnya dalam ceritanya itu Pak Henderson, tapi tentu saja, aku nggak buta. Aku bisa melihat dan merasakan adanya romansa diantara mereka berdua."

"Baiklah, terserah kamu aja." Anya menghela napas.

"Oh, ngomong-ngomong, pesta dansa akhir semester akan diadakan minggu depan, kan?" Becky mengalihkan pembicaraan. "Akan bagus kalau kita bisa melihat Pak Henderson dan Martha berdansa lagi disana."

"Oh iya, Jinan, kamu mau jadi pasangan dansaku lagi nggak?" tanya Anya. "Kumohon ya? Akan lebih terasa nyaman buatku kalau dansa denganmu lagi."

"Damian-sama, ini kesempatanmu..." kata Emile dan Ewen tiba-tiba sambil menatap kearah Damian dan menyeringai.

"Maksud kalian apa sih?" balas Damian dengan wajah yang kembali memerah, tapi kemudian ia teringat sesuatu sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Anya dan balik bertanya, "Tunggu, memangnya kamu nggak mau dansa sama anak cowok seangkatan kita yang lain?"

"Itu dia, rasanya nggak nyaman kalau dansa sama yang lain." Gadis itu kembali menghela napas. "Enam bulan yang lalu aku coba dansa sama Arnold Crowley, tapi rasanya beneran nggak nyaman, dan aku bener-bener ngerasa nggak enak sama dia karena terus-terusan injak kakinya, walaupun nggak sengaja."

"Ya, baiklah. Aku mau jadi pasanganmu minggu depan, tapi cuma karena kita sudah berteman sekarang. Aku cuma nggak mau dansa sama orang yang nggak aku kenal baik, dan aku jelas-jelas nggak punya maksud lain ya."

Anya tersenyum. "Aku tahu kok, Jinan."

"Sebenernya sih, nggak jadi masalah kalau kamu memang punya maksud lain, Damian," goda Becky.

"Bisa diem nggak sih, Blackbell?" gerutu Damian. "Kamu sendiri gimana? Udah tahu mau dansa sama siapa atau belum?"

"Ya, belum sih, tapi..."

"Jadi, apa kamu mau jadi pasangan dansaku, Becks?" tawar Ewen.

"Ah, cuma kalau kamu bisa menata rambutmu lebih baik lagi dan nggak kelihatan aneh kayak biasanya, Ewen. Aku nggak mau punya pasangan dansa yang rambutnya kelihatan tinggi, aneh kayak begini," sahut Becky sambil menunjuk kearah rambut Ewen.

"Akan kucoba kalau begitu."

Untuk kesekian kalinya, Anya menghela napas. "Aku bersyukur punya kalian disekitarku. Kurasa, kalian semua benar-benar sahabatku."

"Tentu saja, kamu benar. Ya, walaupun awalnya kita selalu saling bertengkar, tapi... saat-saat yang kita habiskan bersama... semuanya terasa menyenangkan," balas Damian dengan tulus. "Belum lagi kalian semua terus mendukungku disaat anak-anak seangkatan kita yang lain meninggalkanku, hanya karena Ayahku dipenjara sejak saat itu. Setidaknya, aku bisa melakukan hal yang sama padamu sekarang."

"Yah, walaupun aku dan Emile awalnya selalu merundungmu, tapi kami nggak bisa membantah kalau kamu sebenarnya teman yang baik. Rasanya sangat menyenangkan tiap kali berinteraksi denganmu," tambah Ewen. "Aku masih ingat waktu kita main roket kertas berdua di kelas empat tahun yang lalu, dan saat itulah aku menyadari bahwa kamu nggak perlu jadi orang kaya hanya untuk menjadi teman yang baik. Itulah sebabnya, sekarang aku mau jadi sahabatmu."

"Ewen benar, Forger. Kamu teman yang baik, dan kamu sudah membuktikannya waktu kamu ikut mendukung Damian-sama bersama kami di saat-saat terberatnya." Emile mengangguk. "Kalau kita bicara tentang rahasiamu, akan lebih aman bagimu untuk mengabaikannya, tapi nyatanya, kamu bersama kami, mencoba memotivasinya lagi seperti apa yang sepatutnya dilakukan oleh teman yang baik. Kalau kamu bisa melakukannya untuknya, kurasa kamu juga bisa melakukan hal yang sama untukku dan Ewen, dan tentu saja, untuk Blackbell. Kalau kamu bisa melakukannya untuk kami semua, tentunya kami juga bisa melakukannya untukmu, sebagai sahabatmu."

"Hei, bagaimana denganku, yang sudah menjadi sahabatmu sejak awal, Anya-chan?" protes Becky. "Ya, memang, kamu bohong sama Pak Henderson kalau kamu pukul Damian waktu orientasi siswa karena dia udah injak kaki kiriku, tapi setelahnya, kita saling berteman dengan jujur, kan?"

"Kamu benar, Becky." Anya tersenyum. "Kamu masih saja membelaku dan mau duduk disampingku saat yang lainnya mencelaku saat itu, dan sekarang, kamu bisa menerima semua rahasiaku."

"Tentu saja aku bisa, Anya-chan. Kamu pikir aku siapa? Bagaimanapun, semua rahasiamu masih bisa diterima buatku. Kan aku udah bilang kalau kamu memang kelihatan lebih muda dibanding yang lainnya, seperti bayi, dan... tentang kemampuan spesialmu, kurasa itu lebih bisa dianggap sebagai sebuah karunia buatmu daripada sebuah kutukan. Bahkan, kamu sering menggunakannya untuk berbuat baik, kan? Kamu menggunakannya untuk menemukan tujuan bus kita waktu dibajak teroris empat tahun yang lalu, dan menurutku itu keren. Ya, walaupun sekarang aku sadar kalau kamu sempat merasa pusing gara-gara kamu tahu kalau yang lainnya panik, kan?"

"Hah, kalau saja aku langsung percaya waktu kamu bilang tentang kemampuanmu, waktu kita dansa empat tahun yang lalu." Damian menghela napas. "Aku pasti akan menjaga rahasia itu untukmu, sejak saat itu juga."

"Nggak, tunggu dulu." Becky menyadari apa yang dikatakan Damian lalu bertanya, "Anya-chan, kamu kasih tahu Damian tentang kemampuanmu waktu kalian dansa bareng di pesta dansa pertama kita?"

"Ya, itu benar, Becky. Maafkan aku karena aku nggak kasih tahu kamu duluan dan malah kasih tahu Jinan." Anya meminta maaf kepada Becky sebelum menoleh kearah Damian dan berkata, "Wajar aja sih kalau kamu nggak percaya, Jinan. Waktu itu kan kita masih di kelas satu."

"Meski begitu, kenapa kamu kasih tahu aku?" tanya Damian ingin tahu. "Waktu itu kan, kita belum jadi teman dekat."

"Aku sendiri juga nggak tahu, Jinan. Tiba-tiba aku percaya aja, kalau kamu bisa jaga rahasiaku dengan baik, tapi ternyata kamu malah nggak percaya." Anya mengangkat bahu.

"Terus, kenapa kamu nggak kasih tahu aku aja?" tanya Becky.

"Kurasa ini karena masalah pengabaian yang kualami," desahnya. "Aku takut kalau aku memberitahumu, kamu malah nggak mau temenan sama aku lagi dan mengabaikan aku."

"Apa? Tentu aja nggak dong, Anya-chan. Aku nggak akan pernah begitu." Becky menggeleng. "Aku cuma bakalan mikir kalau kamu keren banget punya kemampuan seperti itu."

"Oh, yang benar?" Anya akhirnya tersenyum ceria. "Terima kasih, Becky."

Tak lama kemudian, mereka tiba di Rumah Sakit Umum Berlint. Albert menyadari kedatangan mereka dan menghampiri mereka, menyapa anak-anak itu sebelum ia menyampaikan kabar baik tentang istrinya kepada Anya.

"Mama sudah bangun dari komanya dan ingin bertemu denganmu, Anna."